Konsep diri “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist, namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan hambanya menjadi umat terbaik.
Ilustrasi by Gregory Adams/Getty Images |
Memasuki Bulan Desember, ada
sebuah nuansa lokalitas yang khas di Aceh.
Banyak pihak memperingati hari 4 Desember sebagai deklarasi perlawanan
rakyat Aceh terhadap praktik ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Aceh.
Hasan Tiro menjadi tokoh sentral dari perjuangan ini. Wali Nanggroe mampu
menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang untuk bergabung atau minimal simpati
terhadap perjuangannya. Beliau menggunakan pendekatan etno-nasionalisme yang
membangkitkan semangat pengikutnya melalui penyadaran identitas berdasarkan
capaian masa lalu rakyat Aceh. Salah satu ungkapan Cucu Pahlawan Nasional, Tgk
Chik di Tiro, ini yang paling terkenal adalah “Bangsa Teuleubeh Ateuh Rhueng
Donya” atau bangsa yang unggul diatas punggung dunia.
Saat ini ungkapan tersebut sering
menjadi bahan ‘bully’ atau sinisme dari beberapa orang dalam mengamati
perkembangan Aceh saat ini. Tidak dipungkiri bahwa Aceh tidak berada pada
prestasi yang menggembirakan. Jika kita membandingkan tingkat kesejahteraan
Aceh dan daerah lainnya di Indonesia, Aceh masih berada di peringkat bawah.
Indeks daya saing 34 provinsi
se-Indonesia yang tiap tahun diukur oleh Asia Competitiveness Institute dari
Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore
menunjukkan bahwa peringkat Aceh konsisten berada di peringkat 20-an kebawah
sejak tahun 2016. Indeks ini mengukur 4
keadaan sebuah daerah yaitu kualitas hidup dan infrastruktur, stabilitas
makroekonomi, kondisi ketenagakerjaan, bisnis dan finansial, dan kualitas
institusi pemerintahan. Melihat capaian
ini, apakah masyarakat Aceh masih layak disebut sebagai masyarakat yang unggul
di muka bumi ini ?
Ungkapan “bangsa teuleubeh di
ateuh rhueng donya” sebenarnya tidak mutlak merupakan slogan Wali Hasan Tiro
bagi rakyat Aceh saja. Allah SWT dalam QS Al-Baqarah :110 menyebutkan bahwa
orang beriman adalah kaum yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik
(khaira ummah). Hasan Tiro tampaknya mendapatkan inspirasi ungkapan bangsa teuleubeh dari pemahaman
bahwa bangsa Aceh yang notabene beriman layak untuk menjadi bangsa unggul
berdasarkan dalil tersebut. Jadi, bangsa teulebeh ateuh rhueng donya tidak
berarti sebuah kondisi kekinian, namun perlu dipahami sebagai cita-cita atau
identitas yang perlu dibangun.
Pakar Psikologi atau pakar
perilaku mengatakan bahwa konsep diri mempengaruhi dalam menentukan perilaku
seseorang. Ketika konsep diri seorang individu adalah seorang yang jujur maka
ia cenderung akan berperilaku jujur. Namun William D. Brook menyebutkan bahwa
konsep diri ini dapat terbentuk dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan
sekitar. Artinya, jika secara konsisten atau terus menerus rakyat Aceh berada
dalam kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan angka stunting yang tinggi,
maka besar kemungkinan konsep diri rakyat Aceh menjadi miskin dan pendek dan
pada akhirnya menjadi negative self-fulfilling
prophecy, sebuah kondisi prediksi yang
terwujud karena individu terkait percaya akan prediksi tersebut dan berperilaku
berdasarkan kepercayaan tersebut.
Sebagai orang yang beriman dan
rakyat Aceh yang menginginkan Aceh sebagai daerah unggul dengan memiliki
indikator pembangunan yang diatas rata-rata, konsep diri “bangsa teuleubeh di
ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist,
namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan
hambanya menjadi umat terbaik.
Apabila kita merujuk pada QS
Al-Baqarah 110, status umat terbaik tidak serta merta disematkan dengan tanpa
ada usaha. Umat terbaik diraih dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar
serta beriman kepada Allah SWT. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kegiatan yang
mengatur hubungan antar individu dan juga memperkuat sisi optima performa
(ahsanu taqwin) seorang individu. Karena itu amar ma’ruf nahi mungkar ini
merupakah peran yang paling berhak dan
pantas diambil oleh pemerintah.
Pemerintah harus menerapkan
keadilan tanpa pandang SARA, amanah, memudahkan urusan rakyat secara positif
melalui penyediaan fasilitas publik yang nyaman, memeratakan kesejahteraan,
memastikan semua kesepakatan atau kontrak sosial dilaksanakan secara baik dan
mencegah penindasan dan kedzaliman satu golongan atas golongan lainnya. Apabila
kita perhatikan negara-negara yang maju, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi
mungkar mempunyai kualitas lebih tinggi secara substantif dan komparatif. Tentunya tidak bisa dibandingkan kualitas
nahi mungkar negara-negara dengan kriteria terhadap praktik khamar, judi dan
mesum karena praktik ini berbeda “legalitas”nya di antara negara-negara.
Dari sisi substantif, semua
negara ataupun masyarakat mempunyai persepsi yang sama bahwa kesejahteraan
adalah hak semua orang. Substansi ini juga merupakan bagian dari amar ma’ruf
dimana Allah memerintahkan memberi makan orang miskin/yatim. Jika kita lihat negara maju atau unggul
misalnya negara Scandinavian, negara tersebut menjamin kebutuhan pokok
masyarakat miskin sehingga tidak ada orang miskin yang tidak terpenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan papan.
Yang menjadikan pemerintah negara
tersebut mampu karena regulasi distribusi kesejahteraan dilaksanakan secara
efektif melalui pajak yang lebih tinggi dan amanah (efektif dan efisien) dalam
mendistribusikan pajak tersebut untuk membangun kesejahteraan. Keamanahan
tersebut pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan masyarakat untuk berbuat
baik (ma’ruf) dengan membayar pajak.
Tentunya keunggulan sebuah bangsa
atau masyarakat tidak akan terwujud oleh pemerintah saja, perilaku rakyat juga
perlu mencerminkan keimanan dan ketaqwaan sebagai syarat kedua untuk menjadi
umat terbaik. Setiap individu di Aceh juga perlu melakukan perilaku yang
ber-imtaq. Allah SWT menjelaskan akumulasi keimanan dan ketaqwaan individu
sebuah negeri menjadi penyebab terwujudnya keberkahan atau produktifitas negari
tersebut. Produktifitas diperoleh dari bagaimana baik itu pelajar/mahasiswa,
pekerja swasta maupun pegawai negeri mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk
hal-hal produktif, membaca dan berdiskusi daripada bercanda dan mengunjing,
bekerja daripada nongkrong di warung kopi. Begitu juga, setiap individu
masyarakat Aceh dapat selalu menjaga kehormatan dan integritas dengan tidak
melakukan hal-hal yang mungkar dan maksiat.
Pilinan amar ma’ruf dan nahi
mungkar serta keimanan ketaqwaan secara empiris dan substantif menyebabkan
sebuah masyarakat itu unggul. Karena itu konsep diri sebagai khaira ummah atau
“bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya” masih perlu digelorakan untuk dimiliki
oleh seluruh rakyat Aceh agar positive
self-fulfilling prophecy terwujud. Dan perjuangan belum selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar