Rabu, 25 Desember 2019

Bangsa Teuleubeh Ateuh Rhueng Donya


Konsep diri “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist, namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan hambanya menjadi umat terbaik.


Ilustrasi by Gregory Adams/Getty Images
Memasuki Bulan Desember, ada sebuah nuansa lokalitas yang khas di Aceh.  Banyak pihak memperingati hari 4 Desember sebagai deklarasi perlawanan rakyat Aceh terhadap praktik ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Hasan Tiro menjadi tokoh sentral dari perjuangan ini. Wali Nanggroe mampu menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang untuk bergabung atau minimal simpati terhadap perjuangannya. Beliau menggunakan pendekatan etno-nasionalisme yang membangkitkan semangat pengikutnya melalui penyadaran identitas berdasarkan capaian masa lalu rakyat Aceh. Salah satu ungkapan Cucu Pahlawan Nasional, Tgk Chik di Tiro, ini yang paling terkenal adalah “Bangsa Teuleubeh Ateuh Rhueng Donya” atau bangsa yang unggul diatas punggung dunia.  

Saat ini ungkapan tersebut sering menjadi bahan ‘bully’ atau sinisme dari beberapa orang dalam mengamati perkembangan Aceh saat ini. Tidak dipungkiri bahwa Aceh tidak berada pada prestasi yang menggembirakan. Jika kita membandingkan tingkat kesejahteraan Aceh dan daerah lainnya di Indonesia, Aceh masih berada di peringkat bawah.

Indeks daya saing 34 provinsi se-Indonesia yang tiap tahun diukur oleh Asia Competitiveness Institute dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore menunjukkan bahwa peringkat Aceh konsisten berada di peringkat 20-an kebawah sejak tahun 2016.  Indeks ini mengukur 4 keadaan sebuah daerah yaitu kualitas hidup dan infrastruktur, stabilitas makroekonomi, kondisi ketenagakerjaan, bisnis dan finansial, dan kualitas institusi pemerintahan.  Melihat capaian ini, apakah masyarakat Aceh masih layak disebut sebagai masyarakat yang unggul di muka bumi ini ?

Ungkapan “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” sebenarnya tidak mutlak merupakan slogan Wali Hasan Tiro bagi rakyat Aceh saja. Allah SWT dalam QS Al-Baqarah :110 menyebutkan bahwa orang beriman adalah kaum yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik (khaira ummah). Hasan Tiro tampaknya mendapatkan inspirasi  ungkapan bangsa teuleubeh dari pemahaman bahwa bangsa Aceh yang notabene beriman layak untuk menjadi bangsa unggul berdasarkan dalil tersebut. Jadi, bangsa teulebeh ateuh rhueng donya tidak berarti sebuah kondisi kekinian, namun perlu dipahami sebagai cita-cita atau identitas yang perlu dibangun.

Pakar Psikologi atau pakar perilaku mengatakan bahwa konsep diri mempengaruhi dalam menentukan perilaku seseorang. Ketika konsep diri seorang individu adalah seorang yang jujur maka ia cenderung akan berperilaku jujur. Namun William D. Brook menyebutkan bahwa konsep diri ini dapat terbentuk dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Artinya, jika secara konsisten atau terus menerus rakyat Aceh berada dalam kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan angka stunting yang tinggi, maka besar kemungkinan konsep diri rakyat Aceh menjadi miskin dan pendek dan pada akhirnya menjadi negative self-fulfilling prophecy,  sebuah kondisi prediksi yang terwujud karena individu terkait percaya akan prediksi tersebut dan berperilaku berdasarkan kepercayaan tersebut.

Sebagai orang yang beriman dan rakyat Aceh yang menginginkan Aceh sebagai daerah unggul dengan memiliki indikator pembangunan yang diatas rata-rata, konsep diri “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist, namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan hambanya menjadi umat terbaik.

Apabila kita merujuk pada QS Al-Baqarah 110, status umat terbaik tidak serta merta disematkan dengan tanpa ada usaha. Umat terbaik diraih dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta beriman kepada Allah SWT. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kegiatan yang mengatur hubungan antar individu dan juga memperkuat sisi optima performa (ahsanu taqwin) seorang individu. Karena itu amar ma’ruf nahi mungkar ini merupakah peran yang  paling berhak dan pantas diambil oleh pemerintah.

Pemerintah harus menerapkan keadilan tanpa pandang SARA, amanah, memudahkan urusan rakyat secara positif melalui penyediaan fasilitas publik yang nyaman, memeratakan kesejahteraan, memastikan semua kesepakatan atau kontrak sosial dilaksanakan secara baik dan mencegah penindasan dan kedzaliman satu golongan atas golongan lainnya. Apabila kita perhatikan negara-negara yang maju, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar mempunyai kualitas lebih tinggi secara substantif dan komparatif.  Tentunya tidak bisa dibandingkan kualitas nahi mungkar negara-negara dengan kriteria terhadap praktik khamar, judi dan mesum karena praktik ini berbeda “legalitas”nya di antara negara-negara.

Dari sisi substantif, semua negara ataupun masyarakat mempunyai persepsi yang sama bahwa kesejahteraan adalah hak semua orang. Substansi ini juga merupakan bagian dari amar ma’ruf dimana Allah memerintahkan memberi makan orang miskin/yatim.  Jika kita lihat negara maju atau unggul misalnya negara Scandinavian, negara tersebut menjamin kebutuhan pokok masyarakat miskin sehingga tidak ada orang miskin yang tidak terpenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan.

Yang menjadikan pemerintah negara tersebut mampu karena regulasi distribusi kesejahteraan dilaksanakan secara efektif melalui pajak yang lebih tinggi dan amanah (efektif dan efisien) dalam mendistribusikan pajak tersebut untuk membangun kesejahteraan. Keamanahan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan masyarakat untuk berbuat baik (ma’ruf) dengan membayar pajak.

Tentunya keunggulan sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan terwujud oleh pemerintah saja, perilaku rakyat juga perlu mencerminkan keimanan dan ketaqwaan sebagai syarat kedua untuk menjadi umat terbaik. Setiap individu di Aceh juga perlu melakukan perilaku yang ber-imtaq. Allah SWT menjelaskan akumulasi keimanan dan ketaqwaan individu sebuah negeri menjadi penyebab terwujudnya keberkahan atau produktifitas negari tersebut. Produktifitas diperoleh dari bagaimana baik itu pelajar/mahasiswa, pekerja swasta maupun pegawai negeri mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk hal-hal produktif, membaca dan berdiskusi daripada bercanda dan mengunjing, bekerja daripada nongkrong di warung kopi. Begitu juga, setiap individu masyarakat Aceh dapat selalu menjaga kehormatan dan integritas dengan tidak melakukan hal-hal yang mungkar dan maksiat.         

Pilinan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta keimanan ketaqwaan secara empiris dan substantif menyebabkan sebuah masyarakat itu unggul. Karena itu konsep diri sebagai khaira ummah atau “bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya” masih perlu digelorakan untuk dimiliki oleh seluruh rakyat Aceh agar positive self-fulfilling prophecy terwujud. Dan perjuangan belum selesai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar