Kamis, 05 Januari 2012

Jalasveva (nehi) Jaya Mahe - Di Lautan Kita (tidak) Jaya

Senang bercampur sedih membaca berita Serambi Indonesia ( 4 Januari 2012). Kabar mengabarkan keberhasilan penyelamatan tujuh nelayan asal Sumatera Utara yang terkatung-katung selama 9 jam akibat tertabrak sebuah kapal tanker. Hingga kini kapal tanker melenggang kangkung tanpa diketahui identitasnya. Tak tahu siapa yang bertanggung jawab atas kerugian akibat tenggelamnya kapal ikan  KM Rezeki Makmur. 

Saat selesai membaca berita, memori saya langsung menembus waktu kembali  pada dini hari 17 Agustus 2007. Sekitar pukul 04.00 Tidur nyenyak terhenyak ditengah raungan helicopter yang lalu lalang di udara kota Brest, sebuah kota kecil di bagian barat Perancis. Seketika pikiran saya menduga bahwa ada latihan militer mengingat Brest adalah pusat armada angkatan laut Perancis untuk kawasan Atlantik. 

Keesokan paginya,  saya mendengar di radio bahwa ada kecelakaan laut yang melibatkan sebuah kapal nelayan bernama Le Sokalique dan Kapal General Cargo, Ocean Jasper di lepas pantai Brest, dekat Pulau Ouessant. Sebelum tenggelam kapten dari kapal nelayan sempat mengirimkan pesan SOS dan diterima oleh petugas pengaman pantai. Namun sayangnya sang kapten ditemukan tewas  sedangkan awak lainnya dapat diselamatkan. Ternyata raungan helicopter semalam berasal dari helicopter Coast Guard Perancis yang membawa korban ke Rumah Sakit Rujukan Morvan yang memang tidak jauh dari Cite Universitaire (semacam asrama mahasiswa) dimana saya tinggal. 

Lalu dini hari 18 Agustus 2007 sekitar jam 03.30, Kapal Ocean Jasper sang tersangka tiba di Pelabuhan Brest dikawal kapal Perang Angkatan Laut Prancis. Artinya kurang lebih 24 jam, Pelaku tabrakan sudah ditangkap dan memasuki proses pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan kelalaiannya.  

Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang terjadi di perairan Indonesia. Sebelum kasus ini banyak kasus serupa yang berakhir dengan kerugian di pihak nelayan kecil. Mengapa bisa ada perbedaan?. Salah satunya mungkin sistem transportasi laut yang lebih moderen dan canggih di Perancis. Selain mewajibkan peralatan komunikasi di semua kapal nelayan. Pemerintah Perancis juga mempunyai sistem pengawasan dan penidentifikasian pergerakan kapal-kapal yang melewati perairannya seperti VMS (Vessel Monitoring System) dan AIS (Automatic Identification System). Dari AIS-lah otoritas maritim Perancis bisa merekonstruksi itenerari kapal-kapal yang melewati kawasan kecelakaan tersebut dan menduga serta menangkap Ocean Jasper yang memang di lambungnya terlihat penyok tanda benturan. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementeria Kelautan dan Perikanan juga sudah memulai sistem monitoring kapal ikan berbasis VMS. Selain untuk mengontrol posisi kapal ikan di lautan VMS juga dapat digunakan untuk mengurangi pencurian ikan oleh kapal asing. Berbeda dengan VMS yang berbasis satelit. AIS menggunakan gelombang radio menghubungkan antara kapal dari AIS base station di kawasan pantai. 

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menangkap kapal pelanggar tersebut mengingat Indonesia  mempunyai Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) di Sabang, yang sangat dekat dengan lokasi kejadian. Mungkin belum memadai sistem keselamatan pelayaran di Indonesia menjadi sebab utama dari lenggang kangkungnya para kriminal laut. 

Namun lebih dari itu, political sympathy -belum berbicara political will- pun berbeda. Untuk kasus kecelakaan Le Sokalique, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang saat itu baru terpilih sempat-sempatnya menjenguk dan memberikan ucapan bela sungkawa secara langsung kepada keluarga kapten yang sedang berduka. Sesuatu yang mungkin  jarang di Indonesia.

Meskipun mengaku nenek moyang ku seorang pelaut, ternyata Indonesia masih Jalasveva (nehi) Jaya Mahe  -Di Lautan Kita (tidak) Jaya.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar