Rabu, 23 November 2011

Menyentil Rencana Pajak Aceh

Di tengah kesibukan pembahasan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (RAPBA) tahun 2012,  Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Pihak Eksekutif seakan memburu waktu untuk merampungkan sebuah rancangan qanun tentang Pajak Aceh. Dijadwalkan rancangan qanun ini dapat disahkan pada akhir tahun ini sehingga tahun 2012 Pemerintah Aceh dapat mulai menggunakannya sebagai payung hukum dalam memungut pajak guna peningkatan pendapatan asli daerah.


Permasalahan pajak Aceh merupakan hal yang penting dan relevan untuk Aceh apabila kemandirian dan kemajuan Aceh ingin dibangun. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2009 rata-rata negara maju atau yang tergabung dalam OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) mempunyai rasio pajak terhadap PDB sebesar lebih dari 36 persen. Denmark menempati urutan teratas yaitu 49 persen.  Sedangkan Indonesia mempunyai rasio pajak dan PDB sebesar 11 persen. Lebih jauh lagi apabila kita mau lihat rasio pendapatan asli Aceh dan PDRB pada tahun 2009 maka kita hanya memperoleh sekitar 1 persen.  Kemudian jika kita melihat struktur penerimaan Aceh dari tahun 2007 sampai 2009 (data yang tersedia pada penulis ketika artikel ini dibuat), pendapatan asli Aceh hanya mencapai 13 persen sedangkan dana transfer dari Pemerintah Pusat mencapai 78 persen dan pendapatan lainnya sebesar 4 persen.  Dipastikan tahun-tahun selanjutnya proporsi pendapatan Asli Aceh akan lebih kecil apabila tidak dilakukan optimalisasi pendapatan Aceh mengingat dana otonomi khusus yang diterima juga makin besar dari tahun ke tahun meskipun penerimaan dari dana perimbangan terus menurun akibat produksi migas Aceh terus berkurang.


Kenyataan di atas membuat pembahasan tentang pajak sudah mendesak dan relevan bagi Nanggroe Aceh Darussalam. Adalah merupakan skenario buruk(doom scenario) pada tahun 2027 ketika dana otsus berhenti mengalir ke Aceh, sistem penerimaan asli daerah belum berjalan mantap di Aceh. Akan terjadi kehilangan kemampuan pemerintah dalam pembiayaan pembangunan secara signifikan. Semakin cepat sistem tersebut semakin baik. Kestabilan dan efektivitas serta efisiensi sebuah sistem akan berjalan seiring dengan waktu. 


Selain untuk menambah kapasitas fiskal,  pajak juga mempunyai fungsi pengubah perilaku, efek efisiensi ekonomi (berhubungan dengan eksternalitas), daya saing dan dapat menyebabkan proses pembangunan lebih akuntabel dan transparans karena rakyat pembayar pajak (tax payer) cenderung akan lebih kritis terhadap proses pembangunan yang dibiayai dari anggaran yang keluar dari kantong mereka.

Sentilan Rancangan Qanun Pajak
Seperti diprediksi bahwa fokus utama dari rancangan qanun ini adalah peningkatan penerimaan pajak. Secara tradisional, obyek pajak berbasis kendaraan adalah sumber pajak yang paling dominan dalam struktur penerimaan asli Aceh.  Berdasarkan beberapa laporan media di harian local dan nasional bahwa opini umum dalam tim pembahas adalah meningkatkan pajak berbasis kendaraan terutama sub bea balik nama kendaraan. Rencana kenaikan pajak bea balik nama kendaraan juga diperkuat dengan hukuman 50 juta bagi pemilik kendaraan non-plat BL baik umum, niaga ataupun pribadi yang wara-wiri di jalanan Aceh dan enggan menukar plat kendaraannya menjadi BL. Pengenaan rencana denda ini juga beralasan demi keadilan dimana selama ini kendaraan plat non-BL memberi kontribusi kerusakan jalan di Aceh namun Aceh tidak mendapat apa-apa dari pajak kendaraan tersebut.


Rencana denda tersebut mengingatkan pada sebuah pendekatan pajak yang disebut draconian tax policy. Artinya agar rakyat taat pajak maka diberlakukan denda/atau tindakan keras bagi pelanggarnya. Secara teori ekonomi publik, kebijakan tersebut  tidak bijaksana dan tidak akan berakibat pada efektivitas penerimaan pajak bahkan dapat menimbulkan reperkusi negatif. Representasi dari ketidakbijaksaan tersebut diilustrasikan dalam sebuah kurva laffer yang menggambarkan hubungan antara penerimaan pajak dan besar pajak/denda yang diterapkan. Kurva laffer berbentuk parabola tertutup yang berarti pajak/denda yang terlalu kecil ataupun besar tidak akan menaikkan penerimaan pemerintah, namun penerimaan pajak akan maksimal dengan tingkat pajak yang optimal. Optimalitas besaran pajak ini sangat tergantung dengan elastisitas pendapatan rakyat sehingga akan berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Selanjutnya akibat negatif lainnya dari pajak yang terlalu tinggi harus juga dipertimbangkan. Bagaimana insiden pajak (tax incidence) terhadap perekonomian (excess burden/deadweight loss), mobilitas dan daya saing daerah serta tingkat ketaatan; siapa yang menanggung beban terbanyak atas rencana pajak tersebut. Atau bukan tidak mungkin rencana tersebut akan memicu retaliasi dari daerah tetangga seperti peningkatan razia kendaraan plat di wilayah non-Aceh.  


Terkait dengan kerusakan jalan sebenarnya bukan karena banyaknya plat non-BL yang berseliweran di jalanan Aceh, namun lebih pada manajemen beban dan penegakan hukum di bidang transportasi yang tidak berjalan efektif. 


Mantra Pajak
Di kalangan pakar perpajakan, sebuah mantra yang terbukti ampuh dalam meningkatkan penerimaan pajak. Mantra tersebut adalah perluas obyek dan subyek pajak namun turunkan besaran pajak yang harus dibayar (broadening tax base, lowering tax rate). Dalam kasus pajak kendaraan, tentunya aplikasi dari mantra ini adalah memperbanyak kendaraan yang bisa dikenakan pajak. Ini berarti tingkat mutasi kendaraan ke BL seharusnya dipermudah. Daripada fokus pada bea-balik nama kendaraan yang hanya sekali (walaupun secara nominal lebih besar), alangkah lebih baik apabila pendapatan pajak  dari kendaraan diterima secara berkelanjutan. Karena itu kebijakan pembebasan pajak bea balik nama dalam waktu tertentu (grace period)perlu diambil disertai dengan sosialiasi yang efektif plus pendekatan reward dan punishment yang logis. Di luar periode tersebut, kendaraan milik warga Aceh yang enggan mutasi akan dikenakan retribusi periodik (bulanan atau triwulan) dimana jumlah total pertahun setara dengan jumlah pajak yang dibayarkan. Selain itu kerjasama antar daerah sebagaimana yang dilakukan oleh Kapolda Aceh beberapa yang lalu untuk mengurangi razia kendaraan plat BL di Sumut perlu terus dilakukan untuk membentuk kebijakan yang lebih kongruen antar wilayah.       


Masih dengan tuah mantra pajak diatas, sebenarnya Aceh perlu menggali basis pajak baru. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan otoritas/otonomi provinsi dan kabupaten/kota untuk mengelola basis pajaknya. Diantara basis pajak provinsi tersebut, adalah pajak rokok, pajak BBM dan pajak air permukaan. Pajak rokok seharusnya sudah mulai diterapkan di Aceh. Potensi penerimaan akan besar mengingat prevalensi perokok di Aceh adalah terbesar di Indonesia (Riskesdas 2007). Disamping sebagai sumber penerimaan, pajak rokok merupakan pigouvian tax yang diberlakukan untuk menetralisir eksternalitas negatif yang disebabkan oleh sebuah kegiatan, merokok dalam hal ini. Beberapa contoh jenis pajak ini adalah pajak polusi dan juga pajak makanan berlemak (Fat Tax) yang Oktober lalu baru diberlakukan di Denmark. Penerimaan pajak rokok dapat digunakan untuk membiayai pembangunan kesehatan seperti untuk membiayai program kesehatan yang mebutuhkan dana berkesinambung (JKA). Selama ini di Indonesai cukai rokok hanya diberikan kepada daerah penghasil seperti Kabupaten Kediri ataupun Kabupaten Kudus. Padahal kita  tahu bahwa efek negative dari rokok lebih pada perokok dan efek positif nya lebih pada penghasil rokok akibat kegiatan ekonomi terkait dengan produksi.  


Kemudian pajak BBM yang bersifat tax sale mungkin sudah mulai diantisipasi. Di tengah tema pembangunan berkelanjutan pengurangan penggunaan BBM juga dapat dilaksanakan dengan pendekatan fiscal (pajak). Banyak yang dapat dilakukan dengan penerimaan pajak BBM seperti membangun sistem tranportasi umum yang efektif dan efisien, Namun tentunya perlu dilakukan kajian tax incidence yang mendalam terhadap seperti pengaruh terhadap inflasi atau daya beli masyarakat.      


Reformasi Administrasi Perpajakan
Tantangan terbesar dari sistem perpajakan adalah administrasi. Bagaimana dapat menjamin tingkat ketaatan pajak yang tinggi dengan cara pengumpulan yang efektif dan efisien. Sub-sistem perpajakan kendaraan telah lebih mapan. Hal ini dikarenakan oleh kebiasaan dan tingkat ketaatan yang relatif baik (disertai dengan penegakan hokum yang relatif baik dan reguler melalui razia). Secara umum, Aceh dan daerah lainnya masih belum terbiasa dengan perpajakan selain yang berbasi kendaraan. Sistem politik perpajakan yang berlaku di Indonesia saat ini masih menunjukkan dominasi peran pemerintah pusat. Pajak utama seperti pajak penghasilan maupun pajak pertambahan nilai dikelola oleh Pemerintah Pusat. Bahkan pajak bumi dan bangunan (property tax) yang telah dilimpahkan masih dipungut oleh pemerintah pusat.  Paradigma pajak dari masyarakat dan aparatur provinsi dan kabupaten/kota merupakan tantangan berat dan harus mulai sekarang dibenahi.

Disamping itu, hal-hal teknis seperti cara pemungutan,  monitoring dan evaluasi serta penegakan hukum juga perlu disiapkan. Sebagai contoh apabila pajak rokok diberlakukan, bagaimana pajak tersebut dipungut? Apakah dengan sistem with-holding (penarikan pajak dari distributor) ataupun penarikan langsung dari kios-kios pengecer?. Bagaimana menghindari rokok ‘seludupan’ dari daerah yang tidak mengenakan pajak rokok. Beberapa hal diatas merupakan bagian kecil dari permasalahan administrasi pajak yang perlu diselesaikan. 


Akhirnya sebagai daerah otonomi khusus, Aceh sudah seharusnya mempersiapkan diri untuk menjadi otonom, mandiri dan profesional dalam mengelola sumberdayanya. Apalagi semangat MOU Helsinki dan UUPA adalah self-government. Kita harapkan usaha legislatif dan eksekutif untuk memulai proses kemandirian Aceh melalui optimalisasi penerimaan Aceh (termasuk zakat) dapat berjalan sebaik mungkin. Hemat saya, tidak perlu terburu-buru harus selesai tahun ini namun yang perlu dipastikan adalah kesiapan sistem/sub-sistem dan efek atau eksternalitas positif dari qanun tersebut nantinya akan memberikan kemashlahatan kepada rakyat Aceh. Kesemua itu memerlukan kajian yang mendalam dari para cerdik pandai di Bumoe Seuramoe Meukah ini.  Wallahu alam bishawab.    




Tidak ada komentar:

Posting Komentar