Jumat, 25 September 2020

Konektivitas : Kuda Troya atau Buraq ?

 “Konektivitas bukanlah sebuah tujuan. Pengambil kebijakan harus melihat lebih jauh dari sekedar membangun jalan dan membeli kapal (beyond connectivity). Konektivitas merupakan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan rakyat Aceh. Ibarat pisau, konektivitas ini memiliki dua sisi tajam”

 

Pemerintah Aceh saat ini sedang gencar membangun konektivitas. 3 kapal Roll-on/Roll-off (Ro-Ro) sedang dibangun di tiga galangan berbeda. Produksi paralel ini akan mempercepat penyelesaian 3 kapal yang akan diberi nama lambung dengan tagline “Aceh Hebat” agar konektivitas ke daerah kepulauan di Aceh semakin baik. Tidak berhenti disitu, 12 ruas jalan yang menghubungkan daerah pesisir timur, dataran tinggi di bagian tengah dan pesisir barat Aceh hingga kepulauan juga digenjot melalui skema pembangunan tahun jamak. Meskipun diterpa oleh riak politik, pembangunan ini mendapat dukungan para bupati/walikota dan masyarakat yang merasa akan terdampak positif dari pembangunan jalan tembus ini. 

 

Momentum pembangunan infrastruktur konektivitas diatas adalah tepat, bahkan santing. 3 tahun anggaran lagi kemampuan fiskal Aceh akan berkurang. Pada tahun anggaran 2023, Aceh mengalami pengurangan transfer dana otonomi khusus yang semula mendapatkan 2 persen dari DAU Nasional, menjadi 1 persen hingga 2027. Jika dalam sisa waktu tersebut tidak dapat dibangun sesuatu yang fundamental dan punya daya ungkit sesuai dengan semangat Dana Otonomi Khusus dalam UUPA, maka Aceh akan kesulitan untuk melakukan konvergensi dengan rerata provinsi di Indonesia akibat kapasitas anggaran yang terbatas. Apalagi pembangunan konektivitas kewenangan provinsi ini bersamaan dengan pembangunan Proyek Strategis Nasional  Jalan Tol Banda Aceh-Sumut. Ketika kedua kewenangan ini tersambung akan membuat tingkat konektivitas Aceh akan semakin mantap. 

 

Namun perlu dipahami bahwa konektivitas bukanlah sebuah tujuan. Pengambil kebijakan harus melihat lebih jauh dari sekedar membangun jalan dan membeli kapal (beyond connectivity). Konektivitas merupakan sarana dan prasarana untuk mencapai tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan rakyat Aceh. Ibarat pedang, konektivitas ini memiliki dua sisi tajam. Apabila tidak tepat digunakan dapat mencelakakan penggunanya. Sebaliknya, penggunaan yang bijaksana akan memudahkan pengguna untuk meraih apa yang ingin dicapai. 

 

Kuda Troya Konektivitas 

 

Abad 12 Sebelum Masehi, Pasukan Yunani hendak menguasai sebuah kota bernama Troya. Meskipun sudah lama mengepung, Benteng Kota Troya tidak berhasil ditembus. Akhirnya, Pihak Yunani membangun patung kuda yang besar dan gagah yang berisi pasukan di dalamnya kemudian ditinggalkan di dekat pintu benteng kota. Pasukan Yunani berhenti mengepung dan seakan bergerak menjauhi Troya. Sepeninggal pasukan, para tentara Troya membawa patung kuda tersebut ke dalam benteng. Pada saat malam hari, Pasukan Yunani yang berada di dalam patung kuda tersebut keluar dan membuka gerbang benteng hingga akses masuk ke Kota Troya terbuka lebar untuk pasukan Yunani yang berada di luar dan berhasil menaklukkan Kota Troya yang sedang lengah. 

 

Aceh saat ini memiliki “musuh”. Salah satunya adalah defisit perdagangan yang berimplikasi pada rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh. Serbuan produk luar Aceh dapat lebih jauh menusuk ke jantung Aceh melalui konektivitas yang sedang dibangun. Produk luar yang lebih menarik dan murah dapat mematikan produk lokal yang kurang kompetitif. Jika skenario ini terjadi, maka ekonomi Aceh akan terkuras keluar. 

 

Salah satu bentuk infiltrasi negatif lainnya yang mungkin terjadi adalah kerusakan lingkungan dan budaya. Konektivitas yang diberikan oleh 12 ruas jalan juga memberikan akses ke daerah sensitif seperti kawasan hutan sehingga meningkatkan risiko pembalakan liar dan degradasi hutan yang saat ini masih menjadi salah satu paru-paru dunia. Begitu juga dengan daerah kepulauan yang memiliki keindahan alam bahari, konektivitas dapat mendorong mass tourism yang dapat meningkatkan kerapuhan (fragility) ekosistem pesisir dan laut serta budaya lokal dari sisi negatif dari sebuah aktivitas pariwisata massal. 

 

Konektivitas sebagai Buraq  

 

Tentunya kita tidak ingin konektivitas yang sedang dibangun akan menjadi kuda troya yang malah memberikan buntung bagi Aceh. Konektivitas yang diinginkan adalah sebagai sarana dan prasarana yang mempercepat pembangunan Aceh mencapai visi jangka Panjang Aceh; Aceh Islami, Maju, Damai dan Sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA).   

 

Anti Tesis dari Kuda Troya adalah Buraq. Buraq adalah kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW ketika peristiwa Isra’ Mi’raj hingga Nabi sampai ke Sidratul Muntaha (Syurga) dalam waktu yang singkat karena kecepatan Buraq menyerupai kecepatan cahaya atau lebih. Dalam beberapa literatur Buraq ini digambarkan sebagai Kuda Terbang. 

 

Dalam skenario ini, konektivitas akan mendorong kesejahteraan Aceh melalui efisiensi logistik sehingga memudahkan transportasi komoditas dan produk lokal untuk dipasarkan dan sekaligus menjadi daya tarik investasi dalam rangka hilirisasi komoditas unggulan. Mobilitas sosial akan lebih mudah sehingga dapat meningkatkan pertukaran budaya dan pengetahuan. Dampak positif lainnya adalah membuat kesenjangan antar daerah di Aceh akan menipis dan mengangkat kinerja pembangunan Aceh sebagai akibat dari resultansi kinerja kabupaten/kota secara keseluruhan. 

 

Tentunya skenario baik ini tidak terjadi dengan sendirinya. Kondisi awal yang menunjukkan trend negatif seperti defisit perdagangan yang terus naik, laju deforestasi yang mengkhawatirkan, konflik pariwisata dan adat gampong akan dapat berwujud menjadi kuda troya, apabila tidak dihentikan atau diimbangi dengan peningkatan kapasitas dan efisiensi produksi produk lokal, perlindungan dan pengembangan kualitas hutan dan lingkungan serta penguatan budaya. 

 

Pembangunan konektivitas yang masif ini secara proporsional harus diikuti dengan pembangunan ekonomi dan sosial budaya. Di sepanjang ruas jalan, perlu didorong pusat pertumbuhan yang menfasilitasi kegiatan peningkatan nilai tambah (hilirisasi) dari peningkatan produksi dan produktifitas komoditas, daya saing tenaga kerja dan UMKM hingga efisiensi dan kualitas produk dan jasa yang terkait komoditas tersebut. Usaha perlindungan Kawasan hutan perlu didukung dengan teknologi indera jauh, keterlibatan masyarakat hingga penegakan hukum yang konsekuen. Begitu juga dengan revitalisasi institusi sosial budaya yang mampu menjaga harmonisasi antara nilai budaya/agama dengan perkembangan pembangunan menjadi penting agar proses pembangunan Aceh dapat berjalan aman, damai dan minim konflik. 

 

Apabila hal tersebut diatas direncanakan secara komprehensif, diimplentasikan secara cermat dan diawasi secara teliti, Insya Allah konektivitas yang sedang dibangun ini akan menjadi Buraq atau kuda terbang yang mempercepat transformasi potensi ekonomi, lingkungan dan sosial budaya Aceh menjadi kondisi Aceh yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghaffur. Insya Allah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar