Senin, 12 November 2012

Kutukan TPK ?


Rubrik “Droe Keu Droe” Harian Serambi Indonesia baru-baru ini menerbitkan dua tulisan curahan hati  yang mempunyai keluhan yang sama.  Kedua penulis tersebut -M. Jamil S (29 Oktober 2012) dan Faisal Nurdin (2 November 2012)-  mempersoalkan ketidakadilan tunjangan kerja yang didapat oleh PNS provinsi  dan PNS kabupaten/kota lainnya di Aceh. Keduanya menilai perbedaan yang ada tidak seharusnya terjadi mengingat PNS kabupaten/kota yang lebih terkena dampak konflik daripada PNS Provinsi.

Kasak kusuk akan perbedaan TPK antara provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak penerapan di tingkat provinsi. Reaksi awal dari perbedaan tersebut saat itu lebih pada peningkatan permintaan mutasi PNS dari kabupaten/kota ke provinsi. Migrasi PNS ini berdampak negatif. Jika PNS mutasi adalah pegawai dengan kualifikasi tinggi, maka kabupaten/kota mengalami brain drain sehingga pelayanan publik di daerah pun dapat memburuk. Jika sebaliknya, maka kinerja pemerintah provinsi tidak membaik namun beban fiskal justru bertambah.

Akibat paling buruk dari kecemburuan TPK ini  adalah resiko pengkotakan antara PNS provinsi dan kabupaten/kota. Pengkotakan ini dapat mempengaruhi efektifitas koordinasi hingga pemboikotan. Padahal pelayanan publik yang optimal mensyaratkan kesamaan visi, misi dan langkah antar tingkat pemerintahan di Aceh. Jika ini terjadi, alih-alih sebagai penunjang kinerja TPK malah dapat menjadi sebuah kutukan yang meruntuhkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Mungkin menjadi relevan hadits Nabi yang menyatakan, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika kemewahan dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).

Insentif yang Salah Kaprah
Tunjangan prestasi kerja (TPK) kerap dipahami secara salah atau tidak sempurna. Sebagian PNS kabupaten/kota berpendapat TPK adalah bagian “dividen’ perdamaian. PNS provinsi menganggap bahwa TPK yang lebih tinggi adalah wujud lingkup  tugas yang lebih besar dan juga sebagai insentif untuk berprestasi. Meskipun alasan yang pertama benar adanya, namun apakah TPK tinggi dapat meningkatkan kinerja masih menyisakan tanda tanya besar. Kabupaten Aceh Utara dapat menjadi contoh bagaimana TPK tinggi tidak selalu membawa perbaikan. Awal dekade 2000-an, PNS kabupaten penghasil gas bumi ini memberikan tunjangan kerja yang tinggi bahkan jauh melebihi PNS provinsi. Namun tunjangan tersebut tidak berkelanjutan akibat beban fiskal yang besar dan menurunnya pendapatan dari gas bumi. Kualitas hidup rakyat Aceh Utara pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. Begitu juga, TPK provinsi masih dianggap belum menghasilkan kinerja pegawai dan keluaran pembangunan yang sepadan.

Hemat penulis, belum berhasilnya TPK yang tinggi mendongkrak kinerja pegawai dan meningkatkan kualitas pembangunan disebabkan oleh pemahaman bahwa TPK adalah kebijakan terpenting dalam reformasi birokrasi. Padahal Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) hanya menempatkan remunerasi atau TPK pada urutan ke-delapan dari sembilan program percepatan reformasi birokrasi. Delapan program lainnya adalah penataan struktur birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, transparansi seleksi dan promosi PNS, profesionalisasi PNS, E-Government, transparansi dan akuntabilitas aparatur; dan efesiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS.

Celakanya,  pelaksanaan TPK saat ini tidak mengindahkan prinsip insentif , dalam artian yang berprestasi mendapat reward yang lebih tinggi melainkan melalui sistem pukul rata. Hasilnya PNS akan termotivasi untuk bekerja sekedarnya atau minimal demi memenuhi persyaratan administrasi semata. Fenomena ini lebih dikenal dengan race to the bottom. Penyakit ini dapat menjalar. PNS kabupaten/kota mungkin saja beralasan, misalnya, bahwa PNS provinsi dengan TPK tinggi saja masih suka menghabiskan waktunya main game, apalagi PNS kabupaten/kota yang TPK lebih sedikit.  Seharusnya TPK mendorong pegawai untuk berlomba-lomba menjadi terbaik atau race to the top (fastabiqul khairat).

Agar TPK menjadi Rahmat  
Al Qu’ran memaparkan insentif bagi manusia dalam memakmurkan dunia ini. Insentif tersebut adalah syurga dan neraka. Bahkan Al Quran menjabarkan bahwa insentif syurga hanya akan diperoleh setelah amal shalih dilakukan sedangkan (dis) insentif neraka bagi yang berbuat maksiat. Seharusnya kita juga mengambil hikmah dari Al Quran bahwa TPK tidak didapat gratis hanya karena menjadi PNS. Sebagaimana tidak gratisnya syurga karena kita manusia atau muslim.

Didalam hadits Nabi malah insentif akhirat pun di-break down menjadi beberapa tingkat syurga dan neraka yang merupakan fungsi dari kualitas amal shalih dan maksiat yang dilakukan manusia. Sepadan dengah hal diatas, penentuan jenis dan besar TPK juga berhubungan positif dengan beban dan kualitas kerja. Karenanya analisis beban kerja dan jabatan, benchmarking, scorecards adalah hal-hal yang harus diperjelas dan diinternalisasi dalam keseharian aparatur negara ini. Mentransformasi PNS kedalam jabatan-jabatan fungsional merupakan salah satu upaya untuk memaksimal kinerja karena jabatan fungsional mempunyai indikator-indikator yang jelas yang dapat diukur sehingga bisa ditentukan remunerasi yang diterima.

Kebijakan TPK  juga harus dibarengi dengan kebijakan penguatan kinerja lainnya. Kerangka reformasi yang telah dirancang oleh Kementerian PAN dan RB perlu dilakukan secara utuh. Mulai dari seleksi PNS hingga sistem insentif (reward and punishment, transparansi, akuntabilitas) yang menjamin PNS melaksanakan tugasnya sesuai rel harapan masyarakat.

Dari sisi fiskal, ketimpangan fiskal  di Aceh merupakan sumber utama perbedaan TPK di level pemerintahan. Dana otonomi khusus yang dikelola oleh provinsi sebenarnya dapat dijadikan insentif untuk pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan kinerja sekaligus sebagai medium perimbangan fiskal. Pemerintah provinsi perlu membuat aturan transfer fiskal yang jelas dan tegas mulai dari perencanaan, indikator kesuksesan hingga transparansi dan akuntabilitas administrasi keuangan. Pemerintah kabupaten/kota melakukan sesuai blue print yang disepakati bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Selama kualitas dan keluaran pembangunan sesuai dengan cetak biru tersebut, selama itu pula kabupaten/kota mendapat kucuran insentif moneter dari provinsi.

Pemerintah kabupaten/kota juga harus memaksimalkan potensi pendapatan melalui optimalisasi pajak dan retribusi daerah. Dari 16 jenis pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 11 diantaranya adalah kewenangan kabupaten/kota. Optimalisasi potensi penerimaan pajak ini juga dapat meningkatkan kapasitas kabupaten/kota untuk menerapkan sistem insentif termasuk kenaikan TPK.

Akhirnya, yang harus dipahami oleh setiap PNS bahwa hakikat menjadi abdi negara adalah untuk melayani masyarakat. Ibarat pelayan, besarnya tips atau imbalan gaji sangat tergantung dengan kemampuan finansial dari yang dilayani. Makin sejahtera masyarakat, makin besar pula pendapatan para pelayan masyarakat. Jika ini dapat dipahami dan dilaksanakan maka yang terjadi adalah lingkaran kebaikan yang membawa rahmat bagi setiap manusia yang ada di Aceh. TPK tinggi, masyarakat pun tambah sejahtera.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar