Jumat, 09 Desember 2011

Tata Kelola Syariah Islam

Sebelas tahun telah berlalu sejak pemberlakuan syariat Islam ditetapkan oleh Qanun 5 Tahun 2000. Ibarat seorang anak, seharusnya si buah hati sudah mulai terbiasa dengan ibadah dan perilaku shalih karena ajaran dan didikan yang diperoleh sejak dari kelahirannya dan diberi hukuman apabila meninggalkan kewajiban agamanya. Masih teringat suka ceria ketika mendengar berita negeri syariah telah dilahirkan Optimism membuncah dan bangga akan kabar itu. Terbayang akan akhlak santun dan senyuman si anak yang berpakaian menutup aurat secara sopan dan elegan, selalu bergegas ke Masjid dan Meunasah saat azan berkumandang dan taushiyah dan toleransi dalam bermasyarakat.

Namun tampaknya jauh panggang dari api. Tumbuh kembang si nanggroe syariah yang bernama Aceh tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Di satu sisi, ia lebih cepat beradaptasi dan mengadopsi sisi negatif dari globalisasi dan agak lambat dalam merevitalisasi nilai-nilai keshalihan. Apa yang negatif di daerah lain juga terdapat di nanggroe ini. Sepertinya tidak ada yang berbeda dengan daerah lain kecuali prevalensi wanita memakai tutup kepala lebih tinggi. Di sisi tata kelola pemerintahan juga nanggroe ini masih perlu dibenahi. Misalnya hasil survey lembaga Transparansi International Indonesia (TII) pada tahun 2010 tingkat persepsi korupsi di Aceh juga masih tinggi. Tentunya hal ini harus menjadi kekhawatiran kita bersama. Lalu apa yang salah dalam membesarkan anak tercinta ini ?

Tata Kelola Syariah Islam.
Khalifah Utsman bin Affan RA pernah mengatakan ,”kebaikan yang tidak teroganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Pernyataan beliau mengisyaratkan bahwa niat baik saja tidak cukup namun mesti diiringi dengan organisasi yang mantap. Secara praktis fungsi organisasi akan berjalan baik apabila mengikuti tahapan yang telah dikenal secara mahsyur, yaitu POAC (Planning, Organizing, Actuating and Controlling).

Karakteristik dari Islam adalah syumul atau menyeluruh. Islam mengatur segala sendi kehidupan dalam bernegara, bermasyarakata, berkeluarga hingga hal yang pribadi. Komprehensivitas Islam seharusnya membutuhkan tata kelola yang komprehensif pula termasuk menjamin dan mendorong partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan. Hal ini dikarenakan tidak semua permasalahan dapat ditangani secara sendiri oleh pemerintah atau rakyat an sich.    

Pasca pemberlakuan UU 44/1999 tentang Keisteimewaan Aceh dan UU 18/2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Pusat dan Aceh telah melakukan reformasi institutional dengan membentuk beberapa dinas/institusi yang berkaitan dengan pemberlakuan syariat Islam. Diantaranya adalah Mahkamah Syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama, Dinas Syariat Islam,  Baitul Mal, Majelis Adat Aceh, Majelis Pendidikan Daerah dan  Wilayatul Hisbah. Namun hanya menggantungkan efektifitas pelaksanaan syariat pada lembaga-lembaga diatas adalah hal yang absurd.

Komprehensivitas Islam menuntut bahwa kepemimpinan utama daripada pelaksanaan syariah ada pada kepala daerah dan pemimpin lainnya seperti di sisi legislatif dan yudikatif. Lembaga-lembaga organik misalnya Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata atau Kebudayaan harus menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Islam, Dinas Pendidikan Islam, atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Islam. Tentunya hal ini tidak bermaksud mengganti nomenklatur dan merobohkan plang lembaga yang ada dan menambahkan kata Islam, namun lebih pada merevitalisasi corporate cultures (budaya organinasi) yang islami dalam seluruh lembaga pemerintahan sehingga produk kebijakan dari lembaga tersebut link and match dengan kondisi pelaksanaan syariat Islam di lapangan.

Indeks Pembangunan Syariah
Sebagai contoh masih belum memadainya tata kelola syariah Islam di Aceh adalah belum adanya indikator pembangunan syariah yang disepakati bersama. Kita sudah mahfum dengan beberapa indikator pembangunan populer seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indikator Tujuan Pembangunan Milenium dan lainnya. Indikator ini adalah suatu keharusan  untuk menjamin setiap tahap dari pelaksanaan Syariat Islam (POAC) dilakukan secara terukur dan akan mewujudkan visi syariah yaitu baldatun thaiyibatun warabbun ghaffur, sebuah wilayah dengan kualitas hidup yang baik dan diridhai Allah.


Misorganisasi dari pembangunan Islam sebenarnya fenomena global. Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari (2010) berkesimpulan bahwa ternyata negara-negara yang mendeklarasikan sebagai negara Islam (tergabung dalam OKI) tidak melaksanakan apa yang diharapkan Islam. Artikel mereka yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” dan diterbitkan Global Economy Journal (artikel dapat diunduh melalui http://www.bepress.com/gej/vol10/iss2/2/)  mencoba mengembangkan indikator yang mengukur tingkat pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam bernegara yang disebut dengan Islamicity Index. Indikator-indikator yang disarikan dari Al Quran dan Sunnah Nabi meliputi sub-indikator yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi, hokum dan tata kelola, hak asasi manusia dan politik, dan hubungan international. Yang membuat miris hati adalah ternyata negara yang memiliki peringkat paling atas adalah bukan negara Islam namun Selandia Baru. Negara Islam yang menempati peringkat paling atas adalah Malaysia (peringkat 38) sedangkan Indonesia berada pada peringkat 140.

Hikmah yang patut diambil dari kenyataan diatas adalah sudah saatnya Aceh  sebagai provinsi syariah mempunyai indikator pembangunan syariah. Sebagai perbandingan atau   benchmark bisa saja merujuk pada indikator yang ada dalam islamicity index sebagaimana dikembangkan oleh kedua penulis diatas. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk menambahkan indikator baru yang relevan dengan pelaksanaan syariah Islam di Aceh sehingga pembangunan syariah bisa terukur dan mempunyai kemajuan dari waktu ke waktu.

Kembali ke Strategi Nabawi
Kembali pada karakter Islam yang komprehensif. Hanya berharap pemerintah untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pelaksanaan Islam di Aceh adalah hal yang tidak bijaksana. Sejatinya setiap penduduk Aceh yang mempunyai kewajiban untuk mensukseskan tugas kekhalifaaan ini. Pemerintah dan segala stakeholder syariat Islam harus duduk bersama, mempunyai ekspektasi yang sama dan berkoordinasi secara baik untuk mengusung tugas mulia ini. Kesemua pembagiaan peran tersebut seharusnya menjadikan sunnah nabi dan sahabat sebagai inspirasi bagi strategi pembangunan syariah Islam di Aceh. Para aparatur di pemerintahan mencontoh Rasulullah sebagai negarawan dan administrator yang amanah dalam mengelola persoalan rakyat. Begitu juga dengan stakeholder lainnya. Ketika kebaikan perlu disampaikan dari door to door maka elemen syariah seperti Jamaah Tabligh dapat dikerahkan. Atau ketika harus ke daerah terpencil dan rawan pemurtadan makan elemen seperti Dewan Dakwah Islam dapat diandalkan. Belum lagi dengan peran ormas Islam lainnya, pesantren, tengku meunasah, pengajian ibu-ibu serta keinginan dari pribadi-pribadi untuk melakukan keshalihan sosial karena merasa sebagai tugasnya sebagai khalifah. Kelebihan dan keinginan yang baik tersebut harus bisa diikat dalam sebuah tata kelola yang saling menguatkan bukan saling melemahkan.  


Akhirnya, tata kelola Syariat Islam yang menyeluruh harus dimulai dari sekarang. Si anak sudah mendekati baligh. Jangan sampai karena keteledoran dan pendekatan kita yang konvensional membuat si anak tidak bisa membedakan mana yang hak dan bathil dan akhirnya memilih menanggalkan syariat Islam dari perilaku dan kehidupan kesehariaanya dan itu mungkin saja terjadi !!!. Nauzubillahi min dzalik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar