Kamis, 26 November 2020

Mewujudkan Halal Economic Powerhouse


Gubernur Aceh, Ir. Nova Iriansyah, MT, mengusulkan inisiatif baru dalam kesempatan Chief Ministers and Governor Forum (GMCF) IMT-GT yang dilaksanakan secara daring pada Kamis, 19 November 2020. Inisiatif yang disampaikan oleh Gubernur adalah pembentukan Halal Economic Powerhouse (HEP). 

 


Usulan Gubernur tersebut bukannya tidak beralasan. Laporan State of Global Islamic Economy (SGIE) Tahun 2020/2021 menyebutkan bahwa pengeluaran global untuk produk halal pada tahun 2019 sebesar US$ 2,02 Trilyun, meningkat sebesar 3,2 persen dari tahun 2018. Laporan ini memprediksikan pada tahun 2024 pengeluaran untuk produk halal ini akan mencapai 2,3 Trilyun dengan rata-rata pertumbuhan 3,1 persen. Pertumbuhan ini mengalami koreksi dari perkiraan Laporan SGIE tahun sebelumnya yang memperkirakan pertumbuhan konsumsi produk halal sebesar 5,2 persen. penurunan pertumbuhan tersebut merupakan akibat dari pandemik Covid 19 yang dihitung berdampak pada melemahnya belanja produk halal sebesar 8 persen.

 

Bukan saja dari potensi nominal pasar, lokasi geografis juga memberikan keungulan komparatif bagi IMT-GT dibanding sub-kawasan lainnya. Penduduk muslim dunia terkonsentrasi di Indonesia, Asia Selatan dan Timur Tengah. Lokasi pasar tersebut mempunyai jarak terdekat dari provinsi atau negara bagian IMT-GT. Indonesia, Pakistan, India dan Bangladesh merupakan empat negara dengan populasi muslim tertinggi di dunia, yaitu sebesar 42,8 persen dari 2,2 Milyar total populasi muslim. Empat negara ini juga memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.

 

Dari sisi internal, Malaysia, Indonesia dan Thailand dinilai berhasil meningkatkan kontribusinya dalam ekonomi halal global. Masih dari SGIE 2020/2021, Malaysia berhasil mempertahankan peringkat pertama dalam peringkat Global Islamic Economic Indicators. Indonesia mengalami kenaikan peringkat dari peringkat 5 pada tahun SGIE 2019/2020 menjadi peringkat 4 dengan mengeser Bahrain. Begitu juga dengan Thailand, dianggap sebagai negara yang mengalami kenaikan peringkat secara signifikan (big moves) terutama di sektor finansial, makanan halal, pariwisata halal dan obat-obatan dan kosmetika halal.

 

Semua fakta diatas dipandang menjadi sebuah kekuatan atau modal dasar bagi tiga negara IMT-GT ini untuk menjadi mesin ekonomi halal global. 

 

Blue Ocean,  Bukan Red Ocean


Konsep Halal Economic Powerhouse yang diusulkan oleh Gubernur Aceh merupakan konsep kolaborasi 3 negara sebagai komponen penggerak yang secara terpadu menggerakkan mesin ekonomi halal. Selama ini, efektifitas kerjasama IMT-GT kurang optimal karena ada kecurigaan bahwa kerjasama ini seakan lautan merah (red ocean) dimana tiga negara anggota saling berebut untuk penetrasi pasar secara internal sub-region terutama Indonesia. Alhasil beberapa inisiatif kurang bergairah untuk ditindaklanjuti sebagai reaksi limbik dari niat melindungi diri. 

 

Halal Economic Powerhouse besutan Aceh ini merupakan kolaborasi 3 negara (Indonesia, Malaysia, Thailand) untuk memproduksi produk dan jasa halal dan memasarkan ke negara ketiga. Format ini mentransformasikan paradigma Red Ocean akan persaingan penetrasi pasar intra IMT-GT menjadi cara pandang Lautan Biru (Blue Ocean) yang menyinergikan kekuatan Intra-IMT-GT untuk memenangkan pasar halal baru di negara-negara lainnya. 

 

Diharapkan dengan kolaborasi membangun mesin ekonomi (economic powerhouse) ini akan terjadi peningkatan kegiatan perdagangan dan investasi intra-IMT-GT akibat rantai produksi halal yang terjadi di dalam sub-kawasan. Perdagangan ke luar IMT-GT juga akan meningkat karena ekspor produk dan jasa halal (termasuk pariwisata). Sejalan dengan itu, arus Investasi dari negara luar IMT-GT juga akan meningkat akibat efisiensi produksi halal di IMT-GT. 

 

Kesiapan Aceh dalam Halal Economic Powerhouse (HEP)

 

Aceh sebenarnya diuntungkan dengan konsep HEP ini. Secara regulasi, provinsi syariah ini telah memiliki beberapa aturan yang konstruktif terhadap pengembangan ekonomi halal. Sebut saja Qanun 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, Qanun 8 Tahun 2016 tentang Sistem Jaminan Produk Halal dan Qanun 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah. Ketiga Qanun tersebut mewajibkan ekonomi Aceh dilakukan secara syariah atau halal. Ketersedian perangkat hukum ini menandakan bahwa secara regulasi Aceh lebih siap dari provinsi lainnya di Indonesia dalam hal pengembangan ekonomi halal. 

 

Namun regulasi adalah hanya satu faktor. Ekonomi halal merupakan ekonomi riil yang mensyaratkan ada realitas ekonomi di lapangan. Regulasi tersebut perlu ditindaklanjuti dengan produksi, inovasi dan transaksi. Semua produk dan jasa yang diproduksi di Aceh harus diakui ke-halalan-nya oleh konsumen. Disini tantangan bermula. 

 

Jumlah produk Aceh yang bersertifikasi halal masih minim jika dibanding total produk yang diproduksi. Begitu juga dengan jasa halal seperti perhotelan dan restoran, jumlah hotel dan restoran yang bersertifikasi halal masih rendah dibanding populasi total jasa yang dihasilkan. Karena itu kemudahan sertifikasi halal merupakan hal yang prioritas dilakukan agar Aceh dapat memimpin di kesempatan ini. Selain itu, perlu penguatan sisi permintaan akan produk dan jasa bersertifikasi halal. Otoritas keagamaan dan juga kesehatan terus mempromosikan pentingnya akan “kehalalan” produk dan jasa. Sesuai dengan mekanisme pasar, ketika permintaan akan produk dan jasa halal meningkat, maka produsen akan menyediakan pasokan halal lebih banyak. 

 

Dalam konteks kolaborasi halal ini, juga diperlukan harmonisasi sistem sertifikasi halal diantara tiga negara ini. Hal ini menjadi penting agar fasilitasi perdagangan atau ekspor impor intra IMT-GT tidak terkendala non-fiscal barrier ini. Artinya, semua produk Aceh dapat serta merta diakui kehalalannya di Malaysia dan Thailan untuk digunakan dalam proses rantai produksi atau nilai selanjutnya. Begitu juga sebaliknya. 

 

Fasilitasi perdagangan intra IMT-GT juga mensyaratkan kejelasan prosedur bea cukai dan ekspor-impor antar negara bagi para eksportir dan importir halal. Harmonisasi dan sosialisasi prosedur perdagangan lintas batas juga harus dijelaskan secara detail dan seksama untuk para pelaku usaha. 

 

Pelaku usaha juga perlu ditingkatkan kemampuannya untuk mengadopsi sertifikasi halal, terutama UMKM. Program kemudahan sertifikasi halal dapat berupa subsidi biaya pengurusan sertifikasi halal untuk pertama kali.  Selanjutnya, pelaku usaha dapat difasilitasi kemitraan bisnis dengan pelaku usaha di sepanjang rantai nilai halal baik dengan pelaku usaha dalam Intra IMT-GT maupun dengan pelaku usaha negara tujuan pasar, termasuk untuk pemasaran berbasis digital (e-commerce)

 

Pemerintah Aceh juga perlu menyiapkan tampungan bagi investasi produksi halal di Aceh. Kawasan peruntukan investasi seperti Kawasan industri Aceh Ladong, Kawasan Ekonomi Khusus,  Kawasan Industri Perikanan PPS Kutaraja Lampulo dan kawasan/sentra industri kecil menengah lainnya perlu menyiapkan diri sebagai kawasan industry halal sesuai dengan peraturan yang ada seperti Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 17 Tahun 2020 tentang Tata Cara Perolehan Surat Keterangan dalam rangka Pembentukan Kawasan Industri Halal. 

 

Untuk mewujudkan Aceh sebagai bagian utama dari inisiatif IMT-GT Halal Economic Powerhouse ini, diperlukan kerja lintas sektor (whole of government). Leadership yang kuat oleh segala pemangku kepentingan yang diawali dengan pemahaman yang sama dan komprehensif atas inisiatif ini merupakan keniscayaan. Dengan begitu, sinergi akan secara konstan menggerakan roda mesin ekonomi halal ini secara berkelanjutan dan berdampak pada keberkahan ekonomi di Aceh. Wallahua’lam bishawab

Senin, 23 November 2020

Kemudahan Berusaha : Prasyarat Meraih Bonus Demografi


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh memprediksikan bahwa Aceh akan mengalami periode bonus demografi pada tahun 2027. Momen tersebut bertepatan dengan berakhirnya kucuran dana otonomi khusus sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Pemerintah Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Ketepatan momen tersebut seakan menyiratkan bahwa masa dimana Aceh menerima dana otonomi khusus harus sebaik-baiknya digunakan untuk memampukan provinsi paling barat Indonesia ini mencapai bonus demografi.  

Bonus demografi ditandai dengan angka ketergantungan sama atau lebih kecil dari 50.  Ketergantungan merupakan rasio dari jumlah penduduk usia tidak produktif per 100 penduduk usia produktif. Angka 50  berarti setiap satu penduduk usia lanjut dan/atau usia kanak-kanak ditanggung oleh dua orang penduduk usia produktif. Struktur demografi seperti ini memampukan penduduk usia produktif untuk mengalokasikan sumber daya ke sesuatu yang lebih produktif dan menyebabkan pekerja menjadi lebih sejahtera. 

 

Namun teori diatas hanya berlaku jika penduduk usia produktif memiliki kualitas yang baik dan memiliki pekerjaan yang layak. Data ketenagakerjaan Agustus 2020 di Aceh menunjukkan sesuatu yang harus diantisipasi. Jumlah pengangguran terbanyak berasal dari angkatan kerja berusia muda, 15-29 tahun. Pengangguran pun mempunyai karakteristik pendidikan yang relatif tinggi. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk angkatan kerja yang memiliki pendidikan universitas mencapai 8,42 persen dan pendidikan diploma (DIII) sebesar 6,67 persen, lebih tinggi dari TPT agregat sebesar 6,65 persen. TPT paling tinggi diberikan oleh angkatan kerja dengan tingkat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masing-masing sebesar 10,87 persen dan 9,39 persen. 

 

Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan utama Aceh dalam hal meraih bonus demografi adalah kesempatan kerja. Meski kualitas angkatan kerja tinggi (dihitung dari tingkat pendidikan), namun angkatan kerja tersebut lebih banyak menganggur. Kesempatan kerja merupakan permasalah demand/permintaan dalam pasar tenaga kerja (labor market). Ia direpresentasikan oleh perusahaan atau usaha. Karena itu, kemudahan berusaha (Ease of Doing Business-EoDB) merupakan salah satu hal sangat penting untuk meningkatkan permintaan tenaga kerja sehingga supply tenaga kerja dari golongan umur produktif, muda, berpendidikan tinggi dapat terserap dan menyumbang nilai tambah bagi perusahaan/usaha dan juga ekonomi. 

 

Kemudahan berusaha yang sering diperlukan oleh pengusaha adalah perizinan yang jelas, pasti dan mudah, akses pembiayaan yang terjangkau, ketersediaan lokasi usaha yang clear and clean, biaya berusaha yang pasti, infrastruktur usaha yang memadai serta tenaga kerja yang kompeten. Kiranya, hal tersebut diatas plus penguatan kewirausahaan adalah agenda utama bagi Pemerintah Aceh apabila bonus demografi ingin dicapai saat dana otsus berakhir. 

 

Ketersediaan faktor kemudahan berusaha diatas akan meningkatkan investasi, baik usaha baru yang tumbuh (start-up) maupun usaha yang ada berhasil naik kelas (scale-up). Keduanya akan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja, pada gilirannya menurunkan angka pengangguran dan kemiskinan serta meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja sehingga bonus demografi tercapai, terindikasi dengan tingkat pendapatan pekerja tinggi dan mampu memenuhi kehidupan, menyokong kebutuhan penduduk usia lanjut dan kanak-kanak (non-produktif) dan menabung atau berinvestasi untuk lebih produktif lagi.

Minggu, 22 November 2020

Tirom, Habitat and Ekonomi Kreatif



Sabtu pagi di Alue Naga, sebuah gampong di batas Kota Banda Aceh, seorang perempuan paruh baya mendayung perahu kecil,
 jalo, mendekati sebuah kontruksi sederhana di dalam perairan mirip laguna yang banyak ditumbuhi pohon bakau, tipikal suasana lingkungan pesisir Banda Aceh bagian utara. Kontruksi sederhana tersebut berbentuk persegi panjang yang mempunyai tiang pancang tertancap pada dasar lumpur. Pada kolom kontruksi tersebut, banyak tergantung paralon, ban bekas dan barang lainnya, terjuntai berada dalam air payau disitu. 

 

Perempuan tersebut ternyata memilih kerang oyster, tirom, yang hidup menempel pada barang gantungan itu. Tirom yang berukuran besar diambil sedangkan yang masih berukuran kecil ditinggalkan untuk dipanen beberapa waktu kemudian seiring dengan pertumbuhan Tirom kecil tersebut. “kamoe rojeh payah kuep tirom lam ie masen dan leuhob jeh. Bee khieng dan suum ta rasa”, kenang perempuan berkulit sawo matang itu tentang pekerjaan yang sudah dilakoni selama puluhan tahun. Namun, ia mengaku kalau pekerjaan saat ini lebih mudah setelah adanya kontruksi budidaya kerang tersebut. Hasil kerang yang dipanen pun lebih besar dan harganya lebih baik. 

 

Kontruksi budidaya tirom ini berfungsi sebagai refuge bagi ribuan larva dari tirom. Allah SWT telah menakdirkan sebuah tirom dewasa dapat memproduksi telur puluhan ribu. Kemudian menjadi larva mengapung di air mengikuti arus air. Nasib larva dapat berakhir tragis karena menjadi santapan makhluk yang berada di rantai makanan lebih tinggi. Hidupnya juga dapat berakhir karena lingkungan salinitas yang diatas ambang, misalnya saat ia sampai ke laut atau dibawa arus pasang hingga ke perairan yang lebih tawar. Kontruksi budidaya tersebut menyediakan habitat bagi para larva ini menempel ketika ia melewatinya. Metamorfosa kehidupannya pun dimulai hingga menjadi lebih besar dan siap diproduksi dan dikonsumsi. 

 

Sepertinya, perjalanan hidup dari Tirom yang kerap kita santap sebagai kuah tumis ataupun campuran dalam mie goreng basah juga berlaku bagi pengembangan pelaku ekonomi kreatif. Pelaku ekonomi kreatif butuh habitat agar ia berkembang. Allah SWT menciptakan manusia dengan kapasitas kecerdasan dan kreatifitas. Kapasitas tersebut dapat menjadi stunting akibat asupan  dan lingkungan yang tidak memadai atau kondusif. Dus, jika ingin agar Aceh memiliki stok pelaku ekonomi kreatif yang mampu memproduksi dan laku dijual, habitat yang baik merupakan hal yang tidak boleh tidak untuk disediakan. 

 

Ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor ekonomi yang relatif baru dan mengalami perkembangan pesat. Laporan UNCTAD menyebutkan rerata pertumbuhan perdagangan produk kreatif global berkisar 7 persen lebih. Dalam kurun waktu, 2002 hingga 2015 terjadi penggadaan pangsa pasar perdagangan kreatif ini dari $208 Milyar menjadi $509 Milyar. 

 

Ekonomi kreatif mempunyai definisi yang hampir sama dengan ekonomi pengetahuan atau ekonomi informasi. Secara umum, ia menggabungkan kreatifitas, ide, hak cipta dan teknologi dalam memproduksi inovasi. Ekonomi ini, menurut Jhon Newbigin, mempunyai 13 sektor, yaitu periklanan, arsitektur, seni, produk kerajinan, desain, tata busana, film, games, musik, seni pertunjukan, publikasi, software dan TV serta Radio. 


Faktor produksi yang paling penting dari sektor ekonomi ini adalah sumber daya manusia. Fakta ini menjadi relevan saat ini di tengah perkembangan otomasi dan kecerdasan buatan atau yang lebih dikenal dengan Industry 4.0. Otomasi dan kecerdasan buatan akan segera menggantikan kemampuan manusia yang bersifat fisik dan repetisi hingga fungsi logis sederhana hingga kompleks. Ironisnya, kedua teknologi tersebut merupakan produk dari ekonomi kreatif sendiri. Karena itu, satu-satunya cara untuk tetap membuat manusia lebih unggul dari otomasi dan kecerdasan buatan adalah dengan menjadi lebih kreatif. 

 

Kreatifitas merupakan sumber daya yang tidak pernah habisnya. Masing-masing individu mempunyai tingkat kreativitas yang unik. Kreatifitas akan menghasilkan inovasi atau bernilai ekonomi yang signifikan  apabila terjadi kolaborasi antar pelaku kreatif. Ini yang menjadi salah satu alasan Google sebagai perusahaan di sektor kreatif mendesain ruang kerja dan fasilitas  (habitat) untuk mendorong pekerja kreatifnya untuk berkolaborasi. Misalnya, Google menyediakan fasilitas makan siang gratis di cafetaria atau restoran kantor untuk memberikan kesempatan pertemuan antar pelaku kreatif lintas departemen sehingga terjadi pertukaran ide baru antar mereka dan menghasilkan sebuah produk inovasi.

 

Belajar dari filosofi tirom dan best practice dari pelaku usaha yang sukses, Pemerintah Aceh perlu menciptakan habitat bagi pelaku ekonomi kreatif untuk tumbuh dan berkembang. Creative spacecreative hubtechno parks merupakan senarai nomenklatur untuk habitat tersebut. Habitat ini dilengkapi dengan fasilitas yang dibutuhkan oleh pelaku ekonomi kreatif untuk berkolaborasi dan menghasilkan produk dan jasa inovatif. Fasilitas tersebut diantaranya adalah infrastruktur digital, dan inkubasi  yang tersedia dalam klaster-klaster kreatif. Penulis mengusulkan  habitat kreativitas tersebut dapat dibangun dalam areal Dinas Koperasi dan UKM Aceh di Lampineung (Kota Baru) dan Taman Budaya Aceh di Seutui yang merupakan aset pemerintah.

 

Selain itu, kebijakan pendidikan formal yang menekankan pada pengembangan kreatifitas siswa, perluasan akses pembiayaan baik berbasis pinjaman atau investasi, hingga pembelian produk dan jasa kreatif  merupakan pilinan pendekatan supply and demand yang efektif bagi pengembangan ekonomi kreatif secara berkelanjutan. 

 

Upaya mengembangkan habitat ini mensyaratkan kolaborasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta. Pemerintah perlu memulai siklus dari pengembangan ekonomi kreatif ini. Apabila ia sudah dapat menciptakan pasar yang dinamis, maka ketergantungan kepada anggaran pemerintah akan semakin berkurang dan bahkan akan membalas dengan pembentukan ouput ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Wallahu a’lam bisshawab.

Note : ilustrasi diunduh dari https://redbooth.com 

Rabu, 18 November 2020

Reformulasi Alokasi Dana Otsus Berbasis Kinerja

"Perkembangan indikator pembangunan ( ) menyiratkan perlu ada perubahan kebijakan pembangunan, terutama kebijakan belanja pemerintah. Anggaran yang makin besar sudah mulai menghasilkan perbaikan lebih lambat (diminishing return). Salah satu yang perlu diperbaiki adalah kebijakan transfer fiskal ke kabupaten/kota"



Salah satu pembeda Aceh sebagai daerah istimewa dibanding dengan rerata provinsi lainnya di Indonesia adalah alokasi dana otonomi khusus (otsus). Dana otsus merupakan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Dana otsus menjadi instrumen fiskal untuk menjawab raison d’
être UU PA, yaitu membangun kembali masyarakat Aceh pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami serta merawat perdamaian sehingga kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terwujud.

 

Dana ini dialokasikan selama 20 tahun dengan besaran setara 2 persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional untuk tahun 2008 hingga 2002 dan setara 1 persen dari pagu DAU Nasional untuk tahun 2023 hingga 2027. Sebagai konsekuensi logis dari amanat UU PA ini, Pemerintah Aceh telah menerima transfer dana otonomi khusus sebesar Rp. 76,84 Trilyun dalam kurun waktu 2008-2020. Transfer fiskal ini telah menyebabkan Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki pengeluaran pemerintah per kapita tertinggi di Indonesia.

 

Kapasitas fiskal yang relatif besar ini diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan masyarakat seperti penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan  serta peningkatan ekonomi dan indeks pembangunan manusia (IPM). Meskipun ada perbaikan, namun ada kecenderungan yang perlu diperhatikan dan diantisipasi. Tingkat kemiskinan memang mengalami penurunan tapi juga ada trend penurunan yang melambat. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi dan pengangguran yang masih berada dibawah rerata kinerja nasional. Selanjutnya, IPM juga menunjukkan tren yang membaik, namun melambat. Pada tahun 2012 IPM Aceh disalip oleh IPM Nasional dimana pada tahun sebelumnya Aceh membukukan IPM yang lebih tinggi dari IPM Nasional. Ini artinya perbaikan IPM rata-rata provinsi lainnya lebih cepat dari Aceh. 

 

Niat Baik Saja Tidak Cukup 

 

Perkembangan indikator pembangunan diatas menyiratkan perlu ada perubahan kebijakan pembangunan, terutama kebijakan belanja pemerintah. Anggaran yang makin besar sudah mulai menghasilkan perbaikan lebih lambat (diminishing return). Salah satu yang perlu diperbaiki adalah kebijakan transfer fiskal ke kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui, Kinerja Aceh merupakan akumulasi dari kinerja 23 kabupaten/kota di wilayahnya. 

 

Saat ini, transfer fiskal dana otsus, atau dikenal dengan DOKA, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh qanun. Ada 4 kriteria yang menentukan besarnya alokasi DOKA di kabupaten/kota, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, nilai indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan nilai IPM. Kriteria ini belum berubah sejak saat Dana Otsus mulai digunakan, meski sudah kali 3 kali perubahan qanun terkait tata cara penggunaan dana otsus ini. Bahkan pada perubahan terakhir dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2018, 4 kriteria tersebut dikunci dengan menghilangkan kalimat “indikator lainnya yang relevan” sebagai katup pengaman jika diperlukan perubahan kriteria. 

 

Tiga kriteria pertama berhubungan positif dengan besarnya DOKA, sedangkan satu kriteria terakhir mempunyai hubungan sebaliknya. Kriteria terakhir tersebut berarti makin kecil IPM makin besar DOKA yang diterima. Mungkin para pengambil kebijakan saat itu bermaksud agar kabupaten/kota dengan IPM rendah dapat memacu IPM melalui kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, maksud baik tersebut belum sesuai harapan. Secara total, IPM Aceh sebagai akumulasi IPM Kab/Kota tumbuh lebih rendah dari daerah lain.

 

Kriteria alokasi DOKA tersebut bersifat pemerataan. Kabupaten/Kota menerima alokasi ini secara take for granted. Tidak cukup insentif untuk memperbaiki kinerja pembangunan. Bahkan kriteria tersebut dapat disalah-artikan dengan status-quo IPM yang rendah demi alokasi yang tinggi. Demikian juga dengan faktor lain seperti IKK dan jumlah penduduk sehingga insentif untuk menjaga inflasi dan pertumbuhan penduduk menjadi tidak optimal. 

 

Anggaran Fastabikhul Khairat

 

Perubahan kebijakan transfer ini dirasa makin mendesak apabila dilihat dari periode Aceh mendapatkan dana otsus. Pendapatan Aceh yang berasal dari dana otsus yang setara dengan 2 persen DAU tinggal 2 tahun anggaran (TA) lagi, yaitu TA 2021 dan 2022. Bahkan untuk tahun TA 2021, alokasi DOKA sudah ditetapkan menggunakan pendekatan Business as Usual. 5 tahun anggaran selanjutnya, Aceh menerima dana otsus separuhnya atau setara dengan 1 DAU Nasional. Sisa waktu dan besaran dana transfer yang makin sempit dan berkurang seharusnya memberikan sense of urgency bagi perbaikan kebijakan penggunaan dana otonomi khusus. Kebijakan transfer anggaran nasional juga mulai beralih pada berbasis kinerja seperti peningkatan alokasi Dana Insentif Daerah (DID). 

 

Perubahan kebijakan anggaran yang perlu dilakukan adalah reformulasi kriteria alokasi dana otonomi khusus. Selain berdasarkan pemerataan, kriteria alokasi perlu berbasis kinerja. Kriteria alokasi berbasis kinerja dapat diberikan secara agregat berdasarkan capaian nominal dari indikator berbasis kinerja dan capaian incremental perbaikan kinerja tersebut dengan masing-masing bobot yang disepakati bersama antara legislatif dan eksekutif. 

 

Kriteria baru untuk alokasi dana otonomi khusus dirumuskan berdasarkan kinerja yang ingin diperkuat oleh Pemerintah Aceh. Kriteria tersebut ditujukan untuk penguatan modal manusia (human capital) seperti peningkatan kualitas pendidikan dan/atau penurunan angka stunting bahkan untuk perbaikan kinerja daya saing investasi atau ease of doing business sebagai fondasi ekonomi yang berkelanjutan berbasis bisnis masyarakat dan lepas dari ketergantungan APBA setelah dana otsus berakhir. 


Kebijakan baru ini akan memberikan dorongan yang kuat. Apabila kabupaten/kota mampu meningkatkan kinerja atau perbaikan, maka DOKA yang akan didapat lebih besar. Insentif ini akan menciptakan daya saing 23 kabupaten/kota untuk melakukan fastabikhul khairat (race-to-the-top). Ilmu kebijakan publik pun mengenal istilah “people respond to incentives”, bahwa manusia bertindak sesuai dengan insentif yang diterimanya. Ketika sebuah prestasi diberi penghargaan, maka Pemerintah Kabupaten/Kota  akan berlomba untuk berprestasi sehingga berdampak pada perbaikan indikator pembangunan Aceh secara lebih cepat.  Prinsip insentif ini juga merupakan sunnatullah. Bukankah Allah SWT mengatur dunia ini dengan memberikan insentif bagi manusia. Syurga bagi pelaku kebaikan dan neraka bagi yang membuat kerusakan. Wallahu a’lam bisshawab. 

 Disalin dari https://www.rmolaceh.id/reformulasi-alokasi-dana-otsus-berbasis-kinerja

Politik Anggaran, Kalimatun Sawa dan Regional Approach


"Kepentingan politisi, baik kepala daerah dan maupun anggota parlemen, adalah dipilih kembali (re-elected) (...) Sedangkan aparatur pemerintah memiliki kepentingan untuk dipromosikan (promoted)"


Hubungan eksekutif dan legislatif seharusnya ibarat hubungan antara seorang petinju dan sparring partner-nya. Mereka berdua terlihat saling menyerang di dalam ring dengan tujuan untuk meningkatkan keunggulan dan memperbaiki kelemahan petinju. Pertarungan itu bukan untuk saling mengalahkan, tapi menguatkan sang petinju saat menghadapi lawan sebenarnya. 

 



Eksekutif dan Legislatif Aceh saat ini terlihat sangat harmonis. Berita Serambi Indonesia, Selasa 10 November 2020, memberitakan kedua pihak sepakat untuk menuntaskan APBA di akhir November 2020. Ketepatan pengesahan APBA akan menguntungkan perekonomian Aceh karena peran anggaran pemerintah sangat instrumental dalam perekonomian Aceh.  Harmonisasi hubungan ini perlu dikekalkan secara positif, yaitu harmonis pada tujuan pembangunan dan kemudian selaras pada kebijakan dan tindakan. Jangan sampai harmonisasi ini ibarat pertandingan semu antara petinju dan sparring partner yang ingin nyaman, tidak saling kritik untuk memperbaiki dan berakibat pada lemah lunglainya sang petinju dihadapan petinju juara bertahan atau permasalahan pembangunan. 

 

Pengalaman beberapa tahun dan juga jamak terjadi di daerah lain, disharmonisasi antara eksekutif dan legislatif sering kali berawal dari disharmonisasi terkait anggaran. Hak terhadap kebijakan anggaran (budgeting) yang merupakan hak yang dimiliki bersama kerap kali menjadi peruncing, bahkan gunting. Kegagalan bersepakat dalam alokasi anggaran karena alasan apapun menyebabkan molornya pengesahan APBD atau bahkan menyebabkan APBD dilahirkan secara yatim atau piatu dengan peraturan kepala daerah. 

 

Dalam politik, ada adagium yang lantang terdengar. “Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.  Berangkat dari adagium tersebut dan untuk mencari harmonisasi yang hakiki, kiranya perlu dicari apa yang paling layak dan tepat untuk dijadikan sebuah tujuan yang mengakomodir kepentingan para pihak. 

 

Rasulullah SAW seperti diabadikan pada QS Ali Imran : 64 mengajak pada satu tujuan yang sama (kalimatun sawa) kepada pada petinggi kaum Nasrani dan Yahudi dalam berinteraksi satu sama lainnya. Para pihak tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar dan diametral. Meskl demikian, kondisi itu tidak membuat Nabi tidak melakukan konsensus untuk hidup harmonis lintas agama. 

 

Dalam urusan politik dan pemerintahan Aceh, kalimatun sawa tersebut adalah kesejahteraan masyarakat. Gubernur/Bupati/Walikota dan Anggota DPRA merupakan pelaku politik yang dipilih oleh rakyat dengan mandat tunggal, menyejahterakan rakyat. Begitu juga dengan aparatur pemerintah ditugaskan untuk membantu politisi menuntaskan mandat tadi.

 

Sejatinya, tujuan bersama ini dapat mengakomodir kepentingan para pihak secara sinergis. Kepentingan politisi, baik kepala daerah dan maupun anggota parlemen, adalah dipilih kembali (re-elected) oleh konstituen (rakyat). Rakyat memilih kembali para politisi karena merasa ada peningkatan kesejahteraan akibat kinerja para politisi dalam pembangunan termasuk dalam mengalokasikan anggaran pembangunan.   Sedangkan aparatur pemerintah memiliki kepentingan untuk dipromosikan (promoted). Promosi diberikan akibat kinerja aparatur melaksanakan kebijakan yang disepakati para politisi.

 

Dari skala wilayah peningkatan kesejahteraan, Gubernur memiliki tanggung jawab terhadap pemilihnya dalam satu provinsi. Anggota parlemen memiliki tanggung jawab yang lebih kecil yaitu daerah pemilihan. Daerah pemilihan (dapil) dapat terdiri dari satu kabupaten ataupun kumpulan beberapa kabupaten/kota. Keterkaitan kepentingan kepala daerah dan anggota legislatif adalah secara kewilayahan. Kinerja provinsi adalah akumulasi dari kinerja daerah pemilihan. Karena itu pendekatan regional (regional approach) merupakan common strategy atau kebutuhan strategi bersama dalam mendukung pencapaian tujuan bersama (kalimatun sawa) sekaligus membela kepentingan politis (re-election). 

 

Berdasarkan hal tersebut, eksekutif dan legislatif seharusnya mempunyai insentif yang kuat untuk berkerjasama dalam menyukseskan pembangunan di Aceh maupun di setiap dapil. Pendekatan regional menjadi pendekatan yang tepat dalam merencanakan pembangunan. Eksekutif dan legislatif secara bersama perlu menganalisis permasalahan spesifik dan sensitif di masing-masing dapil. 

 

Permasalah sensitif adalah masalah yang dapat mempengaruhi permasalah spesifik di dapil tertentu, meskipun terkadang permasalahan sensitif tersebut berada di luar dapil. Misalnya untuk meningkatkan pendapatan petani jagung di Kabupaten Bireun, permasalahan pabrik pakan di kabupaten Aceh Besar harus diselesaikan agar produksi jagung di Bireun dapat terserap oleh pabrik tersebut. Pemahaman bersama terkait permasalahan spesifik dan sensitif selanjutnya ditindaklanjuti dengan kebijakan anggaran pembangunan yang koheren dan terintegrasi yang menyebabkan efektifitas pembangunan. 

 

Pendekatan regional ini juga berimplikasi pada perubahan cara kerja aparatur pemerintah. Pendekatan saat ini yang dominan sektoral dan cenderung silo perlu dimodifikasi menjadi tematik lintas sektoral. Setiap aparatur sudah harus mempunyai pengetahuan yang lebih luas, diluar dari tupoksi sektoralnya. Misalnya aparatur bekerja di bidang yang mempunyai tugas pada peningkatan produksi juga harus mempunyai pengetahuan di bidang pengolahan dan pemasaran bahkan penanaman modal. Begitu juga, ASN yang ditugaskan untuk menganalisis permasalahan di kabupaten/kota tertentu tidak boleh menutup mata pada permasalahan di kabupaten/kota lainnya, apalagi jika kabupaten/kota tersebut terhubung dalam sebuah mata rantai permasalahan yang berskala provinsi, nasional bahkan internasional. 

 

Interaksi antara aparatur pemerintah, kepala daerah dan anggota parlemen perlu berjalan secara baik dan erat serta sinergis sesuai dengan mandat tugas masing-masing. Apabila keterpaduan ini bisa diwujudkan, maka kepentingan masing-masing pihak dapat terpenuhi dan yang paling penting adalah tujuan kemakmuran rakyat akan tercapai. 

 

Sebagai catatan, konstelasi relasi kalimatun sawa dan kepentingan eksekutif dan legislatif yang positif seperti tersebut diatas perlu dijaga dan diperkuat oleh masyarakat sendiri. Rakyat harus memilih politisi berdasarkan kualitas kebijakan dan/atau kinerja pembangunan, bukan karena yang lain seperti kedekatan atau serangan fajar. Apabila rakyat memilih para politisi tidak berdasarkan kinerja, maka besar kemungkinan bahwa tidak akan ada konsensus bersama untuk kesejahteraan rakyat. Aparatur pun akan bekerja tidak optimal karena tidak ada tuntutan serius dari politisi yang terpilih. Alhasil, petinju Kembali keok terkulai lemah di sudut ring sambil menatap nanar lawan merayakan kemenangan. Wallahua’lam bisshawab


Note : Ilustrasi diundung dari https://nutterinvestments.com

Jumat, 25 September 2020

Konektivitas : Kuda Troya atau Buraq ?

 “Konektivitas bukanlah sebuah tujuan. Pengambil kebijakan harus melihat lebih jauh dari sekedar membangun jalan dan membeli kapal (beyond connectivity). Konektivitas merupakan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan rakyat Aceh. Ibarat pisau, konektivitas ini memiliki dua sisi tajam”

 

Pemerintah Aceh saat ini sedang gencar membangun konektivitas. 3 kapal Roll-on/Roll-off (Ro-Ro) sedang dibangun di tiga galangan berbeda. Produksi paralel ini akan mempercepat penyelesaian 3 kapal yang akan diberi nama lambung dengan tagline “Aceh Hebat” agar konektivitas ke daerah kepulauan di Aceh semakin baik. Tidak berhenti disitu, 12 ruas jalan yang menghubungkan daerah pesisir timur, dataran tinggi di bagian tengah dan pesisir barat Aceh hingga kepulauan juga digenjot melalui skema pembangunan tahun jamak. Meskipun diterpa oleh riak politik, pembangunan ini mendapat dukungan para bupati/walikota dan masyarakat yang merasa akan terdampak positif dari pembangunan jalan tembus ini. 

 

Momentum pembangunan infrastruktur konektivitas diatas adalah tepat, bahkan santing. 3 tahun anggaran lagi kemampuan fiskal Aceh akan berkurang. Pada tahun anggaran 2023, Aceh mengalami pengurangan transfer dana otonomi khusus yang semula mendapatkan 2 persen dari DAU Nasional, menjadi 1 persen hingga 2027. Jika dalam sisa waktu tersebut tidak dapat dibangun sesuatu yang fundamental dan punya daya ungkit sesuai dengan semangat Dana Otonomi Khusus dalam UUPA, maka Aceh akan kesulitan untuk melakukan konvergensi dengan rerata provinsi di Indonesia akibat kapasitas anggaran yang terbatas. Apalagi pembangunan konektivitas kewenangan provinsi ini bersamaan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional  Jalan Tol Banda Aceh-Sumut. Ketika kedua kewenangan ini tersambung akan membuat tingkat konektivitas Aceh akan semakin mantap. 

 

Namun perlu dipahami bahwa konektivitas bukanlah sebuah tujuan. Pengambil kebijakan harus melihat lebih jauh dari sekedar membangun jalan dan membeli kapal (beyond connectivity). Konektivitas merupakan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan rakyat Aceh. Ibarat pedang, konektivitas ini memiliki dua sisi tajam. Apabila tidak tepat digunakan dapat mencelakakan penggunanya. Sebaliknya, penggunaan yang bijaksana akan memudahkan pengguna untuk meraih apa yang ingin dicapai. 

 

Kuda Troya Konektivitas 

 

Abad 12 Sebelum Masehi, Pasukan Yunani hendak menguasai sebuah kota bernama Troya. Meskipun sudah lama mengepung, Benteng Kota Troya tidak berhasil ditembus. Akhirnya, Pihak Yunani membangun patung kuda yang besar dan gagah yang berisi pasukan di dalamnya kemudian ditinggalkan di dekat pintu benteng kota. Pasukan Yunani berhenti mengepung dan seakan bergerak menjauhi Troya. Sepeninggal pasukan, para tentara Troya membawa patung kuda tersebut ke dalam benteng. Pada saat malam hari, Pasukan Yunani yang berada di dalam patung kuda tersebut keluar dan membuka gerbang benteng hingga akses masuk ke Kota Troya terbuka lebar untuk pasukan Yunani yang berada di luar dan berhasil menaklukkan Kota Troya yang sedang lengah. 

 

Aceh saat ini memiliki “musuh”. Salah satunya adalah defisit perdagangan yang berimplikasi pada rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh. Serbuan produk luar Aceh dapat lebih jauh menusuk ke jantung Aceh melalui konektivitas yang sedang dibangun. Produk luar yang lebih menarik dan murah dapat mematikan produk lokal yang kurang kompetitif. Jika skenario ini terjadi, maka ekonomi Aceh akan terkuras keluar. 

 

Salah satu bentuk infiltrasi negatif lainnya yang mungkin terjadi adalah kerusakan lingkungan dan budaya. Konektivitas yang diberikan oleh 12 ruas jalan juga memberikan akses ke daerah sensitif seperti kawasan hutan sehingga meningkatkan risiko pembalakan liar dan degradasi hutan yang saat ini masih menjadi salah satu paru-paru dunia. Begitu juga dengan daerah kepulauan yang memiliki keindahan alam bahari, konektivitas dapat mendorong mass tourism yang dapat meningkatkan kerapuhan (fragility) ekosistem pesisir dan laut serta budaya lokal dari sisi negatif dari sebuah aktivitas pariwisata massal. 

 

Konektivitas sebagai Buraq  

 

Tentunya kita tidak ingin konektivitas yang sedang dibangun akan menjadi kuda troya yang malah memberikan buntung bagi Aceh. Konektivitas yang diinginkan adalah sebagai sarana dan prasarana yang mempercepat pembangunan Aceh mencapai visi jangka Panjang Aceh; Aceh Islami, Maju, Damai dan Sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA).   

 

Anti Tesis dari Kuda Troya adalah Buraq. Buraq adalah kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Isra’ Mi’raj hingga Nabi sampai ke Sidratul Muntaha (Syurga) dalam waktu yang singkat karena kecepatan Buraq menyerupai kecepatan cahaya atau lebih. Dalam beberapa literatur Buraq ini digambarkan sebagai Kuda Terbang. 

 

Dalam skenario ini, konektivitas akan mendorong kesejahteraan Aceh melalui efisiensi logistik sehingga memudahkan transportasi komoditas dan produk lokal untuk dipasarkan dan sekaligus menjadi daya tarik investasi dalam rangka hilirisasi komoditas unggulan. Mobilitas sosial akan lebih mudah sehingga dapat meningkatkan pertukaran budaya dan pengetahuan. Dampak positif lainnya adalah membuat kesenjangan antar daerah di Aceh akan menipis dan mengangkat kinerja pembangunan Aceh sebagai akibat dari resultansi kinerja kabupaten/kota secara keseluruhan. 

 

Tentunya skenario baik ini tidak terjadi dengan sendirinya. Kondisi awal yang menunjukkan trend negatif seperti defisit perdagangan yang terus naik, laju deforestasi yang mengkhawatirkan, konflik pariwisata dan adat gampong akan dapat berwujud menjadi kuda troya, apabila tidak dihentikan atau diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan efisiensi produksi produk lokal, perlindungan dan pengembangan kualitas hutan dan lingkungan serta penguatan budaya. 

 

Pembangunan konektivitas yang masif ini secara proporsional harus diikuti dengan pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Di sepanjang ruas jalan, perlu didorong pusat pertumbuhan yang menfasilitasi kegiatan peningkatan nilai tambah (hilirisasi) dari peningkatan produksi dan produktifitas komoditas, daya saing tenaga kerja dan UMKM hingga efisiensi dan kualitas produk dan jasa yang terkait komoditas tersebut. Usaha perlindungan Kawasan hutan perlu didukung dengan teknologi indera jauh, keterlibatan masyarakat hingga penegakan hukum yang konsekuen. Begitu juga dengan revitalisasi institusi sosial budaya yang mampu menjaga harmonisasi antara nilai budaya/agama dengan perkembangan pembangunan menjadi penting agar proses pembangunan Aceh dapat berjalan aman, damai dan minim konflik. 

 

Apabila hal tersebut diatas direncanakan secara komprehensif, diimplentasikan secara cermat dan diawasi secara teliti, Insya Allah konektivitas yang sedang dibangun ini akan menjadi Buraq atau kuda terbang yang mempercepat transformasi potensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya Aceh menjadi kondisi Aceh yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghaffur. Insya Allah. 

Rabu, 26 Agustus 2020

Mewujudkan Aceh sebagai Episentrum Ekonomi Baru

Dalam kata sambutan peresmian jalan tol pertama di Aceh ruas Banda Aceh-Sigli Seksi 4 (25/08/2020), Presiden Jokowi berharap Aceh menjadi episentrum pertumbuhan ekonomi baru di Sumatera. Kata “episentrum” lazim digunakan di bidang geologi kegempaan. Ia berarti titik di permukaan bumi yang posisinya tegak lurus dengan titik sumber gempa (hiposentrum).  Semakin dekat dengan hiposentrum atau epicentrum, maka getaran gempa semakin besar terasa. 

 

Jika dianalogikan pada perekonomian, episentrum ekonomi mempunyai arti titik atau daerah yang memiliki kekuatan getaran ekonomi yang besar. Jika dalam kegempaan, getaran diukur dengan Skala Richter atau MMI, Besarnya getaran ekonomi di sekitar episentrum diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atau total nilai tambah yang diproduksi Aceh sebagai titik episentrum.

 

PDRB mempunyai mempunyai 17 sektor yang terkoneksi dalam sebuah rantai nilai hulu dan hilir. Koneksi antar sektor dan terjadinya pertambahan nilai berujung pada peningkatan total ouput ekonomi Aceh. Koneksi pertambahan nilai ini disebut dengan hilirisasi. Sebagai contoh, sektor kelautan dan perikanan Aceh menghasilkan banyak ikan bernilai tinggi, kemudian mendorong industri pengolahan ikan untuk menciptakan nilai tambah lebih tinggi. Ketersediaan ikan dan produk olahan ikan akan melahirkan aktivitas perdagangan dalam negeri maupun luar negeri (ekspor) dan juga menyediakan kesempatan ekonomi baru di sektor jasa seperti pendidikan berbasis kelautan perikanan hingga jasa pembiayaan kelautan dan perikanan. Sepanjang proses hilirisasi ini akan diperoleh akumulasi nilai tambah yang akan menambah total output ekonomi (rupiah) sekaligus menyerap tenaga kerja yang dapat berimplikasi pada  pengurangan angka kemiskinan. 

 

Hilirisasi sebagai proses dan episentrum sebagai outcome tidak terjadi dengan sendirinya. Hilirisasi atau pertambahan nilai dilakukan oleh swasta atau pelaku usaha. Sebagai konsekuensi logis dari keinginan untuk menjadikan Aceh sebagai episentrum, maka usaha atau perusahaan harus ada dan dirangsang untuk ada di setiap rantai nilai komoditas atau sumber daya. Karena itu, kemudahan berusaha atau ease of doing business(EoDB) di Aceh harus menjadi fokus utama Pemerintah Aceh dalam membangun episentrum ekonomi.  

 

Reformasi Struktural 

 

Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah reformasi struktural. Reformasi ini berkaitan dengan perubahan cara kerja pemerintah dalam mendorong kepastian dan kemudahan berusaha. Paradigma supply-driven yang berorientasi pada serapan belanja perlu dirubah menjadi berbasis outcome, atau demand-driven

 

Regulasi perlu dibuat untuk memaksimalkan kepastian dan kemudahan bagi tumbuhnya usaha. Untuk ini, komunikasi yang intens antara pengambil kebijakan dan pengusaha perlu dilakukan secara berkala dalam suasana yang egaliter dan berorientasi pada pengembangan ekonomi secara demokratis.

 

Bentuk kepastian yang dibutuhkan oleh usaha adalah lahan. Lahan masih menjadi kendala bagi tumbuh usaha atau investasi di Aceh seperti dalam kasus investasi Pabrik Semen di Laweung. Bahkan, di lahan milik pemerintah pun masih ditemui keluhan dari usaha atau investor terkait kepastian jangka waktu pemanfaatan sehingga para usahawan merasa pasti dan yakin untuk memulai usaha.

 

Selanjutnya,  kebutuhan biaya berusaha juga perlu dipastikan. Biaya tidak resmi dari praktik premanisme atau pungutan liar dari pihak yang tidak bertanggung jawab perlu ditiadakan atau diminimalkan. Bagi pengusaha, ketidakpastian lebih menakutkan dari pada biaya mahal dalam mengambil keputusan bisnis. Ketidakpastian membuat pengusaha tidak berani mengambil keputusan sedang biaya mahal dapat diperhitungkan dan dibandingkan dengan potensi laba sehingga keputusan dapat dilakukan oleh pengusaha. 

 

Selain itu, kejelasan tahapan, kewenangan hingga kepastian waktu perizinan penting untuk mendukung kemudahan berusaha di Aceh. Sering untuk melakukan reformasi struktural diperlukan deregulasi yang dapat berupa merevisi peraturan yang sudah ada atau membuat peraturan yang belum ada dengan tujuan untuk mendorong kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dan juga menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyat. 

 

Efisiensi Ekonomi

 

Secara umum, motivasi dari pelaku usaha adalah maksimalisasi profit. Meski saat ini sudah berkembang varian baru dari pengusaha yang disebut social entrepreneur, yang mengabungkan profit dan dampak sosial sebagai tujuan berusaha. Profit merupakan hal krusial dan menentukan keberlanjutan dari usaha tersebut.  Faktor yang paling menentukan profit adalah efisiensi. 

 

Ketersediaan infrastruktur yang berkualitas akan meningkatkan efisiensi, baik dari sisi biaya logistic maupun biaya input. Kehadiran jalan tol yang terkoneksi dengan ruas jalan provinsi yang  menghubungkan sentra produksi di seluruh kabupaten/kota di Aceh hingga pelabuhan dan bandara akan menyebabkan ongkos transportasi turun dan mendorong efisiensi. Begitu juga ketersediaan listrik dan air bersih akan menghemat ongkos produksi. 

 

Saat ini ada infrastuktur krusial yang diperlukan secara mantap, yaitu infrastruktur telekomunikasi atau digital. Digitalisasi hilirisasi atau sering disebut dengan Industri 4.0 menuntut infrastruktur digital hingga ke gampong jika kita ingin memastikan usaha di tingkat pelosok ikut dalam ekonomi yang saling terkait. 

 

Faktor efisiensi selanjutnya yang perlu diadakan adalah skala ekonomi  dan ketersediaan bahan baku dan produk baik secara kuantitas, kualitas dan kontinuitas. Hal ini berkaitan dengan kapasitas produksi dari pelaku usaha di rantai nilai sebelumnya.  Sebuah industri akan efisien dibangun apabila bahan baku tersedia memenuhi skala ekonomi dari kapasitas produksi industri tersebut. Karena itu, peningkatan produktifitas menjadi mutlak dipastikan. Peningkatan produktifitas ini dilakukan melalui penguasaan teknologi, peningkatan etos dan keterampilan teknis pekerja hingga penguatan modal sosial dan kelembagaan terutama dalam hal berkerjasama dalam meningkatkan produksi. 

 

Salah satu cara untuk dapat meningkatkan produktifitas adalah melalui penciptaan aglomerasi produksi barang dan jasa atau membangun sentra/kawasan. Sebuah sentra atau Kawasan mengumpulkan beberapa unit produksi baik itu bekerja sama atau bahkan berkompetisi secara sehat hingga saling belajar (spillover) terkait metodologi atau teknologi baru yang dapat meningkatkan kapasitas produksi barang dan jasa di wilayah tersebut.  

 

Reformasi struktural yang menghasilkan kualitas regulasi dan layanan Pemerintah yang memudahkan berusaha, ketersediaan infrastruktur yang mantap dan produktifitas sumber daya manusia akan menciptakan ekosistem usaha yang lengkap dan saling mendukung sehingga setiap benih usaha yang tumbuh akan cepat berkembang dan produktif. Beragam usaha yang berkembang di sepanjang rantai nilai ekonomi ini akan menambah nilai dan total ekonomi (PDRB) sehingga Aceh sebagai episentrum ekonomi baru di Sumatera adalah keniscayaan. 

 

Sebagai catatan akhir, skenario diatas hanya dapat terwujud apabila didukung sistem politik yang inklusif dan berorientasi jangka panjang.  Interaksi dan soliditas positif antar komponen politik eksekutif, legislatif dan yudikatif yang didukung oleh rakyat yang aktif dan terinformasi, akibat tata kelola pemerintahan yang baik (akuntabilitas dan transparansi), merupakan enabler atau pemampu skenario Aceh sebagai episentrum ekonomi baru terwujud.  Wallahu a’lam.