Serambi Indonesia (12/5/2014)
merilis sebuah opini yang ditulis oleh Safaruddin yang bertajuk “Aceh Miniatur
Swedia?”. Dalam tulisan tersebut Safaruddin menanyakan mengapa kinerja
pembangunan Aceh tidak sebanding dengan kualitas hasil pembangunan Swedia
padahal Aceh saat ini sedang dipimpin oleh mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka
yang pernah bermukim di negeri Viking ini. Bahkan pada akhir tulisannya Safaruddin
secara tidak elegan menduga hubungan antara diskrepansi kinerja Aceh-Swedia
dengan aktivitas tokoh politik GAM selama tinggal di negara Baltik tersebut.
www.comparingandcontrastingtwothings.blogspot.com |
Opini yang menyiratkan bahwa
keberhasilan sebuah daerah atau negara ditentukan oleh tempat tinggal
pemimpinya adalah kesimpulan yang naif. Ini tak ada bedanya dengan mengatakan
bahwa Aceh akan maju jika dipimpin oleh pemimpin dari kabupaten tertentu di
Aceh. Membandingkan Aceh dan Swedia adalah sesuatu yang tidak valid secara
ilmiah. Yang pertama dan paling utama adalah Swedia adalah negara sedangkan
Aceh bukan negara. Banyak instrumen negara yang menjadi tulang punggung
penyelenggaraan negara atau demokrasi yang efektif berada diluar jangkauan
Pemerintah Aceh. It is not apple to apple,
begitu ungkapan pakar ketika ingin membandingkan dua hal untuk mencari sebab
perbedaan.
Mari kita lihat perbandingan
kinerja pembangunan antara Indonesia – sebagai proxy Aceh - dan Swedia. Ada dua titik waktu yang perlu dilihat
yaitu ketika Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar (Irna)
pada tahun 2007 dilantik menjadi duo tunggal dan tahun 2012 ketika Gubernur
Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf (Zikir) resmi menjadi commander in chief. United Nation for
Development Programme (UNDP) melalui https://data.undp.org/
mencatat Indeks Pembangunan Manusia Swedia dan Indonesia masing-masing adalah
0,909 dan 0,595 pada tahun 2007; dan 0,916 dan 0,629 di tahun 2012. Jika ingin
dilihat Indeks Pembangunan Aceh secara relatif terhadap Swedia perbedaannya
akan semakin besar mengingat pencapaian IPM Aceh pada kedua tahun tersebut
dibawah angka nasional.
Selanjutnya, Bank Dunia melalui
website http://data.worldbank.org/
menyajikan pendapatan per kapita berdasarkan paritas daya beli harga konstan tahun
2011 antara Indonesia dan Swedia masing-masing sebagai berikut US$ 7.102 dan
US$ 41.667 pada tahun 2007 dan US$ 8,856 dan US$ 41,849 di tahun 2012. Sebagai
salah satu provinsi yang mempunyai presentase penduduk miskin terbesar di
Indonesia, perbedaannya akan semakin mencolok. Belum lagi apabila dilihat
indeks demokrasi dimana Swedia pada tahun 2007 berada pada ranking pertama
sedangkan Indonesia berada pada ranking 65 (www.economist.com).
Membandingkan Aceh dan Swedia
dalam hal kinerja pembangunan adalah hal tidak sepatutnya dilakukan. Apalagi
jika dijadikan kriteria untuk menentukan keberhasilan pemimpin Aceh yang baru
memimpin 2 tahun. Perbandingan atau pengambilan keputusan tersebut dapat
dikatakan cacat atau bias seleksi (selection
bias). Jika ingin menentukan keberhasilan Aceh dalam pembangunan secara
relatif maka bandingkan dengan daerah/provinsi yang juga selesai konflik dan
didera bencana pada sekitar tahun 2005 dengan kapasitas fiskal yang seimbang dengan
Aceh. Ini lebih fair.
Bukan Miniatur tapi Belajar dari Swedia
Swedia sudah lama menjadi model
negara yang seharusnya dicontoh. Tak kurang dari ekonom sekelas Joseph E
Stiglitz, Paul Krugman dan Jeffrey D Sachs merujuk model pengelolaan negara a
la Swedia sebagai inspirasi kebijakan negara-negara yang terkena imbas dari
krisis keuangan global tahun 2008, tak terkecuali Amerika Serikat. Model Swedia
memprioritaskan pada investasi pada manusia dalam bentuk investasi pendidikan,
riset dan pengembangan serta perlindungan sosial. Investasi pada manusia
menghasilkan produktifitas dan daya saing Swedia yang membuatnya unggul.
Di tengah perang relokasi
industri padat karya dari negara maju ke negara berkembang karena alasan upah
buruh rendah. Swedia tetap mempunyai tingkat pengangguran yang rendah serta
ekonomi tangguh. Ini disebabkan kualitas produk negara ini belum mampu
ditandingi oleh negara lain sebagai akibat dari tingginya kualitas pekerja atau
sumber daya manusia negara tersebut.
Besley dan Personn (2011) dalam
bukunya Pillars of Prosperity – The Political Economics of Development Clusters
menyusun indeks pilar kemakmuran dan menempatkan Swedia pada peringkat pertama.
Hasil studi empiris mereka menyatakan bahwa tipologi institusi merupakan faktor
mengapa negara-negara maju bertengger di papan atas indeks tersebut. Tipologi
institusi berhubungan dengan pengalaman konflik. Institusi daerah bekas konflik
akan cenderung lemah dan rentan terhadap perilaku pencarian rente (rent seeking). Bagai lingkaran setan
institusi akan terus melemah oleh perilaku pencari rente ini. Siglitz (2012)
dalam bukunya The Price of Inequality
juga memaparkan bagaimana rente memperburuk ketimpangan dan efeknya kepada
krisis keuangan di Amerika Serikat.
Belajar dari Swedia, penguatan
institusi merupakan agenda utama pembangunan Aceh. Mencegah pencarian rente menjadi
hal sistemik dalam kebijakan mutlak harus dilakukan demi kesejahteraan rakyat.
Transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang utama. Terus, kesempatan yang sama bagi seluruh
rakyat Aceh perlu terus diciptakan melalui prinsip meritokrasi, tidak lagi
balas budi atau kontribusi dalam perang. Reintegrasi seharusnya sudah selesai
pada tahun 2012 sebagaimana diamanatkan oleh RPJP Aceh. Jika masih ada yang
belum tuntas, beri solusi secara lebih memberdayakan tidak dengan membuat
ketergantungan.
Hubungan Pemerintah dan Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) atau Civil Society Organisation (CSO) juga merupakan
sesuatu yang perlu dipelajari dari Swedia. Hubungan keduanya disana adalah
komplementer dan diperkuat dengan adanya common
interest (kepentingan bersama). Lazim kita lihat CSO Swedia membantu
melaksanakan program pemerintah melalui pendanaan pemerintah. Hubungan harmonis
tersebut tampaknya belum terjadi di Aceh. Kecurigaan masih marak akibat perilaku
kedua belah pihak. Minimnya transparansi pemerintah membuat CSO galau. Blow-up media oleh CSO yang sering tanpa
konfirmasi dan data akurat memperparah hubungan menjadi tidak sehat dan
renggang.
Pengelolaan lingkungan juga merupakan
hal yang dapat dipelajari. Model Pengelolaan Hutan Swedia atau Swedish Forestry Model adalah salah
satunya. Swedia berhasil mengawinkan prinsip ekonomi dengan penambahan stok
karbon dengan menunjukkan kepada petani kayu akan insentif ekonomi dalam
melakukan penanaman kembali (replanting)
melalui inovasi desain institusi dan industri. Saat ini, negara terluas di
kawasan Nordic ini mempunyai tegakan pohon lebih banyak dari tahun-tahun
sebelumnya.
Tidak perlu malu dan saling menyalahkan jika
saat ini kinerja pembangunan Aceh masih berada peringkat bawah. Yang harus
dilakukan adalah belajar secara cepat dari kegagalan dan kesuksesan diri dan
daerah lain termasuk dari Swedia. Tentunya bukan dengan menjadi replika atau
miniatur yang sama persis karena ada aspek masyarakat Swedia yang tidak
kompatibel dengan sosial budaya masyarakat Aceh. Semoga Pemerintah Aceh dapat menjadi learning institution yang terus
memperbaiki diri dalam rangka fastabiqul
khairat meraih cita-cita rakyatnya.
Published in Serambi Indonesia (19/5/2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar