Selasa, 20 Desember 2011

APBA 2012 untuk Percepatan Kesejahteraan



Proses penetapan APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) Tahun 2012 sudah memasuki tahap akhir. Meskipun  ada indikasi kemoloran pembahasan Rancangan APBA antara legislatif dan eksekutif.  Semua pihak berharap bahwa RAPBA dapat disahkan dan ditetapkan menjadi APBA sebelum 1 Januari 2012.


Pembahasan akhir RAPBA 2012 oleh DPRA merupakan akhir dari 4 proses perencanaan pembangunan, yaitu proses politik. Ketiga proses lainnya – teknokratis, partisipatif, dan bottom-up dan top-down- seharusnya telah sempurna dilaksanakan melalui perencanaan kegiatan pembangunan yang berdasarkan data/evaluasi/penelitian (evidence-based planning), musrenbang dan sinkronisasi prioritas antar pusat dan daerah. Dus, proses politik APBA di DPRA seharusnya tidak berlangsung lama dan tidak merombak total rancangan yang diserahkan.  Lalu apa yang menjadi acuan DPRA untuk memeriksa dan menilai RAPBA 2012 layak untuk disahkan?


Sebuah pemahaman bersama yang harus dipunyai oleh semua pihak adalah pembangunan adalah proses yang kontinyu. Pembangunan itu ada karena perbedaan antara keadaan sekarang (realitas) dan keadaan yang kita impikan (idealitas). Jurang antara realitas dan idealitas masih lebar menganga. APBA sesungguhnya adalah desain tahapan membangun jembatan diatas jurang tersebut sehingga rakyat lebih mudah untuk pindah ke kondisi yang diharapkan. Seperti layaknya membangun jembatan, proses dari membangun pondasi, kepala jembatan, tiang jembatan, rangka jembatan, lantai jembatan hingga pengaman/pagar jembatan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dalam konstrain waktu dan anggaran. Tahapan yang logis ini dan kontinuitas yang harus dipastikan dan dikawal oleh DPRA.


Realitasnya, kemiskinan dan pengangguran masih merupakan diantara permasalahan pembangunan yang harus dituntaskan. Memang setiap tahunnya, ada perbaikan dari pada permasalahan tersebut, misalnya pertumbuhan ekonomi Aceh yang tinggi (tahun 2011 diperkirakan diatas 6.00 persen), penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan sebagainya. Namun apabila dilihat secara relatif atau rerata nasional maka Aceh kalah akselerasi atau kurang berprestasi karena pencapaiannya masih dibawah rata-rata nasional.       

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi
Aceh harus tumbuh lebih tinggi dan cepat secara ekonomi. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi semakin cepat rakyat Aceh kaya, semakin meningkat kualitas hidupnya serta juga kepedulian kepada sesama. Salah satu teori pertumbuhan ekonomi klasik, Solow growth model, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang oleh tiga faktor, yaitu kapital, tenaga kerja dan teknologi. Ekonomi akan lebih cepat tumbuh apabila produktivitas dari kapital dan tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui penguasaan teknologi.


Dengan konteks Aceh saat ini ditambah kemampuan fiskal dan perkembangan teknologi dan informasi, ketiga faktor tersebut tidak menjadi hal yang mustahil untuk diperoleh. Aceh mempunyai ruang subur dan strategis dengan segenap sumberdaya, dan angkatan kerja dengan karakter demografi yang positif sebagai kapital dan sumber tenaga kerja. Namum walaupun demikian, akumulasi kapital dan efesiensi tenaga kerja harus terus ditingkatkan melalui penyediaan kapital baru seperti infrastruktur, mesin pengolahan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia/tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan serta penguasaan teknologi. Sebagai contoh, kemampuan lahan untuk memproduksi produk pertanian dalam jumlah besar tidak serta merta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuat petani lebih kaya apabila tidak ada infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bahkan listrik untuk membawa dan menjaga kualitas produk hingga sampai ke pasar. Kakao akan bernilai lebih tinggi dalam bentuk produk semi jadi (bubuk atau pasta) dan akan berlipat lebih tinggi lagi ketika menjadi serangkaian produk coklat siap saji. Peningkatan produktifitas (nilai tambah) kakao dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi pengolahaan dan kompetensi chocolatier (peramu coklat).


Penambahan dan peningkatan produktifitas kapital  dan efisiensi tenaga kerja serta adopsi teknologi ini yang seharusnya menjadi agenda utama dalam penyusunan kebijakan fiskal (APBA) apabila ingin Aceh lebih cepat tumbuh. Karenanya kecerdasan dan kematangan dari pihak eksekutif dan legislatif dalam memilih program dan kegiatan pembangunan yang konsisten dengan agenda utama percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi sebuah kemutlakan.


Menurunkan Tingkat Depresiasi Pembangunan
Penulis sangat yakin prinsip percepatan pertumbuhan ekonomi diatas sudah sangat dipahami oleh para pengambil keputusan di Aceh baik di parlemen maupun di pemerintah. Namun prinsip atau pengetahuan tidaklah cukup untuk akselerasi pembangunan. Devils are always in the details. Permasalahan lebih pada pelaksanaannya di lapangan. Banyak program dan kegiatan pembangunan dianggarkan untuk meningkatkan produktifitas faktor produksi seperti membangun infrastruktur dasar, sekolah, balai latihan kerja, fasilitas kesehatan dan lain-lain. Namun terasa semua ini tidak cukup kuat untuk mendorong laju pertumbuhan Aceh. Kegagalan faktor produksi tersebut  disebabkan oleh tingkat depresiasi yang tinggi. Depresiasi disini dapat diartikan sebagai penurunan kemampuan kapital untuk melakukan fungsinya per tahun. Kembali ke model Solow, makin tinggi tingkat depresiasi kapital, maka makin sulit bahkan mustahil sebuah ekonomi untuk mencapai potensi maksimalnya.


Di Aceh sering ditemukan tingkat depresiasi pembangunan yang sangat tinggi. Bahkan ada yang 100 persen. Artinya begitu sebuah jembatan atau sekolah selesai dibangun, fasilitas tersebut tidak bisa dimanfaatkan baik karena salah desain, pengerjaan yang asal-asalan, lokasi yang tidak tepat maupun tidak memenuhi persyaratan pendukung (necessary condition) lainnya. Ribuan proyek terlantar dan terbengkalai menyiratkan tingkat depresiasi pembangunan yang tinggi. Depresiasi ini bukan hanya mengurangi kemampuan pembangunan untuk menumbuhkan Aceh lebih cepat namun juga menjadi kemubaziran yang menghilangkan kemampuan Aceh untuk mencapai posisi tertinggi. Namun demikian Pemerintah Aceh telah melakukan sesuatu fundamental untuk mengurangi depresiasi ini. Terbentuknya P2K-APBA dimaksudkan untuk pengawasan yang lebih ketat sehingga kemubaziran ini tidak terulang kembali.


Sebenarnya tingkat depresiasi ini bisa ditekan melalui koordinasi yang baik semenjak proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Karena itu kepemimpinan yang kuat juga perlu dimulai dari tahap perencanaan. Ngotot dan lelah dalam perencanaan akan lebih baik dari pada marah dan kecewa ketiga melihat hasil pembangunan yang amburadul. Depresiasi ini juga dapat diminimalkan dengan link and match antara kebutuhan masyarakat dan pasar dengan kebijakan pembangunan serta dengan pengaplikasian ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembangunan.   


Masih ada waktu tersisa. Pembahasan RAPBA 2012 di DPRA seharusnya mempunyai semangat quality assurance, bahwa prinsip percepatan pembangunan kesejahteraan harus ditaati. Tabayyun (klarifikasi dan diskusi) antara legislatif dan eksekutif  harus dilakukan dengan mengedepankan rasionalitas, keilmiahan dan keadilan. Kesemua ini mensyaratkan pembahasan yang terbuka, jujur dan inklusif. Selesaikan di tempat dan bersama. Jangan ber-“balas pantun”. Semoga pengesahan APBA 2012 tepat waktu dan menjadi sebab makin sempitnya jurang kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Insya Allah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar