Kamis, 22 November 2012

Dilema Pembangunan Jalan Lintas Tengah

Beri ikan, rakyat akan kenyang sehari, ajarkan bagaimana menangkap ikan, maka rakyat akan kenyang selamanya”. Ungkapan ini adalah filosofi  yang sudah mahsyur dan mahfum di kalangan pengiat pembangunan. Namun Paul Romer –sang arsitek New Growth Theory- mengkritisi filosofi tersebut dengan mengatakan “ajarkan rakyat menangkap ikan, maka mereka akan kenyang selama beberapa waktu kemudian lapar selamanya akibat rusaknya habitat atau ekosistem ikan”. Kritik Romer ini adalah kondisional, yaitu apabila kebijakan pembangunan tidak diantisipasi dengan aturan yang menjaga seperti aturan jumlah maksimal ikan yang boleh ditangkap atau larangan menangkap ikan dengan cara merusak ekosistem.


Pembangunan  jalan lintas tengah Aceh boleh jadi masuk dalam dilema yang diindikasikan oleh Romer. Secara geografis, Aceh yang berbentuk segitiga dibelah tengah oleh sebaris punggung gunung dikenal dengan bukit barisan. Wilayah tengah Aceh berada dikawasan ini dan secara natural berfungsi sebagai penyangga bagi kawasan dataran rendah dan pesisir di kedua sisi barat-selatan dan timur-utara. Semua sistem sungai di Aceh bersumber dari wilayah tengah. Belum lagi udara bersih yang terus menerus dipompa membuat ia sepenting paru-paru Aceh. Pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi natural kawasan tengah hanya akan berakhir pada kesengsaraan berkelanjutan.

Sesungguhnya motivasi pembangunan jalan lintas tengah adalah sangat mulia. Beberapa waktu yang lalu, media cetak memberitakan bagaimana keterjepitan masyarakat Lokop atau Pining yang menjual hasil kebun ke orang “kota” dengan harga murah dan sebaliknya membeli barang kelontong dari “kota” dengan harga lebih mahal. Penyebabnya adalah buruknya aksesibilitas yang menyebabkan ongkos transportasi menjadi mahal.  Adalah logis jika untuk menghentikan ketidakadilan ini dipilih kebijakan meningkatkan aksesibilitas dengan membangun jalan tembus lintas tengah.  Tetapi ibarat pisau bermata dua, aksesibilitas dapat berarti jalan keluar dari keterpurukan sekaligus jalan masuk bagi berbagai pengaruh negatif. Dialektika inilah yang harus dapat dikelola oleh sebuah kebijakan pemerintah sehingga mashlahat yang didapat lebih besar dari mudharat pada kasus pembangunan jalan lintas tengah.

Dilema paling vulgar adalah pembangunan jalan dan kualitas hutan. Jamak diketahui, ketika sebuah kawasan mempunyai akses yang baik, maka nilai ekonomi daerah tersebut akan meroket. Nilai kavling tanah akan melonjak ketika jalan akses dibangun didekatnya. Begitu juga kawasan tengah apabila dibangun jalan tembus. Insentif ekonomi akan menyebabkan lahan sekitar jalan berubah peruntukannya. Celakanya, hampir seluruh lahan di kawasan tengah adalah hutan dan bertopografi miring. Jika tidak diantisipasi, pembangunan jalan dapat menyebabkan hilangnya hutan di kawasan tengah yang juga berarti menurunnya kapasitas penyangga kawasan tersebut terhadap Aceh secara keseluruhan.

Hemat penulis, untuk menghindari dilema ini aturan (rules) harus dibangun dan/atau diperkuat sehingga pembangunan jalan lintas tengah tidak membawa eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Aturan yang paling relevan adalah yang terkait dengan tata guna lahan, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Permasalahan lain yang tak kurang pentingnya adalah pengawasan dan penegakan aturan. Ini adalah titik lemah utama dalam penyelenggaraan negara. Secanggih apapun aturan main, jika pengawasan dan penegakan aturan nol maka hasilnya juga pepesan kosong. Pemerintah Aceh perlu membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum  baik dengan mendayagunakan aparatur terkait, membangun kemitraan pemantauan berbasis masyarakat  hingga menggunakan teknologi satelit untuk mendeteksi perubahan lahan di sekitar jalan yang mungkin tak terlihat dari pinggir jalan. Efektifitas pengawasan ini sangat tergantung dari kesamaan visi dan persepsi dari  pelaku-pelaku diatas yang harus dimulai dan dilakukan secara kontinyu.

Di sisi teknis pembangunan, desain jalan yang akan dibangun juga harus memperhatikan karakteristik kawasan. Kondisi geologis dan topografis harus menjadi perhatian utama dalam desain agar usia operasi jalan dapat lebih panjang. Sering kita jumpai jalan lintas tengah tanpa dilengkapi drainase yang memadai sehingga limpasan air membuat badan jalan maupun lapisan tanah pendukungnya tidak stabil. Aturan beban lalu lintas maksimum juga perlu diprediksi sehingga lalu lintas tidak  menyebabkan jalan cepat longsor.  

Beban lalu lintas sebenarnya juga dapat dikondisikan dengan strategi pengembangan komoditas kawasan tengah. Keterbatasan lahan datar dan kendala geografi membuat kawasan tengah akan lebih menguntungkan mengembangkan komoditas bernilai tinggi atau mempunyai rasio harga per bobot yang tinggi. Komoditas jenis ini membutuhkan lahan yang lebih sedikit untuk menghasilkan keuntungan yang sama. Komoditas seperti ini juga tidak begitu terpengaruh dengan ongkos tranportasi. Bandingkan saja mengangkut satu truk penuh buah semangka dengan minyak nilam. Dengan ongkos transportasi yang sama, namun nilai atau keuntungan yang diperoleh jauh berbeda. Atau dengan nilai yang sama, bobot dan beban lalu lintas juga jauh berkurang. Hasilnya rentang pelayanan jalan pun lebih lama dan awet.   

Sejatinya, ketika sebuah intervensi pembangunan ditetapkan , pemerintah sudah harus mengantisipasi seluruh eksternalitas atau dampak yang mungkin terjadi. Dampak tersebut perlu dikelola dengan kebijakan yang antisipatif dan integratif demi meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Pendekatan yang sama harus dilakukan pada pembangunan jalan tembus lintas tengah sehingga dilema pembangunan jalan tembus lintas tengah terhapuskan. Ini artinya kesejahterakan masyarakat di kawasan tengah menjadi nyata dan berkelanjutan dan keutuhan dan fungsi lingkungan tetap terjaga.   

Tabloid "Tabangun Aceh" , Edisi November 2012. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar