Kamis, 04 Oktober 2012

Kebijakan Rumah Dhuafa

http://www.bumn.go.id/perumnas/publikasi/berita/program-pemerintah-untuk-rumah-rakyat-di-2012/
Sumber : http://www.bumn.go.id/perumnas/publikasi/berita/program-pemerintah-untuk-rumah-rakyat-di-2012/


Harian Serambi (3 Oktober 2012) memberitakan rencana pemerintah untuk membangun rumah dhuafa sebanyak 20 ribu unit. Rencana ini akan dimulai pada tahun anggaran 2013. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp. 1 trilyun dengan asumsi biaya pembangunan per unit rumah adalah Rp. 50 juta.  

Kebijakan rumah dhuafa ini perlu diapresiasi mengingat kebutuhan rumah yang layak huni dan sehat merupakan sebuah kebutuhan asasi. Banyak rumah kaum fakir miskin di Aceh yang hanya beralas tanah, lembab, sirkulasi udara tidak baik serta kondisi MCK yang tidak higienis. Rumah seperti ini akan menyebabkan penghuninya rawan terhinggap penyakit seperti TBC dan penyakit infeksi lainnya sehingga penghuni menjadi tidak produktif. Akibatnya perangkap kemiskinan bisa terus berlangsung karena sebagian besar waktu dan uang dialokasikan tidak untuk bekerja melainkan istirahat dan membeli obat.

Meskipun kebijakan rumah dhuafa ini mulia tidak berarti ia bebas masalah. Dari mulai penentuan individu yang berhak, standar kualitas bangunan hingga keberlanjutan anggaran membuat kebijakan ini perlu diseriusi. Konflik akibat pendataan yang tidak transparans dan adil bisa saja meledak. Apalagi rumah dhuafa ini diberikan tanpa biaya sepeserpun alias gratis dapat membuat banyak pihak merasa berkepentingan untuk mendapatkan rumah tersebut, berusaha melakukan segala cara demi kepentingannya dan akhirnya praktek korupsi/nepotisme dapat merebak.  Bagaimana seharusnya kebijakan perumahan rakyat diambil oleh Pemerintah Aceh?

Belajar dari Singapura : Bukan Gratis tapi Terjangkau
Singapura merupakan salah satu negara yang dianggap berhasil dalam pengelolaan perumahan rakyat.  Pada tahun 1950-an, 75 persen penduduk Singapura bertempat tinggal di kawasan kumuh yang menggabungkan antara tempat tinggal dan tempat kerja. Sedangkan 25 persen lainnya tinggal di perkampungan yang minim fasilitas pemukiman. Awal tahun 2000, sekitar 85 persen penduduknya tinggal di perumahan yang dibangun pemerintah lengkap dengan fasilitas penunjang seperti air bersih, listrik, sanitasi, sekolah, taman rekreasi hingga pusat belanja. Dari total penghuni  perumahan rakyat tersebut, hanya 5 persen berstatus sewa. Selebihnya adalah pemilik.

Perumahan rakyat di Singapura berbentuk bangunan tinggi (rumah susun) dan berkelompok. Ini tak lepas dari keterbasan lahan yang dimiliki negara kota ini. Namun pengelompokan dan maksimalisasi ruang vertikal ini juga memberikan keuntungan lain. Selain lebih murah, juga ia menampung lebih banyak penduduk sehingga tercipta skala yang cukup bagi peluang ekonomi terutama di sektor jasa/perdagangan.

Dalam perjalanannya, Singapura mengalami evolusi kebijakan perumahan dimana pada awalnya pemerintah bertindak sebagai penyedia. Kemudian beralih menjadi fasilitasi hingga perekayasa sosial yang lebih pada menimbulkan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas perumahan publik yang layak dan sehat. Kebijakan perumahan juga menganut prinsip inklusifitas dengan mendorong terjadinya pembauran etnis yang ditandai dengan kuota khusus etnis dalam kompleks perumahan sesuai dengan proporsi etnis secara nasional. Perumahan rakyat tersebut menyediakan kesempatan yang sama antara jenjang ekonomi dimana si miskin dan si kaya mempunyai akses yang adil terhadap perumahan. Salah satu kesuksesan rekayasa sosial (social engineering) dalam kebijakan perumahan rakyat di Negeri Singa  adalah kesan yang difahami rakyat ketika pindah ke perumahan rakyat yang disediakan pemeritah adalah peningkatan kualitas tempat tinggal yang dirasakan oleh seluruh strata ekonomi.   

Meskipun menyediakan perumahan bagi penduduk miskin, kebijakan perumahan di SIngapura tidaklah memberikan secara gratis. Fasilitasi finansial berupa merupakan keharusan bagi pembangunan rumah rakyat. Namun bantuan finansial dilakukan secara berbeda tergantung dari pendapatan penghuni. Makin kecil pendapatan, makin besar subsidi perumahan yang diberikan pemerintah.     

Pelajaran yang diambil
Perumahan rakyat miskin di Aceh tentunya akan berbeda dengan Singapura. Ketersediaan lahan yang lebih luas membuat Aceh mempunyai lebih banyak pilihan untuk menentukan tipe rumah dhuafa. Tipe rumah susun akan kurang diminati atau relevan di perdesaan. Sebaliknya di perkotaan seperti Banda Aceh atau Lhokseumawe tipe rumah susun sudah seharusnya menjadi pilihan.

Namun yang perlu diambil pelajaran dari kebijakan Singapura dalam hal perumahan rakyat ini adalah sisi finansial dan rekayasa sosial. Kebijakan pemerintah tentunya diambil guna membentuk masyarakat yang sehat secara sosial. Konsep terjangkau daripada gratis mempunyai keuntungan dengan mengkondisikan kaum dhuafa untuk  bekerja lebih produktif dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu seperti rokok agar dapat membayar cicilan.

Besarnya cicilan ditentukan berdasarkan pendapatan dan kemampuan membayar. Cicilan bisa saja berjumlah nol rupiah jika sang penghuni memang benar-benar tidak mampu bekerja dan menghasilkan uang cukup (disposable income). Kemudian, pemerintah dapat mengandeng perbankan dalam pembiayaanya dimana untuk pembayaran cicilan, perbankan berhubungan langsung dengan kaum dhuafa sedangkan subsidi kekurangan akan langsung ditransfer pemerintah ke perbankan. Skema ini selain memberikan kelonggaran bagi Pemerintah karena tidak perlu menganggarkan keseluruhan biaya pembangunan rumah dalam satu waktu, juga membuka akses perbankan terhadap rakyat miskin sehingga mereka lebih melek perbankan dan terlayani (financial literacy/inclusion). Kebiasaan positif bisa terstimulir seperti menabung dan ini memberikan kemudahan pemerintah untuk urusan lainnya seperti transfer langsung atau keperluan pendataan lainnya bagi masyarakat miskin.

Tantangan lain, untuk tipe perumahaan rakyat yang komunal seperti rumah susun. Sering sekali masalah perawatan menjadi kendala. Berbeda dengan rumah tunggal dimana pemilik rumah termotivasi merawat rumahnya, rumah susun perawatan menjadi tanggung jawab bersama. Tipikal fasilitas publik menyebabkan aksi free-rider lebih rentan. Untuk itu rekatan sosial perlu diperkuat sehingga kekumuhan akibat saling lempar tanggung jawab penghuni bisa dihindari.

Selanjutnya kebijakan perumahan rakyat harus diselaraskan dengan kebijakan lain seperti tata ruang dan transportasi. Lokasi perumahan harus menjamin aksesibilitas dan mobilitas sehingga memudahkan rakyat miskin untuk melaksanakan aktivitas ekonomi dan sosial lainnya. Fasilitas pemukiman penunjang seperti akses air bersih, listrik dan sanitasi juga perlu dilengkapi agar perumahan dapat segera ditempati.   

Akhirnya, kebijakan perumahan  dhuafa yang baik dan memberikan insentif yang tepat bukan saja menyediakan kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang layak huni dan sehat, tetapi juga mengangkat mereka dari lembah kemiskinan ke dataran yang lebih landai guna menapak ke derajat kesejahteraan yang lebih tinggi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar