Rubrik “Droe Keu Droe” Harian Serambi Indonesia baru-baru ini menerbitkan dua tulisan curahan hati yang mempunyai keluhan yang sama. Kedua penulis tersebut -M. Jamil S (29 Oktober 2012) dan Faisal Nurdin (2 November 2012)- mempersoalkan ketidakadilan tunjangan kerja yang didapat oleh PNS provinsi dan PNS kabupaten/kota lainnya di Aceh. Keduanya menilai perbedaan yang ada tidak seharusnya terjadi mengingat PNS kabupaten/kota yang lebih terkena dampak konflik daripada PNS Provinsi.
Kasak kusuk akan perbedaan TPK antara provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak penerapan di tingkat provinsi. Reaksi awal dari perbedaan tersebut saat itu lebih pada peningkatan permintaan mutasi PNS dari kabupaten/kota ke provinsi. Migrasi PNS ini berdampak negatif. Jika PNS mutasi adalah pegawai dengan kualifikasi tinggi, maka kabupaten/kota mengalami brain drain sehingga pelayanan publik di daerah pun dapat memburuk. Jika sebaliknya, maka kinerja pemerintah provinsi tidak membaik namun beban fiskal justru bertambah.
Akibat
paling buruk dari kecemburuan TPK ini adalah resiko pengkotakan antara PNS provinsi
dan kabupaten/kota. Pengkotakan ini dapat mempengaruhi efektifitas koordinasi
hingga pemboikotan. Padahal pelayanan publik yang optimal mensyaratkan kesamaan
visi, misi dan langkah antar tingkat pemerintahan di Aceh. Jika ini terjadi, alih-alih
sebagai penunjang kinerja TPK malah dapat menjadi sebuah kutukan yang
meruntuhkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Mungkin menjadi relevan hadits Nabi yang menyatakan, “Bukanlah
kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat
khawatir jika kemewahan dunia dibentangkan luas atas kalian,
kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah
terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa
sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).
Insentif yang Salah Kaprah
Tunjangan
prestasi kerja (TPK) kerap dipahami secara salah atau tidak sempurna. Sebagian PNS
kabupaten/kota berpendapat TPK adalah bagian “dividen’ perdamaian. PNS provinsi
menganggap bahwa TPK yang lebih tinggi adalah wujud lingkup tugas yang lebih besar dan juga sebagai
insentif untuk berprestasi. Meskipun alasan yang pertama benar adanya, namun apakah
TPK tinggi dapat meningkatkan kinerja masih menyisakan tanda tanya besar. Kabupaten
Aceh Utara dapat menjadi contoh bagaimana TPK tinggi tidak selalu membawa
perbaikan. Awal dekade 2000-an, PNS kabupaten penghasil gas bumi ini memberikan
tunjangan kerja yang tinggi bahkan jauh melebihi PNS provinsi. Namun tunjangan
tersebut tidak berkelanjutan akibat beban fiskal yang besar dan menurunnya
pendapatan dari gas bumi. Kualitas hidup rakyat Aceh Utara pun tidak
menunjukkan kemajuan berarti. Begitu juga, TPK provinsi masih dianggap belum
menghasilkan kinerja pegawai dan keluaran pembangunan yang sepadan.
Hemat
penulis, belum berhasilnya TPK yang tinggi mendongkrak kinerja pegawai dan
meningkatkan kualitas pembangunan disebabkan oleh pemahaman bahwa TPK adalah
kebijakan terpenting dalam reformasi birokrasi. Padahal Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) hanya menempatkan
remunerasi atau TPK pada urutan ke-delapan dari sembilan program percepatan
reformasi birokrasi. Delapan program lainnya adalah penataan struktur
birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, transparansi seleksi dan promosi
PNS, profesionalisasi PNS, E-Government, transparansi dan akuntabilitas
aparatur; dan efesiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS.
Celakanya, pelaksanaan TPK saat ini tidak mengindahkan
prinsip insentif , dalam artian yang berprestasi mendapat reward yang lebih
tinggi melainkan melalui sistem pukul rata. Hasilnya PNS akan termotivasi untuk
bekerja sekedarnya atau minimal demi memenuhi persyaratan administrasi semata. Fenomena
ini lebih dikenal dengan race to the
bottom. Penyakit ini dapat menjalar. PNS kabupaten/kota mungkin saja
beralasan, misalnya, bahwa PNS provinsi dengan TPK tinggi saja masih suka
menghabiskan waktunya main game, apalagi PNS kabupaten/kota yang TPK lebih
sedikit. Seharusnya TPK mendorong
pegawai untuk berlomba-lomba menjadi terbaik atau race to the top (fastabiqul khairat).
Agar TPK menjadi Rahmat
Al Qu’ran
memaparkan insentif bagi manusia dalam memakmurkan dunia ini. Insentif tersebut
adalah syurga dan neraka. Bahkan Al Quran menjabarkan bahwa insentif syurga
hanya akan diperoleh setelah amal shalih dilakukan sedangkan (dis) insentif
neraka bagi yang berbuat maksiat. Seharusnya kita juga mengambil hikmah dari Al
Quran bahwa TPK tidak didapat gratis hanya karena menjadi PNS. Sebagaimana tidak
gratisnya syurga karena kita manusia atau muslim.
Didalam hadits
Nabi malah insentif akhirat pun di-break
down menjadi beberapa tingkat syurga dan neraka yang merupakan fungsi dari
kualitas amal shalih dan maksiat yang dilakukan manusia. Sepadan dengah hal
diatas, penentuan jenis dan besar TPK juga berhubungan positif dengan beban dan
kualitas kerja. Karenanya analisis beban kerja dan jabatan, benchmarking, scorecards adalah hal-hal yang harus diperjelas dan diinternalisasi
dalam keseharian aparatur negara ini. Mentransformasi PNS kedalam
jabatan-jabatan fungsional merupakan salah satu upaya untuk memaksimal kinerja
karena jabatan fungsional mempunyai indikator-indikator yang jelas yang dapat
diukur sehingga bisa ditentukan remunerasi yang diterima.
Kebijakan
TPK juga harus dibarengi dengan
kebijakan penguatan kinerja lainnya. Kerangka reformasi yang telah dirancang
oleh Kementerian PAN dan RB perlu dilakukan secara utuh. Mulai dari seleksi PNS
hingga sistem insentif (reward and
punishment, transparansi, akuntabilitas) yang menjamin PNS melaksanakan
tugasnya sesuai rel harapan masyarakat.
Dari sisi
fiskal, ketimpangan fiskal di Aceh
merupakan sumber utama perbedaan TPK di level pemerintahan. Dana otonomi khusus
yang dikelola oleh provinsi sebenarnya dapat dijadikan insentif untuk pemerintah
kabupaten/kota dalam meningkatkan kinerja sekaligus sebagai medium perimbangan
fiskal. Pemerintah provinsi perlu membuat aturan transfer fiskal yang jelas dan
tegas mulai dari perencanaan, indikator kesuksesan hingga transparansi dan
akuntabilitas administrasi keuangan. Pemerintah kabupaten/kota melakukan sesuai
blue print yang disepakati bersama
antara provinsi dan kabupaten/kota. Selama kualitas dan keluaran pembangunan
sesuai dengan cetak biru tersebut, selama itu pula kabupaten/kota mendapat
kucuran insentif moneter dari provinsi.
Pemerintah
kabupaten/kota juga harus memaksimalkan potensi pendapatan melalui optimalisasi
pajak dan retribusi daerah. Dari 16 jenis pajak dan retribusi daerah yang
ditetapkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 11 diantaranya
adalah kewenangan kabupaten/kota. Optimalisasi potensi penerimaan pajak ini
juga dapat meningkatkan kapasitas kabupaten/kota untuk menerapkan sistem
insentif termasuk kenaikan TPK.
Akhirnya,
yang harus dipahami oleh setiap PNS bahwa hakikat menjadi abdi negara adalah
untuk melayani masyarakat. Ibarat pelayan, besarnya tips atau imbalan gaji
sangat tergantung dengan kemampuan finansial dari yang dilayani. Makin sejahtera
masyarakat, makin besar pula pendapatan para pelayan masyarakat. Jika ini dapat
dipahami dan dilaksanakan maka yang terjadi adalah lingkaran kebaikan yang
membawa rahmat bagi setiap manusia yang ada di Aceh. TPK tinggi, masyarakat pun
tambah sejahtera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar