Hampir dua
tahun waktu berlalu dari penyelesaian rancangan Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Aceh Periode 2005-2025. Pihak Eksekutif melalui Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) telah menyerahkan dokumen tersebut
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada akhir tahun 2010 untuk memasuki
proses pen-qanun-an sesuai dengan amanah UU N0. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional. Namun
hingga saat ini pihak legislatif belum selesai membahas panitia kerja terkait
dengan proses legislasi dari rencana pembangunan ini.
Mungkin
menjadi pertanyaan banyak pihak mengapa rencana pembangunan jangka panjang yang
mempunyai rentang waktu dari tahun 2005 baru dimulai penyusunannya pada tahun
2010. Hal ini terkait dengan terabaikannya perencanaan jangka panjang akibat
krusial dan besarnya dinamika kehidupan saat itu. Tsunami yang diikuti oleh
proses perdamaian menuntut fokus pembangunan pada perspektif yang lebih pendek;
yaitu bagaimana membangun kembali Aceh lebih baik dalam waktu 4 tahun serta
mengawal proses perdamaian secara hati-hati sehingga tidak terjadi gejolak yang
dapat membawa Aceh kembali menjadi daerah konflik.
Sekarang
kondisi Aceh sudah kondusif. Rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi
berjalan dengan sukses. Terpilihnya Pemimpin
Aceh “Zikir” dipercaya menambah stabilitas Aceh yang merupakan prasyarat utama bagi
proses pembangunan. Karena itu sudah saatnya kini Aceh lebih memberi prioritas
kepada kepentingan jangka panjang diatas kepentingan jangka pendek. Termasuk
didalamnya adalah penyelesaian proses legislasi RPJP Aceh sehingga dapat
menjadi rujukan bagi perencanaan dengan horizon waktu yang lebih pendek yaitu
RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) dan RKP (Rencana Kerja Pemerintah).
Sekilas tentang Penyusunan RPJP Aceh
Penyusunan
RPJP Aceh berangkat dari optimisme yang berasal dari proses perdamaian dan
rekonstruksi Aceh. Keduanya dimulai pada tahun 2005, yang merupakan turning
point atau titik balik bagi Aceh untuk kembali menanjak maju menuju kemakmuran
dan kesejahteraan. Optimisme ini didasari pada kepercayaan bahwa kejayaan Aceh
pada Abad 16 dapat diulang dengan mereplikasi prinsip-prinsip yang menyangga
kejayaan tersebut melalui kebijakan-kebijakan pembangunan yang efektif.
Secara
teologis, proses penyusunan RPJP mengambil inspirasi dari Surat Ibrahim Ayat
24-25 dimana RPJP Aceh disusun untuk menjadi sebuah dokumen yang baik dengan
kriteria mempunyai akar yang teguh (berdasarkan keadaan dan permasalahan yang
nyata dihadapi rakyat Aceh); mempunyai cabang yang menjulang hingga ke langit (mempunyai
cita-cita pembangunan yang visioner dan dapat dicapai dengan segala potensi)
dan menghasilkan buah pada setiap musimnya (menggunakan pentahapan pembangunan
dan indikator pencapaian pembangunan pada setiap tahapannya).
Agar dapat memetakan masalah pembangunan yang
riil, pihak eksekutif membentuk sebuah tim yang beranggotakan mulai dari mantan
gubernur, ulama, cendikiawan, lembaga internasional hingga aktivitis sipil yang
terlibat langsung dengan keseharian masyarakat. Inklusifitas tim penyusun ini
ditujukan untuk menidentifir permasalahan secara holistik dan mensinergikan
berbagai usulan intervensi pembangunan untuk mengatasi permasalahan yang ada. Proses
penyusunan juga membuka saluran-saluran partisipasi melalui email, sms gateway yang dipublikasikan melalui sebuah
tabloid pembangunan daerah “Tabangun Aceh” yang beredar di seluruh Aceh setiap
bulan hingga audiensi dengan pihak-pihak elemen sipil yang berkeinginan untuk
berkontribusi. Kemudian dalam rangka penyerapan aspirasi masyarakat secara
lebih luas, hasil rancangan RPJP Aceh diuji publik tidak hanya di Banda Aceh,
namun juga di tiga kota lainnya yaitu Lhokseumawe, Takengon dan Meulaboh
sebagai representasi geografis Aceh. Uji publik ini bertujuan untuk
mensinkronkan keinginan masyarakat luas dengan tujuan yang tertera dalam dokumen
sekaligus sebagai konfirmasi kebenaran dari data dan permasalahan.
Visi
pembangunan jangka panjang Aceh adalah Aceh yang islami, maju, damai dan
sejahtera pada tahun 2025. Pelaksanaan syariah Islam secara kaffah akan seiring
dengan terwujudknya peradaban yang tinggi dimana kebutuhan sosial, politik,
ekonomi dan rasa aman dapat terpenuhi. Untuk meraih visi tersebut, RPJP Aceh
menetapkan enam misi utama yaitu mewujudkan masyarakat yang ; 1). berakhlak mulia berdasarkan nilai Islami, 2). mampu memenuhi kebutuhan hidup dalam aspek
ekonomi, sosial dan spiritual, 3). demokratis berlandaskan hukum, 4). aman,
damai dan bersatu, 4). mewujudkan pembangunan yang berkualitas, maju, adil dan
merata, dan 6). mewujudkan Aceh yang lestari dan tangguh terhadap bencana. Visi dan keenam misi diatas akan menjadi
rujukan utama dan kemudian dijabarkan dalam bentuk arah, kebijakan, program dan
kegiatan dalam dokumen perencanaan
dengan jangka lebih pendek ( lima tahun dan tahunan).
Dalam
rentang waktu 20 tahun, pentahapan pembangunan dibagi atas 4 bagian.
Pembangunan tahap I (2005-2012) mempunyai fokus pada penyelesaian permasalahan
rekonstruksi, rehabilitasi dan reintegrasi Aceh. Kerangka waktu 7 tahun
(dibanding 5 tahun sebagaimana RPJP Nasional) ditetapkan berdasarkan realitas
di lapangan yaitu kerangka waktu selesainya proses rekonstruksi dan reintegrasi
yang selesai pada tahun 2012. Selain itu, periode pemerintah juga berakhir pada
tahun 2012 sehingga pentahapan di RPJP Aceh selanjutnya dapat diterjemahkan
dalam rencana pembangunan jangka menengah Aceh. Pembangunan tahap II (2013-2017)
dititikberatkan pada pembangunan agroindustri mengingat hampir separuh penduduk
Aceh bermata pencaharian di ranah pertanian. Selanjutnya pembangunan tahap III
(2018-2022) memberi tekanan pada pengembangan industri manufaktur sebagai
lanjutan tahap industrialiasi Aceh. Akhirnya, pada tahap ke empat (2023-2025)
pemerintah Aceh lebih memprioritas dalam menjadikan Aceh sebagai kawasan
perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge based economy/society).
Pentahapan
pembangunan ini dipengaruhi oleh pentahapan ekonomi ala Rostow. Dipilih pentahapan
yang lebih berbasis ekonomi didasari pada kemudahan untuk menggunakan tolok
ukur kemajuan atau keberhasilan pembangunan. Tentunya pemilihan ini tidak mengabaikan
kemajuan di sisi agama, politik dan sosial dan budaya. RPJP Aceh menganggap
bahwa keberhasilan ekonomi membutukan keberhasilan agama, politik sosial dan budaya
atau disebut dengan institusi. Kemudian,
pentahapan tidak harus dilihat secara kaku. Misalnya, bisa saja industri
pertanian masih menjadi dominan pada saat pentahapan pembangunan ketiga dimana
pemerintah menfokuskan pada industri manufaktur. Pentahapan yang dimaksud adalah
peran pemerintah lebih dominan pada industri fokus dimasing tahap dan
berakhirnya tahap diharapkan industri tersebut dapat berjalan mandiri tanpa ada
bantuan pemerintah dan pemerintah beranjak pada penguatan fokus pembangunan di
tahap selanjutnya.
Jika kita
analogikan pembangunan Aceh sebagai perkembangan anak, maka akhir tahap pertama
(pasca tsunami dan perdamaian tahun 2012) si anak lulus sekolah dasar, tahap
kedua si anak memasuki sekolah menengah pertama, tahap ketiga menjalani sekolah
menengah atas dan tahap keempat si anak memasuki bangku kuliah dimana
kemandirian, pengetahuan dan intelektual menjadi ciri kehidupan perguruan
tinggi. Untuk itu, harus diusahakan agar si anak tidak tinggal kelas sehingga
si anak secara tepat waktu dapat tumbuh mandiri dan mengembangkan potensinya
lebih baik lagi. Dalam konteks ini, perencanaan jangkat menengah dan tahunan
menjadi penting untuk menjamin pembangunan Aceh tidak jalan ditempat atau
tinggal kelas yang berujung pada tertundanya atau tidak terwujudnya pencapaian visi
Aceh pada 2025.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar