Kamis, 26 Desember 2019

Spiritualitas Bencana dan Ketangguhan Masyarakat

Hasil gambar untuk tsunami aceh 2004
Ilustrasi Ketangguhan Struktur Mesjid Lampuuk
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Portal Data dan Informasi Bencana Indonesia menyajikan bahwa jumlah kejadian bencana di Aceh dalam kurun waktu 2004-2019 adalah 997 kali dengan total jumlah korban jiwa sebesar 166.215 orang.  Angka tersebut mengajarkan  kita bahwa Aceh adalah kawasan rentan bencana. Aceh terletak pada kawasan pertemuan lempeng Indo Australia dan Eurasia yang aktif. Keaktifan kedua lempeng ini membuat gempa bumi merupakan norma bagi provinsi paling barat Pulau Sumatera ini. Selain itu, topografi permukaan bumi Aceh yang sebagian besar berkontur dan dipadu dengan iklim tropis mengakibatkan kerentanan terhadap bencana banjir dan tanah longsor.

Sebagai insan beriman, kerentanan  diatas  sudah seharusnya membuat rakyat Aceh memiliki spiritualitas bencana yang tinggi. Spiritualitas ini semakin membuncah ketika kita merenungi dua kejadian bencana yang paling banyak memakan korban jiwa, yaitu Gempa dan Tsunami Samudera Hindia, 26 Desember 2004 dan Gempa Bumi Pidie Jaya, 7 Desember 2016.

Apabila kita membaca QS Al-A’raafAyat 97-98, Allah SWT seakan berbicara tentang 2 kejadian bencana di Aceh tersebut. Ayat 97 bertanya,” Apakah penduduk negeri itu merasa aman dari peringatan Kami yang data pada malam hari ketika mereka sedang tidur?”. Gempa Bumi Pidie Jaya yang menewaskan 103 penduduk dan 9.307 rumah rusak terjadi pada dini hari menjelang subuh ketika sebagian besar masyarakat masih terlelap.

Selanjutnya Ayat 98 kembali mempertanyakan,” Apakah penduduk negeri itu merasa aman dari peringatan Kami yang datang saat dhuha ketika mereka sedang bermain?” Gempa dan tsunami pada tanggal 26 Desember 15 tahun silam datang pada waktu pagi, ketika matahari masih sepenggalahan dimana sebagian masyarakat beraktifitas pagi sambil bermain karena saat ini hari libur, Ahad.

Spiritualitas selalu akan mendorong individu untuk mencari hikmah dari setiap kejadian bencana. Mungkin ini yang menjadi sebab ketangguhan masyarakat Aceh untuk kembali bangkit kembali  sebagaimana diakui oleh banyak pihak yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana.  


Melawan Lupa, Membangun Siaga

Kedua ayat peringatan tersebut diatas, QS.7:97-98, merupakan anti-thesis dari ayat sebelumnya, QS Al A'raaf Ayat 96, yang menceritakan tentang keberkahan sebuah negeri. Keberkahan itu diraih hanya dengan keimanan dan ketakwaan penduduk negeri tersebut. Apabila penghuni negeri tidak beriman dan bertakwa, bisa jadi peringatan tersebut akan berulang.

Salah satu ciri dari orang bertakwa adalah belajar dari kesalahan atau kekurangan. QS Al-Imran Ayat 135 menjelaskan ciri muttaqin adalah “ (jika) mereka melakukan hal yang buruk atau sesuatu yang menzhalimi diri sendiri, mereka mengingat Allah SWT lalu memohon ampun dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain Allah? , serta mereka berhenti atau tidak mengulangi perlakuan tersebut sedang mereka mengetahui (dengan kesadaran)”.

Sering sekali kita melakukan sesuatu yang dapat menzhalimi diri sendiri. Melakukan kegiatan di kawasan bencana atau membangun rumah tidak sesuai standar tahan bencana di kawasan rawan bencana merupakan salah satu contoh perbuatan zhalim terhadap diri sendiri. Melakukan deforestasi baik mangrove di kawasan pesisir ataupun hutan di kawasan topografi curam merupakan perbuatan keji yang dapat menimbulkan kerentanan bencana.

Sisi spiritualitas bencana seharusnya berwujud pada melawan lalai atau lupa untuk kembali kepada ketakwaan dengan membangun jiwa kesiap-siagaan dan ketangguhan dalam rangka mengurangi kerugian akibat bencana. Bentuk ketakwaan ini harus mendorong pemerintah untuk melakukan upaya penelitian kawasan rentan bencana dan mikrozonasi untuk memberi informasi dan pengetahuan kepada masyarakat agar dapat bertindak secara bijak dan tangguh pada saat sebelum, ketika dan setelah terjadi kejadian seperti gempa bumi, tsunami, banjir dan tanah longsor.   

Ketakwaan dalam menghadapi bencana juga berarti untuk mengurangi kerentanan ekonomi seperti membangun dan sekaligus mengisi pundi Baitul Mal yang dapat menjadi shock absorber bagi korban bencana  yang terdampak kondisi ekonominya. Selain Baitul Mal, lembaga keuangan lainnya seperti simpan pinjam dan asuransi berbasis syariah perlu digalakkan sebagai upaya mempercepat kelentingan masyarakat untuk segera pulih dari kemiskinan akibat bencana.

Menjaga kelestarian lingkungan juga merupakan salah satu bentuk ketakwaan dalam konteks pembelajaran kebencanaan. Banjir dan tanah longsor hampir semua disebabkan akibat kondisi hutan yang sudah rusak. Begitu juga, bencana kesehatan seperti Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah atau malaria terjadi karena lingkungan sanitasi yang tidak baik. Spiritualitas kita terhadap KLB seharusnya menjadikan selokan di sekitar rumah kita tetap bersih dan bebas sampah sehingga air mengalir lancar dan tidak tergenang menjadi tempat pemijahan jentik.

Apabila spiritualitas bencana ini diwujudkan dengan ketakwaan, perilaku masyarakat kita akan memperkuat ketangguhan pembangunan. Orang beriman dan bertakwa tidak pernah merasa aman (khauf) dari peringatan Allah SWT, namun juga selalu optimis (raja’) terhadap bahwa ketangguhan dapat terus dikembangkan melalui usaha pengurangan risiko bencana yang dilakukan terus-menerus. Alhasil, masyarakat kita memiliki ketahanan yang kuat sehingga setiap ada bencana, kondisi masyarakat dapat cepat pulih dan lebih kuat. Setiap mendapat peringatan Allah, derajat keimanan dan ketakwaan akan semakin besar. That does not kill you make you stronger.




Rabu, 25 Desember 2019

Bangsa Teuleubeh Ateuh Rhueng Donya


Konsep diri “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist, namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan hambanya menjadi umat terbaik.


Ilustrasi by Gregory Adams/Getty Images
Memasuki Bulan Desember, ada sebuah nuansa lokalitas yang khas di Aceh.  Banyak pihak memperingati hari 4 Desember sebagai deklarasi perlawanan rakyat Aceh terhadap praktik ketidakadilan Pemerintah Pusat terhadap Aceh. Hasan Tiro menjadi tokoh sentral dari perjuangan ini. Wali Nanggroe mampu menggerakkan ribuan bahkan jutaan orang untuk bergabung atau minimal simpati terhadap perjuangannya. Beliau menggunakan pendekatan etno-nasionalisme yang membangkitkan semangat pengikutnya melalui penyadaran identitas berdasarkan capaian masa lalu rakyat Aceh. Salah satu ungkapan Cucu Pahlawan Nasional, Tgk Chik di Tiro, ini yang paling terkenal adalah “Bangsa Teuleubeh Ateuh Rhueng Donya” atau bangsa yang unggul diatas punggung dunia.  

Saat ini ungkapan tersebut sering menjadi bahan ‘bully’ atau sinisme dari beberapa orang dalam mengamati perkembangan Aceh saat ini. Tidak dipungkiri bahwa Aceh tidak berada pada prestasi yang menggembirakan. Jika kita membandingkan tingkat kesejahteraan Aceh dan daerah lainnya di Indonesia, Aceh masih berada di peringkat bawah.

Indeks daya saing 34 provinsi se-Indonesia yang tiap tahun diukur oleh Asia Competitiveness Institute dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore menunjukkan bahwa peringkat Aceh konsisten berada di peringkat 20-an kebawah sejak tahun 2016.  Indeks ini mengukur 4 keadaan sebuah daerah yaitu kualitas hidup dan infrastruktur, stabilitas makroekonomi, kondisi ketenagakerjaan, bisnis dan finansial, dan kualitas institusi pemerintahan.  Melihat capaian ini, apakah masyarakat Aceh masih layak disebut sebagai masyarakat yang unggul di muka bumi ini ?

Ungkapan “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” sebenarnya tidak mutlak merupakan slogan Wali Hasan Tiro bagi rakyat Aceh saja. Allah SWT dalam QS Al-Baqarah :110 menyebutkan bahwa orang beriman adalah kaum yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai umat terbaik (khaira ummah). Hasan Tiro tampaknya mendapatkan inspirasi  ungkapan bangsa teuleubeh dari pemahaman bahwa bangsa Aceh yang notabene beriman layak untuk menjadi bangsa unggul berdasarkan dalil tersebut. Jadi, bangsa teulebeh ateuh rhueng donya tidak berarti sebuah kondisi kekinian, namun perlu dipahami sebagai cita-cita atau identitas yang perlu dibangun.

Pakar Psikologi atau pakar perilaku mengatakan bahwa konsep diri mempengaruhi dalam menentukan perilaku seseorang. Ketika konsep diri seorang individu adalah seorang yang jujur maka ia cenderung akan berperilaku jujur. Namun William D. Brook menyebutkan bahwa konsep diri ini dapat terbentuk dari pengalaman dan interaksi dengan lingkungan sekitar. Artinya, jika secara konsisten atau terus menerus rakyat Aceh berada dalam kondisi tingkat kesejahteraan yang rendah dan angka stunting yang tinggi, maka besar kemungkinan konsep diri rakyat Aceh menjadi miskin dan pendek dan pada akhirnya menjadi negative self-fulfilling prophecy,  sebuah kondisi prediksi yang terwujud karena individu terkait percaya akan prediksi tersebut dan berperilaku berdasarkan kepercayaan tersebut.

Sebagai orang yang beriman dan rakyat Aceh yang menginginkan Aceh sebagai daerah unggul dengan memiliki indikator pembangunan yang diatas rata-rata, konsep diri “bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya” perlu bahkan wajib untuk dimiliki. Bukan karena chauvinist, namun karena kesadaran atas kehambaan kepada pencipta yang menginginkan hambanya menjadi umat terbaik.

Apabila kita merujuk pada QS Al-Baqarah 110, status umat terbaik tidak serta merta disematkan dengan tanpa ada usaha. Umat terbaik diraih dengan melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta beriman kepada Allah SWT. Amar ma’ruf nahi mungkar adalah kegiatan yang mengatur hubungan antar individu dan juga memperkuat sisi optima performa (ahsanu taqwin) seorang individu. Karena itu amar ma’ruf nahi mungkar ini merupakah peran yang  paling berhak dan pantas diambil oleh pemerintah.

Pemerintah harus menerapkan keadilan tanpa pandang SARA, amanah, memudahkan urusan rakyat secara positif melalui penyediaan fasilitas publik yang nyaman, memeratakan kesejahteraan, memastikan semua kesepakatan atau kontrak sosial dilaksanakan secara baik dan mencegah penindasan dan kedzaliman satu golongan atas golongan lainnya. Apabila kita perhatikan negara-negara yang maju, pelaksanaan prinsip amar ma’ruf nahi mungkar mempunyai kualitas lebih tinggi secara substantif dan komparatif.  Tentunya tidak bisa dibandingkan kualitas nahi mungkar negara-negara dengan kriteria terhadap praktik khamar, judi dan mesum karena praktik ini berbeda “legalitas”nya di antara negara-negara.

Dari sisi substantif, semua negara ataupun masyarakat mempunyai persepsi yang sama bahwa kesejahteraan adalah hak semua orang. Substansi ini juga merupakan bagian dari amar ma’ruf dimana Allah memerintahkan memberi makan orang miskin/yatim.  Jika kita lihat negara maju atau unggul misalnya negara Scandinavian, negara tersebut menjamin kebutuhan pokok masyarakat miskin sehingga tidak ada orang miskin yang tidak terpenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan.

Yang menjadikan pemerintah negara tersebut mampu karena regulasi distribusi kesejahteraan dilaksanakan secara efektif melalui pajak yang lebih tinggi dan amanah (efektif dan efisien) dalam mendistribusikan pajak tersebut untuk membangun kesejahteraan. Keamanahan tersebut pada gilirannya akan menimbulkan kepercayaan masyarakat untuk berbuat baik (ma’ruf) dengan membayar pajak.

Tentunya keunggulan sebuah bangsa atau masyarakat tidak akan terwujud oleh pemerintah saja, perilaku rakyat juga perlu mencerminkan keimanan dan ketaqwaan sebagai syarat kedua untuk menjadi umat terbaik. Setiap individu di Aceh juga perlu melakukan perilaku yang ber-imtaq. Allah SWT menjelaskan akumulasi keimanan dan ketaqwaan individu sebuah negeri menjadi penyebab terwujudnya keberkahan atau produktifitas negari tersebut. Produktifitas diperoleh dari bagaimana baik itu pelajar/mahasiswa, pekerja swasta maupun pegawai negeri mengalokasikan sebagian besar waktunya untuk hal-hal produktif, membaca dan berdiskusi daripada bercanda dan mengunjing, bekerja daripada nongkrong di warung kopi. Begitu juga, setiap individu masyarakat Aceh dapat selalu menjaga kehormatan dan integritas dengan tidak melakukan hal-hal yang mungkar dan maksiat.         

Pilinan amar ma’ruf dan nahi mungkar serta keimanan ketaqwaan secara empiris dan substantif menyebabkan sebuah masyarakat itu unggul. Karena itu konsep diri sebagai khaira ummah atau “bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya” masih perlu digelorakan untuk dimiliki oleh seluruh rakyat Aceh agar positive self-fulfilling prophecy terwujud. Dan perjuangan belum selesai.

Senin, 23 Desember 2019

Investment-led Growth untuk Kesejahteraan Aceh


Hasil gambar untuk investment for prosperity

Ada hal yang perlu dicermati dalam perkembangan ekonomi Aceh. Secara temporal, posisi relatif pendapatan per kapita Aceh selama kurun waktu 2010 sampai 2017 mengalami penurunan. PDRB per kapita Aceh pada 2010 menempati urutan 17 dan pada tahun 2017 turun menjadi peringkat 27. Meskipun PDRB per kapita Aceh secara nominal membaik,  penurunan posisi relatif merupakan konsekuensi logis mengindikasikan ekonomi Aceh tumbuh lebih lambat dari rerata nasional.

Nilai PDRB perkapita yang tinggi merupakan indikasi dari produktifitas seorang individu dalam sebuah daerah. Apabila diplotkan PDRB atau PDB per kapita dan  tingkat kemiskinan dari seluruh negara di dunia, maka akan terlihat korelasi negatif antara PDB per kapita dan tingkat kemiskinan. Artinya semakin tinggi PDB per kapita maka akan semakin rendah tingkat kemiskinan sebuah negara.

Selanjutnya jika diplotkan PDB per kapita dan indeks pembangunan manusia, maka korelasi positif akan kita jumpai. Indeks pembangunan manusia meningkat seiring dengan nilai PDB per kapita. Korelasi ini menyebabkan nilai PDRB sangat penting dalam mengukur keberhasilan pembangunan.
Penyebab utama dari pertumbuhan ekonomi yang rendah di Aceh adalah masih tingginya defisit perdagangan. Defisit ini terkait dengan kontribusi dan pertumbuhan industri pengolahan yang rendah.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh untuk periode 2017-2022, defisit perdagangan merupakan salah satu sasaran yang harus dikurangi. Terdapat dua arah kebijakan yang saling komplementer. Kedua kebijakan tersebut adalah meningkatkan ekspor dan mengurangi impor melalui subsitusi impor. 

Blessing in Disguise

Keadaan ekonomi global saat ini sedang tidak bersahabat. Pertumbuhan ekonomi dunia terus mengalami perlambatan. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menyebabkan perlambatan perdagangan dunia dan penurunan harga komoditas. Bank Sentral di negara maju banyak mengeluarkan kebijakan moneter yang longgar untuk memacu ekonominya.

Salah satu konsekuensinya adalah suku bunga perbankan yang rendah. Suku bunga yang rendah secara alami memaksa para investor untuk mencari peluang investasi yang paling memberikan imbal hasil yang maksimal. Volatilitas arus modal asing menjadi “blessing in disguise” bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia untuk menyerap pantulan arus investasi.   

Investasi merupakan salah satu pembentuk ekonomi sebuah daerah. Pengalaman dari beberapa negara-negara yang maju dan mempunyai pertumbuhan yang tinggi menunjukkan bahwa investasi menjadi salah satu penyebab utama dari percepatan pertumbuhan atau investment-led growth. Sebut saja China, negara tirai bambu ini mampu menggandakan pendapatan per kapita rakyat hanya dengan waktu kurang dari satu generasi dan mampu mengurangi orang miskin hampir 14 juta setiap tahunnya dalam kurun waktu 2013-2018.

Prestasi ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah China yang membuka negaranya untuk investasi. Salah satu kebijakan efektif yang dilakukan adalah membangunan kawasan ekonomi khusus sebagai lokasi investasi. Alhasil, China menjadi pabrik dunia dan menyerap tenaga kerja dan memperoleh transfer teknologi yang akan memperkuat negara adidaya kedua di dunia.

Begitu juga dengan Singapura, strategi pertumbuhan ekonomi pada dekade awal adalan menarik investasi sebanyak-banyaknya melalui kemudahan dan fasilitas dan insentif yang diberikan secara besar-besaran. Hasilnya juga adalah Singapore dengan kesejahteraan penduduknya termasuk yang tertinggi di dunia. 

Strategi Investment-led Growth

Kesuksesan negara China dan Singapura perlu menjadi pelajaran bagi Aceh untuk menjadikan investment-led growth sebagai strategi percepatan pertumbuhan ekonomi Aceh. Investasi harus diarahkan untuk ekspor dan substitusi impor.

Aceh telah memiliki empat kawasan yang diperuntukkan untuk penanaman modal, yaitu KEK Arun Lhokseumawe, KIA Ladong, PPS Kutaraja Lampulo dan KPBPB Sabang.  Namun keberadaan lokasi khusus untuk investasi tidak serta merta akan menjadikan Aceh sebagai destinasi pilihan investasi.
Bank Dunia menerbitkan GlobalInvestment Competitiveness Report 2017-2018 tentang perspektif investor terkait pemilihan tempat sebagai tempat mereka menanamkan modal. Di antara faktor utama yang mempengaruhi keputusan investasi adalah stabilitas politik dan keamanan, kualitas regulasi, ukuran pasar, tenaga kerja terampil, infrastruktur, dan bahan baku yang murah.

Berdasarkan faktor utama tersebut, ada beberapa strategi atau kebijakan yang perlu diambil oleh Pemerintah Aceh dan mensyaratkan sinergi dan kolaborasi lintas stakeholder agar kebijakan atau strategi tersebut efektif.   Menjamin stabilitas politik dan keamanan, kepastian regulasi dan ketersediaan infrastruktur yang memadai merupakan hal yang pertama yang harus disediakan oleh Pemerintah. Ketiga komponen tersebut mengurangi risiko yang dapat mengurangi minat investasi. Jaminan ini bahkan lebih efektif dari pada berbagai insentif dan kemudahaan yang diberikan.

Bagian dari pengurangan risiko diatas yang masih menjadi permasalahan di Aceh adalah pemanfaatan lahan pemerintah sebagai lokasi investasi yang hanya diberikan dalam waktu 5 tahun. Padahal kegiatan investasi sering membutuhkan lebih lama untuk balik modal. Untuk ini, Pemerintah Aceh perlu melakukan deregulasi pemanfaatan lahan pemerintah yang memungkinkan untuk digunakan hingga 30 tahun. 4 Kawasan investasi yang disebut diatas merupakan lahan milik pemerintah, jika deregulasi ini tidak diselesaikan maka kawasan tersebut menjadi tidak menarik bagi investasi. Selain itu ketersediaan infrastruktur kawasan investasi juga perlu segera dilengkapi seperti air bersih, drainase dan pengolahan limbah.

Selanjutnya, proses mudah dan ketepatan waktu dalam pengurusan perizinan juga menjadi penting bagi kepastian investasi dan menjadi bagian dari kualitas regulasi.  Promosi investasi juga perlu melakukan perubahan prioritas. Jika selama ini lebih ditekankan pada potensi produksi, namun sekarang perlu lebih bersifat demand-driven, terutama integrasi investasi dengan rantai nilai global yang bertumpu pada efisiensi. Fokus investasi pada keterkaitan rantai nilai global akan meningkatkan market size investasi dan membuat Aceh lebih menarik sekaligus memaksimalkan nilai tambah ekonomi di Aceh. Geografi Aceh yang berada di jalur perdagangan global menambah daya tarik dan daya saing sebagai destinasi wisata. 

Ketersediaan tenaga kerja terampil juga perlu dijamin melalui kemitraan link dan match antara penyedia tenaga kerja seperti universitas, SMK dan BLK. Kesesuaian ini sangat penting bukan saja karena dibutuhkan oleh investor, namun juga akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja lokal dan penurunan angka kemiskinan. Keberadaan investasi juga perlu dikelola agar terjadi kemitraan dengan usaha kecil dan menengah sehingga terjadi transfer pengetahuan yang menyebabkan UKM menjadi naik kelas.

Apabila faktor-faktor tersebut diatas dapat berkumpul dan tersedia dalam setiap kawasan investasi Aceh tersebut, investasi di Aceh menjadi keniscayaan, yang menyediakan lapangan kerja produktif, menambah nilai komoditas Aceh dan meningkatkan kesejahteraan Aceh secara lebih signifikan.

Nb.
1. Telah diterbitkan di Tabloid Tabangun Aceh, Edisi Desember 2019
2. Ilustrasi diatas bersumber dari http://isaayle.com/1118/investment-experts-show-the-way-to-prosperity.htm