“Investasi pada rantai nilai
yang belum ada akan meningkatkan nilai tambah komoditas, menarik sektor
belakang (backward linkages) dan mendorong sektor depan (forward linkages)
dalam sebuah rantai nilai sempurna dimana keseluruhan atau sebagian besar
dilaksanakan di Aceh. Alhasil, perekonomian Aceh akan tumbuh signifikan”
Kemajuan sebuah daerah diukur oleh sebuah indikator yang disebut
dengan produk domestik bruto (PDB). Indikator ini merupakan ukuran dari total seluruh
nilai tambah yang terjadi dalam sebuah daerah. Perkembangan PDB dari tahun ke
tahun disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Secara ideal, semakin tinggi
pertumbuhan PDB atau pertumbuhan ekonomi, maka indikator kesejahteraan lainnya
seperti tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan seharusnya juga membaik.
Karena, semakin banyak orang bekerja dan menghasilkan nilai tambah, semakin
tinggi pendapatannya dan berujung pada berkurangnya pengangguran dan penduduk
miskin serta menambah total nilai tambah atau ekonomi daerah tersebut.
Investasi merupakan faktor
pembentuk dari PDB atau PDRB, jika daerah tersebut setingkat provinsi atau
kabupaten/kota. Bersama dengan nilai total konsumsi masyarakat, konsumsi
pemerintah dan total ekspor dikurangi import, nilai investasi berakumulasi
menjadi total ekonomi sebuah daerah. Artinya, semakin tinggi investasi, maka
semakin tinggi ekonomi atau PDRB daerah. Investasi juga dapat menyediakan
lapangan pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan menjadi sebab jumlah masyarakat miskin
berkurang. Ibarat mendayung, sekali mendayung investasi seharusnya tiga pulau
indikator terlampaui.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), investasi dalam perekonomian Aceh mempunyai peran yang lebih
tinggi dibanding dari nasional. Pada tahun 2018, investasi atau lebih dikenal
sebagai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam nomenklatur BPS di Aceh
merepresentasikan 36,70 persen dari total ekonomi Aceh. Angka ini lebih tinggi
dari capaian proporsi investasi di nasional yaitu 32,29 persen. Meskipun proporsi investasi dalam PDRB tinggi,
namun perbaikan indikator makro ekonomi Aceh seperti pertumbuhan ekonomi,
tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan lebih lambat dibandingkan perbaikan
di tingkat nasional. Fakta ini menyiratkan ada permasalahan yang perlu
dicarikan solusinya agar investasi dapat mendongkrak kinerja daerah secara
lebih cepat.
Incremental Capital-Ouput Ratio, disingkat dengan ICOR, adalah
indikator untuk mengukur efesiensi atau efektifitas sebuah investasi dalam
rangka meningkatkan kinerja pembangunan. Meskipun ICOR lebih banyak digunakan
untuk melihat efisiensi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, secara prinsip
ICOR juga dapat digunakan untuk indikator pembangunan lainnya. Untuk Aceh,
tingkat efisiensi investasi masih lebih rendah dari investasi rata-rata secara
nasional.
Satu fakta lain yang menarik
untuk dicermati dalam perekonomian Aceh adalah tingginya nilai defisit
perdagangan Aceh yang cenderung
meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kita sandingkan dengan nilai PMTB yang juga
terus meningkat, dapat diindikasikan bahwa investasi saat ini tidak mendorong
terjadinya hilirisasi. Hilirisasi yang ditandai oleh berkembang sektor industri
pengolahan akan menyediakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat baik di Aceh
maupun di luar Aceh sehingga akan meningkatkan net-ekspor Aceh, melalui
penurunan nilai dan volume impor sekaligus peningkatan nilai dan volume ekspor
Salah satu pilihan kebijakan
strategis dalam pembangunan ekonomi Aceh adalah bagaimana menarik investasi
yang produktif dan efisien di Aceh yang menyebabkan elastisitas indikator
kesejahteraan masyarakat Aceh lebih positif dan tinggi melalui hilirisasi?
Kebijakan Investasi mendorong Hilirisasi
Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengamanatkan, dalam pasal 155,
bahwa arah perekonomian Aceh adalah meningkatkan produktifitas dan daya saing
melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya. Ini artinya
secara regulasi, pembangunan ekonomi Aceh diarahkan kepada hilirisasi. Seiring
dengan hal tersebut, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh juga menetapkan
periode 2017-2022 sebagai periode manufaktur sebagai penopang ekonomi Aceh.
Kemudian melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh, Salah satu
Program Unggulan di bidang ekonomi adalah Aceh Kreatif yang bertujuan untuk
meningkatkan produksi industri di Aceh. Begitu juga dengan Rencana Kerja
Pemerintah Aceh (RKPA) 2020, hiilirisasi menjadi prioritas pemerintah Aceh yang
pertama.
Hilirisasi menjadi pilihan tepat
bagi kebijakan pembangunan. Hilirisasi mempunyai arti bahwa proses pertambahan
nilai harus dilakukan di Aceh sebanyak mungkin. Karena itu, investasi juga
seharusnya untuk mendukung proses pertambahan nilai yang dilakukan oleh pihak
swasta baik dalam negeri maupun mancanegara. Langkah penting untuk memulai
adalah memetakan rantai nilai atau peta hilirisasi. Pemetaan rantai nilai akan
mendapatkan informasi tentang proses apa saja yang perlu ada untuk menghasilkan
produk jadi (end product) dan siapa
saja yang melakukannya.
Struktur ekonomi Aceh
mengindikasikan adanya missing link
dalan rantai nilai komoditas unggulan Aceh. Struktur ekonomi Aceh yang kosong
di tengah (sektor sekunder) dan padat di sektor primer dan tersier menyiratkan
komoditas unggulan yang bernilai tinggi di Aceh dijual tanpa mengalami proses
nilai tambah.
Tidak terjadinya pertambahan nilai
di Aceh utamanya karena belum adanya usaha atau perusahaan yang melaksanakan
proses pertambahan nilai tersebut di sepanjang rantai nilai. Missing chain ini harus diarahkan agar
menjadi potensi dan peluang yang ditawarkan kepada investor. Investasi pada
rantai nilai yang belum ada akan meningkatkan nilai tambah dan menarik sektor
belakang (backward linkages) dan
mendorong sektor depan (forward linkages)
dalam sebuah rantai nilai sempurna dimana keseluruhan atau sebagian besar
dilaksanakan di Aceh. Alhasil, perekonomian Aceh akan tumbuh signifikan.
Pemetaan rantai nilai tidak harus
hanya untuk komoditas lokal yang diproduksi Aceh. Pemerintah Aceh juga perlu
melakukan pemetaan rantai nilai global (global
value chain) karena letak yang
sangat strategis dan di sepanjang jalur perdagangan global. Dalam hal ini, Aceh
dapat menawarkan keuntungan komparatif berupa ketersediaan komponen rantai
nilai produk, lokasi yang berupa kawasan industri dan infrastruktur serta SDM
yang berkualitas. Apabila hal ini dapat dilakukan maka Aceh terhubung dengan
ekonomi global melalui jaringan produksi mondial (global production network).
Potensi dan strategisnya
investasi pada rantai nilai bagi perekonomian Aceh sulit terealisasi jika
kemudahan berusaha atau Ease of Doing
Business (EoDB) di Aceh masih tidak diperoleh oleh para pengusaha atau
penanam modal. Deregulasi dan Perizinan yang mudah, jelas, cepat dan pasti akan
mendorong minat investasi di Aceh. Pelayanan investasi dan proses
debottlenecking sumbatan investasi akan mempercepat perubahan status minat
investasi menjadi realisasi investasi, yang berarti kesempatan kerja di
lapangan dan nilai tambah produk di pasar.
Kecermatan dan kejelian
perencanaan investasi dalam menentukan sektor usaha strategis dalam rantai
nilai, ketepatan metode promosi investasi dan perizinan serta pelayanan
investasi yang baik akan menempatkan Aceh sebagai destinasi investasi pilihan
dan pada gilirannya akan menggerakkan siklus kebaikan (virtuous circle)
pembangunan. Investasi menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi angka
pengangguran dan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah,
memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan
infrastruktur dan akhirnya kembali men-generate investasi yang lebih besar lagi untuk kemakmuran yang
lebih baik. Semoga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar