Musyawarah Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2015 mengambil
tema peningkatan produktifitas dan daya saing untuk penguatan perekonomian yang
berkeadilan. Tema tersebut dirasakan
sangat tepat mengingat tantangan di depan mata yang akan dihadapi oleh Aceh.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015
memberikan peluang sekaligus ancaman bagi ekonomi Aceh. Salah satu pilar dari
dari MEA adalah pasar dan basis produksi tunggal. Ini berarti pergerakan
barang, jasa, modal, tenaga kerja terampil menjadi bebas keluar masuk diantara
negara-negara Asean, termasuk Aceh.
Daya Saing (www.corner.eu) |
Tentunya Aceh akan lebih baik
jika mampu menjadi basis produksi, tidak sekedar menjadi pasar dari produk-produk
ASEAN. Seluruh negara dan provinsi yang berada dalam komunitas ASEAN juga
berfikir sama seperti Aceh dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi daerah
basis produksi. Tentunya, sebagai entitas yang memaksimalkan keuntungan (profit maximizing entity), perusahaan
dan/atau konsumen tentu memilih daerah
yang menawarkan iklim usaha yang paling kondusif dan kemampuan menghasilkan produk
yang lebih berkualitas. Ini memberikan implikasi jika Aceh tidak dapat bersaing
dengan menyediakan iklim investasi yang baik dan menghasilkan produk yang
berstandar ASEAN maka Aceh akan ditinggalkan dan hanya menjadi pasar dari
produk-produk luar.
Pengertian Daya Saing
World Economic Forum (2012) mendefinisikan
daya saing sebuah negara atau daerah sebagai kombinasi dari kualitas institusi
politik dan ekonomi, kebijakan dan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat
produktifitas. Tingkat produktifitas selanjutnya akan menentukan tingkat
kemakmuran masyarakat dan tingkat pengembalian investasi. Semakin tinggi daya
saing sebuah daerah, maka semakin besar kemungkinan daerah tersebut makmur dan
menjadi daerah tujuan investasi.
Michael E Porter – seorang pakar
strategi dan daya saing dari Harvard Business School- lebih lanjut menjelaskan
bahwa daya saing sebuah daerah tergantung pada produktifitas jangka panjang
yang diperoleh dari bagaimana cara daerah tersebut menggunakan modal sumberdaya
manusia, sumber daya alam dan teknologi.
Pada tahun 1990, Porter menulis
sebuah artikel berjudul “The Competitive
Advantage of Nations”. Artikel tersebut merupakan kesimpulan dari riset 4
tahun tentang daya saing 10 negara perdagangan utama (trading nations) seperti
Denmark, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Swedia, Swiss,
Inggris dan Amerika Serikat. Porter menyatakan bahwa daya saing hanya dapat
dilakukan oleh pelaku industri atau perusahaan bukan oleh pemerintah. Tugas pemerintah
hanya lah menyediakan iklim atau lingkungan yang kondusif serta insentif bagi
terciptanyan daya saing. Porter menemukan empat penentu daya saing sebuah daerah atau
lebih dikenal dengan Berlian Porter (Porter’s Diamond). Keempat penentu daya
saing tersebut adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan lokal,
kelengkapan struktur industri domestik dan kompetisi yang sehat antar
perusahaan lokal.
Faktor produksi meliputi
ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, infrastruktur dasar dan
teknologi yang memadai serta regulasi yang berkepastian dan transparans.
Permintaan lokal yang dimaksud adalah adanya permintaan konsumen akan produk industri
yang berkualitas. Daya saing juga membutuhkan ketersediaan perusahaan dalam
rumpun atau pohon industri yang saling terkait secara logistik pada gilirannya
akan meningkatkan efesiensi dari rantai produksi industri tersebut. Iklim
kompetisi yang sehat akan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk terus
berinovasi untuk melaksanakan efisiensi dan menghasilkan produk yang
berkualitas.
Empat sisi berlian daya saing ini
menurut Porter adalah saling menguatkan. Kelemahan pada salah satu sisi akan
melemahkan daya saing secara keseluruhan. Permintaan lokal, kelengkapan
perusahaan dalam struktur industri dan iklim kompetisi yang sehat akan
memberikan tekanan bagi perusahaan untuk terus melakukan perbaikan, sedangkan
ketersediaan faktor produksi akan memberikan fondasi yang kuat terhadap
terciptanya kreativitas dan daya saing. Perpaduan keempat sisi berlian daya
saing cenderung terjadi di dalam konsentrasi geografis sehingga pendekatan cluster menjadi menjadi penting. Insight lain dari penelitian tersebut
adalah proses peningkatan daya saing merupakan jalan panjang dan tidak dapat
dilakukan secara cepat. Karena itu, prioritas dan pentahapan menjadi hal yang
absolut. Prioritas diberikan kepada kekuatan yang dimiliki oleh daerah tersebut
misalnya komoditas unggulan menjadi prioritas pengembangan industri.
Meningkatkan Daya Saing Aceh
Bercermin dari empat faktor
penentu daya saing a la Porter tersebut, kiranya sangat besar tantangan Aceh
untuk menjadi daerah yang berdaya saing. Ini lumrah karena memang telah
diingatkan akan perjalanan panjang dan bertahap. Karena itu perencanaan
strategis untuk mengasah sisi berlian daya saing menjadi syarat. Pertama, Aceh
harus memperbaiki keadaan faktor produksi. Alam yang subur dan kaya akan sumber
daya alam harus diolah secara lebih
baik. Data BPS menunjukkan bahwa produktifitas beberapa komoditas unggulan Aceh
seperti padi dan jagung masih berada di
bawa rata nasional. Padahal sebagian besar penduduk Aceh bekerja pada
sub-sektor tanaman pangan dan palawija. Peningkatan faktor produksi atau
produktifitas ini dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia dan
infrastruktur dasar dan finansial, teknologi, informasi yang simetris tentang
keadaan pasar serta tata niaga yang transparans dan berkeadilan
Kedua, Pemerintah Aceh perlu
mendorong tumbuhnya usaha-usaha dalan struktur atau pohon industri yang
berbasis rantai nilai dari komoditas unggulan Aceh seperti kopi, kakao, minyak
atsiri dan produk perikanan. Kelengkapan struktur industri berbasis komoditas
di Aceh akan meningkatkan efesiensi dan menfasilitasi terjadinya aliran
informasi dan pengetahuan sehingga inovasi lebih mungkin terjadi. Kelengkapan
struktur industri ini perlu diperkuat lagi dengan menjamin iklim kompetisi yang
sehat. Favoritisme kebijakan untuk perusahaan tertentu akan melemahkan
kemampuan inovasi dan daya saing pelaku usaha di Aceh dalam jangka panjang.
Kemudian, program perlindungan konsumen melalui penciptaan konsumen cerdas dan
standar regulasi yang ketat dapat mendorong pelaku usaha untuk memenuhi
permintaan konsumen dan memenuhi standar melalui perbaikan proses, efisiensi
dan inovasi.
Ketiga, Kecenderungan proses
peningkatan daya saing industri terjadi pada situasi geografis yang
terkonsentrasi memberikan implikasi bagi Pemerintah Aceh untuk mendorong
terbentuknya cluster atau aglomerasi
melalui penciptaan kawasan industri atau kawasan perhatian investasi. Kawasan
ini akan menjadi melting pot yang
memadukan semua ramuan (ingredient) dan mengasah sisi berlian daya saing Aceh
sehingga lebih mengkilap.
Terakhir, pentahapan peningkatan
daya saing yang membutuhkan waktu lama memberikan resiko inkonsistensi
kebijakan. Siklus waktu politik kebijakan seringkali lebih pendek daripada
horizon waktu bagi terciptanya industri yang berdaya saing dapat membuat
kebijakan berubah ditengah jalan. Karena itu, Aceh butuh konstelasi demokrasi
yang kuat dan sehat untuk menjaga proses peningkatan daya saing berjalan
konsisten demi kepentingan rakyat Aceh.
Melalui Musyawarah Perencanaan Pembanguan
(Musrenbang), perpaduan perencanaan stategis yang bersifat teknokratik dan
identifikasi kebutuhan masyarakat yang bersifat partisipatif diharapkan
memberikan legitimasi bagi peningkatan
daya saing Aceh secara berkelanjutan. Insya Allah.
Published in Tabangun Aceh, Edisi Musrenbang RKPA 2015, 14 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar