Selasa, 12 Mei 2015

Mengelola Ekonomi Aceh

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh pada 5 Mei 2015 yang lalu terkait dengan pertumbuhan ekonomi menimbulkan polemik dalam surat kabar lokal di Aceh. Terdapat kesan atau opini bahwa ekonomi Aceh terpuruk akibat pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Migas Aceh yang tumbuh minus 1,88 persen jika dibandingkan dengan PDRB Aceh Triwulan I tahun 2014. Bahkan apabila dibandingkan dengan PDRB Triwulan IV tahun 2014, kontraksi ekonomi Aceh lebih dalam lagi yaitu minus 2,83 persen jika dihitung berdasarkan PDRB Migas atau minus 0,52 apabila PDRB Non Migas digunakan.

Untuk membandingkan kinerja ekonomi triwulan sebuah daerah sebenarnya harus digunakan perbandingan yang setara. Artinya kinerja ekonomi Aceh Triwulan I 2015 harus dibandingkan dengan kinerja Ekonomi Aceh Triwulan I tahun 2014. Hal ini dikarenakan masing-masing triwulan mempunyai karakter ekonomi yang berbeda sehingga jika membandingkan kinerja ekonomi sembarang triwulan akan memberikan bias atau istilah ilmiah populer yang sering digunakan adalah tidak apple to apple . Sebagai contoh dari perbedaan antar triwulan adalah perbedaan kecenderungan pengeluaran pemerintah dimana pada triwulan I hampir pasti lebih rendah daripada belanja pemerintah pada triwulan III atau IV.

Berdasarkan hal tersebut diatas, kinerja ekonomi Aceh Triwulan I tahun 2015 seharusnya dilihat dari dasar atau baseline kinerja ekonomi di Triwulan I tahun 2014 yaitu tumbuh negatif 1,88 persen jika memasukkan komponen PDRB Migas atau tumbuh positif 4,61 persen jika komponen migas dikeluarkan dari perhitungan. PDRB Migas menjadi makin tidak relevan lagi digunakan untuk mengukur kondisi ekonomi Aceh karena beberapa alasan. Pertama, produksi migas Aceh terus menurun sejak akhir tahun 1990-an dan pada 15 Oktober 2014 produksi gas Arun yang merupakan kontibutor utama migas Aceh berhenti.  Kemudian, industri migas merupakan industri yang padat modal sehingga kontribusi industri migas dirasa kurang jika dibandingkan industri padat karya lainnya. Kedua kondisi ini tentu menyebabkan kinerja ekonomi migas dengan sendirinya negatif.

Jika melihat ekonomi riil Aceh pada periode Januari-Maret 2015 yang digambarkan oleh PDRB Non Migas, kinerja ekonomi Aceh Triwulan I tahun 2015 lebih baik daripada triwulan yang sama di tahun 2014, yaitu tumbuh 4,61 persen dibanding tumbuh 3,28 persen di 2014. Sektor pertanian yang menampung hampir separuh pekerja Aceh juga tumbuh lebih tinggi pada triwulan I tahun 2015 yaitu 3,83 persen dibanding dengan pertumbuhan sektor pertanian pada triwulan I tahun 2014 sebesar 0,19 persen. Berbeda dengan kinerja ekonomi nasional triwulan I tahun 2015 (4,71 persen) yang lebih buruk daripada triwulan I tahun 2014 (5,14 persen).

Fakta-fakta diatas kembali menguatkan insight bahwa Aceh harus beralih dari atribut daerah kaya migas kepada daerah yang menumpukan ekonominya pada pertanian dan pertambahan nilainya atau industrialisasi pertanian setidaknya dalam jangka menengah ke depan. Pilihan ini dirasa lebih relevan lagi dengan kondisi ekonomi global saat ini dimana pertumbuhan ekonomi dunia masih lambat, permintaan komoditas global melemah yang berujung pada melempemnya harga komoditas. Akibatnya tidak mengherankan BPS Pusat menyebutkan bahwa Pulau Kalimantan dan Sumatera merupakan dua ekonomi pulau yang mempunyai kinerja ekonomi terburuk pada triwulan I tahun ini. Adalah hal yang mafhum bahwa Kalimantan dan Sumatera adalah pengekspor utama komoditas mentah di Indonesia dan era ekspor komoditas mentah harus berakhir dan berpindah pada ekspor komoditas berbasis rantai nilai (industri).

Ekonomi Politik  dan Industrialisasi

Ekonomi Aceh mengikuti siklus pengeluaran pemerintah. Secara intuitif juga berarti perkembangan ekonomi nanggroe perlu dilakukan by design atau policy driven, belum  market driven. Secara daya saing ekonomi, Aceh belum lah menjadi daya tarik sektor swasta untuk menjadi mesin pertumbuhan Aceh. Jika ditinjau dari 4 sisi berlian Michael E Porter, pakar bisnis dan ekonomi dari Harvard Business School, atau lebih dikenal dengan Porter’s Diamond, permasalahan daya saing ekonomi Aceh terasa bak dilema ayam dan telur. Kualitas permintaan lokal (local demand) dibatasi oleh keterbatasan kehadiran bisnis yang diantaranya disebabkan oleh rendahnya kualitas kebijakan (inkonsistensi/ketidakpastian) sehingga daya dorong untuk meningkatkan kualitas faktor produksi menjadi rendah.              

Siklus chicken and egg harus dipotong dengan kebijakan atau policy driven dan tentunya memerlukan perbaikan dalam proses pengambilan keputusan. Proses industrialisasi membutuhkan kebijakan industri yang tepat agar proses tersebut berwujud pada penggandaan kesejahteraan di Aceh. Efisiensi ekonomi yang ditunjukkan oleh peningkatan produktifitas akibat membaiknya kualitas faktor produksi (SDM, Infrastruktur, SDA, teknologi dan institusi) akan menarik bisnis untuk hadir yang pada gilirannya akan mendorong kompetisi dan insentif untuk memperbaiki diri sebagai fondasi daya saing ekonomi yang berkelanjutan.

Dengan peningkatan kapasitas fiskal yang signifikan pasca dikucurnya dana otonomi khusus, Aceh sebenarnya mempunyai peluang untuk meningkatkan kemandirian dan daya saing ekonomi melalui kebijakan yang tepat. Namun yang sering menjadi kondisi pembatas dalam formulasi kebijakan industrialisasi adalah seringkali proses industrialisasi atau periode konsistensi kebijakan melebihi rentang waktu siklus politik. Dus, Kebijakan pembangunan termasuk kebijakan anggaran menjadi rentan akan inkonsistensi akibat alasan-alasan ekonomi politik.

Ibarat kapal, Aceh harus memperkuat lambungnya dengan ketepatan dan konsistensi kebijakan industri  agar dapat mengarungi lautan ekonomi global yang sedang mengganas. Apabila ada ulah salah seorang penumpang untuk melubangi lambung sebagai jalan pintas untuk memperoleh air ketimbang harus naik ke dek atas akan menyebabkan seluruh penumpang akan karam bersama kapal tersebut.

Dalam teori ekonomi politik dan konteks demokrasi, perilaku jalan pintas tersebut hanya dapat dikelola melalui kehadiran transparansi dan akuntabilitas sehingga perilaku jangka pendek dengan mengorbankan tujuan jangka panjang dapat dicegah. Transparansi memungkinkan penumpang lain (rakyat) melihat dan menghentikan perbuatan (kebijakan) yang membahayakan keutuhan kapal tersebut.

Sejatinya, pengelolaan ekonomi Aceh yang efektif dan efisien dalam kerangka industrialisasi mensyaratkan kualitas pengambil keputusan, kebijakan yang dihasilkan, kualitas implementasi kebijakan dan transparansi serta akuntabilitas. Kedua syarat terakhir tersebut adalah apa yang sering disebut dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan kata lain, jika ingin ekonomi Aceh maju ciptakan tata kelola yang transparans. Wallahu a’lam bisshawab

Diterbitkan pada Tabloid Tabangun Aceh Edisi 46, 12 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar