“Beri ikan, rakyat akan kenyang sehari,
ajarkan bagaimana menangkap ikan, maka rakyat akan kenyang selamanya”.
Ungkapan ini adalah filosofi yang sudah mahsyur
dan mahfum di kalangan pengiat pembangunan. Namun Paul Romer –sang arsitek New
Growth Theory- mengkritisi filosofi tersebut dengan mengatakan “ajarkan rakyat menangkap ikan, maka mereka
akan kenyang selama beberapa waktu kemudian lapar selamanya akibat rusaknya
habitat atau ekosistem ikan”. Kritik Romer ini adalah kondisional, yaitu apabila
kebijakan pembangunan tidak diantisipasi dengan aturan yang menjaga seperti
aturan jumlah maksimal ikan yang boleh ditangkap atau larangan menangkap ikan
dengan cara merusak ekosistem.
Pembangunan jalan lintas tengah Aceh boleh jadi masuk dalam dilema yang diindikasikan oleh Romer. Secara geografis, Aceh yang berbentuk segitiga dibelah tengah oleh sebaris punggung gunung dikenal dengan bukit barisan. Wilayah tengah Aceh berada dikawasan ini dan secara natural berfungsi sebagai penyangga bagi kawasan dataran rendah dan pesisir di kedua sisi barat-selatan dan timur-utara. Semua sistem sungai di Aceh bersumber dari wilayah tengah. Belum lagi udara bersih yang terus menerus dipompa membuat ia sepenting paru-paru Aceh. Pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi natural kawasan tengah hanya akan berakhir pada kesengsaraan berkelanjutan.
Sesungguhnya motivasi pembangunan jalan lintas tengah adalah sangat mulia. Beberapa waktu yang lalu, media cetak memberitakan bagaimana keterjepitan masyarakat Lokop atau Pining yang menjual hasil kebun ke orang “kota” dengan harga murah dan sebaliknya membeli barang kelontong dari “kota” dengan harga lebih mahal. Penyebabnya adalah buruknya aksesibilitas yang menyebabkan ongkos transportasi menjadi mahal. Adalah logis jika untuk menghentikan ketidakadilan ini dipilih kebijakan meningkatkan aksesibilitas dengan membangun jalan tembus lintas tengah. Tetapi ibarat pisau bermata dua, aksesibilitas dapat berarti jalan keluar dari keterpurukan sekaligus jalan masuk bagi berbagai pengaruh negatif. Dialektika inilah yang harus dapat dikelola oleh sebuah kebijakan pemerintah sehingga mashlahat yang didapat lebih besar dari mudharat pada kasus pembangunan jalan lintas tengah.
Dilema
paling vulgar adalah pembangunan jalan dan kualitas hutan. Jamak diketahui,
ketika sebuah kawasan mempunyai akses yang baik, maka nilai ekonomi daerah
tersebut akan meroket. Nilai kavling tanah akan melonjak ketika jalan akses
dibangun didekatnya. Begitu juga kawasan tengah apabila dibangun jalan tembus. Insentif
ekonomi akan menyebabkan lahan sekitar jalan berubah peruntukannya. Celakanya,
hampir seluruh lahan di kawasan tengah adalah hutan dan bertopografi miring. Jika
tidak diantisipasi, pembangunan jalan dapat menyebabkan hilangnya hutan di kawasan
tengah yang juga berarti menurunnya kapasitas penyangga kawasan tersebut
terhadap Aceh secara keseluruhan.
Hemat
penulis, untuk menghindari dilema ini aturan (rules) harus dibangun dan/atau
diperkuat sehingga pembangunan jalan lintas tengah tidak membawa eksternalitas
negatif terhadap lingkungan. Aturan yang paling relevan adalah yang terkait
dengan tata guna lahan, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Permasalahan
lain yang tak kurang pentingnya adalah pengawasan dan penegakan aturan. Ini adalah
titik lemah utama dalam penyelenggaraan negara. Secanggih apapun aturan main,
jika pengawasan dan penegakan aturan nol maka hasilnya juga pepesan kosong.
Pemerintah Aceh perlu membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum baik dengan mendayagunakan aparatur terkait,
membangun kemitraan pemantauan berbasis masyarakat hingga menggunakan teknologi satelit untuk
mendeteksi perubahan lahan di sekitar jalan yang mungkin tak terlihat dari
pinggir jalan. Efektifitas pengawasan ini sangat tergantung dari kesamaan visi
dan persepsi dari pelaku-pelaku diatas
yang harus dimulai dan dilakukan secara kontinyu.
Di sisi
teknis pembangunan, desain jalan yang akan dibangun juga harus memperhatikan
karakteristik kawasan. Kondisi geologis dan topografis harus menjadi perhatian
utama dalam desain agar usia operasi jalan dapat lebih panjang. Sering kita
jumpai jalan lintas tengah tanpa dilengkapi drainase yang memadai sehingga limpasan
air membuat badan jalan maupun lapisan tanah pendukungnya tidak stabil. Aturan beban
lalu lintas maksimum juga perlu diprediksi sehingga lalu lintas tidak menyebabkan jalan cepat longsor.
Beban lalu
lintas sebenarnya juga dapat dikondisikan dengan strategi pengembangan
komoditas kawasan tengah. Keterbatasan lahan datar dan kendala geografi membuat
kawasan tengah akan lebih menguntungkan mengembangkan komoditas bernilai tinggi
atau mempunyai rasio harga per bobot yang tinggi. Komoditas jenis ini
membutuhkan lahan yang lebih sedikit untuk menghasilkan keuntungan yang sama. Komoditas
seperti ini juga tidak begitu terpengaruh dengan ongkos tranportasi. Bandingkan
saja mengangkut satu truk penuh buah semangka dengan minyak nilam. Dengan ongkos
transportasi yang sama, namun nilai atau keuntungan yang diperoleh jauh
berbeda. Atau dengan nilai yang sama, bobot dan beban lalu lintas juga jauh
berkurang. Hasilnya rentang pelayanan jalan pun lebih lama dan awet.
Sejatinya,
ketika sebuah intervensi pembangunan ditetapkan , pemerintah sudah harus mengantisipasi
seluruh eksternalitas atau dampak yang mungkin terjadi. Dampak tersebut perlu
dikelola dengan kebijakan yang antisipatif dan integratif demi meminimalisir
dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Pendekatan yang sama harus
dilakukan pada pembangunan jalan tembus lintas tengah sehingga dilema pembangunan
jalan tembus lintas tengah terhapuskan. Ini artinya kesejahterakan masyarakat
di kawasan tengah menjadi nyata dan berkelanjutan dan keutuhan dan fungsi
lingkungan tetap terjaga.
Tabloid "Tabangun Aceh" , Edisi November 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar