Kamis, 22 November 2012

Dilema Pembangunan Jalan Lintas Tengah

Beri ikan, rakyat akan kenyang sehari, ajarkan bagaimana menangkap ikan, maka rakyat akan kenyang selamanya”. Ungkapan ini adalah filosofi  yang sudah mahsyur dan mahfum di kalangan pengiat pembangunan. Namun Paul Romer –sang arsitek New Growth Theory- mengkritisi filosofi tersebut dengan mengatakan “ajarkan rakyat menangkap ikan, maka mereka akan kenyang selama beberapa waktu kemudian lapar selamanya akibat rusaknya habitat atau ekosistem ikan”. Kritik Romer ini adalah kondisional, yaitu apabila kebijakan pembangunan tidak diantisipasi dengan aturan yang menjaga seperti aturan jumlah maksimal ikan yang boleh ditangkap atau larangan menangkap ikan dengan cara merusak ekosistem.


Pembangunan  jalan lintas tengah Aceh boleh jadi masuk dalam dilema yang diindikasikan oleh Romer. Secara geografis, Aceh yang berbentuk segitiga dibelah tengah oleh sebaris punggung gunung dikenal dengan bukit barisan. Wilayah tengah Aceh berada dikawasan ini dan secara natural berfungsi sebagai penyangga bagi kawasan dataran rendah dan pesisir di kedua sisi barat-selatan dan timur-utara. Semua sistem sungai di Aceh bersumber dari wilayah tengah. Belum lagi udara bersih yang terus menerus dipompa membuat ia sepenting paru-paru Aceh. Pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi natural kawasan tengah hanya akan berakhir pada kesengsaraan berkelanjutan.

Sesungguhnya motivasi pembangunan jalan lintas tengah adalah sangat mulia. Beberapa waktu yang lalu, media cetak memberitakan bagaimana keterjepitan masyarakat Lokop atau Pining yang menjual hasil kebun ke orang “kota” dengan harga murah dan sebaliknya membeli barang kelontong dari “kota” dengan harga lebih mahal. Penyebabnya adalah buruknya aksesibilitas yang menyebabkan ongkos transportasi menjadi mahal.  Adalah logis jika untuk menghentikan ketidakadilan ini dipilih kebijakan meningkatkan aksesibilitas dengan membangun jalan tembus lintas tengah.  Tetapi ibarat pisau bermata dua, aksesibilitas dapat berarti jalan keluar dari keterpurukan sekaligus jalan masuk bagi berbagai pengaruh negatif. Dialektika inilah yang harus dapat dikelola oleh sebuah kebijakan pemerintah sehingga mashlahat yang didapat lebih besar dari mudharat pada kasus pembangunan jalan lintas tengah.

Dilema paling vulgar adalah pembangunan jalan dan kualitas hutan. Jamak diketahui, ketika sebuah kawasan mempunyai akses yang baik, maka nilai ekonomi daerah tersebut akan meroket. Nilai kavling tanah akan melonjak ketika jalan akses dibangun didekatnya. Begitu juga kawasan tengah apabila dibangun jalan tembus. Insentif ekonomi akan menyebabkan lahan sekitar jalan berubah peruntukannya. Celakanya, hampir seluruh lahan di kawasan tengah adalah hutan dan bertopografi miring. Jika tidak diantisipasi, pembangunan jalan dapat menyebabkan hilangnya hutan di kawasan tengah yang juga berarti menurunnya kapasitas penyangga kawasan tersebut terhadap Aceh secara keseluruhan.

Hemat penulis, untuk menghindari dilema ini aturan (rules) harus dibangun dan/atau diperkuat sehingga pembangunan jalan lintas tengah tidak membawa eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Aturan yang paling relevan adalah yang terkait dengan tata guna lahan, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Permasalahan lain yang tak kurang pentingnya adalah pengawasan dan penegakan aturan. Ini adalah titik lemah utama dalam penyelenggaraan negara. Secanggih apapun aturan main, jika pengawasan dan penegakan aturan nol maka hasilnya juga pepesan kosong. Pemerintah Aceh perlu membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum  baik dengan mendayagunakan aparatur terkait, membangun kemitraan pemantauan berbasis masyarakat  hingga menggunakan teknologi satelit untuk mendeteksi perubahan lahan di sekitar jalan yang mungkin tak terlihat dari pinggir jalan. Efektifitas pengawasan ini sangat tergantung dari kesamaan visi dan persepsi dari  pelaku-pelaku diatas yang harus dimulai dan dilakukan secara kontinyu.

Di sisi teknis pembangunan, desain jalan yang akan dibangun juga harus memperhatikan karakteristik kawasan. Kondisi geologis dan topografis harus menjadi perhatian utama dalam desain agar usia operasi jalan dapat lebih panjang. Sering kita jumpai jalan lintas tengah tanpa dilengkapi drainase yang memadai sehingga limpasan air membuat badan jalan maupun lapisan tanah pendukungnya tidak stabil. Aturan beban lalu lintas maksimum juga perlu diprediksi sehingga lalu lintas tidak  menyebabkan jalan cepat longsor.  

Beban lalu lintas sebenarnya juga dapat dikondisikan dengan strategi pengembangan komoditas kawasan tengah. Keterbatasan lahan datar dan kendala geografi membuat kawasan tengah akan lebih menguntungkan mengembangkan komoditas bernilai tinggi atau mempunyai rasio harga per bobot yang tinggi. Komoditas jenis ini membutuhkan lahan yang lebih sedikit untuk menghasilkan keuntungan yang sama. Komoditas seperti ini juga tidak begitu terpengaruh dengan ongkos tranportasi. Bandingkan saja mengangkut satu truk penuh buah semangka dengan minyak nilam. Dengan ongkos transportasi yang sama, namun nilai atau keuntungan yang diperoleh jauh berbeda. Atau dengan nilai yang sama, bobot dan beban lalu lintas juga jauh berkurang. Hasilnya rentang pelayanan jalan pun lebih lama dan awet.   

Sejatinya, ketika sebuah intervensi pembangunan ditetapkan , pemerintah sudah harus mengantisipasi seluruh eksternalitas atau dampak yang mungkin terjadi. Dampak tersebut perlu dikelola dengan kebijakan yang antisipatif dan integratif demi meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Pendekatan yang sama harus dilakukan pada pembangunan jalan tembus lintas tengah sehingga dilema pembangunan jalan tembus lintas tengah terhapuskan. Ini artinya kesejahterakan masyarakat di kawasan tengah menjadi nyata dan berkelanjutan dan keutuhan dan fungsi lingkungan tetap terjaga.   

Tabloid "Tabangun Aceh" , Edisi November 2012. 

Selasa, 13 November 2012

Fiscal Cliff : Antara Amerika Serikat dan Aceh



Presiden Barrack Hussein Obama kembali terpilih menjadi commander in chief negara adidaya Amerika Serikat. Ia mengikuti senior demokrat, Franklin D Roosevelt, yang kembali dipilih jadi presiden meskipun keadaan ekonomi masih morat marit. FDR terpilih ditengah Great Depression dan Obama masih dipercaya rakyat Amerika Serikat meskipun Great Recession belum pulih sepenuhnya.

Hampir semua pengamat mengatakan tantangan terbesar pertama Obama pasca kemenangan dalam pemilu AS adalah fiscal cliff. Fiscal cliff (tebing fiskal) didefinisikan sebagai diskontinuitas fiskal akibat berakhirnya program pengurangan pajak yang diberlakukan sejak 2001 (lebih dikenal dengan Bush Tax Cut) dan akan diberlakukan pengurangan pengeluaran pemerintah. Kedua peristiwa fiskal ini akan terjadi bersamaan tanggal 1 Januari 2013 dan merupakan hasil barter politik antara presiden dari Partai Demokrat dan kongres yand didominasi Partai Republik tentang kebijakan pengurangan beban hutang AS.  

Fiscal cliff menjadi isu sangat krusial karena masih belum pulihnya perekonomian AS pasca resesi. Tebing fiskal ini akan menyebabkan kenaikan pajak yang berarti uang yang dimiliki rakyat (konsumen) akan lebih sedikit dan pengeluaran pemerintah pun berkurang. Diperkirakan total uang yang didapat pemerintah AS dari kenaikan pajak dan pengurangan belanja ini sebesar 800 milyar US dolar pada tahun 2013. Namun dana tersebut bukan untuk dibelanjakan untuk memulihkan ekonomi melainkan uang sebesar PDB tahunan Indonesia itu  akan hilang dari ekonomi AS karena digunakan untuk memperkecil defisit dan mencicil hutang. Congressional Budget Office –sebuah lembaga riset bi-partisan di lingkungan kongres AS- memprediksi jika fiscal cliff ini terjadi maka AS akan kembali ke masa resesi dengan tingkat pengangguran naik menjadi 9.1 persen pada akhir 2013.

Fiscal cliff masih bisa dihindari apabila ada kesepakatan antara presiden dan kongres. Namun balance of power hasil pemilu 6 November 2012 kemarin menyisakan kekhawatiran. Komposisi politik antara presiden, kongres dan senat tidak banyak berubah membuat tantangan deadlock menghantui negosiasi tentang tebing fiskal ini sebagaimana yang terjadi pada negosiasi tentang debt ceiling pada pertengahan tahun 2011.  

Presiden Obama dalam kampanyenya mengatakan bahwa ia akan melanjutkan pengurangan pajak kepada rakyat yang berpenghasil dibawah 250.000 dolar per tahun. Pemberhentian pengurangan pajak hanya berlaku pada rakyat yang berpenghasilan diatas ambang tersebut dan pajak pendapatan yang berasal dari dividen dan keuntungan kapital lainnya. Di sisi pengeluaran, pemerintah akan mengurangi pos pengeluaran pertahanan yang saat ini menjadi salah satu penyebab deficit dan hutang AS menggunung. Selain itu, Obama mengindikasikan bahwa permasalahan defisit ini juga disebabkan oleh daya saing ekonomi AS yang makin terpuruk. Banyak industri terutama manufaktur yang hengkang dari AS. Karenanya ia berjanji akan memprioritaskan program-program yang menopang bangkitnya daya saing. Kebijakan imigrasi yang memudahkan SDM berkualifikasi dari seluruh dunia untuk hijrah ke AS, investasi di bidang pendidikan dan riset hingga kebijakan energi terbarukan.

Dengan kembalinya daya saing AS dan diikuti oleh makin kokohnya perekonomian AS, Obama berharap permasalahan defisit anggaran, perdagangan dan hutang akan sedikit demi sedikit dapat diselesaikan.

Tebing Fiskal Aceh

Meski dalam horizon waktu yang lebih panjang, Aceh juga akan mengalami fiscal cliff. Malah tebing fiskal di Aceh terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama akan terjadi pada tanggal 1 Januari 2023 dan lima tahun kemudian diikuti oleh tahap kedua pada tanggal 1 januari 2028. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh  Pasal 183 ayat 2 menyebutkan Aceh akan menerima dana otonomi khusus sebesar dua persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional selama 15 tahun dan satu persen DAU nasional untuk 5 tahun berikutnya. Transfer dana otonomi khusus ini dimulai pada tahun 2008 (Pasal 258 ayat 2).

Postur fiskal Aceh saat ini membuat timeline tersebut diatas menjadi sangat penting. Dana otonomi khusus merepresentasikan lebih dari setengah dari total penerimaan Aceh. Pengurangan secara signifikan penerimaan pemerintah dapat membuat perekonomian Aceh loyo. Apalagi kontribusi belanja pemerintah terhadap ekonomi Aceh masih dominan. Penurunan belanja pemerintah akan mempengaruh sektor swasta di Aceh yang saat ini masih dimanjakan oleh proyek-proyek pemerintah.

Ancaman tebing fiskal yang terpampang di horizon seharusnya membuat pemerintah melakukan kebijakan antisipatif. Apalagi sudah lima tahun dana otsus sejumlah puluhan trilyun telah ditransfer ke Aceh namun indikator pembangunan Aceh masih lamban bergerak. Aceh tidak mempunyai pilihan lain selain mempersiapkan kemandirian ekonomi dan fiskal. Sejarah menunjukkan bahwa negara maju adalah negara yang dibiayai oleh rakyatnya   melalui pajak. Cukup tidaknya pajak untuk membiayai kegiatan pemerintahan tergantung pada kemampuan ekonomi.

Kemandirian ekonomi ditentukan oleh sektor swasta bukan oleh pemerintah. Sektor swasta yang dinamis itu bertumpu pada kualitas rakyat. Harapan, motivasi dan kewirausahaan harus dimunculkan pada seluruh komponen masyarakat. Kebijakan pendidikan seharusnya fokus pada mutu (kurikulum, kemampuan guru) bukan pada bangunan fisik. Mutu pendidikan yang baik akan menghasilkan kualitas tenaga kerja yang prima yang mempunyai produktifitas kerja tinggi. Ia akan merubah potensi alam Aceh menjadi komoditas atau produk bernilai tinggi. Ketersediaan tenaga kerja kualitas tinggi juga akan menarik bisnis dan investasi di Aceh. Kondisi ini akan membuat perekonomian Aceh menjadi menggeliat dan membuat kemampuan membayar pajak akan meningkat sehingga  kemampuan fiskal Aceh pun naik.

Infrastruktur utama yang menjadi kendala bagi pertumbuhan bisnis dan investasi di Aceh adalah energi. Defisit energi akan membuat pelaku bisnis enggan membangun pabrik dan memperkerjakan tenaga kerja Aceh. Pemerintah Aceh harus mempercepat pembangunan pembangkit tenaga listrik baik yang sedang dikerjakan maupun masih bersifat potensi yang ekonomis. Hal ini penting untuk membuat balance of energy menjadi positif dan pelaku ekonomi dapat memulai usahanya.

Identik dengan apa yang dilakukan Presiden Obama, daya saing Aceh harus menjadi sasaran utama demi menarik lebih banyak sumber daya untuk memastikan kemandirian ekonomi dan fiskal Aceh. Ketika kemandirian fiskal telah tercapai, penurunan drastis transfer dana otonomi khusus pada tahun 2022 dan berakhir total pada tahun 2027 akan digantikan dengan PAD dan juga ketahanan dan kemandirian ekonomi rakyat yang lagi tidak bergantung pada proyek-proyek pemerintah. 

http://atjehpost.com/read/2012/11/14/27702/77/3/Fiscal-Cliff-Antara-Amerika-Serikat-dan-Aceh

Senin, 12 November 2012

Ledakan Challenger dan Pembangunan Aceh




Bisa jadi sebagian kita mengernyitkan dahi mencoba menerka ada apa dengan Challenger dan Aceh saat membaca judul diatas.  Chalengger apa yang dimaksud? Apakah pesawat ulang alik Amerika Serikat yang meledak pada tahun 1986? Jika iya, ada hubungan apa antara keduanya.

Ya . Challenger yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pesawat ruang angkasa Challenger yang meledak  73 detik setelah lepas landas dari Kennedy Space Center di Florida. Tujuan dari tulisan ini adalah mencoba untuk mengambil pelajaran dari musibah ini terhadap proses pembangunan di Aceh.

Penyebab dari ledakan pesawat ulang alik ini adalah tidak berfungsinya sebuah komponen kecil yang disebut O-Ring. Kegagalan komponen dari karet ini menyebabkan lidah api menyambar tanki bahan bakar dan membuat pesawat canggih  ini meledak dan hancur berkeping-keping. O-Ring merupakan komponen sederhana dengan harga murah sekitar 10 dolar. Namun kegagalannya melaksanakn tugasnya menyebabkan sebuah sistem canggih seharga 6,7 milyar dolar menjadi rongsokan plus kematian 7 orang sumber daya manusia terbaik di Amerika Serikat.

Kemudian tragedi ini menginspirasi Michael Kremer, seorang ekonom, untuk menformulasikan sebuah teori pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan O-Ring Theory of Development. Teori ini mengatakan bahwa kinerja sebuah pembangunan adalah akumulasi dari produktifitas setiap komponen pembangunan. berhasil tidaknya pembangunan tergantung bukan pada komponen terbesar atau terkuat namun pada komponen terlemah (the weakest link). Karenanya teori pembangunan ini mensyaratkan produktifitas yang sama antara setiap komponen jika kinerja maksimal ingin diraih. Perbedaan kecil produktifitas antara komponen akan menyebabkan kinerja turun secara signifikan.

Dalam teori organisasi, O-Ring Theory ini identic dengan konsep Total Quality Management (TQM) yang diperkenalkan oleh Edward Deming dan kemudian menjadi rahasia sukses kinerja industri manufaktur Jepang. Prinsip TQM menempatkan kualitas sebuah produk akhir tergantung pada kualitas setiap proses produksinya. O-Ring Theory dan TQM menempatkan kualitas komponen bukan kuantitas sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah sistem

Pembangunan adalah sebuah sistem. Ia mempunyai komponen-komponen yang berkontribusi pada hasil akhir pembangunan. Kualitas Pembangunan Aceh adalah akumulasi dari kualitas pembangunan di 23 kabupaten  dan kota yang ada didalamnya. Kinerja Pemerintah Aceh juga ditentukan oleh lebih dari 40 SKPA dibawah administrasinya. Pembangunan juga tidak semata produk pemerintah namun juga hasil kegiatan dari segala pihak dalam masyarakat Aceh.

Ketika ingin kualitas pembangunan Aceh maksimal, maka matching (penyerataan) kualitas masing-masing sub-sistem mutlak dilakukan. Ketimpangan hanya menyebabkan kualitas pembangunan menjadi miring bahkan gagal (misalnya ketimpangan yang menyebabkan konflik). Kinerja kabupaten dan kota harus diangkat secara setimbang dan merata. Begitu juga dengan kualitas SKPA. Setiap individu yang ingin berkontribusi kepada kesejahteraan harus diberikan lapangan yang rata atau kesempatan yang sama (leveling playing field). Ketika kualitas seluruh komponen tinggi dan seragam, maka pembangunan pun lebih terasa efektifitasnya. 

Sumberdaya manusia merupakan aktor utama dalam pembangunan. Karena manusia mempunya free-will akan peningkatan kualitas. Pemerintah perlu menciptakan sistem insentif perlu untuk memicu proses matching kualitas ini. Mengapa? Karena people respond to incentives. Just as Allah guides us by hope for heaven and fear of hell.    

Kutukan TPK ?


Rubrik “Droe Keu Droe” Harian Serambi Indonesia baru-baru ini menerbitkan dua tulisan curahan hati  yang mempunyai keluhan yang sama.  Kedua penulis tersebut -M. Jamil S (29 Oktober 2012) dan Faisal Nurdin (2 November 2012)-  mempersoalkan ketidakadilan tunjangan kerja yang didapat oleh PNS provinsi  dan PNS kabupaten/kota lainnya di Aceh. Keduanya menilai perbedaan yang ada tidak seharusnya terjadi mengingat PNS kabupaten/kota yang lebih terkena dampak konflik daripada PNS Provinsi.

Kasak kusuk akan perbedaan TPK antara provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak penerapan di tingkat provinsi. Reaksi awal dari perbedaan tersebut saat itu lebih pada peningkatan permintaan mutasi PNS dari kabupaten/kota ke provinsi. Migrasi PNS ini berdampak negatif. Jika PNS mutasi adalah pegawai dengan kualifikasi tinggi, maka kabupaten/kota mengalami brain drain sehingga pelayanan publik di daerah pun dapat memburuk. Jika sebaliknya, maka kinerja pemerintah provinsi tidak membaik namun beban fiskal justru bertambah.

Akibat paling buruk dari kecemburuan TPK ini  adalah resiko pengkotakan antara PNS provinsi dan kabupaten/kota. Pengkotakan ini dapat mempengaruhi efektifitas koordinasi hingga pemboikotan. Padahal pelayanan publik yang optimal mensyaratkan kesamaan visi, misi dan langkah antar tingkat pemerintahan di Aceh. Jika ini terjadi, alih-alih sebagai penunjang kinerja TPK malah dapat menjadi sebuah kutukan yang meruntuhkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Mungkin menjadi relevan hadits Nabi yang menyatakan, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika kemewahan dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).

Insentif yang Salah Kaprah
Tunjangan prestasi kerja (TPK) kerap dipahami secara salah atau tidak sempurna. Sebagian PNS kabupaten/kota berpendapat TPK adalah bagian “dividen’ perdamaian. PNS provinsi menganggap bahwa TPK yang lebih tinggi adalah wujud lingkup  tugas yang lebih besar dan juga sebagai insentif untuk berprestasi. Meskipun alasan yang pertama benar adanya, namun apakah TPK tinggi dapat meningkatkan kinerja masih menyisakan tanda tanya besar. Kabupaten Aceh Utara dapat menjadi contoh bagaimana TPK tinggi tidak selalu membawa perbaikan. Awal dekade 2000-an, PNS kabupaten penghasil gas bumi ini memberikan tunjangan kerja yang tinggi bahkan jauh melebihi PNS provinsi. Namun tunjangan tersebut tidak berkelanjutan akibat beban fiskal yang besar dan menurunnya pendapatan dari gas bumi. Kualitas hidup rakyat Aceh Utara pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. Begitu juga, TPK provinsi masih dianggap belum menghasilkan kinerja pegawai dan keluaran pembangunan yang sepadan.

Hemat penulis, belum berhasilnya TPK yang tinggi mendongkrak kinerja pegawai dan meningkatkan kualitas pembangunan disebabkan oleh pemahaman bahwa TPK adalah kebijakan terpenting dalam reformasi birokrasi. Padahal Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) hanya menempatkan remunerasi atau TPK pada urutan ke-delapan dari sembilan program percepatan reformasi birokrasi. Delapan program lainnya adalah penataan struktur birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, transparansi seleksi dan promosi PNS, profesionalisasi PNS, E-Government, transparansi dan akuntabilitas aparatur; dan efesiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS.

Celakanya,  pelaksanaan TPK saat ini tidak mengindahkan prinsip insentif , dalam artian yang berprestasi mendapat reward yang lebih tinggi melainkan melalui sistem pukul rata. Hasilnya PNS akan termotivasi untuk bekerja sekedarnya atau minimal demi memenuhi persyaratan administrasi semata. Fenomena ini lebih dikenal dengan race to the bottom. Penyakit ini dapat menjalar. PNS kabupaten/kota mungkin saja beralasan, misalnya, bahwa PNS provinsi dengan TPK tinggi saja masih suka menghabiskan waktunya main game, apalagi PNS kabupaten/kota yang TPK lebih sedikit.  Seharusnya TPK mendorong pegawai untuk berlomba-lomba menjadi terbaik atau race to the top (fastabiqul khairat).

Agar TPK menjadi Rahmat  
Al Qu’ran memaparkan insentif bagi manusia dalam memakmurkan dunia ini. Insentif tersebut adalah syurga dan neraka. Bahkan Al Quran menjabarkan bahwa insentif syurga hanya akan diperoleh setelah amal shalih dilakukan sedangkan (dis) insentif neraka bagi yang berbuat maksiat. Seharusnya kita juga mengambil hikmah dari Al Quran bahwa TPK tidak didapat gratis hanya karena menjadi PNS. Sebagaimana tidak gratisnya syurga karena kita manusia atau muslim.

Didalam hadits Nabi malah insentif akhirat pun di-break down menjadi beberapa tingkat syurga dan neraka yang merupakan fungsi dari kualitas amal shalih dan maksiat yang dilakukan manusia. Sepadan dengah hal diatas, penentuan jenis dan besar TPK juga berhubungan positif dengan beban dan kualitas kerja. Karenanya analisis beban kerja dan jabatan, benchmarking, scorecards adalah hal-hal yang harus diperjelas dan diinternalisasi dalam keseharian aparatur negara ini. Mentransformasi PNS kedalam jabatan-jabatan fungsional merupakan salah satu upaya untuk memaksimal kinerja karena jabatan fungsional mempunyai indikator-indikator yang jelas yang dapat diukur sehingga bisa ditentukan remunerasi yang diterima.

Kebijakan TPK  juga harus dibarengi dengan kebijakan penguatan kinerja lainnya. Kerangka reformasi yang telah dirancang oleh Kementerian PAN dan RB perlu dilakukan secara utuh. Mulai dari seleksi PNS hingga sistem insentif (reward and punishment, transparansi, akuntabilitas) yang menjamin PNS melaksanakan tugasnya sesuai rel harapan masyarakat.

Dari sisi fiskal, ketimpangan fiskal  di Aceh merupakan sumber utama perbedaan TPK di level pemerintahan. Dana otonomi khusus yang dikelola oleh provinsi sebenarnya dapat dijadikan insentif untuk pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan kinerja sekaligus sebagai medium perimbangan fiskal. Pemerintah provinsi perlu membuat aturan transfer fiskal yang jelas dan tegas mulai dari perencanaan, indikator kesuksesan hingga transparansi dan akuntabilitas administrasi keuangan. Pemerintah kabupaten/kota melakukan sesuai blue print yang disepakati bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Selama kualitas dan keluaran pembangunan sesuai dengan cetak biru tersebut, selama itu pula kabupaten/kota mendapat kucuran insentif moneter dari provinsi.

Pemerintah kabupaten/kota juga harus memaksimalkan potensi pendapatan melalui optimalisasi pajak dan retribusi daerah. Dari 16 jenis pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 11 diantaranya adalah kewenangan kabupaten/kota. Optimalisasi potensi penerimaan pajak ini juga dapat meningkatkan kapasitas kabupaten/kota untuk menerapkan sistem insentif termasuk kenaikan TPK.

Akhirnya, yang harus dipahami oleh setiap PNS bahwa hakikat menjadi abdi negara adalah untuk melayani masyarakat. Ibarat pelayan, besarnya tips atau imbalan gaji sangat tergantung dengan kemampuan finansial dari yang dilayani. Makin sejahtera masyarakat, makin besar pula pendapatan para pelayan masyarakat. Jika ini dapat dipahami dan dilaksanakan maka yang terjadi adalah lingkaran kebaikan yang membawa rahmat bagi setiap manusia yang ada di Aceh. TPK tinggi, masyarakat pun tambah sejahtera.     

Kamis, 04 Oktober 2012

Kebijakan Rumah Dhuafa

http://www.bumn.go.id/perumnas/publikasi/berita/program-pemerintah-untuk-rumah-rakyat-di-2012/
Sumber : http://www.bumn.go.id/perumnas/publikasi/berita/program-pemerintah-untuk-rumah-rakyat-di-2012/


Harian Serambi (3 Oktober 2012) memberitakan rencana pemerintah untuk membangun rumah dhuafa sebanyak 20 ribu unit. Rencana ini akan dimulai pada tahun anggaran 2013. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp. 1 trilyun dengan asumsi biaya pembangunan per unit rumah adalah Rp. 50 juta.  

Kebijakan rumah dhuafa ini perlu diapresiasi mengingat kebutuhan rumah yang layak huni dan sehat merupakan sebuah kebutuhan asasi. Banyak rumah kaum fakir miskin di Aceh yang hanya beralas tanah, lembab, sirkulasi udara tidak baik serta kondisi MCK yang tidak higienis. Rumah seperti ini akan menyebabkan penghuninya rawan terhinggap penyakit seperti TBC dan penyakit infeksi lainnya sehingga penghuni menjadi tidak produktif. Akibatnya perangkap kemiskinan bisa terus berlangsung karena sebagian besar waktu dan uang dialokasikan tidak untuk bekerja melainkan istirahat dan membeli obat.

Meskipun kebijakan rumah dhuafa ini mulia tidak berarti ia bebas masalah. Dari mulai penentuan individu yang berhak, standar kualitas bangunan hingga keberlanjutan anggaran membuat kebijakan ini perlu diseriusi. Konflik akibat pendataan yang tidak transparans dan adil bisa saja meledak. Apalagi rumah dhuafa ini diberikan tanpa biaya sepeserpun alias gratis dapat membuat banyak pihak merasa berkepentingan untuk mendapatkan rumah tersebut, berusaha melakukan segala cara demi kepentingannya dan akhirnya praktek korupsi/nepotisme dapat merebak.  Bagaimana seharusnya kebijakan perumahan rakyat diambil oleh Pemerintah Aceh?

Belajar dari Singapura : Bukan Gratis tapi Terjangkau
Singapura merupakan salah satu negara yang dianggap berhasil dalam pengelolaan perumahan rakyat.  Pada tahun 1950-an, 75 persen penduduk Singapura bertempat tinggal di kawasan kumuh yang menggabungkan antara tempat tinggal dan tempat kerja. Sedangkan 25 persen lainnya tinggal di perkampungan yang minim fasilitas pemukiman. Awal tahun 2000, sekitar 85 persen penduduknya tinggal di perumahan yang dibangun pemerintah lengkap dengan fasilitas penunjang seperti air bersih, listrik, sanitasi, sekolah, taman rekreasi hingga pusat belanja. Dari total penghuni  perumahan rakyat tersebut, hanya 5 persen berstatus sewa. Selebihnya adalah pemilik.

Perumahan rakyat di Singapura berbentuk bangunan tinggi (rumah susun) dan berkelompok. Ini tak lepas dari keterbasan lahan yang dimiliki negara kota ini. Namun pengelompokan dan maksimalisasi ruang vertikal ini juga memberikan keuntungan lain. Selain lebih murah, juga ia menampung lebih banyak penduduk sehingga tercipta skala yang cukup bagi peluang ekonomi terutama di sektor jasa/perdagangan.

Dalam perjalanannya, Singapura mengalami evolusi kebijakan perumahan dimana pada awalnya pemerintah bertindak sebagai penyedia. Kemudian beralih menjadi fasilitasi hingga perekayasa sosial yang lebih pada menimbulkan kebutuhan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas perumahan publik yang layak dan sehat. Kebijakan perumahan juga menganut prinsip inklusifitas dengan mendorong terjadinya pembauran etnis yang ditandai dengan kuota khusus etnis dalam kompleks perumahan sesuai dengan proporsi etnis secara nasional. Perumahan rakyat tersebut menyediakan kesempatan yang sama antara jenjang ekonomi dimana si miskin dan si kaya mempunyai akses yang adil terhadap perumahan. Salah satu kesuksesan rekayasa sosial (social engineering) dalam kebijakan perumahan rakyat di Negeri Singa  adalah kesan yang difahami rakyat ketika pindah ke perumahan rakyat yang disediakan pemeritah adalah peningkatan kualitas tempat tinggal yang dirasakan oleh seluruh strata ekonomi.   

Meskipun menyediakan perumahan bagi penduduk miskin, kebijakan perumahan di SIngapura tidaklah memberikan secara gratis. Fasilitasi finansial berupa merupakan keharusan bagi pembangunan rumah rakyat. Namun bantuan finansial dilakukan secara berbeda tergantung dari pendapatan penghuni. Makin kecil pendapatan, makin besar subsidi perumahan yang diberikan pemerintah.     

Pelajaran yang diambil
Perumahan rakyat miskin di Aceh tentunya akan berbeda dengan Singapura. Ketersediaan lahan yang lebih luas membuat Aceh mempunyai lebih banyak pilihan untuk menentukan tipe rumah dhuafa. Tipe rumah susun akan kurang diminati atau relevan di perdesaan. Sebaliknya di perkotaan seperti Banda Aceh atau Lhokseumawe tipe rumah susun sudah seharusnya menjadi pilihan.

Namun yang perlu diambil pelajaran dari kebijakan Singapura dalam hal perumahan rakyat ini adalah sisi finansial dan rekayasa sosial. Kebijakan pemerintah tentunya diambil guna membentuk masyarakat yang sehat secara sosial. Konsep terjangkau daripada gratis mempunyai keuntungan dengan mengkondisikan kaum dhuafa untuk  bekerja lebih produktif dan mengurangi pengeluaran yang tidak perlu seperti rokok agar dapat membayar cicilan.

Besarnya cicilan ditentukan berdasarkan pendapatan dan kemampuan membayar. Cicilan bisa saja berjumlah nol rupiah jika sang penghuni memang benar-benar tidak mampu bekerja dan menghasilkan uang cukup (disposable income). Kemudian, pemerintah dapat mengandeng perbankan dalam pembiayaanya dimana untuk pembayaran cicilan, perbankan berhubungan langsung dengan kaum dhuafa sedangkan subsidi kekurangan akan langsung ditransfer pemerintah ke perbankan. Skema ini selain memberikan kelonggaran bagi Pemerintah karena tidak perlu menganggarkan keseluruhan biaya pembangunan rumah dalam satu waktu, juga membuka akses perbankan terhadap rakyat miskin sehingga mereka lebih melek perbankan dan terlayani (financial literacy/inclusion). Kebiasaan positif bisa terstimulir seperti menabung dan ini memberikan kemudahan pemerintah untuk urusan lainnya seperti transfer langsung atau keperluan pendataan lainnya bagi masyarakat miskin.

Tantangan lain, untuk tipe perumahaan rakyat yang komunal seperti rumah susun. Sering sekali masalah perawatan menjadi kendala. Berbeda dengan rumah tunggal dimana pemilik rumah termotivasi merawat rumahnya, rumah susun perawatan menjadi tanggung jawab bersama. Tipikal fasilitas publik menyebabkan aksi free-rider lebih rentan. Untuk itu rekatan sosial perlu diperkuat sehingga kekumuhan akibat saling lempar tanggung jawab penghuni bisa dihindari.

Selanjutnya kebijakan perumahan rakyat harus diselaraskan dengan kebijakan lain seperti tata ruang dan transportasi. Lokasi perumahan harus menjamin aksesibilitas dan mobilitas sehingga memudahkan rakyat miskin untuk melaksanakan aktivitas ekonomi dan sosial lainnya. Fasilitas pemukiman penunjang seperti akses air bersih, listrik dan sanitasi juga perlu dilengkapi agar perumahan dapat segera ditempati.   

Akhirnya, kebijakan perumahan  dhuafa yang baik dan memberikan insentif yang tepat bukan saja menyediakan kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang layak huni dan sehat, tetapi juga mengangkat mereka dari lembah kemiskinan ke dataran yang lebih landai guna menapak ke derajat kesejahteraan yang lebih tinggi. 

Rabu, 29 Agustus 2012

Khatam Al Quran di Negeri Injil


Inside Al-Farooq Mosque, Atlanta, USA
(source:  http://www.unbrokenhorse.com/2010/07/28/al-farooq-masjid/)




Lembayung senja menghantarkan kaki di hadapan sebuah bangunan megah, Al Farooq Mosque, yang beralamat 442, 14th Street NW, Atlanta, USA. Ramai jamaah di pelataran masjid tak seperti biasanya. Senyuman merekah disertai lantunan salam dan jabatan tangan mewarnai langkah menuju meja takjil. 3 buah kurma diatas selembar tisu putih dan segelas air menjadi menu harian iftar, mengingatkan akan kebersahajaan Rasulullah SAW dalam berbuka puasa.

Selepas shalat magrib, hadirin disuguhi serial kultum bertema syuubul imaan (cabang-cabang Iman). Pemateri kultum harian, Dr. M. Hisham Hawasli, seorang dokter spesialis jantung keturunan Syiria, menyampaikan taushiyah tentang empati.  Sepuluh menit ceramah singkat ini juga memberi waktu bagi panitia ramadhan untuk menyiapkan hidangan utama berbuka yang merupakan shadaqah dari para muhsiniin dari komunitas Islam di Atlanta.

Menu utama  hari ini adalah nasi biryani dipadu dengan chicken curry dan sayuran. Sebuah potongan chapatti berbentuk seperempat lingkaran juga nangkring diatasnya. Pertengahan Ramadhan kemarin, jamaah disuguhi nasi kuning dan kari ayam dari keluarga muslim Indonesia. Suasana makan jamaah terasa penuh persaudaraan, diselingi diskusi ringan antara saudara muslim yang berasal dari beragam negara. Tak lama kemudian, seorang lelaki paruh baya datang menghampiri, “Brothers.. we need volunteers. Please go to upper deck parking after you finish your meal”. 

Di lantai parkir masjid tampak lalu lalang kendaraan roda empat para jamaah. Ternyata pengurus masjid membutuhkan sukarela untuk mengatur parkir agar sebanyak mungkin mobil jamaah dapat berada dalam lingkungan masjid.  Ya.. malam itu adalah malam ke-27 Ramadhan sekaligus perayaan khatam Al Quran. Sebuah tradisi di Mesjid Al Farooq pada malam yang disebut-sebut paling mungkin terjadinya Lailatul Qadr. Ramainya jamaah menyerupai sesaknya shalat Jum’at plus kehadiran para muslimah.

Bacaan surah dalam shalat tarawih diawali dengan surat Al Insyirah dan diakhiri dengan An-Naas. Setelah witir, jamaah merapatkan diri kedepan menuju iman dengan formasi melingkar. Serupa posisi para jama’ah tabligh ketika mendengar bayan. Seketika nuansa keterikatan hati dan kekhusyukan merebak. Isak tangis dan guncangan bahu bersahut-sahutan ketika Imam membacakan doa dalam bahasa arab dan inggris. Isak tangis makin membahana ketika lampu dipadamkan untuk memberikan kesempatan para jamaah memohon secara pribadi kepada Allah SWT. Lima menit kemudian, lampu kembali dihidupkan dan para jamaah bangkit untuk menyalami dan berpelukan mengucapkan doa dan ucapan selamat. Mata sembab tak mengurangi keceriaan dan ketulusan saudara muslim kepada sesamanya.

Sungguh pengalaman spiritual yang akan terus membuat rindu. Meskipun sebenarnya episode ini terjadi di sebuah tempat di Amerika Serikat yang dikenal sebagai salah satu the capital of bible-belt. Atlanta merupakan kota metropolitan terbesar ke-9 di Amerika Serikat. Ia adalah tempat lahir Dr. Martin Luther King Jr, seorang pendeta yang memperjuangkan hak sipil kaum Afro-Amerika dimana pada sebelum tahun 1960 penduduk kulit hitam masih dianggap sebagai manusia kelas dua. Kota ini bersama dengan kota-kota lainnya di bagian selatan dan tenggara Amerika Serikat dikenal dengan kota relijius yang ditandai dengan tingkat partisipasi kaum kristiani dalam acara kegerejaan lebih tinggi dari rata-rata nasional.

Menjadi minoritas dan tidak tersedianya dukungan serta bantuan dalam “APBD” Atlanta membuat jamaah masjid Al Farooq sadar bahwa keberlangsungan syiar di Atlanta sangat bergantung pada militansi dan proaktifitas muslim Atlanta sendiri. Operasional syiar Islam didanai dari kantong para jamaah. Masjid Al Farooq mempunyai sekolah Islam Darrun Nur hingga tingkat SMP dan saat ini sedang membangun sebuah gymnasium agar layak membuka sekolah menengah atas. Bahkan beberapa waktu yang lalu, sebuah tempat ibadah juga dibeli untuk dijadikan sekolah hafalan Al Quran yang diberi nama Darul Ulum. Para jamaah memberikan sebagian dari pendapatannya secara reguler dan pengurus masjid menyediakan account khusus untuk beberapa jenis pengeluaran sehingga para donator dapat memilih kegiatan mana yang akan dibiayai. Pengurus masjid juga mempunyai website, channel di laman You Tube hingga akun Facebook dan Twitter sebagai media untuk menyampaikan syiar Islam. Sungguh sebuah pengelolaan syiar yang dapat memberikan inspirasi  masyarakat Aceh dalam melakukan syiar dan dakwah Islam di Nanggroe Syariat.  Wallahua’lam

Selasa, 28 Agustus 2012

Observing Ramadhan in an American City

It is the same celestial body of hydrogen and helium gas some 150 million kilometers away that illuminates both Indonesia and the US. It is the same five pillars that Muslims in Indonesia and the US follow. 

But because of their geographic locations, sunlight strikes Indonesia with a greater intensity than it does the US. And because of their environments, the Ramadhan experiences of Muslims in Indonesia and the US are quite different.

“I was used to going door-to-door, greeting neighbors and spending time with family,” Marthunis recalled of how he celebrated the post-fasting month holiday known as Lebaran back home in Banda Aceh. 

Yet when he moved to downtown Atlanta, Georgia, he was in for some surprises.

There were no conveniently located prayer rooms, women in headscarves and calls to prayer. 

In the US, only a small fraction of the population is Muslim (the US census does not collect data based on religion, so a precise number is not known). A drive through the suburbs of Atlanta takes one past churches, pawn shops and fast food restaurants — which have as many halal choices as they have extra-terrestrial visitors, which is to 
say, none.

“If you look around, you wouldn’t know that it was Ramadhan,” Arif, who grew up in Surabaya, said. 

The largest advertisement for Ramadhan is probably the one scribbled on a cardboard sign advertising a discount on Turkish dates. 

Despite that, both Marthunis and Arif find that Americans are welcoming, understanding and even curious about Ramadhan. 

“Once we explained why we were abstaining from food and drink,” Arif said, “people were immediately respectful.” 

Awareness of Ramadhan is increasing, especially in cities like Atlanta, which have a large population of Muslims from Pakistan, Saudi Arabia, Ethiopia, Somalia and Bangladesh.

“I remember coming home from the mosque one night, and an older gentleman greeted us from his garage with a warm, ‘Happy Ramadhan’!” said Marthinus. 

He and Arif are just two of the hundreds who choose to break their fast outside of the Al-Farooq Mosque in Atlanta. The Al-Farooq Mosque reflects the diversity of Muslims in the US. 

It wouldn’t be surprising to see women in shimmering green shalwar kameez from Pakistan conversing with women in bright embroidered dresses from Ethiopia. 

Nor would anyone think twice about the diverse outfits of the men — varying from baggy jeans and pressed slacks to the flowing white thobes of Saudi Arabia. This blending of cultures is an intrinsic aspect of life for Muslims in the US.

Catering to these communities are a range of restaurants and butchers offering halal options. 

“But outside of Atlanta, I’m often a vegetarian or pescatarian,” Marthunis laughed, reflecting on his meals of vegetables and fish in cities without other halal options. 

Since many of these Muslims grew up in Muslim countries, one wonders what effect being a minority in the US has on them — where veils and traditional garb can attract unwanted attention, and where media reports rarely highlight peaceful Muslims. 

As these Muslims in Atlanta break their fast with pink drinks of sweet Rooh Afza mixed with cold milk, do they long for the celebratory spirit and festivities that sweep through Muslim countries? 

Do they miss eating meat without needing to inquire if it is halal? Or do these inconveniences pale in comparison to the financial opportunities and personal freedoms they now experience? These are the questions Muslims in the US must face — on their own.

Source: The Jakarta Post, August 13, 2012
http://www.thejakartapost.com/news/2012/08/13/observing-ramadhan-american-city.html

Kamis, 02 Agustus 2012

Melirik Pajak Rokok Aceh


Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar)."    

Satu hari setelah pelantikan, Gubernur Zaini Abdullah melakukan gebrakan dengan mengintruksikan larangan merokok di Kantor Gubernur Aceh (Serambi Indonesia, 27 Juni 2012). Larangan ini ternyata meluas ke seluruh instansi Pemerintah Aceh melalui Surat Edaran Gubernur  tentang larangan merokok dalam ruangan kerja dan gedung kantor tertanggal 5 Juli 2012.

Dampak negatif dari merokok sudah diketahui oleh banyak pihak.  Tidak kurang dari 25 jenis penyakit disebabkan oleh kegiatan merokok. Selain permasalahan kesehatan, merokok juga erat kaitan dengan kemiskinan. Survei Sosial Ekonomi Nasional mencatat bahwa tiga dari empat keluarga miskin mengalokasikan anggaran untuk rokok. Jika diibaratkan anggaran rumah tangga adalah investasi, pengeluaran untuk bahan makanan dan pendidikan mempunyai manfaat meningkatkan kapasitas keluarga miskin untuk bekerja dan keluar dari garis kemiskinan, pengeluaran untuk merokok malah menurunkan kapasitas tersebut. Alhasil, rokok adalah salah satu bentuk dari perangkap kemiskinan. BPS Aceh dalam release-nya juga mengindikasikan bahwa rokok berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan (SI, 3 Juli 2012).

Para pembela rokok berargumen bahwa pelarangan rokok akan menyebabkan hilangnya pendapatan negara dari cukai  dan ribuan pekerjaan. Pendapatan negara dari cukai rokok tahun 2011 mencapai Rp. 77 Trilyun. Sebuah angka yang fantastis. Namun jika dibandingkan  dengan peningkatan biaya kesehatan masyarakat per tahun sebesar Rp. 81 Trilyun (TCSC IAKMI-UI),  maka sebenarnya Pemerintah membuang uang demi rokok.  Dari sisi serapan tenaga kerja, pertanian tembakau  dan industri rokok hanya menempati peringkat 30 dan 48 dari 66 sektor (Lembaga Demografi UI, 2007). Belum lagi berkah cukai rokok hanya dinikmati langsung oleh daerah penghasil tembakau dan industri rokok seperti Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sedangkan daerah perokok berat seperti Aceh lebih mendapatkan asap rokok dan efek negatif lainnya.

Besarnya kemudharatan daripada kemashlahatan sebenarnya sudah cukup syarat memasukkan rokok dalam kelompok khamar. Tetapi mengingat kebiasaan merokok yang melekat di masyarakat kita, pentahapan dan “pemakruhan” rokok mungkin menjadi lebih relevan sebagai awal pelarangan merokok. Makruh dalam terminologi Islam adalah sesuatu perbuatan yang didorong untuk ditinggalkan. Untuk itu Pemerintah Aceh perlu mencari kebijakan untuk menurunkan komsumsi rokok.

Pajak sebagai Instrumen Anti-Rokok

Tujuan utama dari pajak biasanya adalah untuk meningkatkan penerimaan pemerintah. Namun pajak dapat juga dapat dijadikan alat untuk mempengaruhi perilaku masyarakat.  Pajak rokok merupakan salah satu bentuk instrumen fiskal untuk mengurangi komsumsi rokok. Manfaat pajak rokok ini menjadi ganda. Di satu sisi menambah pendapatan, di sisi lain mengurangi minat masyarakat untuk membeli rokok karena lebih mahal.

Secara payung hukum, Aceh memiliki keabsahan jika ingin menerapkan pajak rokok. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menempatkan rokok sebagai objek pajak provinsi. Semestinya kesempatan ini bisa terus ditindaklanjuti sebagai bagian kebijakan penguatan fiskal dan kebijakan kesehatan Aceh.

Media OnlineThe Globe Journal pernah menurunkan berita pada pertengahan 2010 tentang penjualan produk rokok PT. HM Sampoerna. Perusahaan rokok ini merupakan penyuplai utama rokok nasional dengan pangsa pasar 29.1 persen dari total penjualan rokok. Sampoerna sendiri mencatat bahwa ia berhasil menjual 29 juta batang per minggu di Aceh. Jika ini benar adanya, bisa dihitung bahwa total penjualan rokok di Aceh untuk seluruh merek menjadi kira-kira 100 juta batang per minggu atau 5.2 milyar batang per tahun. Jika satu bungkus rokok berisi 12 batang dan dikenakan pajak rokok sebesar Rp. 1000 per bungkus, maka potensi penerimaan pajak rokok Aceh pertahun mencapai Rp. 433 Milyar.

Dengan penerimaan pajak sebesar itu,  Pemerintah Aceh mampu menutupi kebutuhan anggaran tahunan jaminan kesehatan Aceh (JKA) yang pada tahun 2012 dianggarkan sebesar Rp. 400 Milyar. Jumlah tersebut mampu membangun waduk sebesar hampir 2 kali waduk keliling per tahun atau setiap 2 tahun Aceh bisa membangun satu pembangkit listrik tenaga panas bumi Seulawah yang kabarnya membutuhkan dana sekitar 56 Juta Euro (Rp. 672 Milyar).     

Terkait dengan efek pajak rokok terhadap penurunan komsumsi rokok sangat tergantung dari elastisitas permintaan rokok. Sebuah laporan “Tobacco Economics in Indonesia” menyebutkan untuk Indonesia setiap kenaikan harga rokok sebesar 10 persen akan menurunkan komsumsi sebesar 2.9 hingga 6.7 persen. Elastisitas ini akan lebih tinggi seiring dengan makin tingginya tingkat pendidikan dan kesejahteraan. Karenanya penggunaan pajak untuk mengurangi komsumsi rokok akan efektif dan akan lebih efektif lagi jika pendapatan pajak rokok digunakan untuk peningkatan tingkat pendidikan, kesehatan dan perekonomian masyarakat.

Boomerang Pajak Rokok

Kenaikan harga rokok belum tentu selalu menurunkan komsumsi rokok. Bagi perokok berat atau yang sudah mengalami kecanduan, permintaan rokok menjadi tidak elastis. Ia seakan menjadi kebutuhan pokok setelah beras. Penerapan pajak untuk konsumen seperti ini tentunya akan berdampak pada pengeluaran yang lebih besar untuk rokok. Hal ini lebih parah untuk perokok yang berasal dari keluarga miskin. Untuk itu, instrumen pajak hendaknya bukanlah satu-satunya cara yang harus ditempuh. Pemerintah perlu melakukan kebijakan non-pajak lainnya seperti promosi, rehabilitasi dan bentuk insentif lainnya.

Pengenaan pajak rokok di Aceh tentunya akan menyebabkan harga jual rokok lebih tinggi. Kondisi ini bisa menjadi motivasi kegiatan illegal penyeludupan rokok dari luar daerah yang menberlakukan pajak rokok lebih rendah atau tidak ada pajak sama sekali. Jika ini tidak diantisipasi, rokok illegal dengan harga murah akan marak di pasaran dan perilaku merokok tidak akan berubah. Untuk kemungkinan skenario ini, Pemerintah perlu melakukan kerjasama dengan daerah tetangga untuk menyelaraskan kebijakan rokok ini, selain penegakan hukum seperti razia pasar.

Pajak rokok juga membutuhkan sistem administrasi penerimaan yang solid. Yang paling mudah adalah mengutip langsung dari distributor/sub distributor sebelum dikirim ke pasar. Namun tantangannya adalah lebih rentan terhadap penyeludupan. Alternatif lain adalah mengutip langsung dari penjual (sales tax). Cara ini mengurangi pengurangan pendapatan dari penyeludupan namun sangat besar ongkos administasinya mengingat banyak sekali outlet penjualan rokok di pasaran. Belum lagi mengontrol agar tidak terjadi kongkalikong antara petugas pemungut dan penjual.



Kiranya kebijakan pengurangan komsumsi rokok  Aceh perlu segera dilakukan. Selain  dari sisi kesehatan dan ekonomi, pengurangan bahkan pengharaman rokok juga merupakan isu syariah. Pajak rokok merupakan salah satu cara yang harus dicoba. Semoga kebijakan ini dapat membebaskan asap rokok dari udara Aceh dan menggantikannya dengan kepulan asap dari dapur kesejahteraan. Insya Allah.