Kamis, 22 November 2012

Dilema Pembangunan Jalan Lintas Tengah

Beri ikan, rakyat akan kenyang sehari, ajarkan bagaimana menangkap ikan, maka rakyat akan kenyang selamanya”. Ungkapan ini adalah filosofi  yang sudah mahsyur dan mahfum di kalangan pengiat pembangunan. Namun Paul Romer –sang arsitek New Growth Theory- mengkritisi filosofi tersebut dengan mengatakan “ajarkan rakyat menangkap ikan, maka mereka akan kenyang selama beberapa waktu kemudian lapar selamanya akibat rusaknya habitat atau ekosistem ikan”. Kritik Romer ini adalah kondisional, yaitu apabila kebijakan pembangunan tidak diantisipasi dengan aturan yang menjaga seperti aturan jumlah maksimal ikan yang boleh ditangkap atau larangan menangkap ikan dengan cara merusak ekosistem.


Pembangunan  jalan lintas tengah Aceh boleh jadi masuk dalam dilema yang diindikasikan oleh Romer. Secara geografis, Aceh yang berbentuk segitiga dibelah tengah oleh sebaris punggung gunung dikenal dengan bukit barisan. Wilayah tengah Aceh berada dikawasan ini dan secara natural berfungsi sebagai penyangga bagi kawasan dataran rendah dan pesisir di kedua sisi barat-selatan dan timur-utara. Semua sistem sungai di Aceh bersumber dari wilayah tengah. Belum lagi udara bersih yang terus menerus dipompa membuat ia sepenting paru-paru Aceh. Pembangunan yang tidak memperhatikan fungsi natural kawasan tengah hanya akan berakhir pada kesengsaraan berkelanjutan.

Sesungguhnya motivasi pembangunan jalan lintas tengah adalah sangat mulia. Beberapa waktu yang lalu, media cetak memberitakan bagaimana keterjepitan masyarakat Lokop atau Pining yang menjual hasil kebun ke orang “kota” dengan harga murah dan sebaliknya membeli barang kelontong dari “kota” dengan harga lebih mahal. Penyebabnya adalah buruknya aksesibilitas yang menyebabkan ongkos transportasi menjadi mahal.  Adalah logis jika untuk menghentikan ketidakadilan ini dipilih kebijakan meningkatkan aksesibilitas dengan membangun jalan tembus lintas tengah.  Tetapi ibarat pisau bermata dua, aksesibilitas dapat berarti jalan keluar dari keterpurukan sekaligus jalan masuk bagi berbagai pengaruh negatif. Dialektika inilah yang harus dapat dikelola oleh sebuah kebijakan pemerintah sehingga mashlahat yang didapat lebih besar dari mudharat pada kasus pembangunan jalan lintas tengah.

Dilema paling vulgar adalah pembangunan jalan dan kualitas hutan. Jamak diketahui, ketika sebuah kawasan mempunyai akses yang baik, maka nilai ekonomi daerah tersebut akan meroket. Nilai kavling tanah akan melonjak ketika jalan akses dibangun didekatnya. Begitu juga kawasan tengah apabila dibangun jalan tembus. Insentif ekonomi akan menyebabkan lahan sekitar jalan berubah peruntukannya. Celakanya, hampir seluruh lahan di kawasan tengah adalah hutan dan bertopografi miring. Jika tidak diantisipasi, pembangunan jalan dapat menyebabkan hilangnya hutan di kawasan tengah yang juga berarti menurunnya kapasitas penyangga kawasan tersebut terhadap Aceh secara keseluruhan.

Hemat penulis, untuk menghindari dilema ini aturan (rules) harus dibangun dan/atau diperkuat sehingga pembangunan jalan lintas tengah tidak membawa eksternalitas negatif terhadap lingkungan. Aturan yang paling relevan adalah yang terkait dengan tata guna lahan, yaitu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

Permasalahan lain yang tak kurang pentingnya adalah pengawasan dan penegakan aturan. Ini adalah titik lemah utama dalam penyelenggaraan negara. Secanggih apapun aturan main, jika pengawasan dan penegakan aturan nol maka hasilnya juga pepesan kosong. Pemerintah Aceh perlu membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum  baik dengan mendayagunakan aparatur terkait, membangun kemitraan pemantauan berbasis masyarakat  hingga menggunakan teknologi satelit untuk mendeteksi perubahan lahan di sekitar jalan yang mungkin tak terlihat dari pinggir jalan. Efektifitas pengawasan ini sangat tergantung dari kesamaan visi dan persepsi dari  pelaku-pelaku diatas yang harus dimulai dan dilakukan secara kontinyu.

Di sisi teknis pembangunan, desain jalan yang akan dibangun juga harus memperhatikan karakteristik kawasan. Kondisi geologis dan topografis harus menjadi perhatian utama dalam desain agar usia operasi jalan dapat lebih panjang. Sering kita jumpai jalan lintas tengah tanpa dilengkapi drainase yang memadai sehingga limpasan air membuat badan jalan maupun lapisan tanah pendukungnya tidak stabil. Aturan beban lalu lintas maksimum juga perlu diprediksi sehingga lalu lintas tidak  menyebabkan jalan cepat longsor.  

Beban lalu lintas sebenarnya juga dapat dikondisikan dengan strategi pengembangan komoditas kawasan tengah. Keterbatasan lahan datar dan kendala geografi membuat kawasan tengah akan lebih menguntungkan mengembangkan komoditas bernilai tinggi atau mempunyai rasio harga per bobot yang tinggi. Komoditas jenis ini membutuhkan lahan yang lebih sedikit untuk menghasilkan keuntungan yang sama. Komoditas seperti ini juga tidak begitu terpengaruh dengan ongkos tranportasi. Bandingkan saja mengangkut satu truk penuh buah semangka dengan minyak nilam. Dengan ongkos transportasi yang sama, namun nilai atau keuntungan yang diperoleh jauh berbeda. Atau dengan nilai yang sama, bobot dan beban lalu lintas juga jauh berkurang. Hasilnya rentang pelayanan jalan pun lebih lama dan awet.   

Sejatinya, ketika sebuah intervensi pembangunan ditetapkan , pemerintah sudah harus mengantisipasi seluruh eksternalitas atau dampak yang mungkin terjadi. Dampak tersebut perlu dikelola dengan kebijakan yang antisipatif dan integratif demi meminimalisir dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Pendekatan yang sama harus dilakukan pada pembangunan jalan tembus lintas tengah sehingga dilema pembangunan jalan tembus lintas tengah terhapuskan. Ini artinya kesejahterakan masyarakat di kawasan tengah menjadi nyata dan berkelanjutan dan keutuhan dan fungsi lingkungan tetap terjaga.   

Tabloid "Tabangun Aceh" , Edisi November 2012. 

Selasa, 13 November 2012

Fiscal Cliff : Antara Amerika Serikat dan Aceh



Presiden Barrack Hussein Obama kembali terpilih menjadi commander in chief negara adidaya Amerika Serikat. Ia mengikuti senior demokrat, Franklin D Roosevelt, yang kembali dipilih jadi presiden meskipun keadaan ekonomi masih morat marit. FDR terpilih ditengah Great Depression dan Obama masih dipercaya rakyat Amerika Serikat meskipun Great Recession belum pulih sepenuhnya.

Hampir semua pengamat mengatakan tantangan terbesar pertama Obama pasca kemenangan dalam pemilu AS adalah fiscal cliff. Fiscal cliff (tebing fiskal) didefinisikan sebagai diskontinuitas fiskal akibat berakhirnya program pengurangan pajak yang diberlakukan sejak 2001 (lebih dikenal dengan Bush Tax Cut) dan akan diberlakukan pengurangan pengeluaran pemerintah. Kedua peristiwa fiskal ini akan terjadi bersamaan tanggal 1 Januari 2013 dan merupakan hasil barter politik antara presiden dari Partai Demokrat dan kongres yand didominasi Partai Republik tentang kebijakan pengurangan beban hutang AS.  

Fiscal cliff menjadi isu sangat krusial karena masih belum pulihnya perekonomian AS pasca resesi. Tebing fiskal ini akan menyebabkan kenaikan pajak yang berarti uang yang dimiliki rakyat (konsumen) akan lebih sedikit dan pengeluaran pemerintah pun berkurang. Diperkirakan total uang yang didapat pemerintah AS dari kenaikan pajak dan pengurangan belanja ini sebesar 800 milyar US dolar pada tahun 2013. Namun dana tersebut bukan untuk dibelanjakan untuk memulihkan ekonomi melainkan uang sebesar PDB tahunan Indonesia itu  akan hilang dari ekonomi AS karena digunakan untuk memperkecil defisit dan mencicil hutang. Congressional Budget Office –sebuah lembaga riset bi-partisan di lingkungan kongres AS- memprediksi jika fiscal cliff ini terjadi maka AS akan kembali ke masa resesi dengan tingkat pengangguran naik menjadi 9.1 persen pada akhir 2013.

Fiscal cliff masih bisa dihindari apabila ada kesepakatan antara presiden dan kongres. Namun balance of power hasil pemilu 6 November 2012 kemarin menyisakan kekhawatiran. Komposisi politik antara presiden, kongres dan senat tidak banyak berubah membuat tantangan deadlock menghantui negosiasi tentang tebing fiskal ini sebagaimana yang terjadi pada negosiasi tentang debt ceiling pada pertengahan tahun 2011.  

Presiden Obama dalam kampanyenya mengatakan bahwa ia akan melanjutkan pengurangan pajak kepada rakyat yang berpenghasil dibawah 250.000 dolar per tahun. Pemberhentian pengurangan pajak hanya berlaku pada rakyat yang berpenghasilan diatas ambang tersebut dan pajak pendapatan yang berasal dari dividen dan keuntungan kapital lainnya. Di sisi pengeluaran, pemerintah akan mengurangi pos pengeluaran pertahanan yang saat ini menjadi salah satu penyebab deficit dan hutang AS menggunung. Selain itu, Obama mengindikasikan bahwa permasalahan defisit ini juga disebabkan oleh daya saing ekonomi AS yang makin terpuruk. Banyak industri terutama manufaktur yang hengkang dari AS. Karenanya ia berjanji akan memprioritaskan program-program yang menopang bangkitnya daya saing. Kebijakan imigrasi yang memudahkan SDM berkualifikasi dari seluruh dunia untuk hijrah ke AS, investasi di bidang pendidikan dan riset hingga kebijakan energi terbarukan.

Dengan kembalinya daya saing AS dan diikuti oleh makin kokohnya perekonomian AS, Obama berharap permasalahan defisit anggaran, perdagangan dan hutang akan sedikit demi sedikit dapat diselesaikan.

Tebing Fiskal Aceh

Meski dalam horizon waktu yang lebih panjang, Aceh juga akan mengalami fiscal cliff. Malah tebing fiskal di Aceh terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama akan terjadi pada tanggal 1 Januari 2023 dan lima tahun kemudian diikuti oleh tahap kedua pada tanggal 1 januari 2028. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh  Pasal 183 ayat 2 menyebutkan Aceh akan menerima dana otonomi khusus sebesar dua persen dari total dana alokasi umum (DAU) nasional selama 15 tahun dan satu persen DAU nasional untuk 5 tahun berikutnya. Transfer dana otonomi khusus ini dimulai pada tahun 2008 (Pasal 258 ayat 2).

Postur fiskal Aceh saat ini membuat timeline tersebut diatas menjadi sangat penting. Dana otonomi khusus merepresentasikan lebih dari setengah dari total penerimaan Aceh. Pengurangan secara signifikan penerimaan pemerintah dapat membuat perekonomian Aceh loyo. Apalagi kontribusi belanja pemerintah terhadap ekonomi Aceh masih dominan. Penurunan belanja pemerintah akan mempengaruh sektor swasta di Aceh yang saat ini masih dimanjakan oleh proyek-proyek pemerintah.

Ancaman tebing fiskal yang terpampang di horizon seharusnya membuat pemerintah melakukan kebijakan antisipatif. Apalagi sudah lima tahun dana otsus sejumlah puluhan trilyun telah ditransfer ke Aceh namun indikator pembangunan Aceh masih lamban bergerak. Aceh tidak mempunyai pilihan lain selain mempersiapkan kemandirian ekonomi dan fiskal. Sejarah menunjukkan bahwa negara maju adalah negara yang dibiayai oleh rakyatnya   melalui pajak. Cukup tidaknya pajak untuk membiayai kegiatan pemerintahan tergantung pada kemampuan ekonomi.

Kemandirian ekonomi ditentukan oleh sektor swasta bukan oleh pemerintah. Sektor swasta yang dinamis itu bertumpu pada kualitas rakyat. Harapan, motivasi dan kewirausahaan harus dimunculkan pada seluruh komponen masyarakat. Kebijakan pendidikan seharusnya fokus pada mutu (kurikulum, kemampuan guru) bukan pada bangunan fisik. Mutu pendidikan yang baik akan menghasilkan kualitas tenaga kerja yang prima yang mempunyai produktifitas kerja tinggi. Ia akan merubah potensi alam Aceh menjadi komoditas atau produk bernilai tinggi. Ketersediaan tenaga kerja kualitas tinggi juga akan menarik bisnis dan investasi di Aceh. Kondisi ini akan membuat perekonomian Aceh menjadi menggeliat dan membuat kemampuan membayar pajak akan meningkat sehingga  kemampuan fiskal Aceh pun naik.

Infrastruktur utama yang menjadi kendala bagi pertumbuhan bisnis dan investasi di Aceh adalah energi. Defisit energi akan membuat pelaku bisnis enggan membangun pabrik dan memperkerjakan tenaga kerja Aceh. Pemerintah Aceh harus mempercepat pembangunan pembangkit tenaga listrik baik yang sedang dikerjakan maupun masih bersifat potensi yang ekonomis. Hal ini penting untuk membuat balance of energy menjadi positif dan pelaku ekonomi dapat memulai usahanya.

Identik dengan apa yang dilakukan Presiden Obama, daya saing Aceh harus menjadi sasaran utama demi menarik lebih banyak sumber daya untuk memastikan kemandirian ekonomi dan fiskal Aceh. Ketika kemandirian fiskal telah tercapai, penurunan drastis transfer dana otonomi khusus pada tahun 2022 dan berakhir total pada tahun 2027 akan digantikan dengan PAD dan juga ketahanan dan kemandirian ekonomi rakyat yang lagi tidak bergantung pada proyek-proyek pemerintah. 

http://atjehpost.com/read/2012/11/14/27702/77/3/Fiscal-Cliff-Antara-Amerika-Serikat-dan-Aceh

Senin, 12 November 2012

Ledakan Challenger dan Pembangunan Aceh




Bisa jadi sebagian kita mengernyitkan dahi mencoba menerka ada apa dengan Challenger dan Aceh saat membaca judul diatas.  Chalengger apa yang dimaksud? Apakah pesawat ulang alik Amerika Serikat yang meledak pada tahun 1986? Jika iya, ada hubungan apa antara keduanya.

Ya . Challenger yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pesawat ruang angkasa Challenger yang meledak  73 detik setelah lepas landas dari Kennedy Space Center di Florida. Tujuan dari tulisan ini adalah mencoba untuk mengambil pelajaran dari musibah ini terhadap proses pembangunan di Aceh.

Penyebab dari ledakan pesawat ulang alik ini adalah tidak berfungsinya sebuah komponen kecil yang disebut O-Ring. Kegagalan komponen dari karet ini menyebabkan lidah api menyambar tanki bahan bakar dan membuat pesawat canggih  ini meledak dan hancur berkeping-keping. O-Ring merupakan komponen sederhana dengan harga murah sekitar 10 dolar. Namun kegagalannya melaksanakn tugasnya menyebabkan sebuah sistem canggih seharga 6,7 milyar dolar menjadi rongsokan plus kematian 7 orang sumber daya manusia terbaik di Amerika Serikat.

Kemudian tragedi ini menginspirasi Michael Kremer, seorang ekonom, untuk menformulasikan sebuah teori pertumbuhan ekonomi yang disebut dengan O-Ring Theory of Development. Teori ini mengatakan bahwa kinerja sebuah pembangunan adalah akumulasi dari produktifitas setiap komponen pembangunan. berhasil tidaknya pembangunan tergantung bukan pada komponen terbesar atau terkuat namun pada komponen terlemah (the weakest link). Karenanya teori pembangunan ini mensyaratkan produktifitas yang sama antara setiap komponen jika kinerja maksimal ingin diraih. Perbedaan kecil produktifitas antara komponen akan menyebabkan kinerja turun secara signifikan.

Dalam teori organisasi, O-Ring Theory ini identic dengan konsep Total Quality Management (TQM) yang diperkenalkan oleh Edward Deming dan kemudian menjadi rahasia sukses kinerja industri manufaktur Jepang. Prinsip TQM menempatkan kualitas sebuah produk akhir tergantung pada kualitas setiap proses produksinya. O-Ring Theory dan TQM menempatkan kualitas komponen bukan kuantitas sebagai faktor penentu keberhasilan sebuah sistem

Pembangunan adalah sebuah sistem. Ia mempunyai komponen-komponen yang berkontribusi pada hasil akhir pembangunan. Kualitas Pembangunan Aceh adalah akumulasi dari kualitas pembangunan di 23 kabupaten  dan kota yang ada didalamnya. Kinerja Pemerintah Aceh juga ditentukan oleh lebih dari 40 SKPA dibawah administrasinya. Pembangunan juga tidak semata produk pemerintah namun juga hasil kegiatan dari segala pihak dalam masyarakat Aceh.

Ketika ingin kualitas pembangunan Aceh maksimal, maka matching (penyerataan) kualitas masing-masing sub-sistem mutlak dilakukan. Ketimpangan hanya menyebabkan kualitas pembangunan menjadi miring bahkan gagal (misalnya ketimpangan yang menyebabkan konflik). Kinerja kabupaten dan kota harus diangkat secara setimbang dan merata. Begitu juga dengan kualitas SKPA. Setiap individu yang ingin berkontribusi kepada kesejahteraan harus diberikan lapangan yang rata atau kesempatan yang sama (leveling playing field). Ketika kualitas seluruh komponen tinggi dan seragam, maka pembangunan pun lebih terasa efektifitasnya. 

Sumberdaya manusia merupakan aktor utama dalam pembangunan. Karena manusia mempunya free-will akan peningkatan kualitas. Pemerintah perlu menciptakan sistem insentif perlu untuk memicu proses matching kualitas ini. Mengapa? Karena people respond to incentives. Just as Allah guides us by hope for heaven and fear of hell.    

Kutukan TPK ?


Rubrik “Droe Keu Droe” Harian Serambi Indonesia baru-baru ini menerbitkan dua tulisan curahan hati  yang mempunyai keluhan yang sama.  Kedua penulis tersebut -M. Jamil S (29 Oktober 2012) dan Faisal Nurdin (2 November 2012)-  mempersoalkan ketidakadilan tunjangan kerja yang didapat oleh PNS provinsi  dan PNS kabupaten/kota lainnya di Aceh. Keduanya menilai perbedaan yang ada tidak seharusnya terjadi mengingat PNS kabupaten/kota yang lebih terkena dampak konflik daripada PNS Provinsi.

Kasak kusuk akan perbedaan TPK antara provinsi dan kabupaten/kota sebenarnya sudah mulai dirasakan sejak penerapan di tingkat provinsi. Reaksi awal dari perbedaan tersebut saat itu lebih pada peningkatan permintaan mutasi PNS dari kabupaten/kota ke provinsi. Migrasi PNS ini berdampak negatif. Jika PNS mutasi adalah pegawai dengan kualifikasi tinggi, maka kabupaten/kota mengalami brain drain sehingga pelayanan publik di daerah pun dapat memburuk. Jika sebaliknya, maka kinerja pemerintah provinsi tidak membaik namun beban fiskal justru bertambah.

Akibat paling buruk dari kecemburuan TPK ini  adalah resiko pengkotakan antara PNS provinsi dan kabupaten/kota. Pengkotakan ini dapat mempengaruhi efektifitas koordinasi hingga pemboikotan. Padahal pelayanan publik yang optimal mensyaratkan kesamaan visi, misi dan langkah antar tingkat pemerintahan di Aceh. Jika ini terjadi, alih-alih sebagai penunjang kinerja TPK malah dapat menjadi sebuah kutukan yang meruntuhkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat.

Mungkin menjadi relevan hadits Nabi yang menyatakan, “Bukanlah kefaqiran yang sangat aku khawatirkan terjadi pada kalian, tetapi aku sangat khawatir jika kemewahan dunia dibentangkan luas atas kalian, kemudian karenanya kalian berlomba-lomba untuk meraihnya seperti yang pernah terjadi pada orang-orang sebelum kalian. Maka akhirnya kalian binasa sebagaimana mereka juga binasa karenanya,” (Bukhari dan Muslim).

Insentif yang Salah Kaprah
Tunjangan prestasi kerja (TPK) kerap dipahami secara salah atau tidak sempurna. Sebagian PNS kabupaten/kota berpendapat TPK adalah bagian “dividen’ perdamaian. PNS provinsi menganggap bahwa TPK yang lebih tinggi adalah wujud lingkup  tugas yang lebih besar dan juga sebagai insentif untuk berprestasi. Meskipun alasan yang pertama benar adanya, namun apakah TPK tinggi dapat meningkatkan kinerja masih menyisakan tanda tanya besar. Kabupaten Aceh Utara dapat menjadi contoh bagaimana TPK tinggi tidak selalu membawa perbaikan. Awal dekade 2000-an, PNS kabupaten penghasil gas bumi ini memberikan tunjangan kerja yang tinggi bahkan jauh melebihi PNS provinsi. Namun tunjangan tersebut tidak berkelanjutan akibat beban fiskal yang besar dan menurunnya pendapatan dari gas bumi. Kualitas hidup rakyat Aceh Utara pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. Begitu juga, TPK provinsi masih dianggap belum menghasilkan kinerja pegawai dan keluaran pembangunan yang sepadan.

Hemat penulis, belum berhasilnya TPK yang tinggi mendongkrak kinerja pegawai dan meningkatkan kualitas pembangunan disebabkan oleh pemahaman bahwa TPK adalah kebijakan terpenting dalam reformasi birokrasi. Padahal Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN dan RB) hanya menempatkan remunerasi atau TPK pada urutan ke-delapan dari sembilan program percepatan reformasi birokrasi. Delapan program lainnya adalah penataan struktur birokrasi, penataan jumlah dan distribusi PNS, transparansi seleksi dan promosi PNS, profesionalisasi PNS, E-Government, transparansi dan akuntabilitas aparatur; dan efesiensi penggunaan fasilitas, sarana dan prasarana kerja PNS.

Celakanya,  pelaksanaan TPK saat ini tidak mengindahkan prinsip insentif , dalam artian yang berprestasi mendapat reward yang lebih tinggi melainkan melalui sistem pukul rata. Hasilnya PNS akan termotivasi untuk bekerja sekedarnya atau minimal demi memenuhi persyaratan administrasi semata. Fenomena ini lebih dikenal dengan race to the bottom. Penyakit ini dapat menjalar. PNS kabupaten/kota mungkin saja beralasan, misalnya, bahwa PNS provinsi dengan TPK tinggi saja masih suka menghabiskan waktunya main game, apalagi PNS kabupaten/kota yang TPK lebih sedikit.  Seharusnya TPK mendorong pegawai untuk berlomba-lomba menjadi terbaik atau race to the top (fastabiqul khairat).

Agar TPK menjadi Rahmat  
Al Qu’ran memaparkan insentif bagi manusia dalam memakmurkan dunia ini. Insentif tersebut adalah syurga dan neraka. Bahkan Al Quran menjabarkan bahwa insentif syurga hanya akan diperoleh setelah amal shalih dilakukan sedangkan (dis) insentif neraka bagi yang berbuat maksiat. Seharusnya kita juga mengambil hikmah dari Al Quran bahwa TPK tidak didapat gratis hanya karena menjadi PNS. Sebagaimana tidak gratisnya syurga karena kita manusia atau muslim.

Didalam hadits Nabi malah insentif akhirat pun di-break down menjadi beberapa tingkat syurga dan neraka yang merupakan fungsi dari kualitas amal shalih dan maksiat yang dilakukan manusia. Sepadan dengah hal diatas, penentuan jenis dan besar TPK juga berhubungan positif dengan beban dan kualitas kerja. Karenanya analisis beban kerja dan jabatan, benchmarking, scorecards adalah hal-hal yang harus diperjelas dan diinternalisasi dalam keseharian aparatur negara ini. Mentransformasi PNS kedalam jabatan-jabatan fungsional merupakan salah satu upaya untuk memaksimal kinerja karena jabatan fungsional mempunyai indikator-indikator yang jelas yang dapat diukur sehingga bisa ditentukan remunerasi yang diterima.

Kebijakan TPK  juga harus dibarengi dengan kebijakan penguatan kinerja lainnya. Kerangka reformasi yang telah dirancang oleh Kementerian PAN dan RB perlu dilakukan secara utuh. Mulai dari seleksi PNS hingga sistem insentif (reward and punishment, transparansi, akuntabilitas) yang menjamin PNS melaksanakan tugasnya sesuai rel harapan masyarakat.

Dari sisi fiskal, ketimpangan fiskal  di Aceh merupakan sumber utama perbedaan TPK di level pemerintahan. Dana otonomi khusus yang dikelola oleh provinsi sebenarnya dapat dijadikan insentif untuk pemerintah kabupaten/kota dalam meningkatkan kinerja sekaligus sebagai medium perimbangan fiskal. Pemerintah provinsi perlu membuat aturan transfer fiskal yang jelas dan tegas mulai dari perencanaan, indikator kesuksesan hingga transparansi dan akuntabilitas administrasi keuangan. Pemerintah kabupaten/kota melakukan sesuai blue print yang disepakati bersama antara provinsi dan kabupaten/kota. Selama kualitas dan keluaran pembangunan sesuai dengan cetak biru tersebut, selama itu pula kabupaten/kota mendapat kucuran insentif moneter dari provinsi.

Pemerintah kabupaten/kota juga harus memaksimalkan potensi pendapatan melalui optimalisasi pajak dan retribusi daerah. Dari 16 jenis pajak dan retribusi daerah yang ditetapkan UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, 11 diantaranya adalah kewenangan kabupaten/kota. Optimalisasi potensi penerimaan pajak ini juga dapat meningkatkan kapasitas kabupaten/kota untuk menerapkan sistem insentif termasuk kenaikan TPK.

Akhirnya, yang harus dipahami oleh setiap PNS bahwa hakikat menjadi abdi negara adalah untuk melayani masyarakat. Ibarat pelayan, besarnya tips atau imbalan gaji sangat tergantung dengan kemampuan finansial dari yang dilayani. Makin sejahtera masyarakat, makin besar pula pendapatan para pelayan masyarakat. Jika ini dapat dipahami dan dilaksanakan maka yang terjadi adalah lingkaran kebaikan yang membawa rahmat bagi setiap manusia yang ada di Aceh. TPK tinggi, masyarakat pun tambah sejahtera.