Kamis, 02 Agustus 2012

Apa Kabar RPJP Aceh 2005-2025?


Hampir dua tahun waktu berlalu dari penyelesaian rancangan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh Periode 2005-2025. Pihak Eksekutif melalui Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah menyerahkan dokumen tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada akhir tahun 2010 untuk memasuki proses pen-qanun-an sesuai dengan amanah UU N0. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.  Namun hingga saat ini pihak legislatif belum selesai membahas panitia kerja terkait dengan proses legislasi dari rencana pembangunan ini.

Mungkin menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa rencana pembangunan jangka panjang yang mempunyai rentang waktu dari tahun 2005 baru dimulai penyusunannya pada tahun 2010. Hal ini terkait dengan terabaikannya perencanaan jangka panjang akibat krusial dan besarnya dinamika kehidupan saat itu. Tsunami yang diikuti oleh proses perdamaian menuntut fokus pembangunan pada perspektif yang lebih pendek; yaitu bagaimana membangun kembali Aceh lebih baik dalam waktu 4 tahun serta mengawal proses perdamaian secara hati-hati sehingga tidak terjadi gejolak yang dapat membawa Aceh kembali menjadi daerah konflik.

Sekarang kondisi Aceh sudah kondusif. Rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi berjalan dengan sukses.  Terpilihnya Pemimpin Aceh “Zikir” dipercaya menambah stabilitas Aceh yang merupakan prasyarat utama bagi proses pembangunan. Karena itu sudah saatnya kini Aceh lebih memberi prioritas kepada kepentingan jangka panjang diatas kepentingan jangka pendek. Termasuk didalamnya adalah penyelesaian proses legislasi RPJP Aceh sehingga dapat menjadi rujukan bagi perencanaan dengan horizon waktu yang lebih pendek yaitu RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah).

Sekilas tentang Penyusunan RPJP Aceh

Penyusunan RPJP Aceh berangkat dari optimisme yang berasal dari proses perdamaian dan rekonstruksi Aceh. Keduanya dimulai pada tahun 2005, yang merupakan turning point atau titik balik bagi Aceh untuk kembali menanjak maju menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Optimisme ini didasari pada kepercayaan bahwa kejayaan Aceh pada Abad 16 dapat diulang dengan mereplikasi prinsip-prinsip yang menyangga kejayaan tersebut melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang efektif.

Secara teologis, proses penyusunan RPJP  mengambil inspirasi dari Surat Ibrahim Ayat 24-25 dimana RPJP Aceh disusun untuk menjadi sebuah dokumen yang baik dengan kriteria mempunyai akar yang teguh (berdasarkan keadaan dan permasalahan yang nyata dihadapi rakyat Aceh); mempunyai cabang yang menjulang hingga ke langit (mempunyai cita-cita pembangunan yang visioner dan dapat dicapai dengan segala potensi) dan menghasilkan buah pada setiap musimnya (menggunakan pentahapan pembangunan dan indikator pencapaian pembangunan pada setiap tahapannya).   

Agar dapat memetakan masalah pembangunan yang riil, pihak eksekutif membentuk sebuah tim yang beranggotakan mulai dari mantan gubernur, ulama, cendikiawan, lembaga internasional hingga aktivitis sipil yang terlibat langsung dengan keseharian masyarakat. Inklusifitas tim penyusun ini ditujukan untuk menidentifir permasalahan secara holistik dan mensinergikan berbagai usulan intervensi pembangunan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Proses penyusunan juga membuka saluran-saluran partisipasi melalui email, sms gateway yang dipublikasikan melalui sebuah tabloid pembangunan daerah “Tabangun Aceh” yang beredar di seluruh Aceh setiap bulan hingga audiensi dengan pihak-pihak elemen sipil yang berkeinginan untuk berkontribusi. Kemudian dalam rangka penyerapan aspirasi masyarakat secara lebih luas, hasil rancangan RPJP Aceh diuji publik tidak hanya di Banda Aceh, namun juga di tiga kota lainnya yaitu Lhokseumawe, Takengon dan Meulaboh sebagai representasi geografis Aceh. Uji publik ini bertujuan untuk mensinkronkan keinginan masyarakat luas dengan tujuan yang tertera dalam dokumen sekaligus sebagai konfirmasi kebenaran dari data dan permasalahan.

Visi pembangunan jangka panjang Aceh adalah Aceh yang islami, maju, damai dan sejahtera pada tahun 2025. Pelaksanaan syariah Islam secara kaffah akan seiring dengan terwujudknya peradaban yang tinggi dimana kebutuhan sosial, politik, ekonomi dan rasa aman dapat terpenuhi.  Untuk meraih visi tersebut, RPJP Aceh menetapkan enam misi utama yaitu mewujudkan masyarakat yang ;  1). berakhlak mulia berdasarkan nilai Islami,  2). mampu memenuhi kebutuhan hidup dalam aspek ekonomi, sosial dan spiritual, 3). demokratis berlandaskan hukum, 4). aman, damai dan bersatu, 4). mewujudkan pembangunan yang berkualitas, maju, adil dan merata, dan 6). mewujudkan Aceh yang lestari dan tangguh terhadap bencana.    Visi dan keenam misi diatas akan menjadi rujukan utama dan kemudian dijabarkan dalam bentuk arah, kebijakan, program dan kegiatan dalam dokumen perencanaan  dengan jangka lebih pendek ( lima tahun dan tahunan).

Dalam rentang waktu 20 tahun, pentahapan pembangunan dibagi atas 4 bagian. Pembangunan tahap I (2005-2012) mempunyai fokus pada penyelesaian permasalahan rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi Aceh. Kerangka waktu 7 tahun (dibanding 5 tahun sebagaimana RPJP Nasional) ditetapkan berdasarkan realitas di lapangan yaitu kerangka waktu selesainya proses rekonstruksi dan reintegrasi yang selesai pada tahun 2012. Selain itu, periode pemerintah juga berakhir pada tahun 2012 sehingga pentahapan di RPJP Aceh selanjutnya dapat diterjemahkan dalam rencana pembangunan jangka menengah Aceh. Pembangunan tahap II (2013-2017) dititikberatkan pada pembangunan agroindustri mengingat hampir separuh penduduk Aceh bermata pencaharian di ranah pertanian. Selanjutnya pembangunan tahap III (2018-2022) memberi tekanan pada pengembangan industri manufaktur sebagai lanjutan tahap industrialiasi Aceh. Akhirnya, pada tahap ke empat (2023-2025) pemerintah Aceh lebih memprioritas dalam menjadikan Aceh sebagai kawasan perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy/society).

Pentahapan pembangunan ini dipengaruhi oleh pentahapan ekonomi ala Rostow. Dipilih pentahapan yang lebih berbasis ekonomi didasari pada kemudahan untuk menggunakan tolok ukur kemajuan atau keberhasilan pembangunan. Tentunya pemilihan ini tidak mengabaikan kemajuan di sisi agama, politik dan sosial dan budaya. RPJP Aceh menganggap bahwa keberhasilan ekonomi membutukan keberhasilan agama, politik sosial dan budaya atau disebut dengan institusi.  Kemudian, pentahapan tidak harus dilihat secara kaku. Misalnya, bisa saja industri pertanian masih menjadi dominan pada saat pentahapan pembangunan ketiga dimana pemerintah menfokuskan pada industri manufaktur. Pentahapan yang dimaksud adalah peran pemerintah lebih dominan pada industri fokus dimasing tahap dan berakhirnya tahap diharapkan industri tersebut dapat berjalan mandiri tanpa ada bantuan pemerintah dan pemerintah beranjak pada penguatan fokus pembangunan di tahap selanjutnya.

Jika kita analogikan pembangunan Aceh sebagai perkembangan anak, maka akhir tahap pertama (pasca tsunami dan perdamaian tahun 2012) si anak lulus sekolah dasar, tahap kedua si anak memasuki sekolah menengah pertama, tahap ketiga menjalani sekolah menengah atas dan tahap keempat si anak memasuki bangku kuliah dimana kemandirian, pengetahuan dan intelektual menjadi ciri kehidupan perguruan tinggi. Untuk itu, harus diusahakan agar si anak tidak tinggal kelas sehingga si anak secara tepat waktu dapat tumbuh mandiri dan mengembangkan potensinya lebih baik lagi. Dalam konteks ini, perencanaan jangkat menengah dan tahunan menjadi penting untuk menjamin pembangunan Aceh tidak jalan ditempat atau tinggal kelas yang berujung pada tertundanya atau tidak terwujudnya pencapaian visi Aceh pada 2025. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar