Rabu, 23 April 2014

Karena Hijau itu Madani

Mungkin sudah takdir peringatan hari bumi jatuh bertepatan dengan hari ulang tahun Kota Banda Aceh yaitu tanggal 22 April. Bahkan tahun ini terasa lebih istimewa karena tema peringatan ultah Kota Banda Aceh dan Hari Bumi sangat berkaitan. Hari Bumi 2014 mengambil isu Green City atau Kota Hijau sedangkan Peringatan HUT Banda Aceh ke 809 membopong tema Satukan Tekad. Luruskan Niat, Bersama Kita Wujudkan Model Kota Madani.

Pekarangan Istana Al-Hambra  (www.dreamstime.com)
Kota Madani merupakan sebuah inspirasi dari sebuah tempat yang dulunya bernama Yastrib kemudian diubah nama oleh seorang Junjungan Alam Muhammad SAW menjadi Madinah. Madani dan Madinah mempunyai akar kata yang sama dengan kata tamaddun yang berarti peradaban sehingga Madani berarti berperadaban (civilized). Model Kota Madani yang dituju oleh Banda Aceh adalah Model Kota Madinah yang diterangi oleh cahaya Islam. Cahaya Islam sering digambarkan berwarna hijau sehingga tidak salah apabila dikatakan bahwa Hijau itu Madani.

Pada laman resmi peringatan Hari Bumi, www.earthday.org, dikatakan bahwa Kota Hijau dapat diwujudkan melalui investasi cerdas, kebijakan publik yang berwawasan ke masa depan dan yang terpenting adalah partisipasi aktif masyarakat kota yang cenderung berpendidikan tinggi. Tiga hal tersebut tidak ada satupun bertentangan dengan syariah bahkan tiga hal tersebut perlu dilakukan sebagai bagian dari upaya mewujudkan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani.

Kita sudah sering kali mendengar hadits Nabi tentang perintah menanam pohon meskipun esok hari akan kiamat. Menanam pohon sebagai simbol kegiatan pro-lingkungan juga dihitung sebagai kebajikan yang berkelanjutan (shadaqah jariah) karena pohon yang ditanam dapat dimanfaatkan oleh manusia bahkan hewan. Nabi juga melarang membuang kotorang atau zat berbahaya pada habitat makhluk lainnya dan pada genangan air yang stagnan. Tak heran, jika salah satu tujuan dasar dari syariah Islam adalah menjaga keberlanjutan generasi/masa depan.

Beberapa isu pembangunan hijau yang dirasa penting bagi pengembangan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani adalah air minum dan sanitasi, persampahan, ruang terbuka hijau dan transportasi. Meskipun air minum dapat diakses oleh 98,5 persen oleh masyarakat kota namun kualitas air dan distribusinya masih belum sempurna. Banyak alasan dikemukakan penyebab dari belum optimalnya distribusi PDAM ini. Tingkat kebocoran air yang lebih dari separuh mempengaruhi kemampuan perusahaan pelat merah ini berinvestasi pada infrastruktur distribusi. Belum lagi kualitas air baku yang fluktuatif mengikuti siklus kemarau dan penghujan di DAS Krueng Aceh menunjukkan solusi perbaikan berada di luar wilayah administrasi calon Kota Madani.

Sanitasi lingkungan juga masih belum optimal. Prevalensi kasus  demam berdarah (DBD) menjadi salah satu ukuran. Genangan air stagnan menunjukkan drainase belum menjalankan fungsi sebagai tali air. Got di kawasan pemukiman berwarna hitam menjelaskan keberadaan massif zat organik hasil limpasan dari limbah cair rumah tangga. Meskipun Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota merupakan salah satu SKPK dengan porsi anggaran terbesar dan mampu membiaya truk sampah dan pasukan oranye untuk mengutip sampah, namun warga sangat sulit mencari tempat pembuangan sementara (TPS) di Kutaraja. Banyak TPS timbul tenggelam akibat protes masyarakat sekitar atas polusi bau dan lalat. Polusi ini disebabkan sampah yang dititipkan pada TPS masih bercampur antara limbah dapur dan limbah yang dapat didaur ulang. Keengganan masyarakat untuk memilah sampah menyebabkan kondisi stalemate atau lose-lose situation bagi upaya penangangan sampah dan berakibat pada literisasi sampah yang meningkatkan ongkos pengutipan sampah (garbage collection).


Selanjutnya, kebutuhan warga banda terhadap ruang publik hijau makin hari makin besar. Misalnya, Jogging track yang panjang terasa pendek karena rapatnya warga kota ingin memanfaatkan ruang publik hijau ini. Karena itu, diperlukan penambahan ruang terbuka hijau yang lokasinya tersebar berdasarkan konsentrasi pemukiman. Pembangunan RTH ini bukan saja baik bagi kualitas hidup fisik warga seperti udara bersih namun juga sebagai media rekayasa sosial untuk memperkuat modal sosial komunitas pemukiman melalui persinggungan sosial pada ruang terbuka hijau tersebut.

Kedekatan ruang publik hijau dengan ruang tinggal akan memangkas pergerakan warga dalam rangka memenuhi salah satu kebutuhannya dan berimbas pada pengurangan volume kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kemacetan dan polusi. Kemacetan sudah mulai menampakkan wujudnya di Banda. Sebagai wilayah sub-provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di Aceh, sudah lumrah bahwa penambahan kendaraan bermotor terus melaju. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan pemerintah yang mengelola sisi penawaran (supply side)  maupun sisi permintaan (demand side), bukan tidak mungkin dalam jangka menengah atau panjang Banda Aceh akan seperti Jakarta. 

Untuk itu, Kota Banda Aceh membutuhkan cara-cara cerdas inovatif dan kebijakan integratif-antisipatif yang berwawasan masa depan untuk menciptakan ruang hidup bermartabat bagi warganya. Kebijakan tata ruang pemukiman yang terkonsentrasi akan menciptakan ruang efisiensi bagi pengembangan transportasi publik yang bertujuan untuk menfasilitasi mobilitas warga sekaligus menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun konsentrasi pemukiman juga dapat menyebabkan permasalahan tersendiri jika tidak diantisipasi. Pengelolaan air limbah dan sampah rumah tangga yang tidak baik akan menyebabkan lingkungan jadi kumuh dan tidak sehat dan pada akhirnya warga akan memilih keluar dan pemukiman terpencar (sprawl) kembali menjamur yang menghasilkan kondisi sulit bagi pembangunan hijau.

Kebijakan pengelolaan sisi permintaan untuk lingkungan yang hijau sebagai ciri kota madani merupakan sebuah keharusan. Warga kota yang semakin baik taraf hidupnya membutuhkan kualitas layanan lebih tinggi. Sudah jamak kita rasakan kemacetan yang terjadi pada saat jam masuk dan pulang sekolah di kawasan sekitar sekolah favorit. Kenyataan ini sebenarnya menggambarkan akan kebutuhan warga terhadap kualitas pendidikan. Dengan mengurangi ketimpangan kualitas sekolah, Kota Banda Aceh telah mengelola permintaan warga yang berakibat pada berkurangnya kemacetan, komsumsi bahan bakar dan polusi yang dikeluarkan.

Kebijakan kota hijau lainnya dari sisi permintaan adalah pengelolaan partisipasi aktif masyarakat Kota Banda Aceh. Dengan tingkat ekonomi dan pendidikan yang relatif tinggi, masyarakat kota akan lebih mudah digerakkan untuk berbuat sesuatu untuk kenyamanan hidup termasuk memperbaiki kualitas lingkungan. Merujuk pada teori kebutuhan Maslow, makin sejahtera masyarakat maka kebutuhan aktualisasi diri akan semakin dominan. Makanya tidak heran jika di Banda Aceh banyak ditemui berbagai macam komunitas. Komunitas ini berciri pada kesukarelawaan (voluntarism) dan berkerja dengan passion dan ikhlas. Kota Banda Aceh perlu mendorong tumbuh kembangnya komunitas-komunitas  warga seperti Komunitas Safari Shubuh, One Day One Juz (ODOJ), Hijabers, Onthel,  dan komunitas madani (civil community) lainnya dan mengarahkan aktivitas komunitas tersebut dalam koridor mewujudkan Banda Aceh sebagai Kota Hijau dan Madani. Karena Hijau itu Madani. Insya Allah. 

Jumat, 18 April 2014

Mengasah Daya Saing Aceh

Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Rencana Kerja Pemerintah Aceh Tahun 2015 mengambil tema peningkatan produktifitas dan daya saing untuk penguatan perekonomian yang berkeadilan.  Tema tersebut dirasakan sangat tepat mengingat tantangan di depan mata yang akan dihadapi oleh Aceh. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang akan diberlakukan pada akhir tahun 2015 memberikan peluang sekaligus ancaman bagi ekonomi Aceh. Salah satu pilar dari dari MEA adalah pasar dan basis produksi tunggal. Ini berarti pergerakan barang, jasa, modal, tenaga kerja terampil menjadi bebas keluar masuk diantara negara-negara Asean, termasuk Aceh.
 
Daya Saing (www.corner.eu)
Tentunya Aceh akan lebih baik jika mampu menjadi basis produksi, tidak sekedar menjadi pasar dari produk-produk ASEAN. Seluruh negara dan provinsi yang berada dalam komunitas ASEAN juga berfikir sama seperti Aceh dan akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadi daerah basis produksi. Tentunya, sebagai entitas yang memaksimalkan keuntungan (profit maximizing entity), perusahaan dan/atau konsumen tentu  memilih daerah yang menawarkan iklim usaha yang paling kondusif dan kemampuan menghasilkan produk yang lebih berkualitas. Ini memberikan implikasi jika Aceh tidak dapat bersaing dengan menyediakan iklim investasi yang baik dan menghasilkan produk yang berstandar ASEAN maka Aceh akan ditinggalkan dan hanya menjadi pasar dari produk-produk luar.

Pengertian Daya Saing
World Economic Forum (2012) mendefinisikan daya saing sebuah negara atau daerah sebagai kombinasi dari kualitas institusi politik dan ekonomi, kebijakan dan berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat produktifitas. Tingkat produktifitas selanjutnya akan menentukan tingkat kemakmuran masyarakat dan tingkat pengembalian investasi. Semakin tinggi daya saing sebuah daerah, maka semakin besar kemungkinan daerah tersebut makmur dan menjadi daerah tujuan investasi.

Michael E Porter – seorang pakar strategi dan daya saing dari Harvard Business School- lebih lanjut menjelaskan bahwa daya saing sebuah daerah tergantung pada produktifitas jangka panjang yang diperoleh dari bagaimana cara daerah tersebut menggunakan modal sumberdaya manusia, sumber daya alam dan teknologi.

Pada tahun 1990, Porter menulis sebuah artikel berjudul “The Competitive Advantage of Nations”. Artikel tersebut merupakan kesimpulan dari riset 4 tahun tentang daya saing 10 negara perdagangan utama (trading nations) seperti Denmark, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Swedia, Swiss, Inggris dan Amerika Serikat. Porter menyatakan bahwa daya saing hanya dapat dilakukan oleh pelaku industri atau perusahaan bukan oleh pemerintah. Tugas pemerintah hanya lah menyediakan iklim atau lingkungan yang kondusif serta insentif bagi terciptanyan daya saing. Porter menemukan  empat penentu daya saing sebuah daerah atau lebih dikenal dengan Berlian Porter (Porter’s Diamond). Keempat penentu daya saing tersebut adalah kondisi faktor produksi, kondisi permintaan lokal, kelengkapan struktur industri domestik dan kompetisi yang sehat antar perusahaan lokal.

Faktor produksi meliputi ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas, infrastruktur dasar dan teknologi yang memadai serta regulasi yang berkepastian dan transparans. Permintaan lokal yang dimaksud adalah adanya permintaan konsumen akan produk industri yang berkualitas. Daya saing juga membutuhkan ketersediaan perusahaan dalam rumpun atau pohon industri yang saling terkait secara logistik pada gilirannya akan meningkatkan efesiensi dari rantai produksi industri tersebut. Iklim kompetisi yang sehat akan memberikan dorongan bagi perusahaan untuk terus berinovasi untuk melaksanakan efisiensi dan menghasilkan produk yang berkualitas.

Empat sisi berlian daya saing ini menurut Porter adalah saling menguatkan. Kelemahan pada salah satu sisi akan melemahkan daya saing secara keseluruhan. Permintaan lokal, kelengkapan perusahaan dalam struktur industri dan iklim kompetisi yang sehat akan memberikan tekanan bagi perusahaan untuk terus melakukan perbaikan, sedangkan ketersediaan faktor produksi akan memberikan fondasi yang kuat terhadap terciptanya kreativitas dan daya saing. Perpaduan keempat sisi berlian daya saing cenderung terjadi di dalam konsentrasi geografis sehingga pendekatan cluster menjadi menjadi penting. Insight lain dari penelitian tersebut adalah proses peningkatan daya saing merupakan jalan panjang dan tidak dapat dilakukan secara cepat. Karena itu, prioritas dan pentahapan menjadi hal yang absolut. Prioritas diberikan kepada kekuatan yang dimiliki oleh daerah tersebut misalnya komoditas unggulan menjadi prioritas pengembangan industri.   
        
Meningkatkan Daya Saing Aceh
Bercermin dari empat faktor penentu daya saing a la Porter tersebut, kiranya sangat besar tantangan Aceh untuk menjadi daerah yang berdaya saing. Ini lumrah karena memang telah diingatkan akan perjalanan panjang dan bertahap. Karena itu perencanaan strategis untuk mengasah sisi berlian daya saing menjadi syarat. Pertama, Aceh harus memperbaiki keadaan faktor produksi. Alam yang subur dan kaya akan sumber daya alam harus diolah  secara lebih baik. Data BPS menunjukkan bahwa produktifitas beberapa komoditas unggulan Aceh seperti padi dan jagung  masih berada di bawa rata nasional. Padahal sebagian besar penduduk Aceh bekerja pada sub-sektor tanaman pangan dan palawija. Peningkatan faktor produksi atau produktifitas ini dilakukan melalui perbaikan sumber daya manusia dan infrastruktur dasar dan finansial, teknologi, informasi yang simetris tentang keadaan pasar serta tata niaga yang transparans dan berkeadilan

Kedua, Pemerintah Aceh perlu mendorong tumbuhnya usaha-usaha dalan struktur atau pohon industri yang berbasis rantai nilai dari komoditas unggulan Aceh seperti kopi, kakao, minyak atsiri dan produk perikanan. Kelengkapan struktur industri berbasis komoditas di Aceh akan meningkatkan efesiensi dan menfasilitasi terjadinya aliran informasi dan pengetahuan sehingga inovasi lebih mungkin terjadi. Kelengkapan struktur industri ini perlu diperkuat lagi dengan menjamin iklim kompetisi yang sehat. Favoritisme kebijakan untuk perusahaan tertentu akan melemahkan kemampuan inovasi dan daya saing pelaku usaha di Aceh dalam jangka panjang. Kemudian, program perlindungan konsumen melalui penciptaan konsumen cerdas dan standar regulasi yang ketat dapat mendorong pelaku usaha untuk memenuhi permintaan konsumen dan memenuhi standar melalui perbaikan proses, efisiensi dan inovasi.

Ketiga, Kecenderungan proses peningkatan daya saing industri terjadi pada situasi geografis yang terkonsentrasi memberikan implikasi bagi Pemerintah Aceh untuk mendorong terbentuknya cluster atau aglomerasi melalui penciptaan kawasan industri atau kawasan perhatian investasi. Kawasan ini akan menjadi melting pot yang memadukan semua ramuan (ingredient)  dan mengasah sisi berlian daya saing Aceh sehingga lebih mengkilap.

Terakhir, pentahapan peningkatan daya saing yang membutuhkan waktu lama memberikan resiko inkonsistensi kebijakan. Siklus waktu politik kebijakan seringkali lebih pendek daripada horizon waktu bagi terciptanya industri yang berdaya saing dapat membuat kebijakan berubah ditengah jalan. Karena itu, Aceh butuh konstelasi demokrasi yang kuat dan sehat untuk menjaga proses peningkatan daya saing berjalan konsisten demi kepentingan rakyat Aceh.

Melalui Musyawarah Perencanaan Pembanguan (Musrenbang), perpaduan perencanaan stategis yang bersifat teknokratik dan identifikasi kebutuhan masyarakat yang bersifat partisipatif diharapkan memberikan legitimasi  bagi peningkatan daya saing Aceh secara berkelanjutan. Insya Allah.

Published in Tabangun Aceh, Edisi Musrenbang RKPA 2015, 14 April 2014