" Dengan
penerimaan pajak sebesar itu, Pemerintah
Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA)
yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun
waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh
bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya
membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar)."
Satu hari
setelah pelantikan, Gubernur Zaini Abdullah melakukan gebrakan dengan
mengintruksikan larangan merokok di Kantor Gubernur Aceh (Serambi Indonesia, 27
Juni 2012). Larangan ini ternyata meluas ke seluruh instansi Pemerintah Aceh melalui
Surat Edaran Gubernur tentang larangan
merokok dalam ruangan kerja dan gedung kantor tertanggal 5 Juli 2012.
Dampak
negatif dari merokok sudah diketahui oleh banyak pihak. Tidak kurang dari 25 jenis penyakit
disebabkan oleh kegiatan merokok. Selain permasalahan kesehatan, merokok juga
erat kaitan dengan kemiskinan. Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat bahwa
tiga dari empat keluarga miskin mengalokasikan anggaran untuk rokok. Jika
diibaratkan anggaran rumah tangga adalah investasi, pengeluaran untuk bahan
makanan dan pendidikan mempunyai manfaat meningkatkan kapasitas keluarga miskin
untuk bekerja dan keluar dari garis kemiskinan, pengeluaran untuk merokok malah
menurunkan kapasitas tersebut. Alhasil, rokok adalah salah satu bentuk dari
perangkap kemiskinan. BPS Aceh dalam release-nya juga mengindikasikan bahwa
rokok berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan (SI, 3 Juli 2012).
Para pembela
rokok berargumen bahwa pelarangan rokok akan menyebabkan hilangnya pendapatan
negara dari cukai dan ribuan pekerjaan. Pendapatan
negara dari cukai rokok tahun 2011 mencapai Rp. 77 Trilyun. Sebuah angka yang
fantastis. Namun jika dibandingkan
dengan peningkatan biaya kesehatan masyarakat per tahun sebesar Rp. 81
Trilyun (TCSC IAKMI-UI), maka sebenarnya
Pemerintah membuang uang demi rokok. Dari sisi serapan tenaga kerja, pertanian
tembakau dan industri rokok hanya
menempati peringkat 30 dan 48 dari 66 sektor (Lembaga Demografi UI, 2007). Belum
lagi berkah cukai rokok hanya dinikmati langsung oleh daerah penghasil tembakau
dan industri rokok seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan daerah perokok
berat seperti Aceh lebih mendapatkan asap rokok dan efek negatif lainnya.
Besarnya
kemudharatan daripada kemashlahatan sebenarnya sudah cukup syarat memasukkan
rokok dalam kelompok khamar. Tetapi mengingat kebiasaan merokok yang melekat di
masyarakat kita, pentahapan dan “pemakruhan” rokok mungkin menjadi lebih
relevan sebagai awal pelarangan merokok. Makruh dalam terminologi Islam adalah
sesuatu perbuatan yang didorong untuk ditinggalkan. Untuk itu Pemerintah Aceh
perlu mencari kebijakan untuk menurunkan komsumsi rokok.
Pajak sebagai Instrumen Anti-Rokok
Tujuan utama
dari pajak biasanya adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah. Namun
pajak dapat juga dapat dijadikan alat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat. Pajak rokok merupakan salah satu bentuk
instrumen fiskal untuk mengurangi komsumsi rokok. Manfaat pajak rokok ini
menjadi ganda. Di satu sisi menambah pendapatan, di sisi lain mengurangi minat
masyarakat untuk membeli rokok karena lebih mahal.
Secara
payung hukum, Aceh memiliki keabsahan jika ingin menerapkan pajak rokok. Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menempatkan rokok
sebagai objek pajak provinsi. Semestinya kesempatan ini bisa terus
ditindaklanjuti sebagai bagian kebijakan penguatan fiskal dan kebijakan
kesehatan Aceh.
Media OnlineThe Globe Journal pernah menurunkan berita pada pertengahan 2010 tentang
penjualan produk rokok PT. HM Sampoerna. Perusahaan rokok ini merupakan penyuplai
utama rokok nasional dengan pangsa pasar 29.1 persen dari total penjualan
rokok. Sampoerna sendiri mencatat bahwa ia berhasil menjual 29 juta batang per
minggu di Aceh. Jika ini benar adanya, bisa dihitung bahwa total penjualan
rokok di Aceh untuk seluruh merek menjadi kira-kira 100 juta batang per minggu
atau 5.2 milyar batang per tahun. Jika satu bungkus rokok berisi 12 batang dan
dikenakan pajak rokok sebesar Rp. 1000 per bungkus, maka potensi penerimaan
pajak rokok Aceh pertahun mencapai Rp. 433 Milyar.
Dengan
penerimaan pajak sebesar itu, Pemerintah
Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA)
yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun
waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh
bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya
membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar).
Terkait
dengan efek pajak rokok terhadap penurunan komsumsi rokok sangat tergantung
dari elastisitas permintaan rokok. Sebuah laporan “Tobacco Economics in
Indonesia” menyebutkan untuk Indonesia setiap kenaikan harga rokok sebesar 10
persen akan menurunkan komsumsi sebesar 2.9 hingga 6.7 persen. Elastisitas ini
akan lebih tinggi seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan
kesejahteraan. Karenanya penggunaan pajak untuk mengurangi komsumsi rokok akan
efektif dan akan lebih efektif lagi jika pendapatan pajak rokok digunakan untuk
peningkatan tingkat pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat.
Boomerang Pajak Rokok
Kenaikan
harga rokok belum tentu selalu menurunkan komsumsi rokok. Bagi perokok berat
atau yang sudah mengalami kecanduan, permintaan rokok menjadi tidak elastis. Ia
seakan menjadi kebutuhan pokok setelah beras. Penerapan pajak untuk konsumen
seperti ini tentunya akan berdampak pada pengeluaran yang lebih besar untuk
rokok. Hal ini lebih parah untuk perokok yang berasal dari keluarga miskin. Untuk
itu, instrumen pajak hendaknya bukanlah satu-satunya cara yang harus ditempuh.
Pemerintah perlu melakukan kebijakan non-pajak lainnya seperti promosi, rehabilitasi dan bentuk insentif lainnya.
Pengenaan
pajak rokok di Aceh tentunya akan menyebabkan harga jual rokok lebih tinggi.
Kondisi ini bisa menjadi motivasi kegiatan illegal penyeludupan rokok dari luar
daerah yang menberlakukan pajak rokok lebih rendah atau tidak ada pajak sama
sekali. Jika ini tidak diantisipasi, rokok illegal dengan harga murah akan
marak di pasaran dan perilaku merokok tidak akan berubah. Untuk kemungkinan skenario
ini, Pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan daerah tetangga untuk
menyelaraskan kebijakan rokok ini, selain penegakan hukum seperti razia pasar.
Pajak rokok
juga membutuhkan sistem administrasi penerimaan yang solid. Yang paling mudah
adalah mengutip langsung dari distributor/sub distributor sebelum dikirim ke
pasar. Namun tantangannya adalah lebih rentan terhadap penyeludupan. Alternatif
lain adalah mengutip langsung dari penjual (sales tax). Cara ini mengurangi
pengurangan pendapatan dari penyeludupan namun sangat besar ongkos
administasinya mengingat banyak sekali outlet penjualan rokok di pasaran. Belum
lagi mengontrol agar tidak terjadi kongkalikong antara petugas pemungut dan
penjual.
Kiranya
kebijakan pengurangan komsumsi rokok Aceh perlu segera dilakukan. Selain dari sisi kesehatan dan ekonomi, pengurangan
bahkan pengharaman rokok juga merupakan isu syariah. Pajak rokok merupakan
salah satu cara yang harus dicoba. Semoga kebijakan ini dapat membebaskan asap
rokok dari udara Aceh dan menggantikannya dengan kepulan asap dari dapur
kesejahteraan. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar