"Perkembangan indikator pembangunan ( ) menyiratkan perlu ada perubahan kebijakan pembangunan, terutama kebijakan belanja pemerintah. Anggaran yang makin besar sudah mulai menghasilkan perbaikan lebih lambat (diminishing return). Salah satu yang perlu diperbaiki adalah kebijakan transfer fiskal ke kabupaten/kota"
Salah satu pembeda Aceh sebagai daerah istimewa dibanding dengan rerata provinsi lainnya di Indonesia adalah alokasi dana otonomi khusus (otsus). Dana otsus merupakan amanat dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UU PA). Dana otsus menjadi instrumen fiskal untuk menjawab raison d’être UU PA, yaitu membangun kembali masyarakat Aceh pasca bencana alam gempa bumi dan tsunami serta merawat perdamaian sehingga kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia terwujud.
Dana ini dialokasikan selama 20 tahun dengan besaran setara 2 persen dari pagu Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional untuk tahun 2008 hingga 2002 dan setara 1 persen dari pagu DAU Nasional untuk tahun 2023 hingga 2027. Sebagai konsekuensi logis dari amanat UU PA ini, Pemerintah Aceh telah menerima transfer dana otonomi khusus sebesar Rp. 76,84 Trilyun dalam kurun waktu 2008-2020. Transfer fiskal ini telah menyebabkan Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki pengeluaran pemerintah per kapita tertinggi di Indonesia.
Kapasitas fiskal yang relatif besar ini diikuti dengan perbaikan indikator kesejahteraan masyarakat seperti penurunan angka kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan serta peningkatan ekonomi dan indeks pembangunan manusia (IPM). Meskipun ada perbaikan, namun ada kecenderungan yang perlu diperhatikan dan diantisipasi. Tingkat kemiskinan memang mengalami penurunan tapi juga ada trend penurunan yang melambat. Begitu juga dengan pertumbuhan ekonomi dan pengangguran yang masih berada dibawah rerata kinerja nasional. Selanjutnya, IPM juga menunjukkan tren yang membaik, namun melambat. Pada tahun 2012 IPM Aceh disalip oleh IPM Nasional dimana pada tahun sebelumnya Aceh membukukan IPM yang lebih tinggi dari IPM Nasional. Ini artinya perbaikan IPM rata-rata provinsi lainnya lebih cepat dari Aceh.
Niat Baik Saja Tidak Cukup
Perkembangan indikator pembangunan diatas menyiratkan perlu ada perubahan kebijakan pembangunan, terutama kebijakan belanja pemerintah. Anggaran yang makin besar sudah mulai menghasilkan perbaikan lebih lambat (diminishing return). Salah satu yang perlu diperbaiki adalah kebijakan transfer fiskal ke kabupaten/kota. Sebagaimana diketahui, Kinerja Aceh merupakan akumulasi dari kinerja 23 kabupaten/kota di wilayahnya.
Saat ini, transfer fiskal dana otsus, atau dikenal dengan DOKA, berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh qanun. Ada 4 kriteria yang menentukan besarnya alokasi DOKA di kabupaten/kota, yaitu jumlah penduduk, luas wilayah, nilai indeks kemahalan konstruksi (IKK) dan nilai IPM. Kriteria ini belum berubah sejak saat Dana Otsus mulai digunakan, meski sudah kali 3 kali perubahan qanun terkait tata cara penggunaan dana otsus ini. Bahkan pada perubahan terakhir dalam Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2018, 4 kriteria tersebut dikunci dengan menghilangkan kalimat “indikator lainnya yang relevan” sebagai katup pengaman jika diperlukan perubahan kriteria.
Tiga kriteria pertama berhubungan positif dengan besarnya DOKA, sedangkan satu kriteria terakhir mempunyai hubungan sebaliknya. Kriteria terakhir tersebut berarti makin kecil IPM makin besar DOKA yang diterima. Mungkin para pengambil kebijakan saat itu bermaksud agar kabupaten/kota dengan IPM rendah dapat memacu IPM melalui kapasitas fiskal yang lebih besar. Namun, maksud baik tersebut belum sesuai harapan. Secara total, IPM Aceh sebagai akumulasi IPM Kab/Kota tumbuh lebih rendah dari daerah lain.
Kriteria alokasi DOKA tersebut bersifat pemerataan. Kabupaten/Kota menerima alokasi ini secara take for granted. Tidak cukup insentif untuk memperbaiki kinerja pembangunan. Bahkan kriteria tersebut dapat disalah-artikan dengan status-quo IPM yang rendah demi alokasi yang tinggi. Demikian juga dengan faktor lain seperti IKK dan jumlah penduduk sehingga insentif untuk menjaga inflasi dan pertumbuhan penduduk menjadi tidak optimal.
Anggaran Fastabikhul Khairat
Perubahan kebijakan transfer ini dirasa makin mendesak apabila dilihat dari periode Aceh mendapatkan dana otsus. Pendapatan Aceh yang berasal dari dana otsus yang setara dengan 2 persen DAU tinggal 2 tahun anggaran (TA) lagi, yaitu TA 2021 dan 2022. Bahkan untuk tahun TA 2021, alokasi DOKA sudah ditetapkan menggunakan pendekatan Business as Usual. 5 tahun anggaran selanjutnya, Aceh menerima dana otsus separuhnya atau setara dengan 1 DAU Nasional. Sisa waktu dan besaran dana transfer yang makin sempit dan berkurang seharusnya memberikan sense of urgency bagi perbaikan kebijakan penggunaan dana otonomi khusus. Kebijakan transfer anggaran nasional juga mulai beralih pada berbasis kinerja seperti peningkatan alokasi Dana Insentif Daerah (DID).
Perubahan kebijakan anggaran yang perlu dilakukan adalah reformulasi kriteria alokasi dana otonomi khusus. Selain berdasarkan pemerataan, kriteria alokasi perlu berbasis kinerja. Kriteria alokasi berbasis kinerja dapat diberikan secara agregat berdasarkan capaian nominal dari indikator berbasis kinerja dan capaian incremental perbaikan kinerja tersebut dengan masing-masing bobot yang disepakati bersama antara legislatif dan eksekutif.
Kriteria baru untuk alokasi dana otonomi khusus dirumuskan berdasarkan kinerja yang ingin diperkuat oleh Pemerintah Aceh. Kriteria tersebut ditujukan untuk penguatan modal manusia (human capital) seperti peningkatan kualitas pendidikan dan/atau penurunan angka stunting bahkan untuk perbaikan kinerja daya saing investasi atau ease of doing business sebagai fondasi ekonomi yang berkelanjutan berbasis bisnis masyarakat dan lepas dari ketergantungan APBA setelah dana otsus berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar