Sabtu, 31 Desember 2011

Tahun Baru 2012

Tahun 2011 
Berlalu secara tidak terlalu istimewa. Hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya, banyak kesempatan yang tersia-siakan. Masih banyak distraksi  mengalihkan dari tujuan utama. Internet masih menyita waktu lebih banyak daripada membaca buku atau menulis. Membaca Al Quran belum sebanding dengan membaca hal-hal yang lain. Berleha-leha lebih mewarnai kehidupan ini dari pada melakukan sesuatu yang produktif. Sungguh kesia-sian masih mendominasi kehidupan ini. Padahal Al Mukminun ayat 3 mengatakan bahwa meninggalkan hal yang percuma adalah salah satu ciri mukmin sebenar. 

Juga seperti tahun-tahun sebelumnya, Allah SWT sangat pemurah dengan rahmat-Nya. Banyak nikmat yang diperoleh padahal usaha yang dilakukan tidak setingkat. Aib pribadi  disimpan padahal banyak kelemahan jiwa yang mengakibatkan cenderung pada maksiat terhadap-Nya. 

Tahun 2012.
Tak ada harapan lain selain lebih baik dari tahun 2011. Bukan jabatan dan juga bukan harta, melainkan waktu dan kesempatan yang diberikan lebih banyak dimanfaatkan untuk hal-hal yang positif. Ya Allah berikan petunjuk dan kekuatan agar dapat mengatasi kecenderungan malas dan lemah terhadap godaan serta enggan dalam meraih keridhaan-Mu. Karena di dalam hati yang paling dalam, terpatri keyakinan bahwa keridhaan-Mu adalah segalanya.     
Ya Allah...Help me to earn your mercy. I am too weak if left alone to reach your love. Strengthen me to withstand still in your direction amids the buzzes of syaithan and nafs.
     

Jumat, 30 Desember 2011

What !!!!. Hotel Bule di depan Mesjid Raya ???.. So What???

Beberapa hari yang lalu, seorang teman di facebook men-share satu liputan dari sebuah media massa tentang diloloskan AMDAL sebuah pembangunan kompleks hotel dan mall. Kompleks baru ini akan dibangun diatas lokasi bekas Genta Plaza persis di sebelah tenggara Mesjid Raya Baiturahman. Diberitakan bahwa pembangunan kompleks yang mempunyai hotel dengan nama kebarat-baratan , Best Western Hotel, ini akan menelan investasi tak kurang dari 200 milyar rupiah dan akan dikelola secara syariah bahkan akan dibangun jembatan  penyeberangan langsung menhubungkan kompleks tersebut dengan mesjid raya. 

Posting-an share tersebut menggoda saya mengikuti perkembangan dan mendapatkan berbagai reaksi baik negatif dan positif. Namun apabila ditotal maka reaksi penolakan terhadap pembangunan hotel tersebut lebih banyak (as long as I perceive). Alasan penolakan pembangunan kompleks ini berkisar dari lokasi yang berpotensi menutupi dominasi mesjid di kawasan hingga kepada kekhawatiran hotel ini menjadi ajang maksiat yang sangat dianggap tidak pantas dilakukan di depan Mesjid Rakyat Baiturrahman - Kebanggaan Rakyat Aceh. Lagi, hari ini (30 Desember 2011) ada ajakan di-wall facebook saya untuk menentang pembangunan hotel tersebut yang mungkin akan menjual minuman keras.  Posting-an terakhir ini membuat saya merasa tergelitik untuk memberi opini akan hal yang mulai menghangat ini. 

Sepenuhnya saya memahami kekhawatiran terhadap pembangunan kompleks hotel dan mall ini akan menjadi ajang maksiat baru di Nanggroe Aceh Darussalam, terlebih-lebih berada di depan mesjid yang menjadi jantung hati Aceh. Kekhawatiran ini menjadi kian beralasan jika melihat perkembangan hotel atau fasilitas yang berhubungan dengan kepariwisataan di Aceh yang sangat tidak islami meskipun slogan wisata islami terus dikumandangkan. Taman atau tempat wisata yang dibangun ternyata lebih banyak dihuni oleh pasangan khalwat. Hotel berbintang juga mempunyai diskotik yang didalamnya kegiatan non-islami secara terang dilakukan. Bahkan restoran elit terutama yang menjadi langganan para ekspatriat juga menyediakan minuman keras secara gamblang. Ini menjadi aneh karena ia menjadi makin marak di sebuah daerah yang pemerintahnya telah mendeklarasikan ke seluruh dunia bahwa ini provinsi syariah bung !!!. 

Saya melihat kekhawatiran diatas merupakan salah satu bentuk dari frustasi dan ketidakpercayaan kita terhadap efektifitas pelaksanaan Syariah Islam di Aceh. Pemerintah mandul untuk menegakkan dan mengamalkan slogan yang dibuatnya sendiri. Di sisi lain, masyarakat lebih suka jadi tukang kritik atau speak-speak saja jika ada indikasi pelanggaran syariah dan lebih senang menangkap pelaku maksiat daripada mencegah mereka sebelum perbuatan maksiat itu terjadi. Alhasil sebenarnya kita sendiri tidak percaya diri bahwa kita bisa

Tidak ada yang salah dengan pembangunan hotel dan mall. Bahkan pembangunan ini akan menbawa manfaat positif seperti investasi, lapangan pekerjaan dan infrastruktur ekonomi dan kepariwisataan yang representatif. Hotel dan mall adalah benda mati. Ia laksana pisau yang bisa digunakan untuk menyakiti orang (tujuan buruk) atau memotong ranting yang menghalangi jalan (tujuan baik). Manfaat tidaknya pisau tersebut sangat tergantung oleh manusia pemakainya. Hotel dan mall pun , menurut sepengatahuan saya, berdasarkan kaidah usul fiqh digolongkan pada hukum mubah (boleh dilaksanakan).

Pembangunan hotel dan mall di depan mesjid raya ini tentunya ditujukan lebih pada menarik jumlah pengunjung ke Aceh, khususnya Banda Aceh, lebih banyak. Turis kaya tidak akan ragu lagi akan kualitas akomodasi yang ditempati selama kunjungan wisatanya. Sebagai contoh, sebuah insider information mengatakan bahwa Abdullah Gul, Presiden Turki, urung ke Aceh April yang lalu untuk salah satunya disebabkan tidak ada hotel yang "representatif' di Banda Aceh. 

Sebagai daerah syariah, kita tentunya menginginkan kesan pendatang selama di Aceh adalah sebagaimana kesan positif seorang pengembara akan kedisiplinan dan kejujuran muslim di Madinah karena melihat para pedagang dan penduduk lainnya bergegas ke mesjid setelah azan berkumandang dengan meninggalkan dagangannya tanpa takut kecurian atau kehilangan. Atau dengan terperangahnya seorang tabib dari Mesir karena selama 6 bulan berada di Madinah tidak menemukan warga sakit parah akibat perilaku sehat dan bersih a la nabi yang dipraktekkan penduduk kota Madinah. Sejatinya, hal seperti inilah yang seharusnya kita terapkan dengan konsep wisata islami. Syiar bahwa Islam adalah rahmattan lil alamin. Muslim Aceh mempunyai perilaku mulia ditengah anugerah kelimpahan budaya dan keindahan alamnya.   

Sudahkah selevel itukah kualitas penduduk kita? Apakah kita telah melaksanakan cara hidup Islami yang diinspirasikan oleh Rasulullah. Apakah halal dan haram sudah ditegakkan secara tegas dan bijaksana? Pertanyaan ini lah yang sebenarnya yang harus kita jawab, bukan menyalahkan pembangunan sebuah benda mati yang bernama hotel atau mall. 

Menurut hemat saya, seharusnya yang perlu kita lakukan secara jamaah adalah bagaimana kita, ban sigoem  Aceh, percaya diri, mempunyai konsep diri Muslim sejati dan istiqamah menjaga syariah secara kaffah dalam arti sebenar-benarnya. Pemimpin, Gubernur atau walikota, dan penegak hukum perlu maju kedepan untuk memberikan teladan bahwa setiap pelanggaran syariah adalah musuh Aceh (berhubung pilkada makin dekat, so pilih pemimpin yang honestly care tentang masalah ini).  Kita pun sebagai rakyat juga harus melakukan pengawasan serta bertindak bijaksana terhadap pelanggaran syariah. Lebih dari itu, hal stategis yang mutlak dilakukan adalah pengkondisian rakyat Aceh melalui pendidikan dan teladan sehingga rakyak Aceh dapat berperilaku sebagaiman penduduk Madinah pada masa Rasulullah.  Apabila semua ini bisa dipenuhi, jembatan penyeberangan yang dibangun antara Mall dan Mesjid niscaya akan menjadi jembatan syurga dimana influx jamaah Kompleks Mall dan Hotel ke Mesjid Raya Baiturrahman akan terus bertambah. Wallahua'lam bisshawab. 

     




  
  

Selasa, 20 Desember 2011

APBA 2012 untuk Percepatan Kesejahteraan



Proses penetapan APBA (Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh) Tahun 2012 sudah memasuki tahap akhir. Meskipun  ada indikasi kemoloran pembahasan Rancangan APBA antara legislatif dan eksekutif.  Semua pihak berharap bahwa RAPBA dapat disahkan dan ditetapkan menjadi APBA sebelum 1 Januari 2012.


Pembahasan akhir RAPBA 2012 oleh DPRA merupakan akhir dari 4 proses perencanaan pembangunan, yaitu proses politik. Ketiga proses lainnya – teknokratis, partisipatif, dan bottom-up dan top-down- seharusnya telah sempurna dilaksanakan melalui perencanaan kegiatan pembangunan yang berdasarkan data/evaluasi/penelitian (evidence-based planning), musrenbang dan sinkronisasi prioritas antar pusat dan daerah. Dus, proses politik APBA di DPRA seharusnya tidak berlangsung lama dan tidak merombak total rancangan yang diserahkan.  Lalu apa yang menjadi acuan DPRA untuk memeriksa dan menilai RAPBA 2012 layak untuk disahkan?


Sebuah pemahaman bersama yang harus dipunyai oleh semua pihak adalah pembangunan adalah proses yang kontinyu. Pembangunan itu ada karena perbedaan antara keadaan sekarang (realitas) dan keadaan yang kita impikan (idealitas). Jurang antara realitas dan idealitas masih lebar menganga. APBA sesungguhnya adalah desain tahapan membangun jembatan diatas jurang tersebut sehingga rakyat lebih mudah untuk pindah ke kondisi yang diharapkan. Seperti layaknya membangun jembatan, proses dari membangun pondasi, kepala jembatan, tiang jembatan, rangka jembatan, lantai jembatan hingga pengaman/pagar jembatan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan dalam konstrain waktu dan anggaran. Tahapan yang logis ini dan kontinuitas yang harus dipastikan dan dikawal oleh DPRA.


Realitasnya, kemiskinan dan pengangguran masih merupakan diantara permasalahan pembangunan yang harus dituntaskan. Memang setiap tahunnya, ada perbaikan dari pada permasalahan tersebut, misalnya pertumbuhan ekonomi Aceh yang tinggi (tahun 2011 diperkirakan diatas 6.00 persen), penurunan angka kemiskinan dan pengangguran dan sebagainya. Namun apabila dilihat secara relatif atau rerata nasional maka Aceh kalah akselerasi atau kurang berprestasi karena pencapaiannya masih dibawah rata-rata nasional.       

Percepatan Pertumbuhan Ekonomi
Aceh harus tumbuh lebih tinggi dan cepat secara ekonomi. Semakin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi semakin cepat rakyat Aceh kaya, semakin meningkat kualitas hidupnya serta juga kepedulian kepada sesama. Salah satu teori pertumbuhan ekonomi klasik, Solow growth model, menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi ditopang oleh tiga faktor, yaitu kapital, tenaga kerja dan teknologi. Ekonomi akan lebih cepat tumbuh apabila produktivitas dari kapital dan tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui penguasaan teknologi.


Dengan konteks Aceh saat ini ditambah kemampuan fiskal dan perkembangan teknologi dan informasi, ketiga faktor tersebut tidak menjadi hal yang mustahil untuk diperoleh. Aceh mempunyai ruang subur dan strategis dengan segenap sumberdaya, dan angkatan kerja dengan karakter demografi yang positif sebagai kapital dan sumber tenaga kerja. Namum walaupun demikian, akumulasi kapital dan efesiensi tenaga kerja harus terus ditingkatkan melalui penyediaan kapital baru seperti infrastruktur, mesin pengolahan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia/tenaga kerja melalui pendidikan dan pelatihan serta penguasaan teknologi. Sebagai contoh, kemampuan lahan untuk memproduksi produk pertanian dalam jumlah besar tidak serta merta akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuat petani lebih kaya apabila tidak ada infrastruktur dasar seperti jalan, jembatan, pelabuhan dan bahkan listrik untuk membawa dan menjaga kualitas produk hingga sampai ke pasar. Kakao akan bernilai lebih tinggi dalam bentuk produk semi jadi (bubuk atau pasta) dan akan berlipat lebih tinggi lagi ketika menjadi serangkaian produk coklat siap saji. Peningkatan produktifitas (nilai tambah) kakao dapat dilakukan dengan ketersediaan teknologi pengolahaan dan kompetensi chocolatier (peramu coklat).


Penambahan dan peningkatan produktifitas kapital  dan efisiensi tenaga kerja serta adopsi teknologi ini yang seharusnya menjadi agenda utama dalam penyusunan kebijakan fiskal (APBA) apabila ingin Aceh lebih cepat tumbuh. Karenanya kecerdasan dan kematangan dari pihak eksekutif dan legislatif dalam memilih program dan kegiatan pembangunan yang konsisten dengan agenda utama percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat menjadi sebuah kemutlakan.


Menurunkan Tingkat Depresiasi Pembangunan
Penulis sangat yakin prinsip percepatan pertumbuhan ekonomi diatas sudah sangat dipahami oleh para pengambil keputusan di Aceh baik di parlemen maupun di pemerintah. Namun prinsip atau pengetahuan tidaklah cukup untuk akselerasi pembangunan. Devils are always in the details. Permasalahan lebih pada pelaksanaannya di lapangan. Banyak program dan kegiatan pembangunan dianggarkan untuk meningkatkan produktifitas faktor produksi seperti membangun infrastruktur dasar, sekolah, balai latihan kerja, fasilitas kesehatan dan lain-lain. Namun terasa semua ini tidak cukup kuat untuk mendorong laju pertumbuhan Aceh. Kegagalan faktor produksi tersebut  disebabkan oleh tingkat depresiasi yang tinggi. Depresiasi disini dapat diartikan sebagai penurunan kemampuan kapital untuk melakukan fungsinya per tahun. Kembali ke model Solow, makin tinggi tingkat depresiasi kapital, maka makin sulit bahkan mustahil sebuah ekonomi untuk mencapai potensi maksimalnya.


Di Aceh sering ditemukan tingkat depresiasi pembangunan yang sangat tinggi. Bahkan ada yang 100 persen. Artinya begitu sebuah jembatan atau sekolah selesai dibangun, fasilitas tersebut tidak bisa dimanfaatkan baik karena salah desain, pengerjaan yang asal-asalan, lokasi yang tidak tepat maupun tidak memenuhi persyaratan pendukung (necessary condition) lainnya. Ribuan proyek terlantar dan terbengkalai menyiratkan tingkat depresiasi pembangunan yang tinggi. Depresiasi ini bukan hanya mengurangi kemampuan pembangunan untuk menumbuhkan Aceh lebih cepat namun juga menjadi kemubaziran yang menghilangkan kemampuan Aceh untuk mencapai posisi tertinggi. Namun demikian Pemerintah Aceh telah melakukan sesuatu fundamental untuk mengurangi depresiasi ini. Terbentuknya P2K-APBA dimaksudkan untuk pengawasan yang lebih ketat sehingga kemubaziran ini tidak terulang kembali.


Sebenarnya tingkat depresiasi ini bisa ditekan melalui koordinasi yang baik semenjak proses perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Karena itu kepemimpinan yang kuat juga perlu dimulai dari tahap perencanaan. Ngotot dan lelah dalam perencanaan akan lebih baik dari pada marah dan kecewa ketiga melihat hasil pembangunan yang amburadul. Depresiasi ini juga dapat diminimalkan dengan link and match antara kebutuhan masyarakat dan pasar dengan kebijakan pembangunan serta dengan pengaplikasian ilmu pengetahuan dan teknologi dalam proses pembangunan.   


Masih ada waktu tersisa. Pembahasan RAPBA 2012 di DPRA seharusnya mempunyai semangat quality assurance, bahwa prinsip percepatan pembangunan kesejahteraan harus ditaati. Tabayyun (klarifikasi dan diskusi) antara legislatif dan eksekutif  harus dilakukan dengan mengedepankan rasionalitas, keilmiahan dan keadilan. Kesemua ini mensyaratkan pembahasan yang terbuka, jujur dan inklusif. Selesaikan di tempat dan bersama. Jangan ber-“balas pantun”. Semoga pengesahan APBA 2012 tepat waktu dan menjadi sebab makin sempitnya jurang kesejahteraan bagi rakyat Aceh. Insya Allah.  

Punk dan HAM

Sabtu, 10 Desember 2011 yang lalu, terjadi kejar-kejaran antara komunitas anak punk dan aparat Pemko Banda Aceh di Taman Budaya. Aksi kejar-kejaran ini berujung dengan dibawanya 65 anak punk ke Sekolah Polisi Negara di Seulawah, Aceh Besar untuk pembinaan dua hari kemudian. Tidak berhenti disini, muda-mudi punk ini dicukur rambut ala kadet (plontos bagi pria dan bob bagi wanita) dan direndam dalam kolam. Menurut Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan, mereka akan dididik untuk menjadi disiplin dan bersih. Bahkan Polisi  melibatkan Ustadz dan Pendeta (bagi punker yang beragama nasrani) dalam proses pembinaan ini. 

Tindakan gunting rambut dan cebur kolam menjadi kulminasi kontroversi. Tidak hanya mendapat reaksi dari pejuang HAM di Aceh, namun gelombang protes datang dari seantero dunia bahkan melibatkan institusi resmi negara asing seperti kedubes Prancis dan Jerman. Tema yang diusung adalah satu, yaitu pelanggaran HAM. Really???

Komunitas anak punk mempunyai ciri khas baik dari penampilan maupun gaya hidup (katanya :)). Mereka gampang dikenali dengan rambut jingkrat ala suku Indian Mohawk, mengenakan pakaian berwarna dominan hitam dengan rantai di celana dan beranting. Gaya hidupnya cenderung bebas, di jalanan, bebas hukum dan katanya juga malas mandi (efeknya bau). Di Jakarta, mereka sering menjadi pengamen, terkadang menjadi pemalak untuk membiayai hidup mereka. Sepertinya mereka tidak punya pekerjaan tetap dan juga tidak sekolah. Beberapa keluhan dari orang tua si anak punk yang menyatakan perilaku anaknya berubah terutama menjadi bandel dan tak menurut perintah. 

Ya secara pribadi, apabila gambaran paragraph diatas bisa mewakili kelakuan anak punk, saya menyatakan bahwa komunitas punk menjadi sesuatu yang aneh dan abnormal. Sebut saja dari sisi moral, kesehatan, ekonomi, tidak ada perilaku yang menguntungkan. Coba seandainya kita disuruh pilih antara punya adik/anak anggota punk dan anggota pramuka, bisa dipastikan kita memilih punya adik/anak yang anggota pramuka. Setuju kan??. So memang komunitas punk yang seperti diatas memang seharusnya ditarik kembali ke jalan yang benar :). Mungkin kesimpulan ini pula yang membuat Pemko Banda Aceh dan Polda Aceh mengambil kebijakan untuk melakukan penyadaran kembali bagi 

Trus apa masalah dengan HAM?. Para pejuang HAM berargumen bahwa mereka bukan kriminal, tidak korupsi. Mereka hanya menjalani cara hidup atas pilihan mereka sendiri. Tapi mengapa mereka ditangkap dan dihukum malah di-plontosin  sampai dijeburin ke kolam lumpur.   Well... kebebasan memilih cara hidup adalah hak setiap orang. Namum kebebasan itu tentunya dibatasi oleh kemaslahatan masyarakat yang lebih luas. Ketika konflik antara kebebasan individu dan kepentingan masyarakat terjadi, tentunya yang terakhir seharusnya dimenangkan. Sejauh kebebasan itu masih berada dalam ruang privasi, penghormatan kepada kebebasan sebebas-bebasnya harus dilakukan. Biarlah itu urusan dia dan Allah.  Namun ketika mulai keluar ke ruang publik, kesepakatan/norma publik lah yang menjadi ukuran. Lebih jauh dari itu, saya pikir HAM tidak hanya terkungkung ngurusin kebebasan seseorang memilih gaya hidupnya. Secara esensi, gerakan HAM ini ditujukan untuk menjamin setiap manusia mendapatkan hak hidup yang bermartabat dan bertanggung-jawab.  

Nah disini menariknya.. saya yakin kalau cara hidup anak punk seperti didefinisikan diatas sama sekali tidak bermartabat, apalagi bertanggung-jawab. Tentunya sebagai Pembela HAM yang konsisten, kita gak boleh diam melihat muda-mudi punk itu terus berada dalam kehidupan yang menghinakan mereka. Walaupun mereka merasa, "there's no wrong to live my way". hmm.. manusia memang terkadang bisa jadi bebal dan tidak berpikir waras. It is indeed moral obligation bagi  yang mengaku diri waras lah untuk menyadarkan mereka kembali kepada kehidupan yang bermartabat dan ini tentunya tidak bertentangan dengan HAM, malah memperkuat HAM , iya toh???. 

Tentang kriminalitas, memang anak punk tidak serta merta menjadi kriminal. Punkers sebenarnya sama saja dengan kita semua punya potensi yang sama untuk melakukan hal-hal yang berlawanan hukum. Tapi permasalahannya bukan hanya pada potensi tapi juga probability. Ingat kan pesan bang Napi, "bukan hanya niat tapi juga kesempatan". Lagi-lagi saya curiga ni, bahwa berada dalam komunitas punk akan lebih probable  untuk melakukan hal-hal melanggar hukum. Alasannya sederhana, mereka muda, belum kerja, hidup bebas hukum dan nilai kemasyarakatan, keluar dari rumah. so how could they survive??.  Kita memang cenderung terbentuk oleh konteks atau lingkungan dimana kita berada. Lebih dalam lagi, Definisi kejahatan (crime) sebenarnya sangat relatif dan bermakna  perbuatan yang disebut dalam UU sebagai kejahatan dan pelakunya digolong sebagai penjahat (kriminal). Pecandu narkoba juga belum tentu korupsi, namun dianggap kriminal karena membahayakan diri dan berpotensi mempengaruhi anggota masyarakat lain untuk menjadi pemakai sehingga ditakutkan akan merusak tatanan masyarakat. To some extent, cara hidup yang homogen dan persistent dari punkers seperti digambarkan diatas juga dapat membahayakan tatanan kemasyarakatan seperti narkoba. Ini juga analog dengan perilaku anggota aliran sesat Ahmad Mushaddeq atau sempalan NII yang membolehkan anggota jamaahnya untuk mencuri, menipu dan memutus hubungan darah orang tua dan anak demi kepentingan kelompoknya. 

In summary, saya termasuk orang yang setuju bahwa punkers di Aceh harus dikembalikan kepada kehidupan yang sesuai norma masyarakat yang dianut. Hal ini baik untuk semuanya dan tidak melanggar HAM. Saya sangat setuju dengan Gubernur Aceh Irwandy Yusuf yang secara tegas mengatakan tidak ada urusan Dunia mendikte apa yang harus Aceh lakukan. We have values to preserve and the values are in accordance with universal values. Bagi Pembela HAM, please go deeper into the essence. Kita semua ingin hidup bahagia dan bermartabat dalam suasana saling menghormati dan penuh toleransi ever after. 

Kedepan kita perlu memperkuat resilience tatanan masyarakat yang kita inginkan. Resilience atau ketahanan mensyaratkan upaya mitigasi termasuk seperti rehabilitasi teman-teman kita membahayakan diri mereka dan masyarakat lebih luas tentunya. Summer Training (training pas libur sekolah/kuliah), pesantren kilat bahkan semi-military training perlu dijadikan wasilah/metode. Gak harus pemerintah yang lakukan semua. Beberapa lembaga seperti PII, HMI, KAMMI, LDK dan lainnya bisa dikerahkan. Lembaga-lembaga ini juga terbiasa dengan kerja yang membuka pintu keterlibatan masyarakat untuk berkontribusi. sebenarnya tidak sulit dan tidak mahal, hanya butuh tata kelola yang baik... 

Satu lagi, kedepan gak perlu lagi botakin rambut dan ceburin kolam... Selain tidak esensial, juga dapat mengurangi kontrovesi dan sambitan pihak luar yang mungkin sentimen.. :). 
             


  

Jumat, 09 Desember 2011

Tata Kelola Syariah Islam

Sebelas tahun telah berlalu sejak pemberlakuan syariat Islam ditetapkan oleh Qanun 5 Tahun 2000. Ibarat seorang anak, seharusnya si buah hati sudah mulai terbiasa dengan ibadah dan perilaku shalih karena ajaran dan didikan yang diperoleh sejak dari kelahirannya dan diberi hukuman apabila meninggalkan kewajiban agamanya. Masih teringat suka ceria ketika mendengar berita negeri syariah telah dilahirkan Optimism membuncah dan bangga akan kabar itu. Terbayang akan akhlak santun dan senyuman si anak yang berpakaian menutup aurat secara sopan dan elegan, selalu bergegas ke Masjid dan Meunasah saat azan berkumandang dan taushiyah dan toleransi dalam bermasyarakat.

Namun tampaknya jauh panggang dari api. Tumbuh kembang si nanggroe syariah yang bernama Aceh tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Di satu sisi, ia lebih cepat beradaptasi dan mengadopsi sisi negatif dari globalisasi dan agak lambat dalam merevitalisasi nilai-nilai keshalihan. Apa yang negatif di daerah lain juga terdapat di nanggroe ini. Sepertinya tidak ada yang berbeda dengan daerah lain kecuali prevalensi wanita memakai tutup kepala lebih tinggi. Di sisi tata kelola pemerintahan juga nanggroe ini masih perlu dibenahi. Misalnya hasil survey lembaga Transparansi International Indonesia (TII) pada tahun 2010 tingkat persepsi korupsi di Aceh juga masih tinggi. Tentunya hal ini harus menjadi kekhawatiran kita bersama. Lalu apa yang salah dalam membesarkan anak tercinta ini ?

Tata Kelola Syariah Islam.
Khalifah Utsman bin Affan RA pernah mengatakan ,”kebaikan yang tidak teroganisir akan dikalahkan oleh kejahatan yang terorganisir”. Pernyataan beliau mengisyaratkan bahwa niat baik saja tidak cukup namun mesti diiringi dengan organisasi yang mantap. Secara praktis fungsi organisasi akan berjalan baik apabila mengikuti tahapan yang telah dikenal secara mahsyur, yaitu POAC (Planning, Organizing, Actuating and Controlling).

Karakteristik dari Islam adalah syumul atau menyeluruh. Islam mengatur segala sendi kehidupan dalam bernegara, bermasyarakata, berkeluarga hingga hal yang pribadi. Komprehensivitas Islam seharusnya membutuhkan tata kelola yang komprehensif pula termasuk menjamin dan mendorong partisipasi aktif dari semua pemangku kepentingan. Hal ini dikarenakan tidak semua permasalahan dapat ditangani secara sendiri oleh pemerintah atau rakyat an sich.    

Pasca pemberlakuan UU 44/1999 tentang Keisteimewaan Aceh dan UU 18/2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemerintah Pusat dan Aceh telah melakukan reformasi institutional dengan membentuk beberapa dinas/institusi yang berkaitan dengan pemberlakuan syariat Islam. Diantaranya adalah Mahkamah Syariah, Majelis Permusyawaratan Ulama, Dinas Syariat Islam,  Baitul Mal, Majelis Adat Aceh, Majelis Pendidikan Daerah dan  Wilayatul Hisbah. Namun hanya menggantungkan efektifitas pelaksanaan syariat pada lembaga-lembaga diatas adalah hal yang absurd.

Komprehensivitas Islam menuntut bahwa kepemimpinan utama daripada pelaksanaan syariah ada pada kepala daerah dan pemimpin lainnya seperti di sisi legislatif dan yudikatif. Lembaga-lembaga organik misalnya Bappeda, Dinas Pendidikan, Dinas Pariwisata atau Kebudayaan harus menjadi Badan Perencanaan Pembangunan Islam, Dinas Pendidikan Islam, atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Islam. Tentunya hal ini tidak bermaksud mengganti nomenklatur dan merobohkan plang lembaga yang ada dan menambahkan kata Islam, namun lebih pada merevitalisasi corporate cultures (budaya organinasi) yang islami dalam seluruh lembaga pemerintahan sehingga produk kebijakan dari lembaga tersebut link and match dengan kondisi pelaksanaan syariat Islam di lapangan.

Indeks Pembangunan Syariah
Sebagai contoh masih belum memadainya tata kelola syariah Islam di Aceh adalah belum adanya indikator pembangunan syariah yang disepakati bersama. Kita sudah mahfum dengan beberapa indikator pembangunan populer seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indikator Tujuan Pembangunan Milenium dan lainnya. Indikator ini adalah suatu keharusan  untuk menjamin setiap tahap dari pelaksanaan Syariat Islam (POAC) dilakukan secara terukur dan akan mewujudkan visi syariah yaitu baldatun thaiyibatun warabbun ghaffur, sebuah wilayah dengan kualitas hidup yang baik dan diridhai Allah.


Misorganisasi dari pembangunan Islam sebenarnya fenomena global. Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari (2010) berkesimpulan bahwa ternyata negara-negara yang mendeklarasikan sebagai negara Islam (tergabung dalam OKI) tidak melaksanakan apa yang diharapkan Islam. Artikel mereka yang berjudul “How Islamic are Islamic Countries?” dan diterbitkan Global Economy Journal (artikel dapat diunduh melalui http://www.bepress.com/gej/vol10/iss2/2/)  mencoba mengembangkan indikator yang mengukur tingkat pelaksanaan prinsip-prinsip Islam dalam bernegara yang disebut dengan Islamicity Index. Indikator-indikator yang disarikan dari Al Quran dan Sunnah Nabi meliputi sub-indikator yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi, hokum dan tata kelola, hak asasi manusia dan politik, dan hubungan international. Yang membuat miris hati adalah ternyata negara yang memiliki peringkat paling atas adalah bukan negara Islam namun Selandia Baru. Negara Islam yang menempati peringkat paling atas adalah Malaysia (peringkat 38) sedangkan Indonesia berada pada peringkat 140.

Hikmah yang patut diambil dari kenyataan diatas adalah sudah saatnya Aceh  sebagai provinsi syariah mempunyai indikator pembangunan syariah. Sebagai perbandingan atau   benchmark bisa saja merujuk pada indikator yang ada dalam islamicity index sebagaimana dikembangkan oleh kedua penulis diatas. Tentunya tidak menutup kemungkinan untuk menambahkan indikator baru yang relevan dengan pelaksanaan syariah Islam di Aceh sehingga pembangunan syariah bisa terukur dan mempunyai kemajuan dari waktu ke waktu.

Kembali ke Strategi Nabawi
Kembali pada karakter Islam yang komprehensif. Hanya berharap pemerintah untuk bertanggung jawab penuh terhadap keberhasilan pelaksanaan Islam di Aceh adalah hal yang tidak bijaksana. Sejatinya setiap penduduk Aceh yang mempunyai kewajiban untuk mensukseskan tugas kekhalifaaan ini. Pemerintah dan segala stakeholder syariat Islam harus duduk bersama, mempunyai ekspektasi yang sama dan berkoordinasi secara baik untuk mengusung tugas mulia ini. Kesemua pembagiaan peran tersebut seharusnya menjadikan sunnah nabi dan sahabat sebagai inspirasi bagi strategi pembangunan syariah Islam di Aceh. Para aparatur di pemerintahan mencontoh Rasulullah sebagai negarawan dan administrator yang amanah dalam mengelola persoalan rakyat. Begitu juga dengan stakeholder lainnya. Ketika kebaikan perlu disampaikan dari door to door maka elemen syariah seperti Jamaah Tabligh dapat dikerahkan. Atau ketika harus ke daerah terpencil dan rawan pemurtadan makan elemen seperti Dewan Dakwah Islam dapat diandalkan. Belum lagi dengan peran ormas Islam lainnya, pesantren, tengku meunasah, pengajian ibu-ibu serta keinginan dari pribadi-pribadi untuk melakukan keshalihan sosial karena merasa sebagai tugasnya sebagai khalifah. Kelebihan dan keinginan yang baik tersebut harus bisa diikat dalam sebuah tata kelola yang saling menguatkan bukan saling melemahkan.  


Akhirnya, tata kelola Syariat Islam yang menyeluruh harus dimulai dari sekarang. Si anak sudah mendekati baligh. Jangan sampai karena keteledoran dan pendekatan kita yang konvensional membuat si anak tidak bisa membedakan mana yang hak dan bathil dan akhirnya memilih menanggalkan syariat Islam dari perilaku dan kehidupan kesehariaanya dan itu mungkin saja terjadi !!!. Nauzubillahi min dzalik.