Minggu, 15 Januari 2012

Ge-Ge untuk Pemda Aceh


Barangkali GG (baca Ge-Ge) menjadi pertanyaan pertama ketika membaca judul diatas. Bagi yang familiar dengan pemerintahan bisa jadi menduga GG merupakan Good Governance atau kalau diterjemahkan menjadi tata kelola pemerintahan yang baik. Ya  memang tidak salah. Tapi kepanjangan dari  GG yang saya maksud dalam tulisan blog ini adalah Gebrakan Gita.

Gita yang saya tuju disini adalah Gita Wirjawan, Menteri Perdagangan Republik Indonesia saat ini. Sebelumnya ia menjabat Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal  (BKPM). Beberapa waktu yang lalu Gita melakukan maneuver yang berhasil mencetak headlines bin trending topic di berbagai media massa di Indonesia. Apalagi kalau bukan keinginannya agar seluruh staf Kemendag dibawah pimpinannya mempunyai nilai minimal TOEFL 600. Mendag ini tidak hanya cuap-cuap, kabarnya tahun ini ia telah menganggarkan dana sekitar 9 milyar untuk pelatihan bahasa Inggris demi target tersebut.

Ragam reaksi membuncah pasca statement Gita tentang rencananya. Ada yang menganggap target tersebut super muluk dan tak berdasar. Namun ada juga yang melihat sisi positif gebrakan ini meskipun TOEFL 600 adalah sesuatu yang tidak mudah untuk dicapai. Pengamat Kebijakan Publik, Adrianof Chaniago, menyatakan bahwa Gita naïf menganggap PNS di Kemendag sebagai cerminan dirinya. Gita adalah master lulusan Harvard Kennedy School. Sebuah institusi pendidikan yang memang mensyaratkan TOEFL 600 sebagai salah satu syarat untuk diterima di sekolah bergensi ini. Chaniago juga mengatakan bahwa tidak semua PNS beruntung dan mempunyai latar belakang keluarga sebaik Gita dimana sedari kecil ia sudah bolak-balik ke luar negeri karena karir ayahnya sebagai diplomat. Gita tak terpengaruh. Ia katakan bahwa target ini tidak muluk sebab ia sudah buktikan selama ia memimpin BKPM bahwa sekitar 258 dari 580 mantan karyawannya berhasil mendapatkan nilai 600 tersebut dalam waktu setahun (6 Januari 2011, vivanews.com)

Bagi saya, gebrakan Gita ini adalah sesuatu hal yang bisa dikategorikan thinking out of box atau business not as usual . Meskipun sejujurnya saya ngeri juga melihat skor TOEFL yang 600 itu. Lalu apakah GG ini relevan untuk pemda Aceh?

Sebenarnya isu persyaratan TOEFL dalam dunia pemerintahan di Aceh tidaklah hal yang baru. Zaman Gubernur Aceh Ibrahim Hasan pernah diwacanakan agar PNS yang akan naik golongan IV atau pejabat setingkat kepala bidang atau eselon III untuk mempunyai kualifikasi TOEFL tertentu. Wacana ini kabarnya muncul dari laporan kepada beliau bahwa seorang mitra pembangunan yang berkewarganegaraan asing tidak terlayani akibat tidak ada seorang pun di kantor gubernur saat itu dapat berbahasa inggris secara baik. Meskipun  wacana tersebut akhirnya tak jadi dilaksanakan karena almarhum keburu ditarik ke Jakarta sebagai Ketua Bulog sekaligus Menteri Negara Urusan Pangan. Bagi saya juga apa yang diwacanakan Ibrahim Hasan merupakan wujud terobosan yang perlu diulangi dan diperbaiki.

Pengalaman saya di pemerintah Aceh selama beberapa tahun, terutama setelah tsunami, membuat saya menyimpulkan perlu bagi pegawai negeri untuk cakap dalam berkomunikasi dalam bahasa asing. Aceh pasca tsunami menjadi daerah yang terbuka dimana berbagai pihak luar negeri berlomba untuk membantu negeri yang terkena musibah ini. Saya menilai dan merasakan secara langsung bagaimana tidak efisiennya ketika sebuah komunikasi dilaksanakan dengan kendala bahasa. Memang dapat dijembatani dengan dengan penterjemah, namun tetap banyak poin penting terlepas dari proses komukisai dan diskusi sehingga tidak semua rencana dan keinginan dapat tersampaikan. Belum lagi rasa percaya diri yang rendah akibat ketidakmampuan bahasa asing membuat enggan menyambut niat baik yang ditawarkan. Akibatnya terlalu banyak potensi dan resource yang terbuang percuma.

Aceh yang terbuka seharusnya harus diimbangi dengan kompetensi berbahasa yang memadai apabila Aceh ingin mengambil manfaat maksimal dari proses globalisasi. Sejarah juga merekomendasikan hal ini. Diawal hegemoni Islam pada masa kekhalifahan Islam, peran bahasa sangat besar yang ditandai tersedianya berbagai ilmu pengetahuan bagi seluruh muslim saat itu melalui penterjemahan iptek dari bahasa Yunani dan Romawi ke bahasa Arab. Kebangkitan Eropa juga didahului oleh hal yang sama ketika dokumen ilmu pengetahuan berbahasa Arab diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Eropa. L’histoire se repete, sebuah ungkapan bahwa sejarah itu akan berulang ketika sebab-sebabnya direkonstruksi. Aceh dapat maju jika segala ilmu pengetahuan dapat dinikmati oleh seluruh rakyatnya. Kemampuan berbahasa asing adalah salah satu jembatannya.

Revenons à nos mouton, sebuah hadih maja Prancis untuk mengatakan kembali ke GG dalam konteks Pemda Aceh. Sudah seharunya kita mulai merevitalisasi thinking out of box-nya Gubernur Ibrahim Hasan dan Mendag Gita Wirjawan. Memang tidak gampang tapi saya yakin hal ini adalah within our reach. Insya Allah kita mampu. SDM kita hebat, dana kita kuat. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran, kemauan dan  kepemimpinan  untuk menciptakan lingkungan kondusif yang penuh dengan insentif. People respond to incentives. Ini bukan pernyataan neolib. Ini cara Allah SWT mendorong manusia untuk menjadi ahsanun takwim dengan basyiiran wa naziiran, syurga dan neraka.

Tak perlu semuluk Gita.  Namun manfaat berbahasa asing dalam meng-efesien-kan pemerintah  harus membuat kita bergerak maju dari waktu ke waktu. Setiap pemerintah di Aceh baik level provinsi punya Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan yang bertujuan meningkatkan profesionalisme pegawai. Qanun pendidikan mengamanatkan seperlima dari anggaran pembangunan yang berjumlah trilyunan tiap tahunnya diperuntukkan untuk kepentingan peningkatan kualitas manusia, diantaranya para PNS. Beasiswa Aceh ke luar negeri pun tersedia. Sayangnya sangat kecil proporsi PNS yang menerima. Padahal apabila PNS dapat menimba ilmu di negara yang lebih maju, transfer kemajuan akan lebih terjamin karena posisi PNS yang terkondisikan untuk terus berada diranah kebijakan publik.


Memang  absurd ketika mengatakan English is everything we need to take Aceh to be a developed province. Namun kita sudah seharusnya mengambil jalan yang dapat mengantarkan kita ke tujuan secara lebih cepat dan hemat. Diantara jalan tersebut adalah kemampuan bahasa Inggris.  So Start now, small and sustainable. Mulai sekarang, dari yang kecil tapi berkelanjutan.

Sabtu, 14 Januari 2012

Kontroversi Hotel dan Mall di Sekitar MRB : Sebuah Pembelajaran bagi Aceh


Makin marak terasa aksi penolakan pembangunan hotel dan mall di kawasan bekas Geunta Plaza, arah tenggara Mesjid Raya Baiturrahman (MRB). Di media massa diskursus ini pun tambah intens. Malah di media jaringan social dan mailing list, argumentasi akan pro-kontra hotel-mall jauh lebih panas dan menarik. Terlihat jelas ada perlawanan rakyat yang resisten terhadap pembangunan terhadap pemerintah.

Tulisan ini tidak ditujukan mengemukakan lagi posisi saya dalam kontroversi ini. Mungkin sebagian rekan yang membaca ini tahu bahwa saya termasuk orang yang pro-pembangunan (baca artikel 1 dan 2).  Artinya saya tidak ada masalah apabila hotel dan mall dibangun di sekitar MRB selama konsepnya didesain dan dilaksanakan sesuai tema atau bingkai yang disepakati di Aceh. I am going beyond that.

Kehadiran gerakan penolakan hotel dan mall ini harus dimaknai bahwa terdapat ketidakpuasan atau ketidaksetujuan sebagian masyarakat akan rencana kebijakan pemerintah. Ini harusnya dianggap positif. Semangat kekritisan ini harus dijaga secara bijaksana, berimbang dan berkelanjutan. Dalam kerangka dialektika pembangunan, ketidaksetujuan ini ada karena sebagian masyarakat menganggap pembangunan hotel dan mall akan membawa lebih banyak masalah daripada tidak melakukan pembangunan. Anggapan tersebut dapat berasal dari banyak alasan seperti argumen pembangunan yang lemah, kurangnya transparansi ataupun ketidakpercayaan rakyat akibat track record atau prestasi pemerintah yang mengecewakan. Untuk kasus hotel/mall  di sekitar MRB, hemat saya mengatakan alasan ketiga  yang lebih dominan.

Meskipun para pengusung penolakan ini mengatakan bahwa dosa dari pembangunan hotel ini banyak mulai proses amdal yang amburadul, ancaman terhadap landmark kota dan fasilitasi kegiatan maksiat yang akan menodai kesucian MRB. Lagi-lagi saya merasa dosa ketiga yang lebih banyak dipersepsikan sebagai dosa terbesar. Bagi saya dosa pertama dan kedua lebih mudah dimaafkan. Prosedur amdal yang kacau bisa menjadi alasan untuk menganulir hasil amdal dan melakukan analisis ulang sesuai prosedur. Dominasi MRB sebagai landmark bisa dijaga dengan sentuhan kekuatan pikir manusia yang berbentuk arsitektur dan layout kawasan.  

Memang bisa dimengerti mengapa masyarakat dapat tiba pada kesimpulan hotel dan mall akan menodai  MRB. Alur pikiran masyarakat sederhana. Bukti selama ini hotel-hotel di Aceh menjadi salah satu ajang berlangsungnya maksiat. Masyarakat menyoroti kegiatan diskotik dan penjualan minuman keras serta arena prostitusi. Celakanya, hal ini cenderung dibiarkan. Jelas masyarakat mengharapkan pemerintah lah yang harus menertibkan ini. Meskipun tidak bijak juga menyalahkan pemerintah atas seluruh kejadian maksiat di Aceh. Banyak kejadian maksiat di kampung kita, namun  warga tidak proaktif dan antisipatif malah cenderung reaktif. Reaktif disini saya maknai dengan perbuatan intai dulu baru tangkap. Padahal esensi syariah yang kita sepakati bersama dilaksanakan di Aceh adalah beri peringatan (dakwah), beri pendidikan, baru hukum (proaktif dan antisipatif). Kata Nabi Ad-Din annashihah. 


Kompleksitas pemerintah dan masyarakat ini yang menciptakan tidak nyambungnya antara pemerintah dan masyarakat. Di satu sisi pemerintah lemah dalam penegakan hukum disisi lain masyarakat apatis dan mengharapkan pemerintah untuk mengatur semua. Sebagai ilustrasi, ada seorang rekan pernah memberikan pernyataan akan kekecewaan terhadap pemerintah,” Jika anda menerobos lampu merah dan polisi tidak menilang anda, apakah anda salah??”. Pernyataan diatas bagi saya merupakan cerminan dari apa yang ada di lapangan saat ini.

Pembelajaran bagi Aceh
Percayalah, Memimpin akan lebih mudah apabila segenap komponen mempunyai visi dan ekspektasi yang sama dengan sang pemimpin.   Tujuan pun akan lebih mudah tercapai. Untuk mencapai tersebut, kendala psikologis yang harus dihilangkan terlebih dahulu. Jangan sampai rakyat  benci roman sehingga apapun yang dilakukan pemimpin, tanpa dianalisa lebih lanjut, langsung ditolak.

Banyak rakyat yang sudah mengalami syndrome ”benci roman”. Tak ada cara lain mengobati penyakit tersebut adalah dengan menunjukkan roman pemerintah yang tegas dalam penegakan hukum. Ketika teladan sudah terpancarkan maka simpati dan kepercayaan itu akan kembali.

Ketika kepercayaan itu kembali, maka ia harus dijaga dan dipertahankan. Membangun komunikasi adalah hal yang mutlak. Masyarakat menganggap bahwa pemerintah yang mereka pilih akan memudahkan mereka untuk menentukan pilihan masa depannya. Karena itu pilihan-pilihan kebijakan itu seharusnya berbentuk informed choices, yang telah dikaji/diteliti positif dan negatif, resiko dan keuntungannya.

Gerakan civil society juga harus dijaga karena ia juga bagian dari percepatan pencapaian tujuan. Lazim bagi pemimpin atau manager akan istilah proses manajemen POAC (planning, organizing, actuating, controlling). Civil society perlu terlibat dalam proses tersebut dalam bentuk apa yang lebih dikenal dalam istilah politik sebagai checks and balances.

Dari sisi rakyat harus disadari bahwa pemerintah adalah cerminan masyarakat. Apabila pemerintah buruk, tidak bijak semata menghujat pemerintah. Ibarat buruk rupa, cermin dibelah. Masyarakat harus introspeksi juga. Pemerintah yang berkategori eksekutif dan legislatif adalah pilihan kita. Pemerintah buruk  bisa jadi kita tidak pandai memilih. Salah memimpin pemimpin dalam pemilu, maka efeknya terasa 5 tahun. Dalam perjalanannya, masyarakat juga seharusnya ikut mengawasi sebagai bentuk tanggung-jawab atas pilihan kita.

Ketika hubungan pemerintah dan masyarakat  terpilin rapi, erat dan kokoh. Ia menjadi sebuah tali yang kuat untuk menarik garbong pembangunan Aceh menuju ke posisi lebih baik dari waktu ke waktu.      

Selasa, 10 Januari 2012

Demam Esemka : Sebuah Inspirasi bagi Pengembangan Industri di Aceh

Memasuki tahun 2012, khalayak ramai disuguhkan sebuah berita tentang keberhasilan anak negeri membuat kendaraan roda empat yang diberi nama "Esemka". Walikota Solo Joko Widodo bahkan menggunakan mobil produksi cah solo ini sebagai mobil dinasnya. Dari bentuk fisiknya, mobil ini tidak kalah dengan mobil-mobil asal Jepang lainnya. Sekilas mobil "Esemka" ini mirip dengan Toyota Rush ataupun Daihatsu Terios. Juga diberitakan merek Esemka ini akan memproduksi varian lainnya .

Kehebohan kabar ini bukan pada spesifikasi atau kecanggihan dari pada kendaraan ini. Namun lebih pada produsennya. Esemka merupakan karya dari anak-anak yang menuntut ilmu pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 2 Surakarta. Ini bagaikan menampar industri otomotif nasional. Ternyata tak seperti dibayangkan perlu teknologi yg canggih dan pabrik super modern yang serba otomatis untuk menghasilkan sebuah mobil. ABG pun bisa. 

Berbagai komentar dan apresiasi pun mengalir. Dari keraguan atas keandalan sampai optimisme kebangkitan industri mobil nasional pun diungkapkan oleh banyak pihak. Presiden SBY sendiri secara langsung mengapresiasi prestasi ini. Memang bukan hal mudah untuk memproduksi mobil nasional seperti Esemka secara massal dan menguntungkan. Banyak hal yang mendasar harus dibenahi mulai dari jaminan kualitas hingga kebijakan industri.

Pelajaran Bagi Aceh

Bagi saya prestasi anak SMK 2 Surakarta (atau lebih sering disebut Solo) ini membukakan mata bahwa anak-anak baru gede yang masih berseragam putih abu-abu mempunyai potensi untuk melakukan hal-hal yang inovatif. SMK selama ini dianggap sebagai sekolah menengah kelas dua yang hanya dimasuki oleh siswa-siswa minim prestasi dan nakal. Asumsi ini memberi pengaruh pada animo orang tua untuk memasukkan anaknya ke sekolah keterampilan ini. Ditambah dengan gambaran pekerjaan alumninya sebagai montir di bengkel-bengkel honda dengan pakaian berselemak oli. 

Aceh saat ini mempunyai beberapa SMK dan SMK termegah yang dibangun adalah kompleks SMK yang berada di Lhoong Raya, tepat di depan Stadion Sepak Bola. Kompleks yang terdiri  dari gabungan 3 SMK ini dibangun dengan dana bantuan Pemerintah Jerman. Aspirasi dari pembangunan ini berasal dari pengalaman Jerman pasca Perang Dunia kedua dimana salah satu faktor kebangkitan Jerman saat itu ditopang oleh ketersediaan tenaga terampil untuk membangun kembali industrinya yang hancur lebur oleh perang. Hasilnya terbukti bahwa Jerman sekarang menjadi negara dengan industri teknologi tinggi paling kompetitif di dunia saat ini meskipun krisis ekonomi eropa tengah melanda. Hal ini bisa dilihat dari minimnya tingkat outsourcing atau relokasi industri dari Jerman ke negara-negara berkembang yang mempunyai keunggulan komparatif.

Keberadaan SMK ini juga sangat relevan dengan keinginan Pemerintah Aceh untuk mentranformasikan sektor ekonomi Aceh dari basis pertanian ke industri. Wakil Gubernur Muhammad Nazar kerapkali meng-advokasi bahwa transformasi ini seharusnya diikuti oleh komposisi lulusan antara sekolah menenah umum dan kejuruan dapat lebih berimbang untuk menjamin pasokan sumber daya manusia bagi industri. Memang tidak mudah untuk membangkitkan industri di Aceh. Ia membutuhkan perbaikan dan penyesuaian sistemik yang melibatkan mulai dari pendidikan, kebijakan hingga kondisi pasar.  

Dari segi fasilitas pendidikan, banyak peralatan-peralatan yang canggih disediakan ketika masa rehabilitasi dan rekonstruksi namun beberapa informasi menyatakan bahwa fasilitas canggih tersebut tidak optimal termanfaatkan. Salah satu kendalanya adalah ketersediaan guru yang terampil. Ada anekdot bahwa di SMK jurusan permesinan banyak terdapat guru sejarah mesin. Alih-alih mengajar praktek menggunakan mesin secara benar, sang guru lebih banyak menceritakan asal-usul mesin tersebut. Upgrade atau peningkatan kualitas guru teknik perlu di benahi. Program beasiswa Aceh juga seharusnya memprioritaskan peningkatan SDM dibidang ini. 

Selain itu animo untuk masuk ke SMK juga perlu ditingkatkan. Kesan kumuh dan tidak elit alumni SMK perlu ditepis. Tidak bisa saja dengan iklan SMK yang sudah dilakukan diberbagai media namun ketersediaan lapangan kerja dan produk-produk inovasi perlu dirangsang sehingga masyarakat dapat melihat secara langsung dan ini merupakan iklan yang paling efektif. Pemerintah dapat melakukan rangsangan-rangsangan ini dengan melakukan kompetisi-kompetisi kreatif yang sesuai dengan trend industri saat ini. Selain itu keterpaduan antara pasar tenaga kerja yang dipengaruhi oleh kebijakan (policy driven labor market) dan pendidikan juga perlu ditingkatkan sehingga terjadi link and match antara pendidikan dan lapangan kerja. 

Selain itu pelibatan industri juga sangat krusial. Dalam kasus Mobil Esemka, kerjasama siswa SMK 2 Surakarta dengan salah satu pengusaha otomotif lokal (Kiat Motor) adalah tulang punggung keberhasilan ini. Bahkan tanpa campur tangan pemerintah. Namun logika sektor swasta bahwa ia hanya tertarik apabila kerjasama tersebut menghasilkan keuntungan. Karena itu pemerintah perlu mengarahkan pendidikan dan produk inovatif yang dihasilkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan pasar. Ketika pendidikan dan pasar tenaga kerja telah terhubungkan secara baik maka pemerintah tak perlu pusing lagi memikirkan cara memberi kerja kepada masyarakat, bahkan menjadi kestabilan pemerintahan itu sendiri baik secara politik dan finansial. 

Sudah saatnya kita berbenah. SMK dan Politeknik bahkan Universitas serta sektor swasta harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kebijakan pengembangan industri Aceh. Bersama kita bisa.


Kamis, 05 Januari 2012

Penembak yang Harus Ditembak.

Trenyuh membaca beberapa nyawa melayang secara tidak haq di Nanggroe Aceh Darussalam. Korban penembakan serasa menjadi saudara sendiri walaupun sebenarnya tidak saling mengenal. Mungkin ini bagian perasaan yang menyakini bahwa terbunuhnya seorang yang tak bersalah bagaikan terbunuhnya semua manusia di dunia. Itulah tuntunan Al Qu'ran dalam Surat Al Maidah Ayat 32. Saya yakin seluruh rakyat yang berdiam di Aceh mempunyai perasaan yang sama. Kesan ini terlihat jelas dari kutukan-kutukan atas perbuatan nista tersebut di berbagai media massa hingga media jaringan sosial.

Tak perlu pusing mencari dan menduga apa alasan yang melandasi penembakan busuk ini. Prioritas utama adalah hentikan kedhaliman ini. Tangkap pelaku dan bongkar jaringan serta mastermind-nya. Ayo Polri, kerahkan segala kemampuan untuk menghentikan kebiadaban ini. Densus 88 yang secara cepat bisa mengungkap kerja rapi jaringan pelaku teror, insya Allah bisa mengungkap.

Di tanah endatu yang karamah ini dan kita bersama selalu berusaha untuk mengembalikan ke-karamah-an tersebut, Haram hukumnya darah tertumpah secara tidak haq

Jalasveva (nehi) Jaya Mahe - Di Lautan Kita (tidak) Jaya

Senang bercampur sedih membaca berita Serambi Indonesia ( 4 Januari 2012). Kabar mengabarkan keberhasilan penyelamatan tujuh nelayan asal Sumatera Utara yang terkatung-katung selama 9 jam akibat tertabrak sebuah kapal tanker. Hingga kini kapal tanker melenggang kangkung tanpa diketahui identitasnya. Tak tahu siapa yang bertanggung jawab atas kerugian akibat tenggelamnya kapal ikan  KM Rezeki Makmur. 

Saat selesai membaca berita, memori saya langsung menembus waktu kembali  pada dini hari 17 Agustus 2007. Sekitar pukul 04.00 Tidur nyenyak terhenyak ditengah raungan helicopter yang lalu lalang di udara kota Brest, sebuah kota kecil di bagian barat Perancis. Seketika pikiran saya menduga bahwa ada latihan militer mengingat Brest adalah pusat armada angkatan laut Perancis untuk kawasan Atlantik. 

Keesokan paginya,  saya mendengar di radio bahwa ada kecelakaan laut yang melibatkan sebuah kapal nelayan bernama Le Sokalique dan Kapal General Cargo, Ocean Jasper di lepas pantai Brest, dekat Pulau Ouessant. Sebelum tenggelam kapten dari kapal nelayan sempat mengirimkan pesan SOS dan diterima oleh petugas pengaman pantai. Namun sayangnya sang kapten ditemukan tewas  sedangkan awak lainnya dapat diselamatkan. Ternyata raungan helicopter semalam berasal dari helicopter Coast Guard Perancis yang membawa korban ke Rumah Sakit Rujukan Morvan yang memang tidak jauh dari Cite Universitaire (semacam asrama mahasiswa) dimana saya tinggal. 

Lalu dini hari 18 Agustus 2007 sekitar jam 03.30, Kapal Ocean Jasper sang tersangka tiba di Pelabuhan Brest dikawal kapal Perang Angkatan Laut Prancis. Artinya kurang lebih 24 jam, Pelaku tabrakan sudah ditangkap dan memasuki proses pengadilan untuk mempertanggung-jawabkan kelalaiannya.  

Keadaan ini sangat kontras dengan apa yang terjadi di perairan Indonesia. Sebelum kasus ini banyak kasus serupa yang berakhir dengan kerugian di pihak nelayan kecil. Mengapa bisa ada perbedaan?. Salah satunya mungkin sistem transportasi laut yang lebih moderen dan canggih di Perancis. Selain mewajibkan peralatan komunikasi di semua kapal nelayan. Pemerintah Perancis juga mempunyai sistem pengawasan dan penidentifikasian pergerakan kapal-kapal yang melewati perairannya seperti VMS (Vessel Monitoring System) dan AIS (Automatic Identification System). Dari AIS-lah otoritas maritim Perancis bisa merekonstruksi itenerari kapal-kapal yang melewati kawasan kecelakaan tersebut dan menduga serta menangkap Ocean Jasper yang memang di lambungnya terlihat penyok tanda benturan. 

Pemerintah Indonesia melalui Kementeria Kelautan dan Perikanan juga sudah memulai sistem monitoring kapal ikan berbasis VMS. Selain untuk mengontrol posisi kapal ikan di lautan VMS juga dapat digunakan untuk mengurangi pencurian ikan oleh kapal asing. Berbeda dengan VMS yang berbasis satelit. AIS menggunakan gelombang radio menghubungkan antara kapal dari AIS base station di kawasan pantai. 

Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk menangkap kapal pelanggar tersebut mengingat Indonesia  mempunyai Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) di Sabang, yang sangat dekat dengan lokasi kejadian. Mungkin belum memadai sistem keselamatan pelayaran di Indonesia menjadi sebab utama dari lenggang kangkungnya para kriminal laut. 

Namun lebih dari itu, political sympathy -belum berbicara political will- pun berbeda. Untuk kasus kecelakaan Le Sokalique, Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang saat itu baru terpilih sempat-sempatnya menjenguk dan memberikan ucapan bela sungkawa secara langsung kepada keluarga kapten yang sedang berduka. Sesuatu yang mungkin  jarang di Indonesia.

Meskipun mengaku nenek moyang ku seorang pelaut, ternyata Indonesia masih Jalasveva (nehi) Jaya Mahe  -Di Lautan Kita (tidak) Jaya.     

Rabu, 04 Januari 2012

Atas Nama Landmark Kota

Kontroversi pembangunan hotel dan mall di seputaran Masjid Raya Baiturrahman (MRB) terus berlanjut. Jika awalnya pro kontra ini lebih saya fahami sebagai pertaruhan antara Kesucian MRB dengan kemungkinan Mall dan Hotel  Best Western menjadi kuda troya (trojan horse) bagi maksiat di depan salah satu mesjid terindah di dunia ini (baca- What!!! Hotel Bule  di depan Mesjid Raya???.. So what???. Namun sekarang sudah bergeser pada ancaman terhadap MRB sebagai landmark kota Banda Aceh. 

Persoalan landmark sangat identik dengan tata ruang. Qanun RTRW Kota Banda Aceh (PASAL 79 AYAT 2-C) menyebutkan bahwa  Strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi : (C)membatasi perkembangan kawasan terbangun di kawasan sekitar Mesjid Raya Baiturrahman untuk mempertahankan nilai-nilai historis dan mendorong Mesjid Raya Baiturrahman sebagai landmark Kota.  Teks ini juga  memerlukan klarifikasi lebih lanjut seperti bagaimana disebut melampaui daya dukung dan daya tampung. Apakah pembangunan hotel dan mall termasuk melampaui kedua daya yang disebutkan qanun?

Pemahaman saya terhadap daya tampung dan daya dukung itu terkait dengan besarnya volume atau magnitude relatif terhadap  lingkungan sekitarnya. Ketika hotel atau mall yang dibangun dengan 42 meter dan berlantai 12, saya bisa memahami pendapat bahwa hotel dan mall baru ini akan mempengaruhi dominasi MRB sebagai landmark. Namun apabila dibayangkan luasan tanah bekas Geunta Plaza dengan MRB mungkin tidak sedramatis itu kesimpulan. Menurut saya komprominya adalah bentuk hotel dan mall tersebut disesuaikan konteks dan tidak terkesan angkuh atau “mbong” -istilah Prof Kamal Arif- dihadapan MRB yang kita banggakan.

Ketika kita berbicara tentang kontroversi pembangunan hotel dan mall di sekitar masjid raya seharusnya harus dipahami secara multi dimensi. Tidak melulu masalah potensi maksiat dan tata kota saja. Seorang rekan yang melakukan survey potensi PAD Kota Medan (testimony Alexander Young di Media Social Facebook) mengaku bahwa tingkat hunian atau occupancy rate dari hotel bertipe syariah di sekitar Mesjid Raya Sultan Deli (MRSD)  tersebut rata-rata diatas 90 persen. Mayoritas tamu adalah pelancong yang berasal dari Malaysia dan negara-negara timur tengah. Jelas bahwa MRSD menjadi trip attractor –mengutip istilah Fahmi Abduh Dahlan-.

Pemilihan daerah sekitar MRB sebagai lokasi tak lain karena MRB itu sendiri. Saya rasa tidak ada yang salah dengan hal ini. Bahkan sudah seharusnya masjid menjadi destinasi utama bagi setiap muslim. Apabila ditawarkan lokasi lain belum tentu investor akan tertarik. Kehadiran infrastruktur pariwisata di sekitar MRB tentunya akan  menimbulkan gravitasi yang menarik wisatawan yang telah mendengar keindahan MRB maupun Aceh sebagai provinsi syariah.

Apalagi melihat trend penurunan kunjungan ke Aceh pasca era rehabilitasi dan rekonstruksi. Kenyataan ini bisa digunakan sumber kreativitas baru untuk menarik kembali kunjungan ke Banda Aceh, tentunya dengan cara yang lebih cerdas. Jika pasca tsunami banyak bule yang datang, mulai sekarang turis dari negara muslim yang silaturahmi. Kalau dulu kebanyakan pendatang itu mencari uang di Aceh kemudian mengirim keluar Aceh, kini pendatang membawa uang untuk naik becak, beli kue karah, mencoba kuah beulangong atau kalau beruntung tertarik berinvestasi lebih lanjut. Dari segi social cost, kehadiran turis dari negara muslim jauh lebih minimal dibanding turis barat. Tentunya untuk menarik wisatawan muslim perlu penarik (attractor).

Atas nama landmark kota, tidak bijaksana apabila kita mengabaikan berbagai sisi positif dari ketersediaan hotel (dan mungkin mall) di sekitar masjid raya. Penolakan mentah-mentah akan mengakibatkan citra buruk Aceh sebagai tujuan investasi. Tampaknya kita perlu terus mendalami kearifan endatu yang diabadikan dalam hadih maja, uleu beumatee ranteng bek patah.

Selasa, 03 Januari 2012

Dari Silicon Valley ke Siem Valley


Cukup banyak Allah SWT mendorong kita di dalam Al Qur’an untuk belajar dari bagaimana Allah menciptakan dunia ini dan juga perjalanan hidup sebuah bangsa. Ayat-ayat yang bertemakan perjalanan dan perhatikan tersebut diantaranya terdapat Surat Al Ankabut ayat 19 dan Al An’am ayat 11. Dorongan Allah ini semata-mata diperuntukkan kita untuk bisa mengambil i’tibar atau pelajaran bagaimana seharusnya kita sebagai bangsa  mengambil keputusan dalam hidup ini dan meninggalkan apa-apa yang dapat membuat masa depan kita menjadi suram.  

Salah satu mosaik perjalanan sebuah bangsa yang dapat disaksikan adalah reversal of fortune. Artinya bahwa banyak bangsa mengalami perubahan nasib dalam lintasan waktu hidupnya. Memang sebutan reversal of fortune lebih sering didefinisikan dengan negara makmur di masa lalu  berubah menjadi negara miskin saat ini. Namun bisa juga pembalikan nasib ini berjalan sebaliknya, yaitu dulu  terbelakang sekarang maju.



China, India, Korea Selatan, Singapura dan Taiwan merupakan diantara negara yang menunjukkan trend peningkatan kesejahteraan secara dramatis. Dahulu menjadi daerah jajahan yang dihisap kemakmurannya oleh kolonialisme maupun sistem politik tirani (pemicu utama perubahan nasib dari kaya ke miskin) kini menjadi sumber pertumbuhan ekonomi dunia karena prestasi peningkatan pendapatan rakyatnya  sangat impresif sehingga mendekati kemakmuran negara maju. Fenomena ini dalam ilmu ekonomi disebut konvergensi. Banyak alasan dan konteks yang mendasari keberhasilan negara-negara diatas dalam membalikkan nasib mereka. Namun terdapat salah satu hal identik yang dipilih yaitu penggunaan teknologi sebagai strategi pembangunan ekonominya.


Mark Rogers (2003) dalam buku Knowledge, Technological Catch-Up and Economic Growth menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi berbasis pengetahuan/teknologi ditentukan oleh kesenjangan teknologi (technological gap) dan kemampuan penyerapan teknologi (absorptive capability). Semakin pendek rentang senjang teknologi dan semakin tinggi kemampuan penyerapan, maka peran pengetahuan akan pertumbuhan ekonomi akan menjadi eksponensial. Permasalahan kesenjangan teknologi dapat didekati dengan import teknologi. Apalagi karakter dari pengetahuan atau teknologi adalah menyebar (knowledge leaks/spill-over). Perkembangan teknologi informasi makin menfasilitasi terjadinya diseminasi pengetahuan-pengetahuan baru sehingga kesenjangan teknologi lebih mudah. Negara-negara diatas yang dapat mengejar ketertinggalannya juga pada awalnya melakukan hal yang sama dengan “membeli teknologi dari luar” dan menggunakan teknologi untuk percepatan pertumbuhan ekonominya. Hal mahsyur yang mungkin akrab ditelinga kita adalah bangsa-bangsa tersebut melakukan 3 I, yaitu Imitation, Innovation and Invention (meniru, membuat lebih baik, menemukan sesuatu yang baru). Tak heran sekarang merek dagang produk hi-tech seperti Samsung, Acer, HTC, BenQ sudah jamak di berbagai belahan dunia.


Namun, kemampuan 3I ini tidak bisa dilakukan apabila kemampuan penyerapan atau absorptive capability dari sebuah negara atau daerah itu rendah. Absorptive capability dapat diartikan sebagai kemampuan masyarakat untuk mencari, mempelajari dan menggunakan teknologi yang ada (baik didapat dari luar maupun diciptakan di dalam negeri). Pertumbuhan ekonomi – ditandai dengan peningkatan produktifitas – hanya akan berjalan baik apabila faktor pertama (technology gap)  dikurangi dan faktor yang kedua (absorptive capability) ditingkatkan. Sebagai ilustrasi, Pembelian perangkat komputer canggih yang dilengkapi dengan Office Software terbaru akan tidak meningkatkan produktifitas apabila karyawan tidak bisa menguasai software tersebut, meskipun kemampuan mengetik cepat 10 jari dikuasai secara sempurna.    


Kebijakan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Draft Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh meyebutkan bahwa Aceh Dream pada 2025 adalah menjadi islami maju, damai dan  sejahtera. Terlihat jelas bahwa dalam rencana perjalanannya terdapat 4 pentahapan lima tahunan yang mensyaratkan transformasi struktural. Dimulai dari rehabilitasi, rekonstruksi dan integrasi; revitalisasi industri pertanian, pemantapan sektor manufaktur hingga pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Pentahapan pembangunan ini membutuhkan aplikasi ilmu pengetahuan dan teknologi agar terjadi transformasi yang mulus dan tepat waktu.
Kebijakan iptek tentunya ditujukan pada peningkatan kemampuan absorpsi teknologi dan pengurangan kesenjangan teknologi baik didalam wilayah Aceh maupun relatif terhadap pihak eksternal. Ada 3 langkah yang dianggap efektif untuk memenuhi tujuan tersebut yaitu penambahan knowledge stock (tingkat penguasaan pengetahuan), komunikasi intensif antar pelaku teknologi/pengetahuan dan pelibatan sektor swasta.


Penambahan knowledge stock utamanya dilakukan melalui pendidikan, pelatihan serta penelitian. Makin bertambahnya stock pengetahuan dalam sebuah masyarakat makin tinggi pula kemampuanya untuk menyerap teknologi baru. Karena itu peran perguruan tinggi dan lembaga pendidikan lainnya sangat krusial dalam hal ini. Kebijakan Pemerintah Aceh untuk memberikan beasiswa pendidikan kepada putra/putri terbaiknya ke daerah yang mempunyai tingkat pengetahuan lebih tinggi dirasakan langkah yang tepat untuk percepatan pembangunan Aceh. Hal ini dikarenakan beasiswa tersebut tidak hanya akan menambah pengetahuan tetapi juga sebagai mekanisme transfer teknologi yang dapat mengurangi technology gap. Yang perlu diingat bahwa knowledge stock adalah social capability sehingga ia tidak boleh hanya dominasi perguruan tinggi, namun juga setiap level masyarakal. Sekolah kejuruan, balai latihan kerja dan training-training informal lainnya perlu terus dioptimalkan.  Fokus peningkatan penguasaan pengetahuan ini harus sejalan dengan arah pembangunan Aceh jangka panjang.


Hasil dari penambahan knowledge stock adalah ketersediaan sumber daya manusia (human capital) dengan absorptive capacity yang baik. Begitu teknologi baru dikenalkan, maka produktifitas akan langsung secara signifikan bertambah. Namun hal ini tidak cukup karena kebanyakan produk iptek merupakan kombinasi dari beberapa ide-ide dan dibangun atas penemuan-penemuan iptek sebelumnya. Karena itu perlu mekanisme komunikasi  yang menfasilitasi kebocoran iptek sehingga dapat diketahui oleh banyak pihak. Kebocoran ini atau knowledge leak ini selain merangsang sinergi ide guna penciptaan teknologi baru juga makin memantapkan kekayaan pengetahuan yang dipunyai masyarakat. Kebijakan pemerintah perlu diarahkan untuk menyediakan baik infrastruktur komunikasi maupun regulasi terkait yang mendorong terjadinya pertukaran informasi,  mengokohkan modal sosial hingga jaminan hak cipta.


Sering sekali pihak swasta dan asing merupakan pihak pertama yang memperkenalkan teknologi. Investasi foreign/domestic direct investment. Hongkong, Taiwan dan Singapura menggunakan investasi asing sebagai lompatan untuk melejitkan produktifitas dan daya saing negaranya. Kedua negara ini menawarkan tempat investasi yang menarik dengan menyediakan sumber daya manusia, infrastruktur serta regulasi yang handal. Hasilnya bisa lihat sekarang Hongkong dan Singapura menempati peringkat tiga dan empat dalam pencapaian Indeks Inovasi Global yang disusun INSEAD pada tahun 2011 (http://www.globalinnovationindex.org/gii/main/fullreport/index.html ,Taiwan tidak disebut dalam daftar, namun pada indeks inovasi versi The Economist Intelligence Unit negara -atau provinsi ??-  ini menempati peringkat enam).


Kita dapat menyimpulkan bahwa ketiga intervensi diatas (knowledge stock, komunikasi dan sektor swasta) merupakan tiga pilinan yang saling berkorelasi positif dan kemudian saling menguatkan. Karena itu banyak negara maju mengunakan tiga hal tersebut sebagai tulang punggung dari sistem inovasi nasionalnya. Dalam sistem tersebut terdapat juga 3 pihak utama yang secara aktif memainkan perannya yaitu academics (ilmuwan), business (swasta) dan government (pemerintah), sering disingkat sebagai ABG. Nama lain dari keterkaitan 3 pihak ini juga dikenal dengan istilah triple helix.


Konsep triple helix ini sudah disebutkan dalam draft RPJP Aceh 2005-2025 yang sekarang posisinya masih di DPRA menunggu pembahasan untuk menjadi qanun. Tinggal sekarang bagaimana setiap komponen dapat memainkan peran masing-masing dan terus berkomunikasi guna mewujudkan kolaborasi yang apabila sudah terpilin maka akan mempunyai inersia untuk terus saling menguatkan dan melejitkan daya saing daerah dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.


Ketika Aceh dapat menyediakan melting pot atau tempat menyatunya ketiga kekuatan besar ini, Aceh akan mengeluarkan gravitasi besar berupa produktifitas tinggi dan  menarik investasi baik domestik maupun asing. Jika Amerika Serikat mempunyai Silicon Valley – sebuah daerah di sekitar kampus Stanford University dengan luas satu per dua puluh ribu luas USA namun menarik sepertiga total investasi – Aceh bisa jadi punya Siem Valley yang juga berdekatan lokasi dengan dua kampus terkemuka di naggroe yaitu Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Ranniry. Akankan ini terjadi pada tahun 2025?