Jumat, 30 Desember 2011

What !!!!. Hotel Bule di depan Mesjid Raya ???.. So What???

Beberapa hari yang lalu, seorang teman di facebook men-share satu liputan dari sebuah media massa tentang diloloskan AMDAL sebuah pembangunan kompleks hotel dan mall. Kompleks baru ini akan dibangun diatas lokasi bekas Genta Plaza persis di sebelah tenggara Mesjid Raya Baiturahman. Diberitakan bahwa pembangunan kompleks yang mempunyai hotel dengan nama kebarat-baratan , Best Western Hotel, ini akan menelan investasi tak kurang dari 200 milyar rupiah dan akan dikelola secara syariah bahkan akan dibangun jembatan  penyeberangan langsung menhubungkan kompleks tersebut dengan mesjid raya. 

Posting-an share tersebut menggoda saya mengikuti perkembangan dan mendapatkan berbagai reaksi baik negatif dan positif. Namun apabila ditotal maka reaksi penolakan terhadap pembangunan hotel tersebut lebih banyak (as long as I perceive). Alasan penolakan pembangunan kompleks ini berkisar dari lokasi yang berpotensi menutupi dominasi mesjid di kawasan hingga kepada kekhawatiran hotel ini menjadi ajang maksiat yang sangat dianggap tidak pantas dilakukan di depan Mesjid Rakyat Baiturrahman - Kebanggaan Rakyat Aceh. Lagi, hari ini (30 Desember 2011) ada ajakan di-wall facebook saya untuk menentang pembangunan hotel tersebut yang mungkin akan menjual minuman keras.  Posting-an terakhir ini membuat saya merasa tergelitik untuk memberi opini akan hal yang mulai menghangat ini. 

Sepenuhnya saya memahami kekhawatiran terhadap pembangunan kompleks hotel dan mall ini akan menjadi ajang maksiat baru di Nanggroe Aceh Darussalam, terlebih-lebih berada di depan mesjid yang menjadi jantung hati Aceh. Kekhawatiran ini menjadi kian beralasan jika melihat perkembangan hotel atau fasilitas yang berhubungan dengan kepariwisataan di Aceh yang sangat tidak islami meskipun slogan wisata islami terus dikumandangkan. Taman atau tempat wisata yang dibangun ternyata lebih banyak dihuni oleh pasangan khalwat. Hotel berbintang juga mempunyai diskotik yang didalamnya kegiatan non-islami secara terang dilakukan. Bahkan restoran elit terutama yang menjadi langganan para ekspatriat juga menyediakan minuman keras secara gamblang. Ini menjadi aneh karena ia menjadi makin marak di sebuah daerah yang pemerintahnya telah mendeklarasikan ke seluruh dunia bahwa ini provinsi syariah bung !!!. 

Saya melihat kekhawatiran diatas merupakan salah satu bentuk dari frustasi dan ketidakpercayaan kita terhadap efektifitas pelaksanaan Syariah Islam di Aceh. Pemerintah mandul untuk menegakkan dan mengamalkan slogan yang dibuatnya sendiri. Di sisi lain, masyarakat lebih suka jadi tukang kritik atau speak-speak saja jika ada indikasi pelanggaran syariah dan lebih senang menangkap pelaku maksiat daripada mencegah mereka sebelum perbuatan maksiat itu terjadi. Alhasil sebenarnya kita sendiri tidak percaya diri bahwa kita bisa

Tidak ada yang salah dengan pembangunan hotel dan mall. Bahkan pembangunan ini akan menbawa manfaat positif seperti investasi, lapangan pekerjaan dan infrastruktur ekonomi dan kepariwisataan yang representatif. Hotel dan mall adalah benda mati. Ia laksana pisau yang bisa digunakan untuk menyakiti orang (tujuan buruk) atau memotong ranting yang menghalangi jalan (tujuan baik). Manfaat tidaknya pisau tersebut sangat tergantung oleh manusia pemakainya. Hotel dan mall pun , menurut sepengatahuan saya, berdasarkan kaidah usul fiqh digolongkan pada hukum mubah (boleh dilaksanakan).

Pembangunan hotel dan mall di depan mesjid raya ini tentunya ditujukan lebih pada menarik jumlah pengunjung ke Aceh, khususnya Banda Aceh, lebih banyak. Turis kaya tidak akan ragu lagi akan kualitas akomodasi yang ditempati selama kunjungan wisatanya. Sebagai contoh, sebuah insider information mengatakan bahwa Abdullah Gul, Presiden Turki, urung ke Aceh April yang lalu untuk salah satunya disebabkan tidak ada hotel yang "representatif' di Banda Aceh. 

Sebagai daerah syariah, kita tentunya menginginkan kesan pendatang selama di Aceh adalah sebagaimana kesan positif seorang pengembara akan kedisiplinan dan kejujuran muslim di Madinah karena melihat para pedagang dan penduduk lainnya bergegas ke mesjid setelah azan berkumandang dengan meninggalkan dagangannya tanpa takut kecurian atau kehilangan. Atau dengan terperangahnya seorang tabib dari Mesir karena selama 6 bulan berada di Madinah tidak menemukan warga sakit parah akibat perilaku sehat dan bersih a la nabi yang dipraktekkan penduduk kota Madinah. Sejatinya, hal seperti inilah yang seharusnya kita terapkan dengan konsep wisata islami. Syiar bahwa Islam adalah rahmattan lil alamin. Muslim Aceh mempunyai perilaku mulia ditengah anugerah kelimpahan budaya dan keindahan alamnya.   

Sudahkah selevel itukah kualitas penduduk kita? Apakah kita telah melaksanakan cara hidup Islami yang diinspirasikan oleh Rasulullah. Apakah halal dan haram sudah ditegakkan secara tegas dan bijaksana? Pertanyaan ini lah yang sebenarnya yang harus kita jawab, bukan menyalahkan pembangunan sebuah benda mati yang bernama hotel atau mall. 

Menurut hemat saya, seharusnya yang perlu kita lakukan secara jamaah adalah bagaimana kita, ban sigoem  Aceh, percaya diri, mempunyai konsep diri Muslim sejati dan istiqamah menjaga syariah secara kaffah dalam arti sebenar-benarnya. Pemimpin, Gubernur atau walikota, dan penegak hukum perlu maju kedepan untuk memberikan teladan bahwa setiap pelanggaran syariah adalah musuh Aceh (berhubung pilkada makin dekat, so pilih pemimpin yang honestly care tentang masalah ini).  Kita pun sebagai rakyat juga harus melakukan pengawasan serta bertindak bijaksana terhadap pelanggaran syariah. Lebih dari itu, hal stategis yang mutlak dilakukan adalah pengkondisian rakyat Aceh melalui pendidikan dan teladan sehingga rakyak Aceh dapat berperilaku sebagaiman penduduk Madinah pada masa Rasulullah.  Apabila semua ini bisa dipenuhi, jembatan penyeberangan yang dibangun antara Mall dan Mesjid niscaya akan menjadi jembatan syurga dimana influx jamaah Kompleks Mall dan Hotel ke Mesjid Raya Baiturrahman akan terus bertambah. Wallahua'lam bisshawab. 

     




  
  

4 komentar:

  1. Sesungguhnya baik buruk suatu negara di tentukan oleh kemana arus yg di bawakan oleh pemimpinnya, jika pemimpin itu bisa memilah mana yg terbaek, maka baek lah negara tersebut. terimakasih untuk informasinya.

    BalasHapus
  2. Ada hikmahnya juga,,rencana pembangunan Hotel 12 lantai ini semacam test case pada warga aceh, seberapa cinta dan pedulinya warga terhadap Mesjid Raya dan lingkungan di sekitarnya..kejadian ini menggugah banyak perhatian,,bahkan menambah rasa sayang pada Mesjid Raya...Kebanyakan dari warga tak sudi ada sebuah bangunan tinggi yang bercitra hedonis kapitalis (eurocentris, lebih2 amerikas centris) berdiri di lingkungan sekitar mesjid raya yang bercitra spiritual islamis. Ini tentang kondisi bathin mayortas kita. Kecemasan lain dalam pikiran kebanyakan warga adalah pisau bermata dua itu, tetap saja peluang digunakan utk yang tidak seharusnya masih mungkin. Dari pada pening2 buang saja pisaunya jauh2. Toh kalau hotel dipindah ke tempat lain, bahkan kalau sama sekali tidak dibangun, seberapa signigikankah pengaruhnya terhadap laju pertumbuhan ekonomi?,terutama ekonomi rakyat kebanyakan..tetap saja yang paling untung adalah pemodal besar,,rakyat paling2 dapat remah-remahnya saja..lagi pula apakah hotel dan mall, di sana,,sebagai satu-satunya cara untuk memajukan ekonomi, satu2nya tanda kemajuan yang berarti...banyak cara lain toh???..Pasca rehab rekon, tingkat hunian hotel di aceh malahan ada kecenderugan berkurang drastis, seberapa pentingkah sehingga perlu harus ada hotel berbintang lima di banda aceh, dan harus di sekitar mesjid Raya..

    BalasHapus
  3. Bang Resimen : ya saya setuju kl pemimpin py kans lebih untuk merubah. namun kita juga tidak harus diam sambil mengharapkan pemimpin memilihkan semuanya untuk kita.

    Pak Masdar : Ya memang kasus ini menggelorakan semangat kita. Mudah2an kita tidak case-reacted, namun lebih case-anticipated. Penolakan terbanyak tidak serta merta membuat hal yang ditolak itu benar. seharusnya kita mengadopsi prinsip meritokrasi, tidak hanya demokrasi ansich.

    Terkait dengan pisau, kenapa harus dibuang? toh kita masih membutuhkan pisau. bukankah lebih baik kita belajar menggunakan pisau dengan baik?

    Fenomena berkurangnya kunjungan ke Aceh sebenarnya menunjukkan kita tidak punya hal yang menarik di Aceh. jika ingin mengembalikan kunjungan tentunya kita harus punya attractor which is saya rasa sangat banyak, MRB salahsatunya. kata lain pariwisata hidup. tentunya ada social cost dan juga social benefit. tergantung kita bagaimana memaknainya. miseut jeut ta peulaku boh labu jeut ke asoe kaya. kunjungan ke Aceh membawa money inflow sehingga stock kekayaan orang kita bertambah. saat ini Aceh lebih banyak money outflow. kunjugan tersebut juga mengakibatkan terjadi lebih banyak transaksi bisnis spt penginapan, transportasi, kuliner, handicraft dll yang juga punya kaum ekonomi lemah.

    Ala kulli hal, Saya tidak terlalu menyoroti hotel dan mall pak. saya lebih concern pada bagaimana kita masyarakat aceh lebih peduli dengan perilaku kita bukan menyalahkan yang lain. kl kita tidak merubah perilaku syariah kita. Mesjid/mushalla pun bisa dijadikan tempat mesum. tanpa ada hotel/mall disekitar MRB, kita santai aja lalu lalang di depan mesjid pas azan.

    BalasHapus
  4. Di sini, saya tak mencoba menanggapi komentar Pak Mathunis secara langsung, tapi mencoba menggali ke fundamental konsepsi kita perihal kebenaran.
    Reaktif adalah hukum alam, ketika sebuah entitias berjumpa entitas lain yang sama sekali belum dikenal,, ini bagian dari hukum alam dalam rangka bertahan diri. Pada dasarnya reaktif adalah sikap tidak mentolerir sedikitpun resiko yang akan mengancam sebuah entitas. Seperti tindakan membuang pisau A, adalah me-nol-kan resiko luka, karena tak pernah tahu cara memakainya. Lebih baik gunakan pisau B saja yang sudah biasa digunakan.
    Tahap selanjutnya ketika mulai dapat informasi walau sayup perihal pisau A, keinginan mencoba mulai tumbuh di hati., bergantung seberapa lengkap info yang didapatkan. Proses ini adalah laku antisipatif..entitas baru disilahkan mendekat, bahkan dibiarkan masuk dengan pelan. Waspada tetap mengemuka dengan berjaga-jaga. Rencana sudah disiapkan terhadap kemungkinan perbenturan.
    Saya setuju, pandangan mayoritas belum tentu benar (juga belum tentu salah ),tapi dalam segi tertentu konsepsi benar tak lepas dari kesepahaman dan kesepakan kontekstual yang disetujui oleh mayoritas. Ada dua konsepsi tentang kebenaran, kebenaran universal (ideal) dan benaran kontekstual yang relative itu. Ketika mengatakan perihal kebenaran dari satu sisi kita harus berhadapan tentang kebenaran di sisi lain. Antar dua kebenaran harus ada kesepakatan tentang kebenaran yang baru. Semacam dialektika, thesis kebenaran sudut pandang kita akan cenderung menganggap kebenaran di sisi lain sebagai antinya, yakni antithesis. Kemudian keduanya bertemu menghasilkan kebenaran baru sebagai buah dari kesepakatan..
    Intinya adalah dialog sebagai bentuk dialektika. Tapi untuk proses ini sering memakan banyak waktu,kurang praktis dalam kacamata ekonomis yang cenderung pragmatis. Walau bagaimanapun proses tranformasi pikiran dua arah akan lebih kuat bila berjalan pelan. Dudukannya akan lebih kokoh, kerena cukup waktu untuk memaknai secara dalam.
    Bila dialektika berjalan lancar, mungkin pro dan kontra tentang Pembangunan hotel, akan lebih mudah dapatkan titik temunya, sebuah synthesis baru untuk semua. Tnetu saja itu semua adalah pembelajaran bagi kita.

    BalasHapus