http://sourcepool.net/solutions/connectivity/custom-connectivity |
Dua setengah abad yang lalu, Adam Smith
menulis sebuah pengamatannya tentang efek positif dari keberadaan infrastruktur transportasi
seperti jalan, kanal dan sungai yang dapat dilayari terhadap mobilitas dan
pemerataan kesejahteraan dalam sebuah buku yang menjadi rujukan dasar ilmu
ekonomi, An Inquiry into the Nature and
Causes of the Wealth of Nation. Amatan Smith tersebut menjadi kenyataan
pada saat ini. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa pembangunan
infrastruktur mempunyai hubungan korelasi dengan kesejahteraan. Sebut saja
penelitian Bank Dunia, The Effect of
Infrastructure Development on Growth and Income Distribution , yang ditulis
oleh Cesar Calderon dan Luis Serven dengan menggunakan data time series 40 tahun (1960-2000) dari
100 negara lebih menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas berpengaruh
secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan
dan akhirnya penurunan angka kemiskinan.
World Economic Forum menempatkan kuantitas
dan kualitas infrastruktur sebagai persyaratan dasar dalam menghitung indeks daya
saing global (Global Competitiveness
Index) sebuah negara. Kemampuan China dalam menjadi tujuan utama relokasi
industri manufaktur dunia tidak terlepas dari keberhasilan Pemerintahan
Tiongkok membangun infrastruktur yang terintegrasi dan kluster industri
sehingga konektivitas menjadi sangat baik. Pemerintah Indonesia juga sudah
menyadari bahwa saat ini persaingan global sudah memasuki persaingan antar
rantai pasok (supply chain) yang
dapat melibatkan beberapa negara dan rantai pasok yang efisien sangat
bergantung pada kondisi konektivitas antar blok/unit produksi dan komsumsi
sebagaimana tersirat dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak
Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.
Aceh
Butuh Pengelolaan Konektivitas
Aceh tidaklah terisolir dalam hal
konektivitas dengan daerah lain. Namun jika dilihat dari empat isu yang
mengitari konektivitas seperti rantai pasok (supply chain), rantai nilai (value
chain), jaringan produksi (production
network) dan logistik, maka kondisi konektivitas Aceh dapat digambarkan
sebagai berikut; Pertama, aliran komoditas Aceh ditandai dengan aliran keluar
komoditas mentah dan aliran masuk komoditas jadi akibat proses pertambahan nilai
tidak terjadi dan menempatkan Aceh pada lapisan terendah dari jaringan produksi
global. Kondisi ini diperkuat dari data neraca sistem pembayaran Bank Indonesia
yang menampilkan situasi net outflow;
Kedua, infrastruktur konektivitas Aceh terutama pelabuhan tidak termanfaatkan
akibat skala ekonomi volume perdagangan rendah. Diyakini bahwa rendahnya skala
ekonomi volume perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Aceh dikarenakan oleh belum
terkonsolidasinya komoditas ekspor dan akhirnya komoditas tersebut keluar
melalui pelabuhan provinsi tetangga secara sporadis dan tak tercatat.
Ketiga, masih terdapatnya disparitas
harga antar daerah dalam provinsi Aceh
Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh mengumpulkan data
harga komoditas pokok dan strategis dari seluruh kabupaten/kota dan menunjukkan
nilai koefisien variasi harga yang relatif lebih tinggi dari rata-rata
nasional. Sejalan dengan hal diatas, perhitungan indeks harga konsumen (IHK) yang
dilakukan Badan Pusat Statistik Aceh sebagai acuan menetapkan angka inflasi
pada tiga kota acuan yaitu Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh sering
menunjukkan angka IHK yang divergen atau bervariasi. Kondisi tersebut
diatas menyiratkan kinerja konektivitas
Aceh masih belum optimal.
Masterplan Konektivitas ASEAN menfokuskan peningkatan konektivitas pada 3 jenis
konektivitas yaitu konektivitas institusi (institutional
connectivity), konektivitas fisik (physical
connectivity) yang meliputi transportasi, energi, teknologi informasi
dan komunikasi, dan konektivitas manusia
(people-to-people connectivity)
melalui kegiatan pendidikan, budaya dan pariwisata. Dengan diberlakukan
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015, sudah sepatutnya
Pemerintah Aceh juga turut memperbaiki kondisi konektivitas di Aceh sebagai
langkah konvergensi regional.
Penguatan ketiga konektivitas tersebut
merupakan hal yang relevan di Aceh. Dalam satu kesempatan rapat koordinasi
perencanaan bidang ekonomi di Kabupaten Bener Meriah pada medio Juni 2014, penulis
mendapatkan masukan bahwa salah satu permasalahan ekonomi yang dihadapi
kabupaten ini adalah rendahnya daya tawar petani hortikultura yang merupakan
komoditas cepat rusak (perishable goods)
dalam menentukan harga akibat informasi harga yang asimetris. Padahal apabila merujuk
data harga di kabupaten/kota seluruh Aceh yang dikompilasi oleh Disperindag
Aceh, terdapat disparitas harga yang tinggi antara kabupaten produsen dan
kabupaten/kota pengguna. Peningkatan konektivitas institusi antara dinas atau
pasar daerah produsen dan daerah pengguna yang diperkuat dengan konektivitas
fisik melalui konektivitas transportasi dan teknologi informasi tentunya
menyebabkan stabilitas harga komoditas pokok dan strategis, menjaga tingkat
inflasi dan menurunkan angka kemiskinan.
Konektivitas
dan Koridor Ekonomi
Dalam perspektif pengembangan ekonomi, pembangunan konektivitas dimaksudkan untuk memaksimalkan penciptaan
nilai tambah seluruh sektor ekonomi melalui efesiensi rantai nilai, rantai
pasok, dan logistik sebagai bagian dari jaringan produksi global sebagai
respons perbaikan karakter konektivitas yang dijelaskan sebelumnya. Aceh
mempunyai karakteristik geografi yang unik, berbentuk segitiga yang dibelah
oleh pengunungan bukit barisan. Masing-masing kabupaten/kota mempunyai potensi
ekonomi yang khas. Selain itu, terdapat juga daerah tertinggal dan relatif
maju. Kondisi keberagaman ini menyebabkan tidak tepat apabila fokus
pengembangan konektivitas Aceh dilakukan secara seragam. Akan lebih efisien dan
efektif apabila pembangunan konektivitas Aceh juga dilakukan berdasarkan
koridor ekonomi yang didasari pada potensi masing-masing koridor ekonomi.
Koridor ekonomi didefinisikan sebagai
sebuah bentang geografi yang mempunyai jejaring kegiatan ekonomi yang saling
terkait berdasarkan potensi koridor dan dihubungkan dengan infrastruktur yang
terintegrasi, mulai dari lahan produksi hingga infrastruktur kepelabuhan.
Pembangunan konektivitas dalam setiap koridor ditujukan untuk menfasilitasi
terjadinya aglomerasi atau klusterisasi kegiatan penciptaan nilai tambah komoditas
dan jasa unggulan koridor tersebut sekaligus mempercepat pembangunan daerah
tertinggal dalam koridor (backward
linkage) dan mendorong daya ekspor (forward
linkage). Selanjutnya, konektivitas
antar koridor ekonomi juga perlu dijamin karena makin membuat skala ekonomi dan
efesiensi rantai pasok lebih baik.
Terdapat beberapa tantangan yang perlu
diperhatikan untuk membangun konektivitas Aceh. Pertama, diperlukan sinergi
antar Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait kebijakan
penganggaran dan regulasi lainnya. Kedua, Pemerintah Aceh perlu lebih
memprioritaskan kewenangan provinsi terutama isu konektivitas antar kabupaten/koridor.
Selain itu, konektivitas teknologi informasi terkait sistem informasi harga komoditas
pokok dan strategis dan sistem informasi konsolidasi komoditas ekspor (e-consolidator) merupakan diantara
sistem konektivitas yang perlu dirancang untuk mendorong stabilitas harga dan
ekspor.
Dipublikasikan di Rubrik Opini Harian Serambi Indonesia, Rabu, 27 Agustus 2014.