Tulisan
ini mencoba untuk mensyarah secara sederhana tentang pemikiran Wali Nanggroe
Hasan Muhammad di Tiro terkait pembangunan yang tercatat dalam buku karangan
beliau “Atjeh bak Mata Donya”,
terutama pada bab terakhir (VII) yang bertajuk, ”Kemeurdehkaan den
Keumakmuran”. Tampaknya tulisan ini menjadi relevan karena tidak lama setelah
tinta perdamaian dibubuhkan, Aceh dipimpin oleh murid-murid ideologi sang wali.
Sekaligus, tulisan ini diharapkan memperkaya khazanah kebijakan pembangunan
Aceh dalam usaha membawa Aceh kembali pada kejayaannya.
Hasan Tiro menyiratkan alasan dari memudarnya kejayaan Aceh berasal dari kombinasi dua keadaan. Pertama, adanya sebuah kekuatan eksternal yang secara sistemik menggerogoti sumberdaya Aceh. Kedua, merebaknya sebuah mentalitas dan pola pikir inferior di kalangan masyarakat.
Institusi Ekstraktif dan
Mentalitas Budak
Sejarah
mencatat bahwa puncak kejayaan Aceh berada pada masa Sultan Iskandar Muda dan
kemudian perlahan kejayaan Aceh memudar. Secara bersamaan, kolonialisme Eropa
mulai menyentuh kawasan sekitar Aceh, mengganggu tata niaga komoditas
perdagangan dan mencaplok kedaulatan negara dengan kekuatan militer. Sejarawan
pembangunan menganggap bahwa kolonialisme mempunyai peran sangat signifikan
dalam membalikkan kejayaan menjadi kehinaan bagi negara jajahan, terutama di
kawasan tropis. Acegmolu dan Robinson (2012) dalam bukunya “Why Nations Fail” menyebutkan tata niaga
monopolistik yang dibangun oleh Belanda melalui kekuatan militer menghilangkan
kesempatan bagi Aceh yang disebut sebagai city
state (negara kota- hal.271) untuk bertransformasi negara yang inklusif
melalui perdagangan. Kedua ekonom MIT dan Harvard tersebut menyebutkan apa yang
dibangun oleh kolonialis eropa ini sebagai institusi ekstraktif.
Sebagai
reaksi dari penjajahan, Aceh secara heroik melakukan perlawanan secara maraton
dan tanpa kenal menyerah. Perlawanan panjang ini berimplikasi seluruh potensi dialokasikan
untuk berperang. Kita ketahui, para ulama dan cendekiawan terpaksa mengalihkan
waktu untuk mendidik dan menemukan pengetahuan baru kepada kegiatan fisik yang
bersifat survival. Pelaku ekonomi
juga menghentikan aktivitasnya baik karena patriotisme dan juga tidak adanya
insentif akibat sistem monopolistik yang diberlakukan. Institusi ekstraktif
menyebabkan Aceh tidak memberikan perhatian pada pengelolaan negara, perkembangan
pengetahuan dan inovasi. Keruntuhan dimulai.
Hasan
Tiro menyebutkan kerugian terbesar akibat peperangan tersebut adalah Aceh
kehilangan kemerdekaan. Tiro memasukkan Orde Lama dan Orde Baru sebagai bagian
lanjutan dari institusi ekstraktif yang menghisap sumberdaya Aceh. Sistem
negara otoriter yang dibangun oleh kedua rezim tersebut menghambat dinamika
politik pembangunan Aceh, mendapatkan bagian yang adil dari pengelolaan sumber
daya alam bahkan mencederai pengorbanan
Aceh secara represif sehingga pasca kemerdekaan-pun Indonesia Aceh masih
bergolak. Tiro menarik kesimpulan bahwa terzaliminya Aceh pasca berakhirnya
perang penjajahan dikarenakan oleh sebuah mentalitas budak (lamiet) yang didera rakyat Aceh. Perang telah
menyebabkan syahidnya pemimpin-pemimpin Aceh dan memutus rantai referensi (meneumat) akan sebuah identitas Aceh.
Karenanya, tidak heran pada setiap buku, ceramah dan pertemuan singkat, beliau
selalu memasukkan proses mindsetting
(pembentukan pola pikir) bahwa individu Aceh adalah individu yang mulia dan
diakui dunia.
Alumnus Universitas Columbia, New York ini
menyebutkan beberapa mentalitas budak melekat masyarakat Aceh seperti nafsi-nafsi (individualis) dan peuglah putjok droe (free rider-sikap mau untung tanpa mau
bersama menanggung resiko). Mentalitas budak dipercaya sebagai penghambat
kemajuan. Disparitas pembangunan antara daerah utara yang lebih maju dari
daerah selatan di Amerika Serikat juga dipercaya merupakan kontribusi dari
mentalitas budak (slave mentality)
yang belum sepenuhnya hilang. Nwosu (2013) dalam artikelnya “Slave Mentality: The Bane of Development in
Africa” menyimpulkan sifat ketergantungan, kurangnya motivasi dan mudah
terpengaruh menghinggapi banyak elit politik di Afrika lahir dari sebuah
mentalitas budak dan menyebabkan negara-negara di Afrika terbelakang. Nwosu
menceritakan bahwa banyak pemimpin Afrika masih menganggap bahwa negara-negara
maju akan membantu negara mereka sedangkan kekuatan fiskal sendiri digunakan
untuk kepentingan politis dan elitis, bukan investasi produktif.
Di
Aceh masih sering kita dengar bahwa uang pemerintah tidak efektif digunakan
untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Program pemberdayaan berasal dari APBA
atau APBK akan disikapi tidak serius, berbeda dengan program dari lembaga
swadaya masyakat lokal maupun asing. Persepsi keliru ini cenderung membuat uang
pemerintah hanya digunakan untuk hal-hal administratif atau investasi politik
dan meminta lembaga donor untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang substantif dan
langsung berhubungan dengan masyarakat. Apakah ini menandakan pemimpin dan
masyarakat Aceh tidak percaya bahwa kekuatan diri (APBA dan APBK) cukup digunakan
memakmurkan nanggroe ini? Apakah kita telah dihinggapi oleh mentalitas budak?
Tironomics : Pembangunan Ekonomi Berkeadilan
Hasan
Tiro mengingatkan bahwa kemakmuran akan timbul jika ada sebuah kemerdekaan.
Kemerdekaan yang dimaksud dalam konteks Aceh sekarang adalah pemerintah yang bebas
membuat kebijakan terbaik bagi rakyatnya. Kebijakan tidak diskriminatif yang memberikan
insentif untuk berinovasi dan menjadi lebih baik guna peningkatan taraf hidup.
Ciri pemerintah seperti diatas merupakan cerminan institusi pemerintah yang
inklusif.
Selanjutnya,
Tiro menekankan bahwa kemakmuran bukanlah sesuatu yang diwariskan, tetapi
merupakan hasil kerja keras dan kemampuan serta kecerdasan dalam mengelola
ekonomi suatu bangsa atau daerah. Tidak ada pihak lain yang dapat membangun
Aceh kecuali rakyat Aceh sendiri. Jadi, Institusi inklusif dan paradigma
kemandirian merupakan prasyarat utama agar Aceh makmur. Kedua hal diatas
merupakan antidote dari keterpurukan Aceh sekaligus obat yang harus ditelan
untuk maju.
Frasa “ureuëng meukat han meulaba, meunjo ureuëng
nanggroë hana pèng
deungon meubloë (pedagang tidak
akan untung, jika masyarakat tidak punya uang untuk membeli (hal 65, Atjeh bak Mata Donya)”
menunjukkan mazhab ekonomi yang diyakini oleh Hasan Tiro. Artinya, kemakmuran
Aceh yang berkelanjutan adalah apabila melibatkan semua manusia yang hidup di
bumi lhee sagoe. Inilah yang disebut
pembangunan yang berkualitas dan berkeadilan. Untuk menjamin hal itu terjadi
Aceh perlu sebuah kesepakatan yang dijunjung bersama. Tiro menyebutnya “Achenese National Interest”. Kesepakatan
ini harus dijaga oleh sebuah sistem pemerintahan yang transparans dan akuntabel
sehingga memungkinkan setiap deviasi dapat dikoreksi oleh segenap rakyat.
Data dan Indikator
pembangunan Aceh saat ini menunjukkan masih adanya jurang lebar antara
kepentingan bersama Aceh dan realita. Angka kemiskinan menurun, namun tidak
diikuti oleh perbaikan kualitas seperti indeks kedalaman dan keparahan. Ekonomi
tumbuh namun tidak cukup menyediakan lapangan kerja.
Perbaikan kondisi tersebut merupakan PR bagi pemimpin Aceh terutama
pemimpin yang mempunyai hubungan ideologis dengan Wali Nanggroe untuk menggunakan Tironomics sebagai platform
kebijakan ekonomi . Bagi yang
bukanpun, ini merupakan jalan yang perlu diambil untuk menyejahterakan rakyat. Wallahua’lam bisshawab.
great idea! smg almarhum hasan tiro mendapat tpt terbaik disisi-Nya.
BalasHapus