Senin, 30 April 2007

Pemberdayaan Kecamatan : Sebuah Solusi Pemekaran Kabupaten


Isu pemekaran kembali merekah. Yang terbaru adalah usulan pembelahan Kabupaten Aceh Besar. Bakal calon kabupaten baru diusulkan mempunyai nama kabupaten Aceh Raya. Balon kabupaten ini merupakan gabungan dari tujuh kecamatan (Serambi Indonesia, 03/03/2007). Secara geografis, kabupaten usulan akan  terletak di sebelah tenggara kota Banda Aceh dimana rencana pusat pemerintahan akan berada di Lhoknga. 

Pemekaran di Aceh bukanlah hal baru. Baru-baru ini Kabupaten Pidie Raya dan Kota Subulussalam disapih dari kabupaten/kota induk yaitu Kabupaten Pidie dan Aceh Singkil. Bahkan pemekaran bukan saja monopoli kabupaten, namun juga Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sempat  diusulkan untuk dibagi menjadi setidaknya empat provinsi NAD, ALA (Aceh Leuseur Antara), ABAS (Aceh Barat Selatan) dan PSP (Samudera Pasai).

Berbagai  pro dan kontra mengemuka di sekitar permasalahan pemekaran ini. Para pendukung pro-pemekaran umumnya adalah masyarakat yang mendiami daerah yang akan dimekarkan. Namun tak jarang kelompok pro pemekaran ini juga didukung oleh beberapa elit politik dan ekonomi daerah tersebut. Diantara alasan utama yang diusung  adalah sebaran geografis dan ketimpangan pelayanan, infrastruktur dan ekonomi. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan pemekaran lebih berpendapat bahwa pendirian daerah administrasi baru hanya akan membuang uang tanpa ada jaminan pembangunan akan berhasil. Diantara pihak yang kurang setuju dengan pemekaran ini adalah Gubernur Irwandi Yusuf (Serambi Indonesia/02/03/2007).

Dalam nuansa demokrasi yang tengah marak di provinsi paling barat ini sah-sah saja ada usulan untuk memekarkan kabupaten. Apalagi jika itu dilandasi dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan lebih baik dan perbaikan penghidupan. Harus disadari bahwa sebaran geografis dan ketimpangan ekonomi adalah sebuah realita yang tidak boleh ditutupi. Dari sudut pandang masyarakat pengusung, solusi yang paling mudah bagi mereka adalah mendekatkan pusat pembangunan di daerah mereka dengan harapan pelayanan pemerintahan akan berlangsung lebih cepat. Namun solusi ini bukan berarti tidak beresiko. Analisis pengeluaran publik Aceh yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2006 menyatakan bahwa kapasitas pemerintah hasil pemekaran adalah lebih rendah dari pemerintah induknya. Disamping pemekaran mempunyai efek pemborosan anggaran akibat bertambahnya anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan seperti anggaran administrasi dan anggaran untuk membayar gaji pegawai (World Bank, 2006, hal 93). Jika ini benar, pemekaran malah menjadi suatu hal yang kontra-produktif dengan harapan masyarakat.  

Sejatinya,  usulan pemekaran kabupaten adalah wujud dari tidak optimalnya  –kalo tidak bisa dikatakan ketidakmampuan- pemerintah daerah induk dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu pelayanan masyarakat. Karena itu,dalam menganalisa permasalahan ini, kita sebaiknya tidak  terjebak dalam hal yang bersifat gejala atau sympton. Dalam hal pemekaran ini, gejolak yang beredar dalam masyarakat hanya merupakan sebuah gejala. Sementara inti dari masalah adalah belum terpenuhinya pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah induk.

Menurut hemat penulis, pemekaran memang dapat menjadi sebuah solusi. Namun belumlah menjadi solusi yang mendesak dan tepat. Masih ada solusi lain yang mempunyai resiko pemborosan lebih kecil, yaitu pemberdayaan kecamatan. Solusi ini berarti merevitalisasi jaringan-jaringan pelayanan masyarakat yang sudah ada. Tentunya beberapa perubahan harus juga dilakukan dalam rangka pemberdayaan kecamatan ini. Qanun yang sedang dirancang DPRD Aceh Besar tentang pelimpahan wewenang kepada kecamatan adalah hal yang sangat positif (Serambi Indonesia, 24/02/2007). Namun alangkah lebih baik apabila wewenang yang diperluas tersebut tidak melulu urusan administratif.

Sebagai diketahui, kecamatan merupakan instansi pemerintah yang berada diantara kabupaten dan desa. Ia bersifat murni administratif. Kecamatan tidak mempunyai fungsi manajemen pembangunan seperti perencanaan, implementasi dan pengawasan. Fungsi manajemen pembangunan selama ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Faktor jarak dapat –malah sering- menyebabkan ibu kota kabupaten kurang ngeh atau mengenali permasalahan yang ada di daerah yang berada jauh. Hal ini mengakibatkan pembangunan cenderung berada di sekitar lingkaran ibukota saja. Pemberdayaan kecamatan seharusnya berarti pelimpahan wewenang untuk aktif ikut serta pembangunan di daerah administrasinya. Artinya dalam identifikasi permasalahan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan  perlu dilibatkan para pelayan masyarakat di kecamatan. Diharapkan program pembangunan yang dihasilkan nantinya akan mampu menjawab permasalahan yang ada di tingkat masyarakat pedesaan yang selama ini menjadi kantung kemiskinan. Peran pemerintah kabupaten lebih pada budgeting dan penjaga harmoni program dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang ditetapkan pemerintah kabupaten itu sendiri.

Peningkatan tanggung jawab kecamatan ini secara otomatis akan  menyebabkan kebutuhan akan kapasitas pegawai kecamatan yang lebih baik, baik  secara kuantitas atau kualitas. Kebutuhan kuantitas tidak selalu berarti menambah pegawai namun mendistribusikan pegawai dari kabupaten ke kecamatan secara merata dan proporsional sesuai potensi dan permasalahan lokal. Secara  kualitas, pegawai kabupaten relatif mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Oleh karenanya, pendistribusian pegawai kabupaten ke kecamatan berpotensi besar memberikan dampak positif pada pelayanan atau pembangunan di masyarakat kecamatan dan pedesaan.

Dari sisi praktis, distribusi ini mungkin juga meningkatkan motivasi pegawai dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana dimaklumi, cukup banyak pegawai Kabupaten Aceh Besar yang berdomisili di Banda Aceh dimana setiap pagi mereka harus menghadiri apel di Jantho. Jauhnya jarak tinggal membuat tingkat kehadiran pegawai Aceh Besar rendah. Nah,  apabila pegawai yang tinggal di Banda Aceh ditugaskan di kantor kecamatan tetangga kota, Peukan Bada atau Baitussalam misalnya, maka halangan jarak bukan menjadi masalah lagi sehingga kinerja pegawai juga lebih baik, setidaknya kehadiran mereka di kantor akan lebih termudahkan.

Kondisi geografis yang menyebar selama ini memang menjadi kendala pembangunan terutama koordinasi, monitoring dan evaluasi. Namun hal ini dapat dijembatani dengan perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin murah. Bahkan teknologi komunikasi populer Yahoo Messenger atauSkype pun sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang menguntungkan bagi pembangunan yang bertanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu melakukan investasi infrastruktur informasi disetiap lini layanannya. Selain itu, hubungan emosional anggota dewan dan masyarakat kecamatan sebagai konstituennya dapat dimainkan lebih indah dan efektif lagi sehingga pembangunan pedesaan bisa menjadi perhatian dan hasilnya  rakyat yang terpuaskan.

Last but not least, kualitas pegawai merupakan sebuah keniscayaan apabila kepuasan masyarakat ingin dicapai. Laksana perusahaan, produk yang ditawar pemerintah kepada pelanggannya -masyarakat- adalah kebijakan.  Sebuah perasan pemikiran yang lahir dari buah hasil eksporasi mendalam dan analisa berdasar. Tepat tidaknya kebijakan tersebut berhubungan lurus dengan kapasitas pegawai pemerintah. Peningkatan kapasitas  abdi masyarakat secara kontinu adalah wajib hukumnya karena permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah berhenti sebagai wujud dari hukum dialektika alam?. Wallahu a’lam bisshawab
Publised in www.acehinstitute.org, 29 March 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar