Sabtu, 09 Juni 2012

Aceh dan Ekonomi Migrasi


Source: http//ComLuv.com




Dinamika migrasi di Aceh mengalami pasang surut. Ketika konflik melanda Aceh, aliran keluar dari penduduk sangat dirasakan terutama penduduk yang berasal dari etnis non-organik. Kemudian, kegiatan rekonstruksi besar-besaran pasca Tsunami 2004 dan tercapainya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia menyebabkan Aceh kembali menjadi daerah terbuka dengan aliran masuk pekerja migran yang bekerja untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Aliran masuk pekerja ini disebabkan kebutuhan tenaga kerja yang luar biasa disertai dengan kekurangan pasokan pekerja yang ada di Aceh.  Ketersediaan tenaga kerja yang cukup merupakan salah satu kontribusi terhadap prestasi Aceh dan Indonesia yang dianggap sebagai proses rehabilitasi dan rekonstruksi mega bencana terbaik di dunia. 

Masuknya tenaga kerja pendatang menimbulkan kebutuhan tersendiri. Berbagai usaha baru yang tidak berhubungan langsung dengan rehabilitasi dan rekonstruksi mulai merebak terutama di bidang kuliner. Dunia kuliner di Aceh mulai mengenal jenis-jenis masakan baru dari berbagai daerah asal pekerja baik dari luar negeri maupun daerah lainnya di Indonesia. Peluang ini dengan jeli ditangkap baik oleh pendatang maupun warga Aceh sendiri. yang paling mencolok adalah membanjirnya warung nasi uduk, pecel lele, ayam penyet dan lain-lain di kaki lima yang masih bertahan hingga sekarang meskipun rehab/rekon sudah berakhir dan sebagian besar pekerja pendatang sudah kembali ke daerah asal. 

Perkembangan ini tidak hanya menambah daftar kuliner baru namun juga revitalisasi kuliner asli Aceh pula. Berbagai masakan asli yang dulunya hanya bisa dinikmati di beberapa tempat khusus sekarang sudah lebih mudah ditemui di pasaran. Sebut saja manoek masak Aceh Rayeuk, eungkot paya, kuah sie kameng Aceh Utara dan sebagainya. Penciptaan bisnis baru ini tentunya mempunyai multiplier effect baik ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage). Peningkatatan permintaan bahan dasar makanan membuat petani/peternak lebih bergairah dan produktif karena tersedia pasar yang pasti bagi produknya. Keberadaan tempat makan atau restoran juga membuka lapangan kerja, lahan parkir hingga retribusi/pajak untuk penambahan pendapatan asli daerah.

Selain bidang kuliner, sektor bangunan juga mengalami dampak positif dari migrasi. Tambahan pasokan pekerja bangunan pendatang membuat pasar tenaga kerja bangunan di Aceh lebih kompetitif. Pengusaha  real estate dan pemilik bangunan/rumah diuntungkan dengan upah buruh yang lebih murah sehingga dana yang tersedia dapat dialokasikan ke pembangunan lebih banyak bangunan lagi. Keadaan ini menambah lapangan pekerjaan bagi pekerja bangunan serta sebagai sumber pemasukan bagi pemasok material bangunan.

Pasar tenaga kerja yang terbuka terbukti memberikan efek positif bagi perekonomian Aceh. Jika dilihat dari Sembilan sektor ekonomi dalam PDRB, maka sektor perdagangan dan sektor bangunan merupakan dua sektor yang tumbuh paling tinggi semenjak tahun 2005. Pasar tenaga kerja terbuka memungkinkan hadirnya entrepreneur dan pekerja pendatang  yang mempunyai ide dan kreatifitas serta produktifitas yang tinggi. Kehadiran ini tentunya akan membuka kesempatan baru dan menumbuh-kembangkan daya saing hingga akhirnya daya saing Aceh  akan meningkat. Karenanya pemerintah dan masyarakat Aceh perlu menarik migrasi terutama dari kalangan yang mempunyai keahlian dan produktif. Ibarat pepatah 'ada gula, ada semut', Aceh perlu menciptakan "gula-gula" untuk menarik sumber daya manusia yang potensial. penarik tersebut mulai dari keterbukaan/penerimaan masyarakat terhadap pendatang, kejelasan/kemudahan administrasi, jaminan keamanan hingga kemudahan berusaha. 

Keterbukaan bukan berarti selalu berdampak baik. Ia juga dapat memberikan kerawanan. Pergesekan budaya dapat terjadi. Apalagi Aceh yang saat ini sedang menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Ketahanan budaya menjadi suatu keharusan yang mutlak. Jika ketahanan budaya ini tidak ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin keterbukaan malah menyebabkan karakter Aceh dapat punah. Alangkah indahnya, apabila bahasa daerah di Aceh digunakan luas dalam kesempatan informal sebagaimana bahasa jawa dan sunda di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Jawa Barat. Cara berpakaian sopan juga dipatuhi oleh semua kalangan termasuk pendatang seperti suasana Kuala Lumpur di hari Jumat dimana sebagian besar wanita menggunakan baju kurung meskipun ia berasal dari etnis Cina maupun India.  Akhirnya,  yang kita inginkan bersama adalah kemajuan ekonomi dengan karakter Aceh yang Islami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar