Senin, 25 Juni 2012

Zikir(T1) : Reformasi Institusi


25 Juni 2012 menjadi punca transformasi sempurna dari sebuah gerakan kemerdekaan Aceh. Paska kesepahaman Helsinki, Gerakan Aceh Merdeka bermetamorfosa menjadi kekuatan politik non militeristik dalam kerangka Republik Indonesia. Pelantikan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2012-2017 melengkapi dua lembaga pemerintahan daerah -Eksekutif dan Legislatif- kini berada dalam kendali. Seakan tidak ada penghalang lagi untuk agenda kemerdekaan Aceh dalam arti yang hakiki dilaksanakan.

Perjuangan belumlah selesai, melainkan baru dimulai. Ideolog gerakan ini, Alm Tgk H Muhammad Hasan di Tiro, selama masa hidupnya dan dalam berbagai kesempatan kerap memberikan visi dan inspirasi bahwa gerakan ini bertujuan untuk mengembalikan martabat dan kedudukan Aceh sebagai entitas yang disegani di dunia, Atjeh bak Mata Donya. Namun jika kita melihat dimana posisi Aceh saat ini, di mata Indonesia pun Aceh belum cukup syarat untuk disegani. Nanggroe meutuah ini adalah termiskin ke-enam dan memiliki tingkat pengangguran tertinggi ke-tujuh dari 33 provinsi di Indonesia (BPS, 2011). Kenyataan ini memberikan tantangan dan juga bukti bahwa perjuangan Aceh bagaikan marathon dengan lintasan yang panjang.

Aceh dapat dikatakan mengalami sebuah fenomena yang disebut reversal of fortune. Fenomena ini mengambarkan  sebuah daerah yang dahulunya makmur kini terbalik menjadi terbelakang. Sejarah mencatat bahwa kolonialisme merupakan sebab dari pembalikan ini. Acemoglu dan Robinson (2012) dalam bukunya “Why Nations Fail” melihat lebih dalam lagi tentang fenomena tersebut. Mereka mengambil kesimpulan bahwa penyebab utamanya adalah institusi yang dibentuk selama penjajahan. Kebanyakan institusi atau sistem pemerintahan yang dibentuk oleh kolonialis bersifat ekstraktif. Mereka tidak tinggal lama di daerah jajahan sehingga institusi dirancang supaya dapat meraup kekayaan alam sebanyak-banyaknya dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Diskriminasi, favoritisme dan militerisme merupakan karakter dari institusi ini. Berbeda dengan kasus Amerika Serikat yang juga merupakan negara jajahan dimana kolonialis Eropa bermaksud menetap permanen disana dan akibatnya membangun institusi yang lebih ramah, harmoni dan egaliter.

Secara de-jure, Aceh mungkin tidak dijajah karena tidak ada pengakuan takluk dari penguasanya dan perlawanan konstan  dari pejuangnya. Namun sistem pemerintahan, ekonomi dan aspek formal lainnya dipengaruhi oleh institusi ekstraktif buatan Belanda. Akibatnya, peningkatan kualitas manusia Aceh mandeg karena terus diperangi dan sumber daya alam tak henti dikeruk. Setelah merdeka pun, karakter pemerintahan ekstraktif pun masih menguasai Indonesia dan Aceh kembali menjadi korban  ditengah sumber daya migas melimpah saat itu.

Reformasi Institusi
http://www.etftrends.com
Meminjam tesis Acemoglu dan Robinson di atas, adalah sebuah keharusan bagi kepala pemerintah Aceh untuk membangun institusi pemerintah yang baik apabila semangat Atjeh bak Mata Donya ingin dihadirkan kembali. Institusi pemerintah yang ideal adalah institusi yang menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan elit, memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu untuk maju dan berkembang dan mengfasilitasi inisiatif baik bagi kemashlahatan bersama.

Timothy Besley (2006) menulis dalam buku “Principled Agents? The Political Economy of Good Government” bahwa bagi terselenggaranya institusi pemerintahan yang baik, ada dua hal yang perlu dipersiapkan, yaitu seleksi dan insentif. Artinya, agar pembangunan dan roda pemerintahan berjalan sesuai tujuan, ia harus dilaksanakan oleh manusia terbaik. Namun karena manusia mempunyai kecenderungan kepada kepentingan pribadi, sistem insentif dan disinsentif diperlukan untuk menjadi garda penjamin bahwa roda pemerintahan berjalan sesuai yang digariskan.

Seleksi selalu menjadi isu hangat dan politis. Privilege yang melekat pada pemerintahan membuat banyak orang memperebutkan kursi jabatan baik secara positif maupun negatif. Adalah sebuah kewajaran bahwa pemimpin pemerintah membutuhkan tangan kanan yang dapat menjalankan visi dan misinya. Formula dasar sudah sangat jelas, meritocracy. Allah memberikan kemulian-Nya berdasarkan kualitas ketaqwaan (QS49:13). Namun kerap kali pemimpin baru mengalami sebuah permasalahan dalam memilih orang terbaik, lebih dikenal dengan principal-agent problem. Permasalahan ini timbul akibat informasi yang tidak memadai baik tentang kualitas/prestasi riil pejabat (agent) yang akan dipilih maupun tentang visi pemimpin (principal) yang tidak secara baik dipahami oleh agent.

Kemudian,pemilihan berdasarkan delineasi rezim juga problematik. Rasulullah tidak memilih assabiqunal awwalin semata berdasarkan tingkat penentangan rezim jahiliyah terhadap dakwah Islam. Umar bin Khattab didoakan dan diharap oleh Rasulullah untuk bergabung meskipun Umar jelas penentang bahkan pernah berniat menciderai Nabi. Kejelian Muhammad SAW terhadap kualitas dan potensi Umar akhirnya membawa berkah terhadap penyebaran Islam. Hendaknya pemimpin baru Aceh dapat mengumpulkan serta menguji informasi selengkap mungkin tentang kualitas dan kesesuaian kandidat agent dengan visi dan misi yang akan dilaksanakan.

Apabila agent atau pejabat terbaik telah terpilih, maka kualitas sebenarnya diuji melalui tugas keseharian dan tanggung jawab dengan segala fasilitas dan kekuasaannya. Ibarat Perang Badar yang merupakan perang terberat dan ujian kualitas iman, Rasulullah mengatakan bahwa jihad terbesar justru berada pada keseharian yaitu peperangan konstan dengan hawa nafsu. Allah memberi petunjuk bagaimana hidup di dunia dengan memberi insentif bagi siapa berbuat baik (bashiran) dan dis-insentif bagi perbuatan keji (naziran).  Ilmu ekonomi uga mengenal sebuah prinsip, “people respond to incentives”, bahwa manusia merespon terhadap insentif.  Karenanya institusi pemerintahan baru ini perlu mengembangkan sistem insentif.

Sistem insentif yang dimaksud bukan hanya melulu masalah kenaikan remunerasi, melainkan besar kecilnya remunerasi berdasarkan prestasi dan kontribusinya dalam menyukseskan program pembangunan. Tolok ukur kinerja perlu ditetapkan secara jelas dan berkeadilan. Sistem karir yang berdasarkan kompetensi akan memicu persaingan positif dan berujung pada berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Selain itu, akuntabilitas dan transparansi menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan, dalam artian kinerja pejabat publik beserta kebijakannya dapat dimonitor oleh rakyat.  

Perlu juga diwaspadai bahwa institusi yang buruk mempunyai kelembaman untuk tetap menjadi buruk. Ia cenderung memberikan fasilitas dan keuntungan bagi elit tertinggi dalam kekuasaan dan dapat memperpanjang lingkaran setan institusi buruk tersebut. Banyak pemimpin nasional di berbagai belahan dunia yang berhasil mengusir penjajah dan memerdekakan negaranya akhirnya menjadi diktator di negara sendiri. Hal ini akibat institusi warisan penjajah tetap dipertahankan dan dinikmati oleh segelintir elit mantan pejuang. Karenanya, ketegasan dan keseriusan harus dimulai dari tauladan pimpinan tertinggi.


Penulis yakin apabila institusi pemerintah Aceh dapat ditransformasi menjadi institusi yang inklusif, bukan ekstraktif maka proses pembalikan kembali dimulai dan kali ini menuju kembalinya martabat Aceh di mata dunia melalui perdamaian dan kemakmuran yang dinikmati rakyatnya. Ini-lah sejatinya hakikat perjuangan kemerdekaan Aceh. Kepada pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf diucapkan selamat mengemban tugas sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh. Semoga Allah SWT memberikan bimbingan dan petunjuk bagi Pemimpin Aceh dalam memakmurkan Nanggroe ini. Amiin.

Sabtu, 09 Juni 2012

Aceh dan Ekonomi Migrasi


Source: http//ComLuv.com




Dinamika migrasi di Aceh mengalami pasang surut. Ketika konflik melanda Aceh, aliran keluar dari penduduk sangat dirasakan terutama penduduk yang berasal dari etnis non-organik. Kemudian, kegiatan rekonstruksi besar-besaran pasca Tsunami 2004 dan tercapainya perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Indonesia menyebabkan Aceh kembali menjadi daerah terbuka dengan aliran masuk pekerja migran yang bekerja untuk kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi. Aliran masuk pekerja ini disebabkan kebutuhan tenaga kerja yang luar biasa disertai dengan kekurangan pasokan pekerja yang ada di Aceh.  Ketersediaan tenaga kerja yang cukup merupakan salah satu kontribusi terhadap prestasi Aceh dan Indonesia yang dianggap sebagai proses rehabilitasi dan rekonstruksi mega bencana terbaik di dunia. 

Masuknya tenaga kerja pendatang menimbulkan kebutuhan tersendiri. Berbagai usaha baru yang tidak berhubungan langsung dengan rehabilitasi dan rekonstruksi mulai merebak terutama di bidang kuliner. Dunia kuliner di Aceh mulai mengenal jenis-jenis masakan baru dari berbagai daerah asal pekerja baik dari luar negeri maupun daerah lainnya di Indonesia. Peluang ini dengan jeli ditangkap baik oleh pendatang maupun warga Aceh sendiri. yang paling mencolok adalah membanjirnya warung nasi uduk, pecel lele, ayam penyet dan lain-lain di kaki lima yang masih bertahan hingga sekarang meskipun rehab/rekon sudah berakhir dan sebagian besar pekerja pendatang sudah kembali ke daerah asal. 

Perkembangan ini tidak hanya menambah daftar kuliner baru namun juga revitalisasi kuliner asli Aceh pula. Berbagai masakan asli yang dulunya hanya bisa dinikmati di beberapa tempat khusus sekarang sudah lebih mudah ditemui di pasaran. Sebut saja manoek masak Aceh Rayeuk, eungkot paya, kuah sie kameng Aceh Utara dan sebagainya. Penciptaan bisnis baru ini tentunya mempunyai multiplier effect baik ke depan (forward linkage) maupun ke belakang (backward linkage). Peningkatatan permintaan bahan dasar makanan membuat petani/peternak lebih bergairah dan produktif karena tersedia pasar yang pasti bagi produknya. Keberadaan tempat makan atau restoran juga membuka lapangan kerja, lahan parkir hingga retribusi/pajak untuk penambahan pendapatan asli daerah.

Selain bidang kuliner, sektor bangunan juga mengalami dampak positif dari migrasi. Tambahan pasokan pekerja bangunan pendatang membuat pasar tenaga kerja bangunan di Aceh lebih kompetitif. Pengusaha  real estate dan pemilik bangunan/rumah diuntungkan dengan upah buruh yang lebih murah sehingga dana yang tersedia dapat dialokasikan ke pembangunan lebih banyak bangunan lagi. Keadaan ini menambah lapangan pekerjaan bagi pekerja bangunan serta sebagai sumber pemasukan bagi pemasok material bangunan.

Pasar tenaga kerja yang terbuka terbukti memberikan efek positif bagi perekonomian Aceh. Jika dilihat dari Sembilan sektor ekonomi dalam PDRB, maka sektor perdagangan dan sektor bangunan merupakan dua sektor yang tumbuh paling tinggi semenjak tahun 2005. Pasar tenaga kerja terbuka memungkinkan hadirnya entrepreneur dan pekerja pendatang  yang mempunyai ide dan kreatifitas serta produktifitas yang tinggi. Kehadiran ini tentunya akan membuka kesempatan baru dan menumbuh-kembangkan daya saing hingga akhirnya daya saing Aceh  akan meningkat. Karenanya pemerintah dan masyarakat Aceh perlu menarik migrasi terutama dari kalangan yang mempunyai keahlian dan produktif. Ibarat pepatah 'ada gula, ada semut', Aceh perlu menciptakan "gula-gula" untuk menarik sumber daya manusia yang potensial. penarik tersebut mulai dari keterbukaan/penerimaan masyarakat terhadap pendatang, kejelasan/kemudahan administrasi, jaminan keamanan hingga kemudahan berusaha. 

Keterbukaan bukan berarti selalu berdampak baik. Ia juga dapat memberikan kerawanan. Pergesekan budaya dapat terjadi. Apalagi Aceh yang saat ini sedang menyempurnakan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah. Ketahanan budaya menjadi suatu keharusan yang mutlak. Jika ketahanan budaya ini tidak ditingkatkan, maka bukan tidak mungkin keterbukaan malah menyebabkan karakter Aceh dapat punah. Alangkah indahnya, apabila bahasa daerah di Aceh digunakan luas dalam kesempatan informal sebagaimana bahasa jawa dan sunda di Jawa Tengah dan Jawa Timur dan Jawa Barat. Cara berpakaian sopan juga dipatuhi oleh semua kalangan termasuk pendatang seperti suasana Kuala Lumpur di hari Jumat dimana sebagian besar wanita menggunakan baju kurung meskipun ia berasal dari etnis Cina maupun India.  Akhirnya,  yang kita inginkan bersama adalah kemajuan ekonomi dengan karakter Aceh yang Islami. 

Kamis, 07 Juni 2012

Menyoal Kebutuhan Investasi dalam RPJM


Harian Serambi Indonesia (2 Juni 2012) menerbitkan sebuah opini yang sangat menarik terkait dengan penyusunan RPJM Aceh Periode 2012-2017.  Opini yang ditulis oleh ekonom senior Universitas Syiah Kuala, Rustam Effendi, mengungkapkan sebuah poin penting, yaitu perlunya kehati-hatian dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi serta pemahaman akan konsekuensi dari penetapan target. Effendi menggunakan teori pertumbuhan Harrod-Domar dalam menghitung kebutuhan investasi fisik untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Perhitungan kebutuhan investasi ini sebagaimana disebut oleh penulis opini dikenal dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio).

ICOR dapat didefinisikan sebagai tambahan unit investasi yang dibutuhkan untuk mencapai satu unit pertumbuhan ekonomi. Makin besar nilai ICOR makin besar nilai investasi yang diperlukan untuk mencetak tambahan satu persen pertumbuhan. Dengan kata lain, ICOR dapat disebut sebagai indikator inefesiensi produktivitas investasi fisik terhadap pertumbuhan ekonomi. Effendi menghitung ICOR Aceh sebesar 4,64 dan memperkirakan kebutuhan investasi fisik mencapai Rp. 9,7 Trilyun untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 6 persen. Ini berarti jika semua anggaran pembangunan Aceh hanya berasal dari APBA dan semuanya dialokasikan ke pembangunan fisik, pertumbuhan Aceh masih dibawah pertumbuhan ekonomi nasional, dimana pada tahun 2011 Indonesia tumbuh 6,5 persen. Masih ada harapankah Aceh lebih maju dari provinsi lain? Mungkinkan investasi pemerintah lebih efektif dan efisien mendongkrak pertumbuhan ekonomi ditengah kemarau investasi swasta di Nanggroe Aceh Darussalam ini?

Harrod-Domar vs Solow-Swan
Ketika perhitungan kebutuhan investasi fisik melalui model pertumbuhan Harrod-Domar atau ICOR, asumsi utama yang dipakai bahwa kapital hasil investasi akan memberikan kontribusi terhadap output ekonomi secara konstan. Model ini tidak mengenal efek penurunan kontribusi (diminishing effect) dari kapital Akibatnya peranan kapital dalam model ini cenderung lebih besar dari sesungguhnya (overstated). Padahal masih ada faktor produksi lain yang secara dinamis dan simultan berkontribusi terhadap output dan pertumbuhan ekonomi.

Model pertumbuhan yang paling ramai digunakan saat ini adalah model Solow-Swan. Dalam model ini terdapat dua faktor produksi yaitu kapital dan tenaga kerja. Perbedaan mendasar antara model ini dan sebelumnya adalah bahwa terdapat efek penurunan kontribusi atau produktifitas dari tambahan kapital apabila faktor lainnya (tenaga kerja efektif) tidak bertambah. Easterly (2002) dalam bukunya The Elusive Quest for Growth  mendeskripsikan pembangunan ekonomi laksana membuat kue dimana ada dua bahan utama pembuat kue yaitu tepung dan susu. Untuk menghasilkan kue yang lebih banyak dan berkualitas, tidak cukup hanya menambah investasi tepung sedangkan susu tidak bertambah. Apabila hal tersebut dilakukan, maka kue yang dihasilkan tidak terwujud dan bercita rasa aneh. Membangun ekonomi adalah menemukan kombinasi yang cocok antara faktor-faktor produksi. Jika kombinasi-nya pas maka nilai ICOR pasti turun karena produktifitas kapital terhadap output ekonomi menjadi optimal. Ia juga berarti dana investasi fisik bisa lebih efisien dan pertumbuhan ekonomi menjadi maksimal.   

Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi tinggi selain investasi kapital fisik, investasi yang bertujuan untuk meningkatkan produktifitas tenaga kerja harus diimbangi melalui investasi sumber daya manusia dan pengetahuan/teknologi. Model pertumbuhan Solow-Swan dan endogenous growth theory (model pertumbuhan terbaru) menyiratkan bahwa modal manusia dan teknologi adalah sumber utama pertumbuhan dalam jangka panjang atau berkelanjutan.


Smart Planning     
Source : http://shinkicker.hubpages.com/hub/Celebrity-Cook-Off-USA-The-Best-TV-Chefs

Perencanaan adalah sebagian ilmu dan sebagian lainnya adalah seni. Perencana pembangunan bertindak seperti koki yang mempersiapkan beragam makanan untuk sebuah pesta besar. Seorang koki yang piawai tidak terpaku pada resep baku tentang kombinasi racikan bumbu dan bahan makanan. Resep adalah petunjuk umum namun si koki menentukan berapa sendok, gram atau potong bumbu dan bahan masakan yang dikombinasikan berdasarkan dari kualitas dan kuantitas bahan yang ada serta selera para undangan.

Membangun ekonomi tidak cukup dengan mengatakan jumlah kebutuhan dana tertentu dan dibagi merata. Alokasi dana pembangunan harus berdasarkan keadaan aktual dan tujuan akhir dari masing-masing sektor pembangunan. Kepiawaian perencana pembangunan sangat tergantung pada kejelian dalam menilai faktor produksi mana yang perlu tambahan investasi sehingga kombinasi untuk sektor tersebut menjadi pas dan berakhir pada keluaran dan dampak pembangunan menjadi baik.

Tidak semua sektor membutuhkan tingkat investasi fisik yang sama untuk menghasilkan keluaran yang baik. Misalnya sektor pendidikan atau kesehatan di Aceh sudah mempunyai gedung sekolah, rumah sakit, puskesmas hingga pustu yang megah. Namun apabila produktifitas tenaga kerja seperti guru dan tenaga kesehatan rendah, maka keberadaan infrastruktur fisik tersebu tak berkontribusi signifikan terhadap pembangunan ekonomi yang berwujud manusia Aceh yang sehat, cerdas, trampil, inovatif dan mempunyai entrepreneurship.  Ketika infrastruktur jalan bertaraf internasional tidak diimbangi oleh produktifitas pertanian dan industri yang tinggi, maka keberadaan jalan tersebut tidak berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Malah ia dapat menjadi sebab masuknya komoditi murah dari daerah penghasil lainnya yang mempunyai produktifitas lebih tinggi karena ongkos transport yang murah. Akibatnya net ekspor daerah dan output ekonomi daerah pun menurun.

Begitu juga dengan kualitas tenaga kerja apabila tidak dibarengi dengan keberadaan infrastruktur fisik yang memadai maka ia tidak mampu berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Seorang pandai besi yang bisa menyulap rongsokan besi menjadi produk akhir seperti pagar rumah, bangku dan teralis tak bisa menambah nilai tambah ekonomi dari rongsokan yang ia punya apabila mesin las nya tidak dialiri listrik.


Dalam menyusun RPJM sebagai bahan acuan utama pembangunan lima tahun kedepan, hendaknya perencana benar-benar jeli dan cerdas dalam menentukan investasi apa yang tepat pada masing-masing sektor pembangunan. Selain itu, berbagai sumber dana pembangunan (APBK, APBN dan investasi swasta) perlu dikoordinasikan dan dimobilisir sehingga volume investasi yang lebih besar dari kapital fisik, teknologi dan manusia dengan kombinasi pas dan optimal  menyebabkan kue pembangunan ekonomi Aceh bertambah secara maksimal dan lezat.