Selasa, 20 Desember 2011

Punk dan HAM

Sabtu, 10 Desember 2011 yang lalu, terjadi kejar-kejaran antara komunitas anak punk dan aparat Pemko Banda Aceh di Taman Budaya. Aksi kejar-kejaran ini berujung dengan dibawanya 65 anak punk ke Sekolah Polisi Negara di Seulawah, Aceh Besar untuk pembinaan dua hari kemudian. Tidak berhenti disini, muda-mudi punk ini dicukur rambut ala kadet (plontos bagi pria dan bob bagi wanita) dan direndam dalam kolam. Menurut Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan, mereka akan dididik untuk menjadi disiplin dan bersih. Bahkan Polisi  melibatkan Ustadz dan Pendeta (bagi punker yang beragama nasrani) dalam proses pembinaan ini. 

Tindakan gunting rambut dan cebur kolam menjadi kulminasi kontroversi. Tidak hanya mendapat reaksi dari pejuang HAM di Aceh, namun gelombang protes datang dari seantero dunia bahkan melibatkan institusi resmi negara asing seperti kedubes Prancis dan Jerman. Tema yang diusung adalah satu, yaitu pelanggaran HAM. Really???

Komunitas anak punk mempunyai ciri khas baik dari penampilan maupun gaya hidup (katanya :)). Mereka gampang dikenali dengan rambut jingkrat ala suku Indian Mohawk, mengenakan pakaian berwarna dominan hitam dengan rantai di celana dan beranting. Gaya hidupnya cenderung bebas, di jalanan, bebas hukum dan katanya juga malas mandi (efeknya bau). Di Jakarta, mereka sering menjadi pengamen, terkadang menjadi pemalak untuk membiayai hidup mereka. Sepertinya mereka tidak punya pekerjaan tetap dan juga tidak sekolah. Beberapa keluhan dari orang tua si anak punk yang menyatakan perilaku anaknya berubah terutama menjadi bandel dan tak menurut perintah. 

Ya secara pribadi, apabila gambaran paragraph diatas bisa mewakili kelakuan anak punk, saya menyatakan bahwa komunitas punk menjadi sesuatu yang aneh dan abnormal. Sebut saja dari sisi moral, kesehatan, ekonomi, tidak ada perilaku yang menguntungkan. Coba seandainya kita disuruh pilih antara punya adik/anak anggota punk dan anggota pramuka, bisa dipastikan kita memilih punya adik/anak yang anggota pramuka. Setuju kan??. So memang komunitas punk yang seperti diatas memang seharusnya ditarik kembali ke jalan yang benar :). Mungkin kesimpulan ini pula yang membuat Pemko Banda Aceh dan Polda Aceh mengambil kebijakan untuk melakukan penyadaran kembali bagi 

Trus apa masalah dengan HAM?. Para pejuang HAM berargumen bahwa mereka bukan kriminal, tidak korupsi. Mereka hanya menjalani cara hidup atas pilihan mereka sendiri. Tapi mengapa mereka ditangkap dan dihukum malah di-plontosin  sampai dijeburin ke kolam lumpur.   Well... kebebasan memilih cara hidup adalah hak setiap orang. Namum kebebasan itu tentunya dibatasi oleh kemaslahatan masyarakat yang lebih luas. Ketika konflik antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat terjadi, tentunya yang terakhir seharusnya dimenangkan. Sejauh kebebasan itu masih berada dalam ruang privasi, penghormatan kepada kebebasan sebebas-bebasnya harus dilakukan. Biarlah itu urusan dia dan Allah.  Namun ketika mulai keluar ke ruang publik, kesepakatan/norma publik lah yang menjadi ukuran. Lebih jauh dari itu, saya pikir HAM tidak hanya terkungkung ngurusin kebebasan seseorang memilih gaya hidupnya. Secara esensi, gerakan HAM ini ditujukan untuk menjamin setiap manusia mendapatkan hak hidup yang bermartabat dan bertanggung-jawab.  

Nah disini menariknya.. saya yakin kalau cara hidup anak punk seperti didefinisikan diatas sama sekali tidak bermartabat, apalagi bertanggung-jawab. Tentunya sebagai Pembela HAM yang konsisten, kita gak boleh diam melihat muda-mudi punk itu terus berada dalam kehidupan yang menghinakan mereka. Walaupun mereka merasa, "there's no wrong to live my way". hmm.. manusia memang terkadang bisa jadi bebal dan tidak berpikir waras. It is indeed moral obligation bagi  yang mengaku diri waras lah untuk menyadarkan mereka kembali kepada kehidupan yang bermartabat dan ini tentunya tidak bertentangan dengan HAM, malah memperkuat HAM , iya toh???. 

Tentang kriminalitas, memang anak punk tidak serta merta menjadi kriminal. Punkers sebenarnya sama saja dengan kita semua punya potensi yang sama untuk melakukan hal-hal yang berlawanan hukum. Tapi permasalahannya bukan hanya pada potensi tapi juga probability. Ingat kan pesan bang Napi, "bukan hanya niat tapi juga kesempatan". Lagi-lagi saya curiga ni, bahwa berada dalam komunitas punk akan lebih probable  untuk melakukan hal-hal melanggar hukum. Alasannya sederhana, mereka muda, belum kerja, hidup bebas hukum dan nilai kemasyarakatan, keluar dari rumah. so how could they survive??.  Kita memang cenderung terbentuk oleh konteks atau lingkungan dimana kita berada. Lebih dalam lagi, Definisi kejahatan (crime) sebenarnya sangat relatif dan bermakna  perbuatan yang disebut dalam UU sebagai kejahatan dan pelakunya digolong sebagai penjahat (kriminal). Pecandu narkoba juga belum tentu korupsi, namun dianggap kriminal karena membahayakan diri dan berpotensi mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk menjadi pemakai sehingga ditakutkan akan merusak tatanan masyarakat. To some extent, cara hidup yang homogen dan persistent dari punkers seperti digambarkan diatas juga dapat membahayakan tatanan kemasyarakatan seperti narkoba. Ini juga analog dengan perilaku anggota aliran sesat Ahmad Mushaddeq atau sempalan NII yang membolehkan anggota jamaahnya untuk mencuri, menipu dan memutus hubungan darah orang tua dan anak demi kepentingan kelompoknya. 

In summary, saya termasuk orang yang setuju bahwa punkers di Aceh harus dikembalikan kepada kehidupan yang sesuai norma masyarakat yang dianut. Hal ini baik untuk semuanya dan tidak melanggar HAM. Saya sangat setuju dengan Gubernur Aceh Irwandy Yusuf yang secara tegas mengatakan tidak ada urusan Dunia mendikte apa yang harus Aceh lakukan. We have values to preserve and the values are in accordance with universal values. Bagi Pembela HAM, please go deeper into the essence. Kita semua ingin hidup bahagia dan bermartabat dalam suasana saling menghormati dan penuh toleransi ever after. 

Kedepan kita perlu memperkuat resilience tatanan masyarakat yang kita inginkan. Resilience atau ketahanan mensyaratkan upaya mitigasi termasuk seperti rehabilitasi teman-teman kita membahayakan diri mereka dan masyarakat lebih luas tentunya. Summer Training (training pas libur sekolah/kuliah), pesantren kilat bahkan semi-military training perlu dijadikan wasilah/metode. Gak harus pemerintah yang lakukan semua. Beberapa lembaga seperti PII, HMI, KAMMI, LDK dan lainnya bisa dikerahkan. Lembaga-lembaga ini juga terbiasa dengan kerja yang membuka pintu keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi. sebenarnya tidak sulit dan tidak mahal, hanya butuh tata kelola yang baik... 

Satu lagi, kedepan gak perlu lagi botakin rambut dan ceburin kolam... Selain tidak esensial, juga dapat mengurangi kontrovesi dan sambitan pihak luar yang mungkin sentimen.. :). 
             


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar