Ilustrasi Ketangguhan Struktur Mesjid Lampuuk |
Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) melalui Portal Data dan Informasi Bencana Indonesia menyajikan bahwa
jumlah kejadian bencana di Aceh dalam kurun waktu 2004-2019 adalah 997 kali
dengan total jumlah korban jiwa sebesar 166.215 orang. Angka tersebut mengajarkan kita bahwa Aceh adalah kawasan rentan bencana.
Aceh terletak pada kawasan pertemuan lempeng Indo Australia dan Eurasia yang
aktif. Keaktifan kedua lempeng ini membuat gempa bumi merupakan norma bagi
provinsi paling barat Pulau Sumatera ini. Selain itu, topografi permukaan bumi
Aceh yang sebagian besar berkontur dan dipadu dengan iklim tropis mengakibatkan
kerentanan terhadap bencana banjir dan tanah longsor.
Sebagai insan beriman, kerentanan
diatas sudah seharusnya membuat rakyat Aceh memiliki
spiritualitas bencana yang tinggi. Spiritualitas ini semakin membuncah ketika
kita merenungi dua kejadian bencana yang paling banyak memakan korban jiwa,
yaitu Gempa dan Tsunami Samudera Hindia, 26 Desember 2004 dan Gempa Bumi Pidie
Jaya, 7 Desember 2016.
Apabila kita membaca QS Al-A’raafAyat 97-98, Allah SWT seakan berbicara tentang 2 kejadian bencana di Aceh
tersebut. Ayat 97 bertanya,” Apakah penduduk negeri itu merasa aman dari
peringatan Kami yang data pada malam hari ketika mereka sedang tidur?”.
Gempa Bumi Pidie Jaya yang menewaskan 103 penduduk dan 9.307 rumah rusak
terjadi pada dini hari menjelang subuh ketika sebagian besar masyarakat masih
terlelap.
Selanjutnya Ayat 98 kembali
mempertanyakan,” Apakah penduduk negeri
itu merasa aman dari peringatan Kami yang datang saat dhuha ketika mereka
sedang bermain?” Gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 15 tahun silam datang
pada waktu pagi, ketika matahari masih sepenggalahan dimana sebagian masyarakat
beraktifitas pagi sambil bermain karena saat ini hari libur, Ahad.
Spiritualitas selalu akan mendorong
individu untuk mencari hikmah dari setiap kejadian bencana. Mungkin ini yang menjadi sebab ketangguhan masyarakat Aceh untuk kembali bangkit kembali sebagaimana diakui oleh banyak pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi
dan rekonstruksi Aceh pasca bencana.
Melawan Lupa, Membangun Siaga
Kedua ayat peringatan tersebut diatas, QS.7:97-98, merupakan anti-thesis dari ayat sebelumnya, QS Al A'raaf Ayat 96, yang menceritakan tentang keberkahan sebuah negeri. Keberkahan itu diraih hanya dengan keimanan dan ketakwaan penduduk negeri tersebut. Apabila penghuni negeri tidak beriman dan bertakwa, bisa jadi peringatan tersebut akan berulang.
Salah satu ciri dari orang
bertakwa adalah belajar dari kesalahan atau kekurangan. QS Al-Imran Ayat 135
menjelaskan ciri muttaqin adalah “ (jika)
mereka melakukan hal yang buruk atau sesuatu yang menzhalimi diri sendiri,
mereka mengingat Allah SWT lalu memohon ampun dan siapa lagi yang dapat mengampuni
dosa selain Allah? , serta mereka berhenti atau tidak mengulangi perlakuan
tersebut sedang mereka mengetahui
(dengan kesadaran)”.
Sering sekali kita melakukan
sesuatu yang dapat menzhalimi diri sendiri. Melakukan kegiatan di kawasan
bencana atau membangun rumah tidak sesuai standar tahan bencana di kawasan
rawan bencana merupakan salah satu contoh perbuatan zhalim terhadap diri
sendiri. Melakukan deforestasi baik mangrove di kawasan pesisir ataupun hutan
di kawasan topografi curam merupakan perbuatan keji yang dapat menimbulkan kerentanan
bencana.
Sisi spiritualitas bencana
seharusnya berwujud pada melawan lalai atau lupa untuk kembali kepada ketakwaan
dengan membangun jiwa kesiap-siagaan dan ketangguhan dalam rangka mengurangi kerugian akibat bencana. Bentuk
ketakwaan ini harus mendorong pemerintah untuk melakukan upaya penelitian
kawasan rentan bencana dan mikrozonasi untuk memberi informasi dan pengetahuan kepada
masyarakat agar dapat bertindak secara bijak dan tangguh pada saat sebelum,
ketika dan setelah terjadi kejadian seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan
tanah longsor.
Ketakwaan dalam menghadapi
bencana juga berarti untuk mengurangi kerentanan ekonomi seperti membangun dan
sekaligus mengisi pundi Baitul Mal yang dapat menjadi shock absorber bagi
korban bencana yang terdampak kondisi
ekonominya. Selain Baitul Mal, lembaga keuangan lainnya seperti simpan pinjam dan asuransi berbasis syariah perlu digalakkan sebagai upaya mempercepat
kelentingan masyarakat untuk segera pulih dari kemiskinan akibat bencana.
Menjaga kelestarian lingkungan
juga merupakan salah satu bentuk ketakwaan dalam konteks pembelajaran
kebencanaan. Banjir dan tanah longsor hampir semua disebabkan akibat kondisi
hutan yang sudah rusak. Begitu juga, bencana kesehatan seperti Kejadian Luar
Biasa (KLB) demam berdarah atau malaria terjadi karena lingkungan sanitasi yang
tidak baik. Spiritualitas kita terhadap KLB seharusnya menjadikan selokan di
sekitar rumah kita tetap bersih dan bebas sampah sehingga air mengalir lancar
dan tidak tergenang menjadi tempat pemijahan jentik.
Apabila spiritualitas bencana ini diwujudkan
dengan ketakwaan, perilaku masyarakat kita akan memperkuat ketangguhan
pembangunan. Orang beriman dan bertakwa tidak pernah merasa aman (khauf) dari peringatan Allah SWT, namun
juga selalu optimis (raja’) terhadap
bahwa ketangguhan dapat terus dikembangkan melalui usaha pengurangan risiko bencana
yang dilakukan terus-menerus. Alhasil, masyarakat kita memiliki ketahanan yang
kuat sehingga setiap ada bencana, kondisi masyarakat dapat cepat pulih dan
lebih kuat. Setiap mendapat peringatan Allah, derajat keimanan dan ketakwaan
akan semakin besar. That does not kill
you make you stronger.