Minggu, 22 November 2020

Tirom, Habitat and Ekonomi Kreatif



Sabtu pagi di Alue Naga, sebuah gampong di batas Kota Banda Aceh, seorang perempuan paruh baya mendayung perahu kecil,
 jalo, mendekati sebuah kontruksi sederhana di dalam perairan mirip laguna yang banyak ditumbuhi pohon bakau, tipikal suasana lingkungan pesisir Banda Aceh bagian utara. Kontruksi sederhana tersebut berbentuk persegi panjang yang mempunyai tiang pancang tertancap pada dasar lumpur. Pada kolom kontruksi tersebut, banyak tergantung paralon, ban bekas dan barang lainnya, terjuntai berada dalam air payau disitu. 

 

Perempuan tersebut ternyata memilih kerang oyster, tirom, yang hidup menempel pada barang gantungan itu. Tirom yang berukuran besar diambil sedangkan yang masih berukuran kecil ditinggalkan untuk dipanen beberapa waktu kemudian seiring dengan pertumbuhan Tirom kecil tersebut. “kamoe rojeh payah kuep tirom lam ie masen dan leuhob jeh. Bee khieng dan suum ta rasa”, kenang perempuan berkulit sawo matang itu tentang pekerjaan yang sudah dilakoni selama puluhan tahun. Namun, ia mengaku kalau pekerjaan saat ini lebih mudah setelah adanya kontruksi budidaya kerang tersebut. Hasil kerang yang dipanen pun lebih besar dan harganya lebih baik. 

 

Kontruksi budidaya tirom ini berfungsi sebagai refuge bagi ribuan larva dari tirom. Allah SWT telah menakdirkan sebuah tirom dewasa dapat memproduksi telur puluhan ribu. Kemudian menjadi larva mengapung di air mengikuti arus air. Nasib larva dapat berakhir tragis karena menjadi santapan makhluk yang berada di rantai makanan lebih tinggi. Hidupnya juga dapat berakhir karena lingkungan salinitas yang diatas ambang, misalnya saat ia sampai ke laut atau dibawa arus pasang hingga ke perairan yang lebih tawar. Kontruksi budidaya tersebut menyediakan habitat bagi para larva ini menempel ketika ia melewatinya. Metamorfosa kehidupannya pun dimulai hingga menjadi lebih besar dan siap diproduksi dan dikonsumsi. 

 

Sepertinya, perjalanan hidup dari Tirom yang kerap kita santap sebagai kuah tumis ataupun campuran dalam mie goreng basah juga berlaku bagi pengembangan pelaku ekonomi kreatif. Pelaku ekonomi kreatif butuh habitat agar ia berkembang. Allah SWT menciptakan manusia dengan kapasitas kecerdasan dan kreatifitas. Kapasitas tersebut dapat menjadi stunting akibat asupan  dan lingkungan yang tidak memadai atau kondusif. Dus, jika ingin agar Aceh memiliki stok pelaku ekonomi kreatif yang mampu memproduksi dan laku dijual, habitat yang baik merupakan hal yang tidak boleh tidak untuk disediakan. 

 

Ekonomi kreatif merupakan salah satu sektor ekonomi yang relatif baru dan mengalami perkembangan pesat. Laporan UNCTAD menyebutkan rerata pertumbuhan perdagangan produk kreatif global berkisar 7 persen lebih. Dalam kurun waktu, 2002 hingga 2015 terjadi penggadaan pangsa pasar perdagangan kreatif ini dari $208 Milyar menjadi $509 Milyar. 

 

Ekonomi kreatif mempunyai definisi yang hampir sama dengan ekonomi pengetahuan atau ekonomi informasi. Secara umum, ia menggabungkan kreatifitas, ide, hak cipta dan teknologi dalam memproduksi inovasi. Ekonomi ini, menurut Jhon Newbigin, mempunyai 13 sektor, yaitu periklanan, arsitektur, seni, produk kerajinan, desain, tata busana, film, games, musik, seni pertunjukan, publikasi, software dan TV serta Radio. 


Faktor produksi yang paling penting dari sektor ekonomi ini adalah sumber daya manusia. Fakta ini menjadi relevan saat ini di tengah perkembangan otomasi dan kecerdasan buatan atau yang lebih dikenal dengan Industry 4.0. Otomasi dan kecerdasan buatan akan segera menggantikan kemampuan manusia yang bersifat fisik dan repetisi hingga fungsi logis sederhana hingga kompleks. Ironisnya, kedua teknologi tersebut merupakan produk dari ekonomi kreatif sendiri. Karena itu, satu-satunya cara untuk tetap membuat manusia lebih unggul dari otomasi dan kecerdasan buatan adalah dengan menjadi lebih kreatif. 

 

Kreatifitas merupakan sumber daya yang tidak pernah habisnya. Masing-masing individu mempunyai tingkat kreativitas yang unik. Kreatifitas akan menghasilkan inovasi atau bernilai ekonomi yang signifikan  apabila terjadi kolaborasi antar pelaku kreatif. Ini yang menjadi salah satu alasan Google sebagai perusahaan di sektor kreatif mendesain ruang kerja dan fasilitas  (habitat) untuk mendorong pekerja kreatifnya untuk berkolaborasi. Misalnya, Google menyediakan fasilitas makan siang gratis di cafetaria atau restoran kantor untuk memberikan kesempatan pertemuan antar pelaku kreatif lintas departemen sehingga terjadi pertukaran ide baru antar mereka dan menghasilkan sebuah produk inovasi.

 

Belajar dari filosofi tirom dan best practice dari pelaku usaha yang sukses, Pemerintah Aceh perlu menciptakan habitat bagi pelaku ekonomi kreatif untuk tumbuh dan berkembang. Creative spacecreative hubtechno parks merupakan senarai nomenklatur untuk habitat tersebut. Habitat ini dilengkapi dengan fasilitas yang dibutuhkan oleh pelaku ekonomi kreatif untuk berkolaborasi dan menghasilkan produk dan jasa inovatif. Fasilitas tersebut diantaranya adalah infrastruktur digital, dan inkubasi  yang tersedia dalam klaster-klaster kreatif. Penulis mengusulkan  habitat kreativitas tersebut dapat dibangun dalam areal Dinas Koperasi dan UKM Aceh di Lampineung (Kota Baru) dan Taman Budaya Aceh di Seutui yang merupakan aset pemerintah.

 

Selain itu, kebijakan pendidikan formal yang menekankan pada pengembangan kreatifitas siswa, perluasan akses pembiayaan baik berbasis pinjaman atau investasi, hingga pembelian produk dan jasa kreatif  merupakan pilinan pendekatan supply and demand yang efektif bagi pengembangan ekonomi kreatif secara berkelanjutan. 

 

Upaya mengembangkan habitat ini mensyaratkan kolaborasi dari berbagai pihak baik pemerintah maupun swasta. Pemerintah perlu memulai siklus dari pengembangan ekonomi kreatif ini. Apabila ia sudah dapat menciptakan pasar yang dinamis, maka ketergantungan kepada anggaran pemerintah akan semakin berkurang dan bahkan akan membalas dengan pembentukan ouput ekonomi dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar. Wallahu a’lam bisshawab.

Note : ilustrasi diunduh dari https://redbooth.com 

2 komentar:

  1. Teurimong geunaseh sharingnya pak ustadz, pencerahan yg sangat tepat menjelang berakhirnya era dana otsus, sehingga Aceh memiliki sumber pertumbuhan ekonomi baru

    BalasHapus