Hari-hari di bulan Juli 2006 merupakan hari bahagia bagi sejumlah masyarakat Aceh namanya dinyatakan lulus sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS) tahun 2006. Surat ketetapan atau lebih dikenal dengan sebutan « SK » penempatan mulai diserahkan. Penantian para birokrat baru ini tentang kejelasan tentang dimana mereka akan bertugas berakhir sudah.
Profesi PNS (pegawai negeri sipil) tampaknya masih sangat menarik bagi masyarakat Aceh ditengah ramainya bursa pekerjaan di ranah lembaga swadaya masyarakat skala lokal maupun internasional (NGO Asing) yang memberikan gaji besar. Ketertarikan masyarakat terlihat dari membludaknya peserta ujian penerimaan CPNS 2006 kemarin. Sebagian besar mengungkapkan bahwa menjadi PNS memberikan stabilitas yang lebih lama ketimbang menjadi pegawai swasta. Pensiun yang diberikan negara kepada PNS merupakan point signifikan dari alasan sebagian masyarakat memilih menjadi abdi negara, disamping kesejahteraan yang makin hari makin membaik.
Di sisi pemerintah daerah, kehadiran para muka baru ini seakan menjadi ‘darah segar’ bagi metabolisme pemerintahan selama ini yang agak tertatih akibat kehilangan banyak personil ketika tsunami 2004. Rasa optimis terasa lebih kentara karena proses perekrutan atau seleksi CPNS kali ini jauh dari pada aroma KKN. Alhasil, sumber daya pelayan masyarakat yang lolos saringan lebih baik dan menjadi modal perbaikan pelayanan birokrasi di bumi serambi mekkah ini.
Layaknya seorang kadet yang baru lulus pendidikan, idealisme pegawai negeri baru yang lulus murni ini sangat tinggi ketika diterjunkan ke medan pertempuran birokrat. Mungkin selama ini mereka sering mendengar hal-hal yang tidak baik tentang pegawai negeri. Inefisiensi, indispliner atau citra penghuni warung kopi pada saat jam kantor sering melekat pada sosok pegawai negeri. Lebih lagi, pembangunan Aceh terasa berjalan lamban padahal dana pembangunan yang mengalir ke Aceh sangat besar. Kedua kesan diatas dilihat mempunyai korelasi positif sehingga timbul idealisme untuk berbuat sesuatu dalam rangka memperbaiki kinerja birokrat sehingga pembangunan dapat terakselerasi.
Euphoria positif yang berbentuk idealisme ini perlu dijaga oleh pemerintah daerah. Pemda telah melakukan pekerjaan tahap pertama secara luar biasa. Pegawai negeri baru berkualitas yang lolos saringan non-KKN telah ada dalam daftar. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan adalah menempatkan para prajuritnya. Aksioma « the right man in the right place » merupakan patron aktual yang harus diterapkan pemda guna mendapatkan kinerja terbaik dari pegawainya. Pemda sudah mempunyai the right man, kini harus mendistribusikan ke the right place yaitu, sektor yang sesuai dengan kompetensi para calon pemakai seragam coklat muda ini. Adalah tidak bijaksana apabila lulusan pendidikan jasmani ditempatkan di sektor teknologi informasi, misalnya. Ketidaktepatan penempatan dapat melemahkan idealisme baru karena tidak menikmati dan ahli dalam pekerjaan yang dibebankan. Selain itu mekanisme reward and punishment yang belum terlaksana baik diyakini dapat mempercepat pudarnya semangat reformasi para pegawai negeri debutan ini.
PNS baru juga harus menjaga ghirah perubahan dan pelayanan tersebut diatas apabila menginginkan kondisi pelayanan masyarakat menjadi lebih baik. Birokrasi bukanlah aperfect world namun juga bukan a wild world. Terdapat berbagai nuansa di lingkungan birokrat pemda. Dari para birokrat yang jujur sampai yang bermental tidak baik ada disitu. Pegawai negeri sipil juga manusia. Hal ini sebenarnya adalah sifat dunia yang diciptakan dengan karakter yang diametral, siang malam, baik jahat dan dan lain-lain. Namun yang terpenting adalah bagaimana birokrasi jujur menjadi mainstream atau dominan dalam pengelolaan pemerintah daerah. Kecerdasan dan keistiqamahan dalam memilih aliran birokrat menentukan kinerja para pegawai baru dan pemerintah daerah pada umumnya.
Perlu dihayati bahwa PNS merupakan abdi masyarakat dimana masyarakat yang membayar mereka untuk melayani. Ketika masyarakat tidak sejahtera, tentunya kemampuan masyarakat untuk membayar abdinya berkurang. Selama ini pendapatan asli daerah yang menjadi salah satu sumber pendapatan PNS sangatlah kecil. Kontribusi PAD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam selama tahun 2000-2004 hanya 8,63 % dari total penerimaan daerah. Beruntung daerah Aceh merupakan daerah kaya sumber daya alam sehingga dana perimbangan yang didapat cukup besar untuk membiayai pembangunan.
Kecilnya rasio PAD disatu sisi bisa ditafsirkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat yang rendah. Di sisi lain bisa berarti kurang optimalnya kerja para aparatur pemerintah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Sikap santai karena terbuai akan kayanya bumi Iskandar Muda tidak dapat lagi diteruskan. Fakta menunjukkan bahwa gas alam Arun berada dalam fase depleting yang berarti dalam waktu yang tidak lama lagi akan habis. Ditambah lagi sektor ekonomi produktif di Aceh seakan mati suri karena konflik dan tsunami.
Sebuah perubahan atau perbaikan tentunya membutuhkan modal. Begitu juga perbaikan yang diharapkan kepada PNS baru sebagai agent of change dalam roda pemerintahan nantinya. Hemat penulis, ada 3 hal minimal yang harus dilakukan oleh PNS sebagai agen perbaikan yaitu pengembangan diri (self improvement), kerjasama (teamwork), jaringan kerja (network).
Persoalan pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam sangatlah pelik. Banyak sektor yang lumpuh akibat tsunami dan konflik. Persoalan-persoalan ini perlu dicari pemecahannya. Tingkat kesulitan dari permasalahan yang sedang dihadapi tidaklah statis, sering menjadi lebih rumit karena dinamisasi internal maupun eksternal. Karena itu peningkatan kapasitas diri PNS mutlak diperlukan untuk dapat mengerti dan menganalisa persoalan serta memberikan solusi melalui program-program pembangunan yang efisien dan efektif.
Berbagai sektor yang amburadul tentunya membutuhkan banyak tangan untuk membenahinya. Jangan pernah berpikir bahwa permasalahan dapat diselesaikan oleh satu orang single fighter saja. Penulis yakin bahwa seorang PhD lulusan universitas terkemuka luar negeri pun tidak akan mampu membenahi persoalan Aceh sendirian. Perlu adanyateamwork yang padu guna memecahkan persoalan. Namun teamwork adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sangat sulit dilakukan di bumi rencong ini. Kondisi represif yang berkepanjangan membuat budaya kerjasama tidak terwujud. Kondisi ini telah membuat masyarakat berpikir bagaimana menyelamatkan diri sendiri saja. Terkadang kesaling-curigaan dan kebohongan begitu mudah terjadi untuk dapat survive. Ketika konflik berakhir, mental ini tidak serta merta berhenti dan bermetamorfosis dalam bentuk yang lain. Kasus korupsi yang marak pasca DOM, kebohongan perusahaan/LSM lokal dan penipuan data bantuan oleh sebagian masyarakat mungkin dapat menjadi bukti mental survival masih ada dalam masyarakat kita. Tak terkecuali di kalangan PNS.
Networking atau jaringan yang ingin dikembangkan bukanlah ditujukan untuk hal-hal yang bersifat nepotisme tetapi lebih pada pengenalan who does what. Dengan mengetahui siapa mengerjakan apa, ketika seorang aparatur menemui kesulitan dalam tugasnya, ia tahu kemana harus pergi untuk menyelesaikan sehingga permasalahan yang menyangkut hajat hidup masyarakat dapat terselesaikan dengan baik. Pembinaan networking ini seharusnya dimulai dari awal. Momentum prajabatan dapat dimanfaatkan untuk hal ini. Pihak panitia prjabatan pun seharusnya memasukkan materi tugas pokok dan fungsi semua badan/dinas sehingga tercipta pemaaman komunal tentang tanggung jawab masing-masing diantara para PNS baru. Networking ini juga harus lintas level pemerintah. Pemda tingkat I dan tingkat II harus tahu apa yang sedang dikerjakannya masing-masing.
Akhirul kalam, penulis yakin CPNS baru ini semuanya berhasilkan melewati masa percobaan dan nantinya menjadi PNS penuh. Bienvenue au club!.
(Dimuat di Rubrik Opini Harian Serambi Indonesia, 20 Juli 2006)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar