Sabtu, 09 Agustus 2014

Membangun Konektivitas Aceh

http://sourcepool.net/solutions/connectivity/custom-connectivity
Dua setengah abad yang lalu, Adam Smith menulis sebuah pengamatannya tentang efek positif  dari keberadaan infrastruktur transportasi seperti jalan, kanal dan sungai yang dapat dilayari terhadap mobilitas dan pemerataan kesejahteraan dalam sebuah buku yang menjadi rujukan dasar ilmu ekonomi, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nation. Amatan Smith tersebut menjadi kenyataan pada saat ini. Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur mempunyai hubungan korelasi dengan kesejahteraan. Sebut saja penelitian Bank Dunia, The Effect of Infrastructure Development on Growth and Income Distribution , yang ditulis oleh Cesar Calderon dan Luis Serven dengan menggunakan data time series 40 tahun (1960-2000) dari 100 negara lebih menunjukkan bahwa infrastruktur konektivitas berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan pemerataan distribusi pendapatan dan akhirnya penurunan angka kemiskinan.

World Economic Forum menempatkan kuantitas dan kualitas infrastruktur sebagai persyaratan dasar dalam menghitung indeks daya saing global (Global Competitiveness Index) sebuah negara. Kemampuan China dalam menjadi tujuan utama relokasi industri manufaktur dunia tidak terlepas dari keberhasilan Pemerintahan Tiongkok membangun infrastruktur yang terintegrasi dan kluster industri sehingga konektivitas menjadi sangat baik. Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari bahwa saat ini persaingan global sudah memasuki persaingan antar rantai pasok (supply chain) yang dapat melibatkan beberapa negara dan rantai pasok yang efisien sangat bergantung pada kondisi konektivitas antar blok/unit produksi dan komsumsi sebagaimana tersirat dalam Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional.

Aceh Butuh Pengelolaan Konektivitas

Aceh tidaklah terisolir dalam hal konektivitas dengan daerah lain. Namun jika dilihat dari empat isu yang mengitari konektivitas seperti rantai pasok (supply chain), rantai nilai (value chain), jaringan produksi (production network) dan logistik, maka kondisi konektivitas Aceh dapat digambarkan sebagai berikut; Pertama, aliran komoditas Aceh ditandai dengan aliran keluar komoditas mentah dan aliran masuk komoditas jadi akibat proses pertambahan nilai tidak terjadi dan menempatkan Aceh pada lapisan terendah dari jaringan produksi global. Kondisi ini diperkuat dari data neraca sistem pembayaran Bank Indonesia yang menampilkan situasi net outflow; Kedua, infrastruktur konektivitas Aceh terutama pelabuhan tidak termanfaatkan akibat skala ekonomi volume perdagangan rendah. Diyakini bahwa rendahnya skala ekonomi volume perdagangan di pelabuhan-pelabuhan Aceh dikarenakan oleh belum terkonsolidasinya komoditas ekspor dan akhirnya komoditas tersebut keluar melalui pelabuhan provinsi tetangga secara sporadis dan tak tercatat.

Ketiga, masih terdapatnya disparitas harga antar daerah dalam provinsi Aceh  Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh mengumpulkan data harga komoditas pokok dan strategis dari seluruh kabupaten/kota dan menunjukkan nilai koefisien variasi harga yang relatif lebih tinggi dari rata-rata nasional. Sejalan dengan hal diatas, perhitungan indeks harga konsumen (IHK) yang dilakukan Badan Pusat Statistik Aceh sebagai acuan menetapkan angka inflasi pada tiga kota acuan yaitu Banda Aceh, Lhokseumawe dan Meulaboh sering menunjukkan angka IHK yang divergen atau bervariasi. Kondisi tersebut diatas  menyiratkan kinerja konektivitas Aceh masih belum optimal.

Masterplan Konektivitas  ASEAN  menfokuskan peningkatan konektivitas pada 3 jenis konektivitas yaitu konektivitas institusi (institutional connectivity), konektivitas fisik (physical connectivity) yang meliputi transportasi, energi, teknologi informasi dan  komunikasi, dan konektivitas manusia (people-to-people connectivity) melalui kegiatan pendidikan, budaya dan pariwisata. Dengan diberlakukan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015, sudah sepatutnya Pemerintah Aceh juga turut memperbaiki kondisi konektivitas di Aceh sebagai langkah konvergensi regional.

Penguatan ketiga konektivitas tersebut merupakan hal yang relevan di Aceh. Dalam satu kesempatan rapat koordinasi perencanaan bidang ekonomi di Kabupaten Bener Meriah pada medio Juni 2014, penulis mendapatkan masukan bahwa salah satu permasalahan ekonomi yang dihadapi kabupaten ini adalah rendahnya daya tawar petani hortikultura yang merupakan komoditas cepat rusak (perishable goods) dalam menentukan harga akibat informasi harga yang asimetris. Padahal apabila merujuk data harga di kabupaten/kota seluruh Aceh yang dikompilasi oleh Disperindag Aceh, terdapat disparitas harga yang tinggi antara kabupaten produsen dan kabupaten/kota pengguna. Peningkatan konektivitas institusi antara dinas atau pasar daerah produsen dan daerah pengguna yang diperkuat dengan konektivitas fisik melalui konektivitas transportasi dan teknologi informasi tentunya menyebabkan stabilitas harga komoditas pokok dan strategis, menjaga tingkat inflasi dan menurunkan angka kemiskinan.           

Konektivitas dan Koridor Ekonomi
Dalam perspektif pengembangan ekonomi, pembangunan konektivitas  dimaksudkan untuk memaksimalkan penciptaan nilai tambah seluruh sektor ekonomi melalui efesiensi rantai nilai, rantai pasok, dan logistik sebagai bagian dari jaringan produksi global sebagai respons perbaikan karakter konektivitas yang dijelaskan sebelumnya. Aceh mempunyai karakteristik geografi yang unik, berbentuk segitiga yang dibelah oleh pengunungan bukit barisan. Masing-masing kabupaten/kota mempunyai potensi ekonomi yang khas. Selain itu, terdapat juga daerah tertinggal dan relatif maju. Kondisi keberagaman ini menyebabkan tidak tepat apabila fokus pengembangan konektivitas Aceh dilakukan secara seragam. Akan lebih efisien dan efektif apabila pembangunan konektivitas Aceh juga dilakukan berdasarkan koridor ekonomi yang didasari pada potensi masing-masing koridor ekonomi.

Koridor ekonomi didefinisikan sebagai sebuah bentang geografi yang mempunyai jejaring kegiatan ekonomi yang saling terkait berdasarkan potensi koridor dan dihubungkan dengan infrastruktur yang terintegrasi, mulai dari lahan produksi hingga infrastruktur kepelabuhan. Pembangunan konektivitas dalam setiap koridor ditujukan untuk menfasilitasi terjadinya aglomerasi atau klusterisasi kegiatan penciptaan nilai tambah komoditas dan jasa unggulan koridor tersebut sekaligus mempercepat pembangunan daerah tertinggal dalam koridor (backward linkage) dan mendorong daya ekspor (forward linkage).  Selanjutnya, konektivitas antar koridor ekonomi juga perlu dijamin karena makin membuat skala ekonomi dan efesiensi rantai pasok lebih baik.

Terdapat beberapa tantangan yang perlu diperhatikan untuk membangun konektivitas Aceh. Pertama, diperlukan sinergi antar Pemerintah, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait kebijakan penganggaran dan regulasi lainnya. Kedua, Pemerintah Aceh perlu lebih memprioritaskan kewenangan provinsi terutama isu konektivitas antar kabupaten/koridor. Selain itu, konektivitas teknologi informasi terkait sistem informasi harga komoditas pokok dan strategis dan sistem informasi konsolidasi komoditas ekspor (e-consolidator) merupakan diantara sistem konektivitas yang perlu dirancang untuk mendorong stabilitas harga dan ekspor.    

Dengan terkoneksinya seluruh daerah, pelaku ekonomi dan masyarakat di Aceh, maka akan terjadi transfer teknologi, ide dan inovasi sehigga akan tercipta daya tarik dan daya saing ekonomi yang pada gilirannya meningkatkkan dan memeratakan kesejahteraan. Sesungguhnya membangun konektivitas Aceh merupakan manifestasi dari anjuran Rasulullah SAW lima belas abad yang lalu, untuk menyambung konektivitas kasih sayang (silaturahim) dengan salah satu manfaatnya adalah memperbanyak rizki (meningkatkan kesejahteraan)  para pelakunya. Wallahu’alam bisshawab.


Dipublikasikan di Rubrik Opini Harian Serambi Indonesia, Rabu, 27 Agustus 2014.

Senin, 21 Juli 2014

Nexus Ramadhan dan Kemakmuran

http://www.muftizubair.co.za/
Jika kita memerhatikan ayat 183 dalam surat Al Baqarah yang bermakna, “ Wahai orang yang beriman, diwajibkan atas kamu untuk berpuasa sebagaimana diwajibkan (puasa tersebut) kepada kaum-kaum sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa”, maka kita melihat sebuah transformasi yang diinginkan oleh Allah dengan disyariatkan puasa ini. Transformasi tersebut berwujud peningkatan kualitas manusia dari karakter iman menjadi karakter taqwa.

Pembentukan atau peningkatan karakter tidak terjadi dengan sendirinya. Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang disampaikan oleh Ibnu Mas’ud ra, “ Bahwa kejujuran membawa kepada kebaikan dan syurga Allah dan jika seseorang selalu membiasakan diri dengan berlaku jujur, maka Allah akan menyematkan jujur tersebut sebagai karakternya” (Muttafaqun alaih). Senada dengan hal tersebut, Aristotle pernah mengatakan, “ We are what we repeatedly do. Excellence, then, is not an act, but a habit”.  Kira-kira statement diatas berarti bahwa kita adalah apa yang sering kali kita lakukan. Karena itu, karakter keunggulan bukanlah sebuah tindakan tetapi merupakan kebiasaan.

Pembentukan kebiasan inilah sejatinya yang diresepkan Allah melalui Ibadah Ramadhan. Allah menghilangkan halangan dan memberikan berbagai insentif agar manusia mukmin dapat secara mudah dan kontinyu selama sebulan penuh membentuk kebiasan baru yang bernama taqwa. Dalam Bulan Ramadhan, syaithan dibelenggu sehingga intensitas gangguan terhadap usaha pembentukan karakter ini berkurang. Sebuah hadits Qudsi menyatakan bahwa ibadah puasa adalah satu-satunya ibadah dimana pahalanya (reward) langsung diberikan oleh Allah SWT sehingga puasa akan melatih kejujuran dan lepas dari topeng kemunafikan karena Allah Maha Tahu tentang apa yang ada dalam hati orang yang berpuasa. Selama sebulan penuh, hati kita dibiasakan untuk dapat melakukan fitrah kebaikan tanpa pamrih kecuali keridhaan Allah. Kondisi ini akan memperkuat konsistensi pelaksanaan kebaikan tersebut di masa mendatang dalam kondisi apapun.

Paket kebaikan yang dibiasakan dalam bulan ramadhan ini sangat banyak. Hadits Nabi menganjurkan amal shalih dan akhlah yang baik (karimah) agar dilaksanakan dalam bulan ini dengan janji pahala yang berlipat ganda. Orang berpuasa diingatkan untuk tidak berbohong, dengki, mencela dan mengadu domba karena hanya akan menghilangkan pahala puasa. Orang puasa juga didorong untuk berempati lebih terhadap sesama dengan menunaikan zakat dan memperbanyak shadaqah dan infaq. Bahkan terhadap provokasi pun, para shaaimin ini dianjurkan untuk tidak terpancing dan merespons secara bijak, Inni Shaaim. Sungguh Ibadah Ramadhan merupakan sebuah pembiasaan terhadap perilaku hidup yang baik dan jika diteruskan secara konsisten akan membentuk karakter baru yang dinamakan dengan karakter taqwa.

Poros Ramadhan dan Kemakmuran
Allah SWT berfirman pada Surat Al A’raf ayat 96, “ Seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertaqwa, maka akan kami bukakan kepada mereka keberkahan yang berasal dari langit dan bumi.”. Jelas, iman dan taqwa merupakan fondasi dari sebuah masyarakat yang dikaruniakan keberkahan atau produktifitas dan pada gilirannya akan membawa kepada kemakmuran. Apabila Ibadah Ramadhan kita secara kolektif kemasyarakatan dilaksanakan secara sungguh-sunguh (imaanan wa ihtishaban), maka masyarakat kita mempunyai fondasi kokoh untuk menjadi makmur.

Para ahli pembangunan mempelajari mengapa ada negara makmur dan negara terbelakang. Kesimpulan yang didapat dari berbagai riset adalah sebuah negara akan makmur jika memiliki sebuah institusi penyelenggaraan negara yang adil dan menjamin kebaikan selau menang atas kejahatan. Intelektual Muslim Rahman dan Askari dari The George Washington University, Amerika Serikat melakukan penyusunan indeks penerapan prinsip Islam dalam pengelolaan negara (Islamicity Index) dan menemukan relasi positif antara penerapan prinsip Islam (iman dan taqwa) dengan negara yang makmur. Bahkan menurut mereka, banyak negara yang mayoritas berpenduduk muslim dan/atau menisbatkan diri sebagai negara Islam tidak konsisten menerapkan prinsip kenegaraan Islam.

Berbagai ayat dalam Al Quran menukilkan karakter ketaqwaan. Al Maidah ayat 8 mengatakan keadilan adalah kerabat ketaqwaan. Surat Al Imran ayat 134-135 menjelaskan ciri-ciri masyarakat bertaqwa yaitu yang selalu melakukan redistribusi kekayaan, mampu mengelola emosi dan cenderung kepada perdamaian serta tidak pernah mengulangi kesalahan (learning society). Bukankah ciri taqwa diatas merupakan ciri masyarakat adil, maju, damai dan berdaya saing?.


Merujuk dari betapa strategisnya nexus atau poros Ramadhan dan keberhasilan tugas kekhalifan untuk memakmurkan bumi, sudah seharusnya setiap dari kita bahkan pemerintah dapat memanfaatkan kesempatan Ramadhan ini untuk melakukan akumulasi kapital atau determinan kemakmuran melalui berbagai instrumen kebijakan. Karena keimanan dan ketaqwaan yang diperoleh dari Ibadah Ramadhan tidak hanya mempunyai konsekuensi positif di akhirat, namun segera akan berwujud keberhasilan pembangunan yang dapat kita nikmati di dunia ini. Wallahu’alam bisshawab.

Di Publikasikan di Rubrik Ramadhan Mubarak Serambi Indonesia, Senin 21/7/2014

Selasa, 10 Juni 2014

Pandangan Ekonomi Hasan Tiro



Tulisan ini mencoba untuk mensyarah secara sederhana tentang pemikiran Wali Nanggroe Hasan Muhammad di Tiro terkait pembangunan yang tercatat dalam buku karangan beliau “Atjeh bak Mata Donya”, terutama pada bab terakhir (VII) yang bertajuk, ”Kemeurdehkaan den Keumakmuran”. Tampaknya tulisan ini menjadi relevan karena tidak lama setelah tinta perdamaian dibubuhkan, Aceh dipimpin oleh murid-murid ideologi sang wali. Sekaligus, tulisan ini diharapkan memperkaya khazanah kebijakan pembangunan Aceh dalam usaha membawa Aceh kembali pada kejayaannya.   


Hasan Tiro menyiratkan alasan dari memudarnya kejayaan Aceh berasal dari kombinasi dua keadaan. Pertama, adanya sebuah kekuatan eksternal yang secara sistemik menggerogoti sumberdaya Aceh. Kedua, merebaknya sebuah mentalitas dan pola pikir inferior di kalangan masyarakat.

Institusi Ekstraktif dan Mentalitas Budak

Sejarah mencatat bahwa puncak kejayaan Aceh berada pada masa Sultan Iskandar Muda dan kemudian perlahan kejayaan Aceh memudar. Secara bersamaan, kolonialisme Eropa mulai menyentuh kawasan sekitar Aceh, mengganggu tata niaga komoditas perdagangan dan mencaplok kedaulatan negara dengan kekuatan militer. Sejarawan pembangunan menganggap bahwa kolonialisme mempunyai peran sangat signifikan dalam membalikkan kejayaan menjadi kehinaan bagi negara jajahan, terutama di kawasan tropis. Acegmolu dan Robinson (2012) dalam bukunya “Why Nations Fail” menyebutkan tata niaga monopolistik yang dibangun oleh Belanda melalui kekuatan militer menghilangkan kesempatan bagi Aceh yang disebut sebagai city state (negara kota- hal.271) untuk bertransformasi negara yang inklusif melalui perdagangan. Kedua ekonom MIT dan Harvard tersebut menyebutkan apa yang dibangun oleh kolonialis eropa ini sebagai institusi ekstraktif.

Sebagai reaksi dari penjajahan, Aceh secara heroik melakukan perlawanan secara maraton dan tanpa kenal menyerah. Perlawanan panjang ini berimplikasi seluruh potensi dialokasikan untuk berperang. Kita ketahui, para ulama dan cendekiawan terpaksa mengalihkan waktu untuk mendidik dan menemukan pengetahuan baru kepada kegiatan fisik yang bersifat survival. Pelaku ekonomi juga menghentikan aktivitasnya baik karena patriotisme dan juga tidak adanya insentif akibat sistem monopolistik yang diberlakukan. Institusi ekstraktif menyebabkan Aceh tidak memberikan perhatian pada pengelolaan negara, perkembangan pengetahuan dan inovasi. Keruntuhan dimulai.

Hasan Tiro menyebutkan kerugian terbesar akibat peperangan tersebut adalah Aceh kehilangan kemerdekaan. Tiro memasukkan Orde Lama dan Orde Baru sebagai bagian lanjutan dari institusi ekstraktif yang menghisap sumberdaya Aceh. Sistem negara otoriter yang dibangun oleh kedua rezim tersebut menghambat dinamika politik pembangunan Aceh, mendapatkan bagian yang adil dari pengelolaan sumber daya alam  bahkan mencederai pengorbanan Aceh secara represif sehingga pasca kemerdekaan-pun Indonesia Aceh masih bergolak. Tiro menarik kesimpulan bahwa terzaliminya Aceh pasca berakhirnya perang penjajahan dikarenakan oleh sebuah mentalitas budak (lamiet) yang didera rakyat Aceh. Perang telah menyebabkan syahidnya pemimpin-pemimpin Aceh dan memutus rantai referensi (meneumat) akan sebuah identitas Aceh. Karenanya, tidak heran pada setiap buku, ceramah dan pertemuan singkat, beliau selalu memasukkan proses mindsetting (pembentukan pola pikir) bahwa individu Aceh adalah individu yang mulia dan diakui dunia.

Alumnus Universitas Columbia, New York ini menyebutkan beberapa mentalitas budak melekat masyarakat Aceh seperti nafsi-nafsi (individualis) dan peuglah putjok droe (free rider-sikap mau untung tanpa mau bersama menanggung resiko). Mentalitas budak dipercaya sebagai penghambat kemajuan. Disparitas pembangunan antara daerah utara yang lebih maju dari daerah selatan di Amerika Serikat juga dipercaya merupakan kontribusi dari mentalitas budak (slave mentality) yang belum sepenuhnya hilang. Nwosu (2013) dalam artikelnya “Slave Mentality: The Bane of Development in Africa” menyimpulkan sifat ketergantungan, kurangnya motivasi dan mudah terpengaruh menghinggapi banyak elit politik di Afrika lahir dari sebuah mentalitas budak dan menyebabkan negara-negara di Afrika terbelakang. Nwosu menceritakan bahwa banyak pemimpin Afrika masih menganggap bahwa negara-negara maju akan membantu negara mereka sedangkan kekuatan fiskal sendiri digunakan untuk kepentingan politis dan elitis, bukan investasi produktif.

Di Aceh masih sering kita dengar bahwa uang pemerintah tidak efektif digunakan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat. Program pemberdayaan berasal dari APBA atau APBK akan disikapi tidak serius, berbeda dengan program dari lembaga swadaya masyakat lokal maupun asing. Persepsi keliru ini cenderung membuat uang pemerintah hanya digunakan untuk hal-hal administratif atau investasi politik dan meminta lembaga donor untuk mendanai kegiatan-kegiatan yang substantif dan langsung berhubungan dengan masyarakat. Apakah ini menandakan pemimpin dan masyarakat Aceh tidak percaya bahwa kekuatan diri (APBA dan APBK) cukup digunakan memakmurkan nanggroe ini? Apakah kita telah dihinggapi oleh mentalitas budak?   
             
Tironomics : Pembangunan Ekonomi Berkeadilan

Hasan Tiro mengingatkan bahwa kemakmuran akan timbul jika ada sebuah kemerdekaan. Kemerdekaan yang dimaksud dalam konteks Aceh sekarang adalah pemerintah yang bebas membuat kebijakan terbaik bagi rakyatnya. Kebijakan tidak diskriminatif yang memberikan insentif untuk berinovasi dan menjadi lebih baik guna peningkatan taraf hidup. Ciri pemerintah seperti diatas merupakan cerminan institusi pemerintah yang inklusif.

Selanjutnya, Tiro menekankan bahwa kemakmuran bukanlah sesuatu yang diwariskan, tetapi merupakan hasil kerja keras dan kemampuan serta kecerdasan dalam mengelola ekonomi suatu bangsa atau daerah. Tidak ada pihak lain yang dapat membangun Aceh kecuali rakyat Aceh sendiri. Jadi, Institusi inklusif dan paradigma kemandirian merupakan prasyarat utama agar Aceh makmur. Kedua hal diatas merupakan antidote dari keterpurukan Aceh sekaligus obat yang harus ditelan untuk maju.

Frasa “ureuëng meukat han meulaba, meunjo  ureuëng  nanggroë  hana  pèng  deungon  meubloë (pedagang tidak akan untung, jika masyarakat tidak punya uang untuk membeli (hal 65, Atjeh bak Mata Donya)” menunjukkan mazhab ekonomi yang diyakini oleh Hasan Tiro. Artinya, kemakmuran Aceh yang berkelanjutan adalah apabila melibatkan semua manusia yang hidup di bumi lhee sagoe. Inilah yang disebut pembangunan yang berkualitas dan berkeadilan. Untuk menjamin hal itu terjadi Aceh perlu sebuah kesepakatan yang dijunjung bersama. Tiro menyebutnya “Achenese National Interest”. Kesepakatan ini harus dijaga oleh sebuah sistem pemerintahan yang transparans dan akuntabel sehingga memungkinkan setiap deviasi dapat dikoreksi oleh segenap rakyat.

Data dan Indikator pembangunan Aceh saat ini menunjukkan masih adanya jurang lebar antara kepentingan bersama Aceh dan realita. Angka kemiskinan menurun, namun tidak diikuti oleh perbaikan kualitas seperti indeks kedalaman dan keparahan. Ekonomi tumbuh namun tidak cukup menyediakan lapangan kerja.

Perbaikan kondisi tersebut merupakan PR bagi pemimpin Aceh terutama pemimpin yang mempunyai hubungan ideologis dengan Wali Nanggroe  untuk menggunakan Tironomics sebagai platform kebijakan ekonomi . Bagi yang bukanpun, ini merupakan jalan yang perlu diambil untuk menyejahterakan rakyat. Wallahua’lam bisshawab.

Senin, 19 Mei 2014

Aceh (bukan) Miniatur Swedia

Serambi Indonesia (12/5/2014) merilis sebuah opini yang ditulis oleh Safaruddin yang bertajuk “Aceh Miniatur Swedia?”. Dalam tulisan tersebut Safaruddin menanyakan mengapa kinerja pembangunan Aceh tidak sebanding dengan kualitas hasil pembangunan Swedia padahal Aceh saat ini sedang dipimpin oleh mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang pernah bermukim di negeri Viking ini. Bahkan pada akhir tulisannya Safaruddin secara tidak elegan menduga hubungan antara diskrepansi kinerja Aceh-Swedia dengan aktivitas tokoh politik GAM selama tinggal di negara Baltik tersebut.

www.comparingandcontrastingtwothings.blogspot.com
Opini yang menyiratkan bahwa keberhasilan sebuah daerah atau negara ditentukan oleh tempat tinggal pemimpinya adalah kesimpulan yang naif. Ini tak ada bedanya dengan mengatakan bahwa Aceh akan maju jika dipimpin oleh pemimpin dari kabupaten tertentu di Aceh. Membandingkan Aceh dan Swedia adalah sesuatu yang tidak valid secara ilmiah. Yang pertama dan paling utama adalah Swedia adalah negara sedangkan Aceh bukan negara. Banyak instrumen negara yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan negara atau demokrasi yang efektif berada diluar jangkauan Pemerintah Aceh. It is not apple to apple, begitu ungkapan pakar ketika ingin membandingkan dua hal untuk mencari sebab perbedaan.

Mari kita lihat perbandingan kinerja pembangunan antara Indonesia – sebagai proxy Aceh - dan Swedia. Ada dua titik waktu yang perlu dilihat yaitu ketika Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar (Irna) pada tahun 2007 dilantik menjadi duo tunggal dan tahun 2012 ketika Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf (Zikir) resmi menjadi commander in chief. United Nation for Development Programme (UNDP) melalui https://data.undp.org/ mencatat Indeks Pembangunan Manusia Swedia dan Indonesia masing-masing adalah 0,909 dan 0,595 pada tahun 2007; dan 0,916 dan 0,629 di tahun 2012. Jika ingin dilihat Indeks Pembangunan Aceh secara relatif terhadap Swedia perbedaannya akan semakin besar mengingat pencapaian IPM Aceh pada kedua tahun tersebut dibawah angka nasional.

Selanjutnya, Bank Dunia melalui website http://data.worldbank.org/ menyajikan pendapatan per kapita berdasarkan paritas daya beli harga konstan tahun 2011 antara Indonesia dan Swedia masing-masing sebagai berikut US$ 7.102 dan US$ 41.667 pada tahun 2007 dan US$ 8,856 dan US$ 41,849 di tahun 2012. Sebagai salah satu provinsi yang mempunyai presentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, perbedaannya akan semakin mencolok. Belum lagi apabila dilihat indeks demokrasi dimana Swedia pada tahun 2007 berada pada ranking pertama sedangkan Indonesia berada pada ranking 65 (www.economist.com).

Membandingkan Aceh dan Swedia dalam hal kinerja pembangunan adalah hal tidak sepatutnya dilakukan. Apalagi jika dijadikan kriteria untuk menentukan keberhasilan pemimpin Aceh yang baru memimpin 2 tahun. Perbandingan atau pengambilan keputusan tersebut dapat dikatakan cacat atau bias seleksi (selection bias). Jika ingin menentukan keberhasilan Aceh dalam pembangunan secara relatif maka bandingkan dengan daerah/provinsi yang juga selesai konflik dan didera bencana pada sekitar tahun 2005 dengan kapasitas fiskal yang seimbang dengan Aceh. Ini lebih fair.            

Bukan Miniatur tapi Belajar dari Swedia

Swedia sudah lama menjadi model negara yang seharusnya dicontoh. Tak kurang dari ekonom sekelas Joseph E Stiglitz, Paul Krugman dan Jeffrey D Sachs merujuk model pengelolaan negara a la Swedia sebagai inspirasi kebijakan negara-negara yang terkena imbas dari krisis keuangan global tahun 2008, tak terkecuali Amerika Serikat. Model Swedia memprioritaskan pada investasi pada manusia dalam bentuk investasi pendidikan, riset dan pengembangan serta perlindungan sosial. Investasi pada manusia menghasilkan produktifitas dan daya saing Swedia yang membuatnya unggul.

Di tengah perang relokasi industri padat karya dari negara maju ke negara berkembang karena alasan upah buruh rendah. Swedia tetap mempunyai tingkat pengangguran yang rendah serta ekonomi tangguh. Ini disebabkan kualitas produk negara ini belum mampu ditandingi oleh negara lain sebagai akibat dari tingginya kualitas pekerja atau sumber daya manusia negara tersebut.

Besley dan Personn (2011) dalam bukunya Pillars of ProsperityThe Political Economics of Development Clusters menyusun indeks pilar kemakmuran dan  menempatkan Swedia pada peringkat pertama. Hasil studi empiris mereka menyatakan bahwa tipologi institusi merupakan faktor mengapa negara-negara maju bertengger di papan atas indeks tersebut. Tipologi institusi berhubungan dengan pengalaman konflik. Institusi daerah bekas konflik akan cenderung lemah dan rentan terhadap perilaku pencarian rente (rent seeking). Bagai lingkaran setan institusi akan terus melemah oleh perilaku pencari rente ini. Siglitz (2012) dalam bukunya The Price of Inequality juga memaparkan bagaimana rente memperburuk ketimpangan dan efeknya kepada krisis keuangan di Amerika Serikat.

Belajar dari Swedia, penguatan institusi merupakan agenda utama pembangunan Aceh. Mencegah pencarian rente menjadi hal sistemik dalam kebijakan mutlak harus dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang utama.  Terus, kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat Aceh perlu terus diciptakan melalui prinsip meritokrasi, tidak lagi balas budi atau kontribusi dalam perang. Reintegrasi seharusnya sudah selesai pada tahun 2012 sebagaimana diamanatkan oleh RPJP Aceh. Jika masih ada yang belum tuntas, beri solusi secara lebih memberdayakan tidak dengan membuat ketergantungan.

Hubungan Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Civil Society Organisation (CSO) juga merupakan sesuatu yang perlu dipelajari dari Swedia. Hubungan keduanya disana adalah komplementer dan diperkuat dengan adanya common interest (kepentingan bersama). Lazim kita lihat CSO Swedia membantu melaksanakan program pemerintah melalui pendanaan pemerintah. Hubungan harmonis tersebut tampaknya belum terjadi di Aceh. Kecurigaan masih marak akibat perilaku kedua belah pihak. Minimnya transparansi pemerintah membuat CSO galau. Blow-up media oleh CSO yang sering tanpa konfirmasi dan data akurat memperparah hubungan menjadi tidak sehat dan renggang.

Pengelolaan lingkungan juga merupakan hal yang dapat dipelajari. Model Pengelolaan Hutan Swedia atau Swedish Forestry Model adalah salah satunya. Swedia berhasil mengawinkan prinsip ekonomi dengan penambahan stok karbon dengan menunjukkan kepada petani kayu akan insentif ekonomi dalam melakukan penanaman kembali (replanting) melalui inovasi desain institusi dan industri. Saat ini, negara terluas di kawasan Nordic ini mempunyai tegakan pohon lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Tidak perlu malu dan saling menyalahkan jika saat ini kinerja pembangunan Aceh masih berada peringkat bawah. Yang harus dilakukan adalah belajar secara cepat dari kegagalan dan kesuksesan diri dan daerah lain termasuk dari Swedia. Tentunya bukan dengan menjadi replika atau miniatur yang sama persis karena ada aspek masyarakat Swedia yang tidak kompatibel dengan sosial budaya masyarakat Aceh. Semoga Pemerintah Aceh dapat menjadi learning institution yang terus memperbaiki diri dalam rangka fastabiqul khairat meraih cita-cita rakyatnya.

Published in Serambi Indonesia (19/5/2014)

Rabu, 23 April 2014

Karena Hijau itu Madani

Mungkin sudah takdir peringatan hari bumi jatuh bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Banda Aceh yaitu tanggal 22 April. Bahkan tahun ini terasa lebih istimewa karena tema peringatan ultah Kota Banda Aceh dan Hari Bumi sangat berkaitan. Hari Bumi 2014 mengambil isu Green City atau Kota Hijau sedangkan Peringatan HUT Banda Aceh ke 809 membopong tema Satukan Tekad. Luruskan Niat, Bersama Kita Wujudkan Model Kota Madani.

Pekarangan Istana Al-Hambra  (www.dreamstime.com)
Kota Madani merupakan sebuah inspirasi dari sebuah tempat yang dulunya bernama Yastrib kemudian diubah nama oleh seorang Junjungan Alam Muhammad SAW menjadi Madinah. Madani dan Madinah mempunyai akar kata yang sama dengan kata tamaddun yang berarti peradaban sehingga Madani berarti berperadaban (civilized). Model Kota Madani yang dituju oleh Banda Aceh adalah Model Kota Madinah yang diterangi oleh cahaya Islam. Cahaya Islam sering digambarkan berwarna hijau sehingga tidak salah apabila dikatakan bahwa Hijau itu Madani.

Pada laman resmi peringatan Hari Bumi, www.earthday.org, dikatakan bahwa Kota Hijau dapat diwujudkan melalui investasi cerdas, kebijakan publik yang berwawasan ke masa depan dan yang terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat kota yang cenderung berpendidikan tinggi. Tiga hal tersebut tidak ada satupun bertentangan dengan syariah bahkan tiga hal tersebut perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani.

Kita sudah sering kali mendengar hadits Nabi tentang perintah menanam pohon meskipun esok hari akan kiamat. Menanam pohon sebagai simbol kegiatan pro-lingkungan juga dihitung sebagai kebajikan yang berkelanjutan (shadaqah jariah) karena pohon yang ditanam dapat dimanfaatkan oleh manusia bahkan hewan. Nabi juga melarang membuang kotorang atau zat berbahaya pada habitat makhluk lainnya dan pada genangan air yang stagnan. Tak heran, jika salah satu tujuan dasar dari syariah Islam adalah menjaga keberlanjutan generasi/masa depan.

Beberapa isu pembangunan hijau yang dirasa penting bagi pengembangan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani adalah air minum dan sanitasi, persampahan, ruang terbuka hijau dan transportasi. Meskipun air minum dapat diakses oleh 98,5 persen oleh masyarakat kota namun kualitas air dan distribusinya masih belum sempurna. Banyak alasan dikemukakan penyebab dari belum optimalnya distribusi PDAM ini. Tingkat kebocoran air yang lebih dari separuh mempengaruhi kemampuan perusahaan pelat merah ini berinvestasi pada infrastruktur distribusi. Belum lagi kualitas air baku yang fluktuatif mengikuti siklus kemarau dan penghujan di DAS Krueng Aceh menunjukkan solusi perbaikan berada di luar wilayah administrasi calon Kota Madani.

Sanitasi lingkungan juga masih belum optimal. Prevalensi kasus  demam berdarah (DBD) menjadi salah satu ukuran. Genangan air stagnan menunjukkan drainase belum menjalankan fungsi sebagai tali air. Got di kawasan pemukiman berwarna hitam menjelaskan keberadaan massif zat organik hasil limpasan dari limbah cair rumah tangga. Meskipun Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota merupakan salah satu SKPK dengan porsi anggaran terbesar dan mampu membiaya truk sampah dan pasukan oranye untuk mengutip sampah, namun warga sangat sulit mencari tempat pembuangan sementara (TPS) di Kutaraja. Banyak TPS timbul tenggelam akibat protes masyarakat sekitar atas polusi bau dan lalat. Polusi ini disebabkan sampah yang dititipkan pada TPS masih bercampur antara limbah dapur dan limbah yang dapat didaur ulang. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah menyebabkan kondisi stalemate atau lose-lose situation bagi upaya penangangan sampah dan berakibat pada literisasi sampah yang meningkatkan ongkos pengutipan sampah (garbage collection).


Selanjutnya, kebutuhan warga banda terhadap ruang publik hijau makin hari makin besar. Misalnya, Jogging track yang panjang terasa pendek karena rapatnya warga kota ingin memanfaatkan ruang publik hijau ini. Karena itu, diperlukan penambahan ruang terbuka hijau yang lokasinya tersebar berdasarkan konsentrasi pemukiman. Pembangunan RTH ini bukan saja baik bagi kualitas hidup fisik warga seperti udara bersih namun juga sebagai media rekayasa sosial untuk memperkuat modal sosial komunitas pemukiman melalui persinggungan sosial pada ruang terbuka hijau tersebut.

Kedekatan ruang publik hijau dengan ruang tinggal akan memangkas pergerakan warga dalam rangka memenuhi salah satu kebutuhannya dan berimbas pada pengurangan volume kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kemacetan dan polusi. Kemacetan sudah mulai menampakkan wujudnya di Banda. Sebagai wilayah sub-provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Aceh, sudah lumrah bahwa penambahan kendaraan bermotor terus melaju. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang mengelola sisi penawaran (supply side)  maupun sisi permintaan (demand side), bukan tidak mungkin dalam jangka menengah atau panjang Banda Aceh akan seperti Jakarta. 

Untuk itu, Kota Banda Aceh membutuhkan cara-cara cerdas inovatif dan kebijakan integratif-antisipatif yang berwawasan masa depan untuk menciptakan ruang hidup bermartabat bagi warganya. Kebijakan tata ruang pemukiman yang terkonsentrasi akan menciptakan ruang efisiensi bagi pengembangan transportasi publik yang bertujuan untuk menfasilitasi mobilitas warga sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun konsentrasi pemukiman juga dapat menyebabkan permasalahan tersendiri jika tidak diantisipasi. Pengelolaan air limbah dan sampah rumah tangga yang tidak baik akan menyebabkan lingkungan jadi kumuh dan tidak sehat dan pada akhirnya warga akan memilih keluar dan pemukiman terpencar (sprawl) kembali menjamur yang menghasilkan kondisi sulit bagi pembangunan hijau.

Kebijakan pengelolaan sisi permintaan untuk lingkungan yang hijau sebagai ciri kota madani merupakan sebuah keharusan. Warga kota yang semakin baik taraf hidupnya membutuhkan kualitas layanan lebih tinggi. Sudah jamak kita rasakan kemacetan yang terjadi pada saat jam masuk dan pulang sekolah di kawasan sekitar sekolah favorit. Kenyataan ini sebenarnya menggambarkan akan kebutuhan warga terhadap kualitas pendidikan. Dengan mengurangi ketimpangan kualitas sekolah, Kota Banda Aceh telah mengelola permintaan warga yang berakibat pada berkurangnya kemacetan, komsumsi bahan bakar dan polusi yang dikeluarkan.

Kebijakan kota hijau lainnya dari sisi permintaan adalah pengelolaan partisipasi aktif masyarakat Kota Banda Aceh. Dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang relatif tinggi, masyarakat kota akan lebih mudah digerakkan untuk berbuat sesuatu untuk kenyamanan hidup termasuk memperbaiki kualitas lingkungan. Merujuk pada teori kebutuhan Maslow, makin sejahtera masyarakat maka kebutuhan aktualisasi diri akan semakin dominan. Makanya tidak heran jika di Banda Aceh banyak ditemui berbagai macam komunitas. Komunitas ini berciri pada kesukarelawaan (voluntarism) dan berkerja dengan passion dan ikhlas. Kota Banda Aceh perlu mendorong tumbuh kembangnya komunitas-komunitas  warga seperti Komunitas Safari Shubuh, One Day One Juz (ODOJ), Hijabers, Onthel,  dan komunitas madani (civil community) lainnya dan mengarahkan aktivitas komunitas tersebut dalam koridor mewujudkan Banda Aceh sebagai Kota Hijau dan Madani. Karena Hijau itu Madani. Insya Allah. 

Jumat, 18 April 2014

Mengasah Daya Saing Aceh

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2015 mengambil tema peningkatan produktifitas dan daya saing untuk penguatan perekonomian yang berkeadilan.  Tema tersebut dirasakan sangat tepat mengingat tantangan di depan mata yang akan dihadapi oleh Aceh. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015 memberikan peluang sekaligus ancaman bagi ekonomi Aceh. Salah satu pilar dari dari MEA adalah pasar dan basis produksi tunggal. Ini berarti pergerakan barang, jasa, modal, tenaga kerja terampil menjadi bebas keluar masuk diantara negara-negara Asean, termasuk Aceh.
 
Daya Saing (www.corner.eu)
Tentunya Aceh akan lebih baik jika mampu menjadi basis produksi, tidak sekedar menjadi pasar dari produk-produk ASEAN. Seluruh negara dan provinsi yang berada dalam komunitas ASEAN juga berfikir sama seperti Aceh dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi daerah basis produksi. Tentunya, sebagai entitas yang memaksimalkan keuntungan (profit maximizing entity), perusahaan dan/atau konsumen tentu  memilih daerah yang menawarkan iklim usaha yang paling kondusif dan kemampuan menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Ini memberikan implikasi jika Aceh tidak dapat bersaing dengan menyediakan iklim investasi yang baik dan menghasilkan produk yang berstandar ASEAN maka Aceh akan ditinggalkan dan hanya menjadi pasar dari produk-produk luar.

Pengertian Daya Saing
World Economic Forum (2012) mendefinisikan daya saing sebuah negara atau daerah sebagai kombinasi dari kualitas institusi politik dan ekonomi, kebijakan dan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas. Tingkat produktifitas selanjutnya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat dan tingkat pengembalian investasi. Semakin tinggi daya saing sebuah daerah, maka semakin besar kemungkinan daerah tersebut makmur dan menjadi daerah tujuan investasi.

Michael E Porter – seorang pakar strategi dan daya saing dari Harvard Business School- lebih lanjut menjelaskan bahwa daya saing sebuah daerah tergantung pada produktifitas jangka panjang yang diperoleh dari bagaimana cara daerah tersebut menggunakan modal sumberdaya manusia, sumber daya alam dan teknologi.

Pada tahun 1990, Porter menulis sebuah artikel berjudul “The Competitive Advantage of Nations”. Artikel tersebut merupakan kesimpulan dari riset 4 tahun tentang daya saing 10 negara perdagangan utama (trading nations) seperti Denmark, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Porter menyatakan bahwa daya saing hanya dapat dilakukan oleh pelaku industri atau perusahaan bukan oleh pemerintah. Tugas pemerintah hanya lah menyediakan iklim atau lingkungan yang kondusif serta insentif bagi terciptanyan daya saing. Porter menemukan  empat penentu daya saing sebuah daerah atau lebih dikenal dengan Berlian Porter (Porter’s Diamond). Keempat penentu daya saing tersebut adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan lokal, kelengkapan struktur industri domestik dan kompetisi yang sehat antar perusahaan lokal.

Faktor produksi meliputi ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, infrastruktur dasar dan teknologi yang memadai serta regulasi yang berkepastian dan transparans. Permintaan lokal yang dimaksud adalah adanya permintaan konsumen akan produk industri yang berkualitas. Daya saing juga membutuhkan ketersediaan perusahaan dalam rumpun atau pohon industri yang saling terkait secara logistik pada gilirannya akan meningkatkan efesiensi dari rantai produksi industri tersebut. Iklim kompetisi yang sehat akan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk terus berinovasi untuk melaksanakan efisiensi dan menghasilkan produk yang berkualitas.

Empat sisi berlian daya saing ini menurut Porter adalah saling menguatkan. Kelemahan pada salah satu sisi akan melemahkan daya saing secara keseluruhan. Permintaan lokal, kelengkapan perusahaan dalam struktur industri dan iklim kompetisi yang sehat akan memberikan tekanan bagi perusahaan untuk terus melakukan perbaikan, sedangkan ketersediaan faktor produksi akan memberikan fondasi yang kuat terhadap terciptanya kreativitas dan daya saing. Perpaduan keempat sisi berlian daya saing cenderung terjadi di dalam konsentrasi geografis sehingga pendekatan cluster menjadi menjadi penting. Insight lain dari penelitian tersebut adalah proses peningkatan daya saing merupakan jalan panjang dan tidak dapat dilakukan secara cepat. Karena itu, prioritas dan pentahapan menjadi hal yang absolut. Prioritas diberikan kepada kekuatan yang dimiliki oleh daerah tersebut misalnya komoditas unggulan menjadi prioritas pengembangan industri.   
        
Meningkatkan Daya Saing Aceh
Bercermin dari empat faktor penentu daya saing a la Porter tersebut, kiranya sangat besar tantangan Aceh untuk menjadi daerah yang berdaya saing. Ini lumrah karena memang telah diingatkan akan perjalanan panjang dan bertahap. Karena itu perencanaan strategis untuk mengasah sisi berlian daya saing menjadi syarat. Pertama, Aceh harus memperbaiki keadaan faktor produksi. Alam yang subur dan kaya akan sumber daya alam harus diolah  secara lebih baik. Data BPS menunjukkan bahwa produktifitas beberapa komoditas unggulan Aceh seperti padi dan jagung  masih berada di bawa rata nasional. Padahal sebagian besar penduduk Aceh bekerja pada sub-sektor tanaman pangan dan palawija. Peningkatan faktor produksi atau produktifitas ini dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia dan infrastruktur dasar dan finansial, teknologi, informasi yang simetris tentang keadaan pasar serta tata niaga yang transparans dan berkeadilan

Kedua, Pemerintah Aceh perlu mendorong tumbuhnya usaha-usaha dalan struktur atau pohon industri yang berbasis rantai nilai dari komoditas unggulan Aceh seperti kopi, kakao, minyak atsiri dan produk perikanan. Kelengkapan struktur industri berbasis komoditas di Aceh akan meningkatkan efesiensi dan menfasilitasi terjadinya aliran informasi dan pengetahuan sehingga inovasi lebih mungkin terjadi. Kelengkapan struktur industri ini perlu diperkuat lagi dengan menjamin iklim kompetisi yang sehat. Favoritisme kebijakan untuk perusahaan tertentu akan melemahkan kemampuan inovasi dan daya saing pelaku usaha di Aceh dalam jangka panjang. Kemudian, program perlindungan konsumen melalui penciptaan konsumen cerdas dan standar regulasi yang ketat dapat mendorong pelaku usaha untuk memenuhi permintaan konsumen dan memenuhi standar melalui perbaikan proses, efisiensi dan inovasi.

Ketiga, Kecenderungan proses peningkatan daya saing industri terjadi pada situasi geografis yang terkonsentrasi memberikan implikasi bagi Pemerintah Aceh untuk mendorong terbentuknya cluster atau aglomerasi melalui penciptaan kawasan industri atau kawasan perhatian investasi. Kawasan ini akan menjadi melting pot yang memadukan semua ramuan (ingredient)  dan mengasah sisi berlian daya saing Aceh sehingga lebih mengkilap.

Terakhir, pentahapan peningkatan daya saing yang membutuhkan waktu lama memberikan resiko inkonsistensi kebijakan. Siklus waktu politik kebijakan seringkali lebih pendek daripada horizon waktu bagi terciptanya industri yang berdaya saing dapat membuat kebijakan berubah ditengah jalan. Karena itu, Aceh butuh konstelasi demokrasi yang kuat dan sehat untuk menjaga proses peningkatan daya saing berjalan konsisten demi kepentingan rakyat Aceh.

Melalui Musyawarah Perencanaan Pembanguan (Musrenbang), perpaduan perencanaan stategis yang bersifat teknokratik dan identifikasi kebutuhan masyarakat yang bersifat partisipatif diharapkan memberikan legitimasi  bagi peningkatan daya saing Aceh secara berkelanjutan. Insya Allah.

Published in Tabangun Aceh, Edisi Musrenbang RKPA 2015, 14 April 2014