Kemiskinan di Aceh memang sebuah ironi. Apalagi jika dibandingkan dengan penerimaan dana pembangunan Aceh sedemikian besarnya. Ekonom Unsyiah Dr. Zulkifli Husin menyatakan tingkat kemiskinan di daerah modal ini hampir tiga kali lipat dari rata-rata nasional padahal dana pembangunan pada tahun 2005 dan 2006 mencapai Rp. 28,4 trilyun (Serambi Indonesia, 26/12/2006).
Menyikapi besarnya tingkat kemiskinan di Aceh, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diwakili Kepala Bappeda, Dr. A.Rahman Lubis, menyatakan target penurunan prosentase orang miskin hingga 30 persen melalui RAPBD 2007 yang akan dibahas bulan febuari ini (Serambi Indonesia, 29/1/2007). Target kuantitatif ini sangat mulia sehingga perlu didukung oleh semua pihak. Namun target hanyalah akan menjadi tulisan indah di atas kertas jika tidak diikuti dengan tindakan pembangunan nyata dan efektif di lapangan. Dalam konteks inilah, penulis mencoba berbagi opini tentang strategi pengentasan kemiskinan di nanggroe yang kita cintai bersama.
Berbicara tentang kemiskinan di Aceh tidak bisa lepas dengan pemahaman kontekstual apa yang dialami oleh masyarakat. Rakyat Aceh mengalami sebuah pengalaman yang tidak berpihak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Masih basah di ingatan kita bagaimana lumpuhnya perekonomian pedesaan dan perkotaan saat konflik dan tsunami. Akumulasi dari kelumpuhan inilah yang berwujud pada tingkat kemiskinan 41,5 persen.
Saat ini, kegiatan pembangunan di Aceh masih berada dalam tema rehabilitasi dan rekonstruksi. Pomeroy et al (2006) menyarankan prioritas rehabilitasi seharusnya diberikan pada bagaimana masyarakat membangun penghidupannya secara berkelanjutan. Karena itu perlu sebuah kerangka untuk memahami berbagai strategi masyarakat dalam mencari nafkah. Kerangka ini juga bertujuan untuk mengenali sumber-sumber kerentanan yang dapat membawa konteks kemiskinan itu kembali seperti bencana alam, hama, wabah penyakit dan konflik.
Diantara banyak kerangka tersebut, ada sebuah konsep yang menarik. Konsep ini bernamasustainable livelihood. Ia merupakan hasil kajian Departement Pembangunan Luar Negeri Inggris (DFID) dalam usaha penanggulangan kemiskinan. Kata ”livelihood” bukanlah hal yang aneh di Aceh sekarang. Hampir semua pihak yang terlibat dalam proses rekonstruksi menggunakan istilah ini. Mungkin, livelihood bisa didefinisikan sebagai segala keahlian, aset dan kegiatan yang dimiliki masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Konsep ini melihat, dalam mencari penghidupan, masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan yang didiaminya (pengunungan, pesisir, pedesaan atau perkotaan). Lingkungan ini juga menentukan strategi mata pencaharian, apakah bertani, melaut atau berdagang. Setiap tempat tersebut mempunyai kerentanan tersendiri terhadap kemiskinan seperti musim paceklik atau banjir bagi petani, musim gelombang besar bagi nelayan atau fluktuasi harga bagi pedagang. Namun, masyarakat mempunyai beberapa aset yang bisa digunakan untuk mencari penghidupannya sekaligus menghindari menjadi miskin. Aset tersebut berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, sosial , fisik dan finansial.
Livelihood dikatakan berkelanjutan apabila ia dapat bertahan dalam keadaan sulit sekalipun. Dengan kata lain, kebutuhan hidup masih dapat dipenuhi masyarakat walaupun dalam kondisi paceklik. Misalnya, dalam musim gelombang besar, nelayan praktis tidak dapat melaut. Salah satu opsi strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan mengkonversikan salah satu aset yang dimiliki (aset fisik) menjadi aset yang lebih likuid (aset finansial). Seperti menggadaikan sepeda motor atau mengajukan kredit dengan sepetak tanah menjadi jaminan. Namun hal ini tidak bisa berjalan apabila tidak ada institusi pengadaian/keuangan ataupun tanah yang dijaminkan tidak punya kesahihan legal. Solusinya adalah dengan kebijakan pemerintah untuk menyediakan atau setidaknya mendorong berdirinya institusi keuangan dan kebijakan sertifikasi kepemilikan.
Pengambil keputusan tidak perlu mendikte apa yang harus dilakukan masyarakat. Setiap manusia mempunyai insting dan kecenderungan tersediri untuk mencari penghidupannya. Pemerintah hanya bermain dalam konteks pemberdayaan, melengkapi apa yang kurang, sehingga apa yang diharapkan oleh masyarakat dapat tercapai.
Untuk dapat mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, perlu pengamatan dan penelitian yang mendalam. Karenanya, pengambil keputusan sebaiknya ikut turun ke masyarakat untuk mengenali lebih dekat dinamika ekonomi keseharian masyarakat miskin dengan melibatkan mereka sebagai mitra sekaligus objek pembangunan. Dengan demikian, pemahaman akurat terhadap kemiskinan dalam masyarakat dapat membuahkan kebijakan pro-rakyak miskin yang terarah, sistemik dan efektif. Banyaknya NGO baik domestik maupun asing yang bermain dalam ranah livelihood ini dapat memberikan keuntungan. Tukar pikiran dan metode seharusnya lebih sering dilakukan guna menemukan strategi paling tepat.
Namun, strategi pengentasan kemiskinan pada suatu masyarakat bukan sebuah panacea atau ie rajah bagi semua permasalahan kemiskinan. Strategi ini akan berbeda sebagaimana berbedanya lingkungan, tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, pemberdayaan para agen pemberantas kemiskinan -kalau perlu hingga tingkat kecamatan dan desa- merupakan keniscayaan apabila pengurangan kemiskinan ingin dicapai. Pemberdayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi secara akurat fenomena kemiskinan dan permasalahan ikutannya yang berada di daerah administrasinya.
Akhirnya, rasanya kita perlu mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf A.S. Beliau menggunakan sebaik-baiknya masa subur guna memberdayakan masyarakatnya untuk melalui masa paceklik yang datang setelah kemakmuran. Anologi ini mungkin tidak terlalu jauh dengan kondisi Aceh saat ini, dimana dana pembangunan berlimpah ruah namun kedepan makin berkurang seiring dengan meredupnya kejayaan sumber daya alam nanggroe. Kepada panitia anggaran eksekutif maupun legislatif, selamat bekerja. Semoga APBD 2007 menjadi APBD pro-rakyat miskin dan cita-cita makmu beusare tercapai adanya. Wallahua’lam bishhawab.
Brest, 30 Janvier 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar