Barangkali GG (baca Ge-Ge) menjadi pertanyaan pertama ketika membaca judul diatas. Bagi yang familiar dengan pemerintahan bisa jadi menduga GG merupakan Good Governance atau kalau diterjemahkan menjadi tata kelola pemerintahan yang baik. Ya memang tidak salah. Tapi kepanjangan dari GG yang saya maksud dalam tulisan blog ini adalah Gebrakan Gita.
Gita yang saya tuju disini adalah Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat ini. Sebelumnya ia menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Beberapa waktu yang lalu Gita melakukan maneuver yang berhasil mencetak headlines bin trending topic di berbagai media massa di Indonesia. Apalagi kalau bukan keinginannya agar seluruh staf Kemendag dibawah pimpinannya mempunyai nilai minimal TOEFL 600. Mendag ini tidak hanya cuap-cuap, kabarnya tahun ini ia telah menganggarkan dana sekitar 9 milyar untuk pelatihan bahasa Inggris demi target tersebut.
Ragam reaksi membuncah pasca statement Gita tentang rencananya. Ada yang menganggap target tersebut super muluk dan tak berdasar. Namun ada juga yang melihat sisi positif gebrakan ini meskipun TOEFL 600 adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dicapai. Pengamat Kebijakan Publik, Adrianof Chaniago, menyatakan bahwa Gita naïf menganggap PNS di Kemendag sebagai cerminan dirinya. Gita adalah master lulusan Harvard Kennedy School. Sebuah institusi pendidikan yang memang mensyaratkan TOEFL 600 sebagai salah satu syarat untuk diterima di sekolah bergensi ini. Chaniago juga mengatakan bahwa tidak semua PNS beruntung dan mempunyai latar belakang keluarga sebaik Gita dimana sedari kecil ia sudah bolak-balik ke luar negeri karena karir ayahnya sebagai diplomat. Gita tak terpengaruh. Ia katakan bahwa target ini tidak muluk sebab ia sudah buktikan selama ia memimpin BKPM bahwa sekitar 258 dari 580 mantan karyawannya berhasil mendapatkan nilai 600 tersebut dalam waktu setahun (6 Januari 2011, vivanews.com)
Bagi saya, gebrakan Gita ini adalah sesuatu hal yang bisa dikategorikan thinking out of box atau business not as usual . Meskipun sejujurnya saya ngeri juga melihat skor TOEFL yang 600 itu. Lalu apakah GG ini relevan untuk pemda Aceh?
Sebenarnya isu persyaratan TOEFL dalam dunia pemerintahan di Aceh tidaklah hal yang baru. Zaman Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pernah diwacanakan agar PNS yang akan naik golongan IV atau pejabat setingkat kepala bidang atau eselon III untuk mempunyai kualifikasi TOEFL tertentu. Wacana ini kabarnya muncul dari laporan kepada beliau bahwa seorang mitra pembangunan yang berkewarganegaraan asing tidak terlayani akibat tidak ada seorang pun di kantor gubernur saat itu dapat berbahasa inggris secara baik. Meskipun wacana tersebut akhirnya tak jadi dilaksanakan karena almarhum keburu ditarik ke Jakarta sebagai Ketua Bulog sekaligus Menteri Negara Urusan Pangan. Bagi saya juga apa yang diwacanakan Ibrahim Hasan merupakan wujud terobosan yang perlu diulangi dan diperbaiki.
Pengalaman saya di pemerintah Aceh selama beberapa tahun, terutama setelah tsunami, membuat saya menyimpulkan perlu bagi pegawai negeri untuk cakap dalam berkomunikasi dalam bahasa asing. Aceh pasca tsunami menjadi daerah yang terbuka dimana berbagai pihak luar negeri berlomba untuk membantu negeri yang terkena musibah ini. Saya menilai dan merasakan secara langsung bagaimana tidak efisiennya ketika sebuah komunikasi dilaksanakan dengan kendala bahasa. Memang dapat dijembatani dengan dengan penterjemah, namun tetap banyak poin penting terlepas dari proses komukisai dan diskusi sehingga tidak semua rencana dan keinginan dapat tersampaikan. Belum lagi rasa percaya diri yang rendah akibat ketidakmampuan bahasa asing membuat enggan menyambut niat baik yang ditawarkan. Akibatnya terlalu banyak potensi dan resource yang terbuang percuma.
Aceh yang terbuka seharusnya harus diimbangi dengan kompetensi berbahasa yang memadai apabila Aceh ingin mengambil manfaat maksimal dari proses globalisasi. Sejarah juga merekomendasikan hal ini. Diawal hegemoni Islam pada masa kekhalifahan Islam, peran bahasa sangat besar yang ditandai tersedianya berbagai ilmu pengetahuan bagi seluruh muslim saat itu melalui penterjemahan iptek dari bahasa Yunani dan Romawi ke bahasa Arab. Kebangkitan Eropa juga didahului oleh hal yang sama ketika dokumen ilmu pengetahuan berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa. L’histoire se repete, sebuah ungkapan bahwa sejarah itu akan berulang ketika sebab-sebabnya direkonstruksi. Aceh dapat maju jika segala ilmu pengetahuan dapat dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Kemampuan berbahasa asing adalah salah satu jembatannya.
Revenons à nos mouton, sebuah hadih maja Prancis untuk mengatakan kembali ke GG dalam konteks Pemda Aceh. Sudah seharunya kita mulai merevitalisasi thinking out of box-nya Gubernur Ibrahim Hasan dan Mendag Gita Wirjawan. Memang tidak gampang tapi saya yakin hal ini adalah within our reach. Insya Allah kita mampu. SDM kita hebat, dana kita kuat. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran, kemauan dan kepemimpinan untuk menciptakan lingkungan kondusif yang penuh dengan insentif. People respond to incentives. Ini bukan pernyataan neolib. Ini cara Allah SWT mendorong manusia untuk menjadi ahsanun takwim dengan basyiiran wa naziiran, syurga dan neraka.
Tak perlu semuluk Gita. Namun manfaat berbahasa asing dalam meng-efesien-kan pemerintah harus membuat kita bergerak maju dari waktu ke waktu. Setiap pemerintah di Aceh baik level provinsi punya Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan yang bertujuan meningkatkan profesionalisme pegawai. Qanun pendidikan mengamanatkan seperlima dari anggaran pembangunan yang berjumlah trilyunan tiap tahunnya diperuntukkan untuk kepentingan peningkatan kualitas manusia, diantaranya para PNS. Beasiswa Aceh ke luar negeri pun tersedia. Sayangnya sangat kecil proporsi PNS yang menerima. Padahal apabila PNS dapat menimba ilmu di negara yang lebih maju, transfer kemajuan akan lebih terjamin karena posisi PNS yang terkondisikan untuk terus berada diranah kebijakan publik.
Memang absurd ketika mengatakan English is everything we need to take Aceh to be a developed province. Namun kita sudah seharusnya mengambil jalan yang dapat mengantarkan kita ke tujuan secara lebih cepat dan hemat. Diantara jalan tersebut adalah kemampuan bahasa Inggris. So Start now, small and sustainable. Mulai sekarang, dari yang kecil tapi berkelanjutan.
Memang absurd ketika mengatakan English is everything we need to take Aceh to be a developed province. Namun kita sudah seharusnya mengambil jalan yang dapat mengantarkan kita ke tujuan secara lebih cepat dan hemat. Diantara jalan tersebut adalah kemampuan bahasa Inggris. So Start now, small and sustainable. Mulai sekarang, dari yang kecil tapi berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar