Senin, 19 Juni 2017

Menghindari Perangkap Pendapatan Rendah

Badan Pusat Statistik Aceh kembali merilis perkembangan ekonomi Aceh pada kuartal I tahun 2017 pada awal bulai Mei yang lalu dan menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh sebesar 2,87 persen dengan migas atau sebesar 3,97 persen jika komponen ekonomi yang berbasis minyak dan gas bumi dihilangkan dari perhitungan. Pertumbuhan ekonomi non-migas kuartal pertama tahun ini lebih rendah dari kuartal pertama tahun yang lalu yang mencapai 4,06 persen. Pertumbuhan ekonomi migas kuartal ini merupakan pertumbuhan kedua terendah di Pulau Sumatera setelah Provinsi Riau yang membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 2,82 persen dan lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal yang sama yaitu 5,01 persen. Secara serial waktu, sudah berlangsung lama bahwa pertumbuhan ekonomi Aceh berada dibawah rata-rata pertumbuhan ekonomi provinsi se-Indonesia.

Selanjutnya jika kita lihat  pendapatan per kapita yang dihitung dari pembagian total produk domestik regional bruto (PDRB) terhadap total jumlah penduduk, Aceh mencatat pendapatan terendah diantara provinsi se-Sumatera di tahun 2016 sebesar 26,94 juta per tahun. Kinerja PDRB memiliki korelasi yang kuat dengan kinerja kesejahteraan yang lain seperti tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran. Sejalan dengan itu, tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran Aceh juga membukukan tingkat yang tinggi masing-masing sebesar 16,43 persen dan 7,53 persen pada tahun 2016. Pencapaian kedua indikator kesejahteraan tersebut lebih tinggi dari rata-rata provinsi se-Sumatera dan se-Indonesia.  

Memang tidak dapat dipungkiri bahwa perekonomian Aceh sejak beberapa tahun yang lalu berjalan dibawah bayang-bayang redupnya pijar ekonomi gas alam bumi Arun sehingga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jika hal ini terus dibiarkan berarti bahwa Aceh akan sulit untuk melakukan konvergensi atau dapat menyejajarkan posisi ekonominya dengan sebagian besar provinsi lainnya di Indonesia. Untuk keluar dari status quo tersebut, Aceh perlu strategi untuk keluar dari perangkap pendapatan rendah ini atau low income trap


Image result for low income trapLow Income Trap

Dari data PDRB menurut pengeluaran  yang dirilis oleh  BPS Aceh, dapat disimpulkan bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi Aceh disebabkan oleh defisit perdagangan yang sangat signifikan.  Tahun 2016 defisit perdagangan Aceh mencapai angka Rp. 36,66 Trilyun yang terdiri dari Rp. 35,88 Trilyun dari defisit perdagangan antar daerah dan Rp. 0,78 Trilyun dari dari defisit ekspor. Defisit ini meningkat dari tahun 2015 yang mencatat sebesar Rp. 35,98 Trilyun. Sebagaimana diketahui bahwa total ekonomi sebuah daerah merupakan akumulasi dari total konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah, investasi dan neraca perdagangan. Neraca perdagangan Aceh yang negatif dan masif membuat total ekonomi Aceh mengalami kebocoran. Dengan total ekonomi Aceh sebesar Rp. 137,28 Trilyun, kebocoran ekonomi Aceh mencapai hampir 27 persen. Seandainya Aceh dapat menutup defisit tersebut, total PDRB Aceh dapat mencapai Rp. 173,94 Trilyun atau Aceh dapat tumbuh tinggi hingga 16,7 persen yang dihitung dari PDRB harga konstan.

Laksana cermin atau dua sisi mata uang, data PDRB menurut penawaran memberikan gambaran terkait dengan defisit perdagangan Aceh. Pada sisi penawaran, sektor ekonomi Aceh mengalami penurunan hebat pada dua sektor yaitu sektor pertambangan dan penggalian , dan sektor industri pengolahan. Kedua sektor ini pada tahun 2016 mengalami pertumbuhan negatif atau kontraksi masing-masing sebesar 13,27 persen dan 5,74 persen. Penurunan sektor pertambangan dan penggalian akibat terkurasnya cadangan migas Aceh serta turunnya nilai komoditas pertambangan dan penggalian berimbas pada penurunan net ekspor. Begitu juga dengan penurunan kontribusi sektor industri pengolahan berakibat pada minimnya produk olahan baik untuk konsumsi domestik Aceh maupun yang dijual keluar daerah dan pada gilirannya menyebabkan kenaikan impor dan penurunan ekspor. Kondisi seperti ini jika tidak diperbaiki akan menjebak Aceh dalam kondisi pendapatan yang rendah.             

Strategi Keluar Perangkap
Berdasarkan pada karakter perangkap tersebut, maka secara logis strategi yang perlu dilakukan adalah bagaimana Aceh bisa menutup defisit perdagangan melalui peningkatan komoditas atau produk yang dijual ke luar Aceh (peningkatan ekspor) maupun melakukan pengendalian impor dengan membangun kapasitas produksi untuk produk yang dibutuhkan secara domestik (substitusi impor). Strategi ini mengharuskan peningkatan kapasitas produksi melalui re-industrialisasi guna meningkatkan volume dan nilai tambah barang ekonomi yang ada di Aceh.

Industrialisasi memerlukan kesiapan dari seluruh komponen yang terlibat dalam rantai nilai, mulai dari hulu hingga hilir. Ketersediaan bahan baku yang memadai dan berkelanjutan merupakan satu keunggulan komparatif bagi industri yang berada disini. Dalam komponen penyiapan bahan baku ini juga perlu diperhatikan bahwa penyediaan sub-komponen seharusnya semaksimal mungkin berasal dari dalam. Pengadaan benih atau pupuk hingga alat mesin pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produksi bahan baku tanpa mempersiapkan penangkar benih atau bibit, unit produksi pupuk dan alsintan lokal hanya akan menyebabkan kebocoran ekonomi melalui pembelian sarana produksi dan alsintan tersebut dari luar daerah secara berkelanjutan. Peningkatan kapasitas produksi lokal yang mungkin berbentuk badan usaha milik gampong (BUMG), koperasi atau UMKM menjadi instrumental untuk mendukung proses re-industrialisasi ini.

Peningkatan kapasitas SDM serta penentuan usaha yang didukung (beneficiaires) menjadi penting dalam mencegah kebocoran tersebut. Barang antara bahkan modal seperti bibit perkebunan atau permesinan dapat berubah menjadi barang konsumsi apabila bibit perkebunan tersebut hanya ditempatkan di sumur atau permesinan tersebut idle karena kapasitas SDM yang menjalankan tidak memadai. Alih-alih barang tersebut dapat menjadi mesin produksi komoditas dan produk dengan nilai tambah lebih tinggi dimasa datang, ia hanya menjadi barang habis pakai yang meningkatkan defisit perdagangan dan mengekalkan beneficiaries dalam perangkap.

Industrialisasi tentunya memerlukan investasi agar dapat berdiri kokoh. Investasi hanya akan hadir pada daerah-daerah yang memberikan iklim dan kenyamanan investasi yang prima. Kendala investasi di Aceh sebagaimana disebutkan dalam Aceh Growth Diagnostic pada tahun 2009 oleh Bank Dunia maupun 2016 oleh Bank Indonesia adalah terkait dengan infrastruktur dan keamanan. Kawasan peruntukan industri seperti Kawasan Ekonomi Khusus dan Kawasan Industri serta sentra industri kecil dan menengah merupakan solusi dari kendala investasi tersebut karena ketersediaan infrastruktur dan delineasi kawasan yang rapat menjamin iklim investasi yang prima. Bank Indonesia memprediksikan bahwa lecutan ekonomi akibat kawasan ekonomi khusus di Lhokseumawe apabila sudah berjalan dapat mencapai hingga 0,6 persen lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi normal. Karena itu, Pemerintah Aceh perlu sesigap mungkin untuk menyiapkan kawasan-kawasan peruntukan industri tersebut siap untuk menerima penanaman modal. Tidak saja pada penyiapan infrastruktur namun juga pada kualitas tenaga kerja dan profesionalisme pengelolaannya.

Kembali pada data PDRB menurut penawaran yang menyebutkan sektor ekonomi yang tumbuh tinggi adalah penyediaan akomodasi dan makan minum yang tumbuh 9,78 persen pada triwulan I tahun 2017 dan tumbuh 8,39 persen pada sepanjang tahun 2016, menyiratkan sektor pariwisata merupakan sektor potensial untuk dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan masyarakat. Banyaknya wisatawan yang hadir akan meningkatkan devisa melalui tranksasi bisnis untuk keperluan wisata seperti transportasi, makan dan minum, akomodasi, souvernir dan jasa lainnya. Pariwisata dapat juga mendorong kegiatan lainnya seperti perdagangan dan investasi melalui poros transmisi yang sering disebut dengan Tourism-Trade-Investment (TTI). Peningkatan destinasi wisata melalui perbaikan atraksi, infrastruktur kenyamanan serta aksesibilitas ke daerah wisata menjadi keniscayaan untuk meningkatkan perekonomian Aceh melalui sektor pariwisata. Banyak wisatawan dan ketersediaan atraksi yang potensial dapat mendatangkan investasi dan industri pariwisata Aceh yang bertema halal sehingga secara siklikal akan mendatangkan lebih banyak lagi wisatawan.

Strategi keluar perangkap ini menyaratkan perubahan mindset bagi pemerintah  dan masyarakat usaha dalam menyiapkan proses pertambahan kesejahteraan. Kebiasaan lama (inertia) dan ketidaktahuan (ignorance) serta  kejumudan berpikir perlu diuji dengan perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi dan kondisi yang berlaku (market driven). Pemerintah perlu merubah diri dari peran penyedian/pengadaan menjadi peran pemberdaya/enablers. Masyarakat usaha perlu lebih peka terhadap perkembagan teknologi seperti teknologi digital serta perkembangan selera zaman sehingga apa yang diusahakan dapat memberikan nilai tambah yang lebih baik.

Keberhasilan ini berdampak pada peningkatan produksi Aceh serta pendapatan masyarakat dan menyulutkan siklus kebaikan (virtous circle) baru melalui pendapatan masyarakat yang baik akan meningkatkan kualitas pengeluaran yang baik sebagai investasi yang memadai dalam menghadapi tantangan masa depan yang bisa jadi penuh dengan perangkap. Ketika petani berhasil meningkatkan produksinya akibat ketersediaan benih, pupuk dan alsintan yang cepat murah dan produksinya terserap mudah karena ketersediaan industri, ia akan mendapatkan pendapatan lebih baik dan mampu berinvestasi pada anak-anaknya melalui kesehatan dan pendidikan yang baik sehingga generasi penerusnya cukup tangguh untuk menjadi pelaku usaha yang mampu bersaing pada zamannya. Jika skenario itu terjadi, era pertumbuhan ekonomi rendah akan berakhir dan Aceh keluar dari perangkap untuk lepas landas (economic take off)Wallahu a’lam bisshawab.

dipublikasi pada Tabloid Tabangun Aceh Edisi Mei 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar