Kamis, 02 Agustus 2012

Melirik Pajak Rokok Aceh


Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar)."    

Satu hari setelah pelantikan, Gubernur Zaini Abdullah melakukan gebrakan dengan mengintruksikan larangan merokok di Kantor Gubernur Aceh (Serambi Indonesia, 27 Juni 2012). Larangan ini ternyata meluas ke seluruh instansi Pemerintah Aceh melalui Surat Edaran Gubernur  tentang larangan merokok dalam ruangan kerja dan gedung kantor tertanggal 5 Juli 2012.

Dampak negatif dari merokok sudah diketahui oleh banyak pihak.  Tidak kurang dari 25 jenis penyakit disebabkan oleh kegiatan merokok. Selain permasalahan kesehatan, merokok juga erat kaitan dengan kemiskinan. Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat bahwa tiga dari empat keluarga miskin mengalokasikan anggaran untuk rokok. Jika diibaratkan anggaran rumah tangga adalah investasi, pengeluaran untuk bahan makanan dan pendidikan mempunyai manfaat meningkatkan kapasitas keluarga miskin untuk bekerja dan keluar dari garis kemiskinan, pengeluaran untuk merokok malah menurunkan kapasitas tersebut. Alhasil, rokok adalah salah satu bentuk dari perangkap kemiskinan. BPS Aceh dalam release-nya juga mengindikasikan bahwa rokok berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan (SI, 3 Juli 2012).

Para pembela rokok berargumen bahwa pelarangan rokok akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari cukai  dan ribuan pekerjaan. Pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2011 mencapai Rp. 77 Trilyun. Sebuah angka yang fantastis. Namun jika dibandingkan  dengan peningkatan biaya kesehatan masyarakat per tahun sebesar Rp. 81 Trilyun (TCSC IAKMI-UI),  maka sebenarnya Pemerintah membuang uang demi rokok.  Dari sisi serapan tenaga kerja, pertanian tembakau  dan industri rokok hanya menempati peringkat 30 dan 48 dari 66 sektor (Lembaga Demografi UI, 2007). Belum lagi berkah cukai rokok hanya dinikmati langsung oleh daerah penghasil tembakau dan industri rokok seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan daerah perokok berat seperti Aceh lebih mendapatkan asap rokok dan efek negatif lainnya.

Besarnya kemudharatan daripada kemashlahatan sebenarnya sudah cukup syarat memasukkan rokok dalam kelompok khamar. Tetapi mengingat kebiasaan merokok yang melekat di masyarakat kita, pentahapan dan “pemakruhan” rokok mungkin menjadi lebih relevan sebagai awal pelarangan merokok. Makruh dalam terminologi Islam adalah sesuatu perbuatan yang didorong untuk ditinggalkan. Untuk itu Pemerintah Aceh perlu mencari kebijakan untuk menurunkan komsumsi rokok.

Pajak sebagai Instrumen Anti-Rokok

Tujuan utama dari pajak biasanya adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah. Namun pajak dapat juga dapat dijadikan alat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.  Pajak rokok merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal untuk mengurangi komsumsi rokok. Manfaat pajak rokok ini menjadi ganda. Di satu sisi menambah pendapatan, di sisi lain mengurangi minat masyarakat untuk membeli rokok karena lebih mahal.

Secara payung hukum, Aceh memiliki keabsahan jika ingin menerapkan pajak rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menempatkan rokok sebagai objek pajak provinsi. Semestinya kesempatan ini bisa terus ditindaklanjuti sebagai bagian kebijakan penguatan fiskal dan kebijakan kesehatan Aceh.

Media OnlineThe Globe Journal pernah menurunkan berita pada pertengahan 2010 tentang penjualan produk rokok PT. HM Sampoerna. Perusahaan rokok ini merupakan penyuplai utama rokok nasional dengan pangsa pasar 29.1 persen dari total penjualan rokok. Sampoerna sendiri mencatat bahwa ia berhasil menjual 29 juta batang per minggu di Aceh. Jika ini benar adanya, bisa dihitung bahwa total penjualan rokok di Aceh untuk seluruh merek menjadi kira-kira 100 juta batang per minggu atau 5.2 milyar batang per tahun. Jika satu bungkus rokok berisi 12 batang dan dikenakan pajak rokok sebesar Rp. 1000 per bungkus, maka potensi penerimaan pajak rokok Aceh pertahun mencapai Rp. 433 Milyar.

Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar).     

Terkait dengan efek pajak rokok terhadap penurunan komsumsi rokok sangat tergantung dari elastisitas permintaan rokok. Sebuah laporan “Tobacco Economics in Indonesia” menyebutkan untuk Indonesia setiap kenaikan harga rokok sebesar 10 persen akan menurunkan komsumsi sebesar 2.9 hingga 6.7 persen. Elastisitas ini akan lebih tinggi seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Karenanya penggunaan pajak untuk mengurangi komsumsi rokok akan efektif dan akan lebih efektif lagi jika pendapatan pajak rokok digunakan untuk peningkatan tingkat pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat.

Boomerang Pajak Rokok

Kenaikan harga rokok belum tentu selalu menurunkan komsumsi rokok. Bagi perokok berat atau yang sudah mengalami kecanduan, permintaan rokok menjadi tidak elastis. Ia seakan menjadi kebutuhan pokok setelah beras. Penerapan pajak untuk konsumen seperti ini tentunya akan berdampak pada pengeluaran yang lebih besar untuk rokok. Hal ini lebih parah untuk perokok yang berasal dari keluarga miskin. Untuk itu, instrumen pajak hendaknya bukanlah satu-satunya cara yang harus ditempuh. Pemerintah perlu melakukan kebijakan non-pajak lainnya seperti promosi, rehabilitasi dan bentuk insentif lainnya.

Pengenaan pajak rokok di Aceh tentunya akan menyebabkan harga jual rokok lebih tinggi. Kondisi ini bisa menjadi motivasi kegiatan illegal penyeludupan rokok dari luar daerah yang menberlakukan pajak rokok lebih rendah atau tidak ada pajak sama sekali. Jika ini tidak diantisipasi, rokok illegal dengan harga murah akan marak di pasaran dan perilaku merokok tidak akan berubah. Untuk kemungkinan skenario ini, Pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan daerah tetangga untuk menyelaraskan kebijakan rokok ini, selain penegakan hukum seperti razia pasar.

Pajak rokok juga membutuhkan sistem administrasi penerimaan yang solid. Yang paling mudah adalah mengutip langsung dari distributor/sub distributor sebelum dikirim ke pasar. Namun tantangannya adalah lebih rentan terhadap penyeludupan. Alternatif lain adalah mengutip langsung dari penjual (sales tax). Cara ini mengurangi pengurangan pendapatan dari penyeludupan namun sangat besar ongkos administasinya mengingat banyak sekali outlet penjualan rokok di pasaran. Belum lagi mengontrol agar tidak terjadi kongkalikong antara petugas pemungut dan penjual.



Kiranya kebijakan pengurangan komsumsi rokok  Aceh perlu segera dilakukan. Selain  dari sisi kesehatan dan ekonomi, pengurangan bahkan pengharaman rokok juga merupakan isu syariah. Pajak rokok merupakan salah satu cara yang harus dicoba. Semoga kebijakan ini dapat membebaskan asap rokok dari udara Aceh dan menggantikannya dengan kepulan asap dari dapur kesejahteraan. Insya Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar