Cukup banyak Allah SWT mendorong kita di dalam Al Qur’an untuk belajar dari bagaimana Allah menciptakan dunia ini dan juga perjalanan hidup sebuah bangsa. Ayat-ayat yang bertemakan perjalanan dan perhatikan tersebut diantaranya terdapat Surat Al Ankabut ayat 19 dan Al An’am ayat 11. Dorongan Allah ini semata-mata diperuntukkan kita untuk bisa mengambil i’tibar atau pelajaran bagaimana seharusnya kita sebagai bangsa mengambil keputusan dalam hidup ini dan meninggalkan apa-apa yang dapat membuat masa depan kita menjadi suram.
Salah satu mosaik perjalanan sebuah bangsa yang dapat disaksikan adalah reversal of fortune. Artinya bahwa banyak bangsa mengalami perubahan nasib dalam lintasan waktu hidupnya. Memang sebutan reversal of fortune lebih sering didefinisikan dengan negara makmur di masa lalu berubah menjadi negara miskin saat ini. Namun bisa juga pembalikan nasib ini berjalan sebaliknya, yaitu dulu terbelakang sekarang maju.
China, India, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan merupakan diantara negara yang menunjukkan trend peningkatan kesejahteraan secara dramatis. Dahulu menjadi daerah jajahan yang dihisap kemakmurannya oleh kolonialisme maupun sistem politik tirani (pemicu utama perubahan nasib dari kaya ke miskin) kini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dunia karena prestasi peningkatan pendapatan rakyatnya sangat impresif sehingga mendekati kemakmuran negara maju. Fenomena ini dalam ilmu ekonomi disebut konvergensi. Banyak alasan dan konteks yang mendasari keberhasilan negara-negara diatas dalam membalikkan nasib mereka. Namun terdapat salah satu hal identik yang dipilih yaitu penggunaan teknologi sebagai strategi pembangunan ekonominya.
Mark Rogers (2003) dalam buku Knowledge, Technological Catch-Up and Economic Growth menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi ditentukan oleh kesenjangan teknologi (technological gap) dan kemampuan penyerapan teknologi (absorptive capability). Semakin pendek rentang senjang teknologi dan semakin tinggi kemampuan penyerapan, maka peran pengetahuan akan pertumbuhan ekonomi akan menjadi eksponensial. Permasalahan kesenjangan teknologi dapat didekati dengan import teknologi. Apalagi karakter dari pengetahuan atau teknologi adalah menyebar (knowledge leaks/spill-over). Perkembangan teknologi informasi makin menfasilitasi terjadinya diseminasi pengetahuan-pengetahuan baru sehingga kesenjangan teknologi lebih mudah. Negara-negara diatas yang dapat mengejar ketertinggalannya juga pada awalnya melakukan hal yang sama dengan “membeli teknologi dari luar” dan menggunakan teknologi untuk percepatan pertumbuhan ekonominya. Hal mahsyur yang mungkin akrab ditelinga kita adalah bangsa-bangsa tersebut melakukan 3 I, yaitu Imitation, Innovation and Invention (meniru, membuat lebih baik, menemukan sesuatu yang baru). Tak heran sekarang merek dagang produk hi-tech seperti Samsung, Acer, HTC, BenQ sudah jamak di berbagai belahan dunia.
Namun, kemampuan 3I ini tidak bisa dilakukan apabila kemampuan penyerapan atau absorptive capability dari sebuah negara atau daerah itu rendah. Absorptive capability dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk mencari, mempelajari dan menggunakan teknologi yang ada (baik didapat dari luar maupun diciptakan di dalam negeri). Pertumbuhan ekonomi – ditandai dengan peningkatan produktifitas – hanya akan berjalan baik apabila faktor pertama (technology gap) dikurangi dan faktor yang kedua (absorptive capability) ditingkatkan. Sebagai ilustrasi, Pembelian perangkat komputer canggih yang dilengkapi dengan Office Software terbaru akan tidak meningkatkan produktifitas apabila karyawan tidak bisa menguasai software tersebut, meskipun kemampuan mengetik cepat 10 jari dikuasai secara sempurna.
Kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh meyebutkan bahwa Aceh Dream pada 2025 adalah menjadi islami maju, damai dan sejahtera. Terlihat jelas bahwa dalam rencana perjalanannya terdapat 4 pentahapan lima tahunan yang mensyaratkan transformasi struktural. Dimulai dari rehabilitasi, rekonstruksi dan integrasi; revitalisasi industri pertanian, pemantapan sektor manufaktur hingga pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pentahapan pembangunan ini membutuhkan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi agar terjadi transformasi yang mulus dan tepat waktu.
Kebijakan iptek tentunya ditujukan pada peningkatan kemampuan absorpsi teknologi dan pengurangan kesenjangan teknologi baik didalam wilayah Aceh maupun relatif terhadap pihak eksternal. Ada 3 langkah yang dianggap efektif untuk memenuhi tujuan tersebut yaitu penambahan knowledge stock (tingkat penguasaan pengetahuan), komunikasi intensif antar pelaku teknologi/pengetahuan dan pelibatan sektor swasta.
Penambahan knowledge stock utamanya dilakukan melalui pendidikan, pelatihan serta penelitian. Makin bertambahnya stock pengetahuan dalam sebuah masyarakat makin tinggi pula kemampuanya untuk menyerap teknologi baru. Karena itu peran perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya sangat krusial dalam hal ini. Kebijakan Pemerintah Aceh untuk memberikan beasiswa pendidikan kepada putra/putri terbaiknya ke daerah yang mempunyai tingkat pengetahuan lebih tinggi dirasakan langkah yang tepat untuk percepatan pembangunan Aceh. Hal ini dikarenakan beasiswa tersebut tidak hanya akan menambah pengetahuan tetapi juga sebagai mekanisme transfer teknologi yang dapat mengurangi technology gap. Yang perlu diingat bahwa knowledge stock adalah social capability sehingga ia tidak boleh hanya dominasi perguruan tinggi, namun juga setiap level masyarakal. Sekolah kejuruan, balai latihan kerja dan training-training informal lainnya perlu terus dioptimalkan. Fokus peningkatan penguasaan pengetahuan ini harus sejalan dengan arah pembangunan Aceh jangka panjang.
Hasil dari penambahan knowledge stock adalah ketersediaan sumber daya manusia (human capital) dengan absorptive capacity yang baik. Begitu teknologi baru dikenalkan, maka produktifitas akan langsung secara signifikan bertambah. Namun hal ini tidak cukup karena kebanyakan produk iptek merupakan kombinasi dari beberapa ide-ide dan dibangun atas penemuan-penemuan iptek sebelumnya. Karena itu perlu mekanisme komunikasi yang menfasilitasi kebocoran iptek sehingga dapat diketahui oleh banyak pihak. Kebocoran ini atau knowledge leak ini selain merangsang sinergi ide guna penciptaan teknologi baru juga makin memantapkan kekayaan pengetahuan yang dipunyai masyarakat. Kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk menyediakan baik infrastruktur komunikasi maupun regulasi terkait yang mendorong terjadinya pertukaran informasi, mengokohkan modal sosial hingga jaminan hak cipta.
Sering sekali pihak swasta dan asing merupakan pihak pertama yang memperkenalkan teknologi. Investasi foreign/domestic direct investment. Hongkong, Taiwan dan Singapura menggunakan investasi asing sebagai lompatan untuk melejitkan produktifitas dan daya saing negaranya. Kedua negara ini menawarkan tempat investasi yang menarik dengan menyediakan sumber daya manusia, infrastruktur serta regulasi yang handal. Hasilnya bisa lihat sekarang Hongkong dan Singapura menempati peringkat tiga dan empat dalam pencapaian Indeks Inovasi Global yang disusun INSEAD pada tahun 2011 (http://www.globalinnovationindex.org/gii/main/fullreport/index.html ,Taiwan tidak disebut dalam daftar, namun pada indeks inovasi versi The Economist Intelligence Unit negara -atau provinsi ??- ini menempati peringkat enam).
Kita dapat menyimpulkan bahwa ketiga intervensi diatas (knowledge stock, komunikasi dan sektor swasta) merupakan tiga pilinan yang saling berkorelasi positif dan kemudian saling menguatkan. Karena itu banyak negara maju mengunakan tiga hal tersebut sebagai tulang punggung dari sistem inovasi nasionalnya. Dalam sistem tersebut terdapat juga 3 pihak utama yang secara aktif memainkan perannya yaitu academics (ilmuwan), business (swasta) dan government (pemerintah), sering disingkat sebagai ABG. Nama lain dari keterkaitan 3 pihak ini juga dikenal dengan istilah triple helix.
Konsep triple helix ini sudah disebutkan dalam draft RPJP Aceh 2005-2025 yang sekarang posisinya masih di DPRA menunggu pembahasan untuk menjadi qanun. Tinggal sekarang bagaimana setiap komponen dapat memainkan peran masing-masing dan terus berkomunikasi guna mewujudkan kolaborasi yang apabila sudah terpilin maka akan mempunyai inersia untuk terus saling menguatkan dan melejitkan daya saing daerah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Ketika Aceh dapat menyediakan melting pot atau tempat menyatunya ketiga kekuatan besar ini, Aceh akan mengeluarkan gravitasi besar berupa produktifitas tinggi dan menarik investasi baik domestik maupun asing. Jika Amerika Serikat mempunyai Silicon Valley – sebuah daerah di sekitar kampus Stanford University dengan luas satu per dua puluh ribu luas USA namun menarik sepertiga total investasi – Aceh bisa jadi punya Siem Valley yang juga berdekatan lokasi dengan dua kampus terkemuka di naggroe yaitu Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Ranniry. Akankan ini terjadi pada tahun 2025?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar