Kontroversi pembangunan hotel dan mall di seputaran Masjid Raya Baiturrahman (MRB) terus berlanjut. Jika awalnya pro kontra ini lebih saya fahami sebagai pertaruhan antara Kesucian MRB dengan kemungkinan Mall dan Hotel Best Western menjadi kuda troya (trojan horse) bagi maksiat di depan salah satu mesjid terindah di dunia ini (baca- What!!! Hotel Bule di depan Mesjid Raya???.. So what???. Namun sekarang sudah bergeser pada ancaman terhadap MRB sebagai landmark kota Banda Aceh.
Persoalan landmark sangat identik dengan tata ruang. Qanun RTRW Kota Banda Aceh (PASAL 79 AYAT 2-C) menyebutkan bahwa Strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi : (C)membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan sekitar Mesjid Raya Baiturrahman untuk mempertahankan nilai-nilai historis dan mendorong Mesjid Raya Baiturrahman sebagai landmark Kota. Teks ini juga memerlukan klarifikasi lebih lanjut seperti bagaimana disebut melampaui daya dukung dan daya tampung. Apakah pembangunan hotel dan mall termasuk melampaui kedua daya yang disebutkan qanun?
Pemahaman saya terhadap daya tampung dan daya dukung itu terkait dengan besarnya volume atau magnitude relatif terhadap lingkungan sekitarnya. Ketika hotel atau mall yang dibangun dengan 42 meter dan berlantai 12, saya bisa memahami pendapat bahwa hotel dan mall baru ini akan mempengaruhi dominasi MRB sebagai landmark. Namun apabila dibayangkan luasan tanah bekas Geunta Plaza dengan MRB mungkin tidak sedramatis itu kesimpulan. Menurut saya komprominya adalah bentuk hotel dan mall tersebut disesuaikan konteks dan tidak terkesan angkuh atau “mbong” -istilah Prof Kamal Arif- dihadapan MRB yang kita banggakan.
Ketika kita berbicara tentang kontroversi pembangunan hotel dan mall di sekitar masjid raya seharusnya harus dipahami secara multi dimensi. Tidak melulu masalah potensi maksiat dan tata kota saja. Seorang rekan yang melakukan survey potensi PAD Kota Medan (testimony Alexander Young di Media Social Facebook) mengaku bahwa tingkat hunian atau occupancy rate dari hotel bertipe syariah di sekitar Mesjid Raya Sultan Deli (MRSD) tersebut rata-rata diatas 90 persen. Mayoritas tamu adalah pelancong yang berasal dari Malaysia dan negara-negara timur tengah. Jelas bahwa MRSD menjadi trip attractor –mengutip istilah Fahmi Abduh Dahlan-.
Pemilihan daerah sekitar MRB sebagai lokasi tak lain karena MRB itu sendiri. Saya rasa tidak ada yang salah dengan hal ini. Bahkan sudah seharusnya masjid menjadi destinasi utama bagi setiap muslim. Apabila ditawarkan lokasi lain belum tentu investor akan tertarik. Kehadiran infrastruktur pariwisata di sekitar MRB tentunya akan menimbulkan gravitasi yang menarik wisatawan yang telah mendengar keindahan MRB maupun Aceh sebagai provinsi syariah.
Apalagi melihat trend penurunan kunjungan ke Aceh pasca era rehabilitasi dan rekonstruksi. Kenyataan ini bisa digunakan sumber kreativitas baru untuk menarik kembali kunjungan ke Banda Aceh, tentunya dengan cara yang lebih cerdas. Jika pasca tsunami banyak bule yang datang, mulai sekarang turis dari negara muslim yang silaturahmi. Kalau dulu kebanyakan pendatang itu mencari uang di Aceh kemudian mengirim keluar Aceh, kini pendatang membawa uang untuk naik becak, beli kue karah, mencoba kuah beulangong atau kalau beruntung tertarik berinvestasi lebih lanjut. Dari segi social cost, kehadiran turis dari negara muslim jauh lebih minimal dibanding turis barat. Tentunya untuk menarik wisatawan muslim perlu penarik (attractor).
pertanyaan saya pak Marthunis Muhammad, kalau hotel dan mall itu dipindah ke tepi kali aceh atau ke seputaran balang padang atau seputaran simpang jam.... APAKAH AKAN MENGURANGI PEMASUKAN PAD DAN KEDATANGAN TURIS/WISATAWAN ?
BalasHapuspada posisi rencana sekarang, selain mengalihkan landmark kota dari masjid raya baiturrahman menjadi hotel. kalau bpk masuk dari arah medan melalui sp surabaya, maka akan disuguhkan bangunan 42 mtr ditengah simpang pendopo
pada posisi rencana sekarang, akan terjadi kepadatan yg luar biasa di persimpangan mhd jam - abu lam u itu, sedikit banyak akan mengganggu jalur jamaah mrb, terlebih lagi saat waktu2 shalat, belum lagi mereka hanya menyediakan lahan parkir untuk 140-an mobil (untuk pengunjung mall dan hotel) praktis pengunung lainnya akan memarkirkan kendaraannya dipinggiran jalan atau di lahan parkir mrb
belum lagi sisi negatif seperti dekadensi moral dan iman dari warga yg sdg mengunjungi mall, apakah mereka akan memberhentikan aktifitasnya saat2 shalat, bila tidak, maka secara langsung orang luar akan men-judge bahwa orang aceh yg katanya islam yang katanya menerapkan syariah islam, tetap aja belanja, maen game, ngopi di cafe dan mall depan masjid raya
Seandainya landmark MRB terganggu dengan magnitude 42 m tinggi atau 12 lantai. saya sepakat untuk landmark MRB yang harus dipertahankan. Tapi ini kan tidak berarti hotel dan mall serta merta tak boleh dibangun. Karena menurut saya hotel yg menpunyai direct view ke MRB merupakan kebutuhan apabila kita ingin menggaet wisatawan terutama wistawan muslim, relevan dgn tema pariwisata kita.
BalasHapusTerkait parkir saya rasa bisa diakali dengan basement parking atau pengaturan lalu lintas di sekitar. It's part of our challange. (dialektika pembangunan).. setiap pembangunan pasti membawa masalah. gak membangun juga membawa masalah :).
Terkait dekadensi moral. Ini memang selalu jadi cerita kehidupan. hak dan bathil. kl kita selalu menyalahkan hotel, tapi tidak pernah memperbaiki diri dan generasi muda kita. Gak ada hotel, mesjid/mushalla pun bisa jadi tempat mesum. ada contohnya kan?... Toh sekarang pun tanpa ada hotel disana, masih aja orang kita santai geboy pas azan. Sebenarnya pertanyaannya mau kah kita memenangkan hak daripada batil? jawabannya bukan di hotel, tapi di bagaimana pemerintah dan masyarakatnya bisa menkondisikan rakyatnya melalui pendidikan dan penegakan hukum.
saya rasa jgn kita gak mau keluar rumah atau pergi kesekolah karena ketika kita keluar rumah pasti ada kemungkinan ditabrak mobil.