Mungkin sudah
takdir peringatan hari bumi jatuh bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Banda
Aceh yaitu tanggal 22 April. Bahkan tahun ini terasa lebih istimewa karena tema
peringatan ultah Kota Banda Aceh dan Hari Bumi sangat berkaitan. Hari Bumi 2014
mengambil isu Green City atau Kota
Hijau sedangkan Peringatan HUT Banda Aceh ke 809 membopong tema Satukan Tekad.
Luruskan Niat, Bersama Kita Wujudkan Model Kota Madani.
Pekarangan Istana Al-Hambra (www.dreamstime.com) |
Kota Madani
merupakan sebuah inspirasi dari sebuah tempat yang dulunya bernama Yastrib
kemudian diubah nama oleh seorang Junjungan Alam Muhammad SAW menjadi Madinah. Madani
dan Madinah mempunyai akar kata yang sama dengan kata tamaddun yang berarti
peradaban sehingga Madani berarti berperadaban (civilized). Model Kota Madani
yang dituju oleh Banda Aceh adalah Model Kota Madinah yang diterangi oleh
cahaya Islam. Cahaya Islam sering digambarkan berwarna hijau sehingga tidak
salah apabila dikatakan bahwa Hijau itu Madani.
Pada laman resmi
peringatan Hari Bumi, www.earthday.org,
dikatakan bahwa Kota Hijau dapat diwujudkan melalui investasi cerdas, kebijakan
publik yang berwawasan ke masa depan dan yang terpenting adalah partisipasi
aktif masyarakat kota yang cenderung berpendidikan tinggi. Tiga hal tersebut
tidak ada satupun bertentangan dengan syariah bahkan tiga hal tersebut perlu
dilakukan sebagai bagian dari upaya mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota
Madani.
Kita sudah sering
kali mendengar hadits Nabi tentang perintah menanam pohon meskipun esok hari
akan kiamat. Menanam pohon sebagai simbol kegiatan pro-lingkungan juga dihitung
sebagai kebajikan yang berkelanjutan (shadaqah jariah) karena pohon yang
ditanam dapat dimanfaatkan oleh manusia bahkan hewan. Nabi juga melarang
membuang kotorang atau zat berbahaya pada habitat makhluk lainnya dan pada
genangan air yang stagnan. Tak heran, jika salah satu tujuan dasar dari syariah
Islam adalah menjaga keberlanjutan generasi/masa depan.
Beberapa isu pembangunan
hijau yang dirasa penting bagi pengembangan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani
adalah air minum dan sanitasi, persampahan, ruang terbuka hijau dan
transportasi. Meskipun air minum dapat diakses oleh 98,5 persen oleh masyarakat
kota namun kualitas air dan distribusinya masih belum sempurna. Banyak alasan
dikemukakan penyebab dari belum optimalnya distribusi PDAM ini. Tingkat
kebocoran air yang lebih dari separuh mempengaruhi kemampuan perusahaan pelat
merah ini berinvestasi pada infrastruktur distribusi. Belum lagi kualitas air
baku yang fluktuatif mengikuti siklus kemarau dan penghujan di DAS Krueng Aceh
menunjukkan solusi perbaikan berada di luar wilayah administrasi calon Kota
Madani.
Sanitasi lingkungan
juga masih belum optimal. Prevalensi kasus demam berdarah (DBD) menjadi salah satu
ukuran. Genangan air stagnan menunjukkan drainase belum menjalankan fungsi
sebagai tali air. Got di kawasan pemukiman berwarna hitam menjelaskan
keberadaan massif zat organik hasil limpasan dari limbah cair rumah tangga.
Meskipun Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota merupakan salah satu SKPK dengan
porsi anggaran terbesar dan mampu membiaya truk sampah dan pasukan oranye untuk
mengutip sampah, namun warga sangat sulit mencari tempat pembuangan sementara
(TPS) di Kutaraja. Banyak TPS timbul tenggelam akibat protes masyarakat sekitar
atas polusi bau dan lalat. Polusi ini disebabkan sampah yang dititipkan pada
TPS masih bercampur antara limbah dapur dan limbah yang dapat didaur ulang.
Keengganan masyarakat untuk memilah sampah menyebabkan kondisi stalemate atau lose-lose situation bagi upaya penangangan sampah dan berakibat
pada literisasi sampah yang meningkatkan ongkos pengutipan sampah (garbage collection).
Selanjutnya, kebutuhan
warga banda terhadap ruang publik hijau makin hari makin besar. Misalnya,
Jogging track yang panjang terasa pendek karena rapatnya warga kota ingin
memanfaatkan ruang publik hijau ini. Karena itu, diperlukan penambahan ruang
terbuka hijau yang lokasinya tersebar berdasarkan konsentrasi pemukiman.
Pembangunan RTH ini bukan saja baik bagi kualitas hidup fisik warga seperti
udara bersih namun juga sebagai media rekayasa sosial untuk memperkuat modal
sosial komunitas pemukiman melalui persinggungan sosial pada ruang terbuka
hijau tersebut.
Kedekatan ruang
publik hijau dengan ruang tinggal akan memangkas pergerakan warga dalam rangka
memenuhi salah satu kebutuhannya dan berimbas pada pengurangan volume kendaraan
bermotor yang dapat menyebabkan kemacetan dan polusi. Kemacetan sudah mulai
menampakkan wujudnya di Banda. Sebagai wilayah sub-provinsi yang memiliki
tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Aceh, sudah lumrah bahwa penambahan
kendaraan bermotor terus melaju. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan
pemerintah yang mengelola sisi penawaran (supply
side) maupun sisi permintaan (demand side), bukan tidak mungkin dalam
jangka menengah atau panjang Banda Aceh akan seperti Jakarta.
Untuk itu, Kota
Banda Aceh membutuhkan cara-cara cerdas inovatif dan kebijakan integratif-antisipatif
yang berwawasan masa depan untuk menciptakan ruang hidup bermartabat bagi
warganya. Kebijakan tata ruang pemukiman yang terkonsentrasi akan menciptakan ruang
efisiensi bagi pengembangan transportasi publik yang bertujuan untuk
menfasilitasi mobilitas warga sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun
konsentrasi pemukiman juga dapat menyebabkan permasalahan tersendiri jika tidak
diantisipasi. Pengelolaan air limbah dan sampah rumah tangga yang tidak baik
akan menyebabkan lingkungan jadi kumuh dan tidak sehat dan pada akhirnya warga
akan memilih keluar dan pemukiman terpencar (sprawl) kembali menjamur yang
menghasilkan kondisi sulit bagi pembangunan hijau.
Kebijakan
pengelolaan sisi permintaan untuk lingkungan yang hijau sebagai ciri kota
madani merupakan sebuah keharusan. Warga kota yang semakin baik taraf hidupnya
membutuhkan kualitas layanan lebih tinggi. Sudah jamak kita rasakan kemacetan
yang terjadi pada saat jam masuk dan pulang sekolah di kawasan sekitar sekolah
favorit. Kenyataan ini sebenarnya menggambarkan akan kebutuhan warga terhadap
kualitas pendidikan. Dengan mengurangi ketimpangan kualitas sekolah, Kota Banda
Aceh telah mengelola permintaan warga yang berakibat pada berkurangnya
kemacetan, komsumsi bahan bakar dan polusi yang dikeluarkan.
Kebijakan kota hijau lainnya dari sisi
permintaan adalah pengelolaan partisipasi aktif masyarakat Kota Banda Aceh.
Dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang relatif tinggi, masyarakat kota akan
lebih mudah digerakkan untuk berbuat sesuatu untuk kenyamanan hidup termasuk
memperbaiki kualitas lingkungan. Merujuk pada teori kebutuhan Maslow, makin
sejahtera masyarakat maka kebutuhan aktualisasi diri akan semakin dominan.
Makanya tidak heran jika di Banda Aceh banyak ditemui berbagai macam komunitas.
Komunitas ini berciri pada kesukarelawaan (voluntarism) dan berkerja dengan passion dan ikhlas. Kota Banda Aceh
perlu mendorong tumbuh kembangnya komunitas-komunitas warga seperti Komunitas Safari Shubuh, One Day
One Juz (ODOJ), Hijabers, Onthel, dan komunitas
madani (civil community) lainnya dan mengarahkan aktivitas komunitas tersebut
dalam koridor mewujudkan Banda Aceh sebagai Kota Hijau dan Madani. Karena Hijau
itu Madani. Insya Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar