Sabtu, 14 Januari 2012

Kontroversi Hotel dan Mall di Sekitar MRB : Sebuah Pembelajaran bagi Aceh


Makin marak terasa aksi penolakan pembangunan hotel dan mall di kawasan bekas Geunta Plaza, arah tenggara Mesjid Raya Baiturrahman (MRB). Di media massa diskursus ini pun tambah intens. Malah di media jaringan social dan mailing list, argumentasi akan pro-kontra hotel-mall jauh lebih panas dan menarik. Terlihat jelas ada perlawanan rakyat yang resisten terhadap pembangunan terhadap pemerintah.

Tulisan ini tidak ditujukan mengemukakan lagi posisi saya dalam kontroversi ini. Mungkin sebagian rekan yang membaca ini tahu bahwa saya termasuk orang yang pro-pembangunan (baca artikel 1 dan 2).  Artinya saya tidak ada masalah apabila hotel dan mall dibangun di sekitar MRB selama konsepnya didesain dan dilaksanakan sesuai tema atau bingkai yang disepakati di Aceh. I am going beyond that.

Kehadiran gerakan penolakan hotel dan mall ini harus dimaknai bahwa terdapat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan sebagian masyarakat akan rencana kebijakan pemerintah. Ini harusnya dianggap positif. Semangat kekritisan ini harus dijaga secara bijaksana, berimbang dan berkelanjutan. Dalam kerangka dialektika pembangunan, ketidaksetujuan ini ada karena sebagian masyarakat menganggap pembangunan hotel dan mall akan membawa lebih banyak masalah daripada tidak melakukan pembangunan. Anggapan tersebut dapat berasal dari banyak alasan seperti argumen pembangunan yang lemah, kurangnya transparansi ataupun ketidakpercayaan rakyat akibat track record atau prestasi pemerintah yang mengecewakan. Untuk kasus hotel/mall  di sekitar MRB, hemat saya mengatakan alasan ketiga  yang lebih dominan.

Meskipun para pengusung penolakan ini mengatakan bahwa dosa dari pembangunan hotel ini banyak mulai proses amdal yang amburadul, ancaman terhadap landmark kota dan fasilitasi kegiatan maksiat yang akan menodai kesucian MRB. Lagi-lagi saya merasa dosa ketiga yang lebih banyak dipersepsikan sebagai dosa terbesar. Bagi saya dosa pertama dan kedua lebih mudah dimaafkan. Prosedur amdal yang kacau bisa menjadi alasan untuk menganulir hasil amdal dan melakukan analisis ulang sesuai prosedur. Dominasi MRB sebagai landmark bisa dijaga dengan sentuhan kekuatan pikir manusia yang berbentuk arsitektur dan layout kawasan.  

Memang bisa dimengerti mengapa masyarakat dapat tiba pada kesimpulan hotel dan mall akan menodai  MRB. Alur pikiran masyarakat sederhana. Bukti selama ini hotel-hotel di Aceh menjadi salah satu ajang berlangsungnya maksiat. Masyarakat menyoroti kegiatan diskotik dan penjualan minuman keras serta arena prostitusi. Celakanya, hal ini cenderung dibiarkan. Jelas masyarakat mengharapkan pemerintah lah yang harus menertibkan ini. Meskipun tidak bijak juga menyalahkan pemerintah atas seluruh kejadian maksiat di Aceh. Banyak kejadian maksiat di kampung kita, namun  warga tidak proaktif dan antisipatif malah cenderung reaktif. Reaktif disini saya maknai dengan perbuatan intai dulu baru tangkap. Padahal esensi syariah yang kita sepakati bersama dilaksanakan di Aceh adalah beri peringatan (dakwah), beri pendidikan, baru hukum (proaktif dan antisipatif). Kata Nabi Ad-Din annashihah. 


Kompleksitas pemerintah dan masyarakat ini yang menciptakan tidak nyambungnya antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi pemerintah lemah dalam penegakan hukum disisi lain masyarakat apatis dan mengharapkan pemerintah untuk mengatur semua. Sebagai ilustrasi, ada seorang rekan pernah memberikan pernyataan akan kekecewaan terhadap pemerintah,” Jika anda menerobos lampu merah dan polisi tidak menilang anda, apakah anda salah??”. Pernyataan diatas bagi saya merupakan cerminan dari apa yang ada di lapangan saat ini.

Pembelajaran bagi Aceh
Percayalah, Memimpin akan lebih mudah apabila segenap komponen mempunyai visi dan ekspektasi yang sama dengan sang pemimpin.   Tujuan pun akan lebih mudah tercapai. Untuk mencapai tersebut, kendala psikologis yang harus dihilangkan terlebih dahulu. Jangan sampai rakyat  benci roman sehingga apapun yang dilakukan pemimpin, tanpa dianalisa lebih lanjut, langsung ditolak.

Banyak rakyat yang sudah mengalami syndrome ”benci roman”. Tak ada cara lain mengobati penyakit tersebut adalah dengan menunjukkan roman pemerintah yang tegas dalam penegakan hukum. Ketika teladan sudah terpancarkan maka simpati dan kepercayaan itu akan kembali.

Ketika kepercayaan itu kembali, maka ia harus dijaga dan dipertahankan. Membangun komunikasi adalah hal yang mutlak. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah yang mereka pilih akan memudahkan mereka untuk menentukan pilihan masa depannya. Karena itu pilihan-pilihan kebijakan itu seharusnya berbentuk informed choices, yang telah dikaji/diteliti positif dan negatif, resiko dan keuntungannya.

Gerakan civil society juga harus dijaga karena ia juga bagian dari percepatan pencapaian tujuan. Lazim bagi pemimpin atau manager akan istilah proses manajemen POAC (planning, organizing, actuating, controlling). Civil society perlu terlibat dalam proses tersebut dalam bentuk apa yang lebih dikenal dalam istilah politik sebagai checks and balances.

Dari sisi rakyat harus disadari bahwa pemerintah adalah cerminan masyarakat. Apabila pemerintah buruk, tidak bijak semata menghujat pemerintah. Ibarat buruk rupa, cermin dibelah. Masyarakat harus introspeksi juga. Pemerintah yang berkategori eksekutif dan legislatif adalah pilihan kita. Pemerintah buruk  bisa jadi kita tidak pandai memilih. Salah memimpin pemimpin dalam pemilu, maka efeknya terasa 5 tahun. Dalam perjalanannya, masyarakat juga seharusnya ikut mengawasi sebagai bentuk tanggung-jawab atas pilihan kita.

Ketika hubungan pemerintah dan masyarakat  terpilin rapi, erat dan kokoh. Ia menjadi sebuah tali yang kuat untuk menarik garbong pembangunan Aceh menuju ke posisi lebih baik dari waktu ke waktu.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar