Source: http//ComLuv.com |
Dinamika
migrasi di Aceh mengalami pasang surut. Ketika konflik melanda Aceh, aliran
keluar dari penduduk sangat dirasakan terutama penduduk yang berasal dari etnis
non-organik. Kemudian,
kegiatan rekonstruksi besar-besaran pasca Tsunami 2004 dan tercapainya
perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia
menyebabkan Aceh kembali menjadi daerah terbuka dengan aliran masuk pekerja
migran yang bekerja untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Aliran masuk
pekerja ini disebabkan kebutuhan tenaga kerja yang luar biasa disertai dengan
kekurangan pasokan pekerja yang ada di Aceh. Ketersediaan tenaga kerja
yang cukup merupakan salah satu kontribusi terhadap prestasi Aceh dan Indonesia
yang dianggap sebagai proses rehabilitasi dan rekonstruksi mega bencana terbaik
di dunia.
Masuknya tenaga kerja pendatang menimbulkan kebutuhan tersendiri.
Berbagai usaha baru yang tidak berhubungan langsung dengan rehabilitasi dan
rekonstruksi mulai merebak terutama di bidang kuliner. Dunia kuliner di Aceh
mulai mengenal jenis-jenis masakan baru dari berbagai daerah asal pekerja baik
dari luar negeri maupun daerah lainnya di Indonesia. Peluang ini dengan jeli
ditangkap baik oleh pendatang maupun warga Aceh sendiri. yang paling mencolok
adalah membanjirnya warung nasi uduk, pecel lele, ayam penyet dan lain-lain di
kaki lima yang masih bertahan hingga sekarang meskipun rehab/rekon sudah
berakhir dan sebagian besar pekerja pendatang sudah kembali ke daerah
asal.
Perkembangan ini tidak hanya menambah daftar kuliner baru namun
juga revitalisasi kuliner asli Aceh pula. Berbagai masakan asli yang dulunya
hanya bisa dinikmati di beberapa tempat khusus sekarang sudah lebih mudah
ditemui di pasaran. Sebut saja manoek masak Aceh Rayeuk, eungkot paya, kuah sie
kameng Aceh Utara dan sebagainya. Penciptaan bisnis baru ini tentunya mempunyai multiplier effect baik ke depan
(forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage).
Peningkatatan permintaan bahan dasar makanan membuat petani/peternak lebih
bergairah dan produktif karena tersedia pasar yang pasti bagi produknya.
Keberadaan tempat makan atau restoran juga membuka lapangan kerja, lahan parkir
hingga retribusi/pajak untuk penambahan pendapatan asli daerah.
Selain bidang kuliner, sektor bangunan juga mengalami dampak
positif dari migrasi. Tambahan pasokan pekerja bangunan pendatang membuat pasar
tenaga kerja bangunan di Aceh lebih kompetitif. Pengusaha real estate dan
pemilik bangunan/rumah diuntungkan dengan upah buruh yang lebih murah sehingga
dana yang tersedia dapat dialokasikan ke pembangunan lebih banyak bangunan
lagi. Keadaan ini menambah lapangan pekerjaan bagi pekerja bangunan serta
sebagai sumber pemasukan bagi pemasok material bangunan.
Pasar tenaga kerja yang terbuka terbukti memberikan efek positif
bagi perekonomian Aceh. Jika dilihat dari Sembilan sektor ekonomi dalam PDRB,
maka sektor perdagangan dan sektor bangunan merupakan dua sektor yang tumbuh
paling tinggi semenjak tahun 2005. Pasar tenaga kerja terbuka memungkinkan
hadirnya entrepreneur dan pekerja pendatang yang mempunyai ide
dan kreatifitas serta produktifitas yang tinggi. Kehadiran ini tentunya akan
membuka kesempatan baru dan menumbuh-kembangkan daya saing hingga akhirnya daya
saing Aceh akan meningkat. Karenanya
pemerintah dan masyarakat Aceh perlu menarik migrasi terutama dari kalangan
yang mempunyai keahlian dan produktif. Ibarat pepatah 'ada gula, ada semut',
Aceh perlu menciptakan "gula-gula" untuk menarik sumber daya manusia
yang potensial. penarik tersebut mulai dari keterbukaan/penerimaan masyarakat
terhadap pendatang, kejelasan/kemudahan administrasi, jaminan
keamanan hingga kemudahan berusaha.
Keterbukaan bukan berarti selalu berdampak baik. Ia juga dapat memberikan
kerawanan. Pergesekan budaya dapat terjadi. Apalagi Aceh yang saat ini sedang
menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Ketahanan budaya
menjadi suatu keharusan yang mutlak. Jika ketahanan budaya ini tidak
ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin keterbukaan malah menyebabkan karakter
Aceh dapat punah. Alangkah indahnya, apabila bahasa daerah di Aceh digunakan
luas dalam kesempatan informal sebagaimana bahasa jawa dan sunda di Jawa Tengah
dan Jawa Timur dan Jawa Barat. Cara berpakaian sopan juga dipatuhi oleh semua
kalangan termasuk pendatang seperti suasana Kuala Lumpur di hari Jumat dimana
sebagian besar wanita menggunakan baju kurung meskipun ia berasal dari etnis
Cina maupun India. Akhirnya, yang
kita inginkan bersama adalah kemajuan ekonomi dengan karakter Aceh yang Islami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar