Aceh Development Board, Edisi Oktober 2009 |
Apabila kita melihat struktur
ekonomi Aceh non-migas, sektor pertanian menempati urutan pertama sebagai
kontributor produk regional bruto provinsi. Kemudian juga dari sisi tenaga
hampir setengah dari angkatan kerja di Aceh bekerja pada sektor ini sehingga
adalah sangat relevan apabila sektor
pertanian menjadi pilihan pertama yang harus dintervensi jika kemiskinan akan
diatasi di Aceh.
Sebagaimana di negara dan provinsi lainnya, kemiskinan di Aceh merupakan
fenonema perdesaan yang berarti kantung-kantung kemiskinan berada di pedesaan.
Salah satu fitur dari kawasan perdesaan yaitu minimnya infrastruktur yang
melayani penduduk setempat. Infrastruktur tersebut berupa jalan, irigasi, air
bersih dan sanitasi, telekomunikasi dan kelistrikan. Pengalaman sukses China
dalam meningkatkan kinerja usaha kecil menengah di pedesaan adalah penyediaan
infrastruktur transportasi, telekomunikasi dan kelistrikan di pedesaan sesuai
dengan standar pelayanan minimal. UKM di China pada tahun 1994 telah
mempekerjakan lebih dari 100 juta penduduk atau setara dengan 18 % dari total
angkatan kerja China.
Laporan Pembangunan Dunia (World
Development Report) tahun 1994 dengan judul Infrastructure for Development mengatakan bahwa hubungan antara
kapasitas infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi berbanding lurus. Artinya
setiap satu persen peningkatan investasi infrastruktur akan meningkatkan produk
domestik bruto (PDB) sebesar 1 persen pula. Laporan ini konsisten dengan
premise Rostow yang mengatakan jika infrastruktur merupakan prasyarat bagi
pertumbuhan ekonomi. Secara konklusif
dapat dikatakan bahwa peran infrastruktur sangat instrumental bagi pertumbuhan
ekonomi dan tentunya juga pengurangan kemiskinan.
Studi tentang Aceh Growth Diagnostic
(2009) menyebutkan bahwa untuk merevitalisi sektor pertanian yang bertujuan
untuk meningkatkan produktivitas petani.hendaknya lebih diprioritaskan pada
penyediaan pelayanan infrastruktur seperti pembangunan jalan yang memudahkan
akses ke lahan pertanian dan juga ke pasar. Pembukaan akses ini juga akan
memperkuat urban-rural linkage yang
bukan hanya bermanfaat bagi perekonomian pedesaan namun juga akan memudahkan
distribusi manfaat sosial lainnya. Kemudian irigasi juga menjadi sebab dari
naik turunnya produktivitas petani karena itu keadaan irigasi yang prima harus
dipertahan dan ditingkatkan. Selain itu pasokan listrik yang cukup dan kontinu
akan mendukung tumbuhnya sektor sekunder di sektor ini dengan hidupnya proses
pengolahan hasil-hasil pertanian yang bisa memberikan nilai tambah produk
pertanian. Akses telekomunikasi juga memainkan peran yang penting dalam
peningkatan produktifitas petani atau nelayan. Sebuah contoh, nelayan India menggunakan handphone untuk mendapatkan informasi pasar dan menentukan dimana
mereka akan mendaratkan hasil tangkapan ikan mereka agar terjual dengan harga
yang lebih tinggi (”To do with the price
of fish” - The Economist, 10 May
2007). Karenanya pembangunan
infrastruktur akan lebih efektif dalam peningkatan produktifitas petani dan
pengurangan kemiskinan pedesaan ketimbang melakukan subsidi pupuk dan pestisida
yang rawan akan penyalahgunaan sehingga bisa mengganggu pasar dan juga
lingkungan. Tentunya hal ini berlaku apabila petani/nelayan sudah terintegrasi
dengan sistem pasar yang efisien dan sehat.
Sebuah mainstream pendekatan yang
baru dalam pembangunan adalah apa yang disebut dengan right based approach atau pendekatan pembangunan berbasis hak. Pendekatan ini menyatakan bahwa setiap
rakyat berhak menikmati standar pelayanan minimal yang sama walaupun berada
pada kondisi geografis, status sosial serta tingkat ekonomi berbeda. Sebuah
laporan pembangunan dunia tahun 2009 yang bertajuk ”Reshaping Economic Geography”
mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merata, artinya pertumbuhan
ekonomi cenderung berpusat pada titik-titik geografis tertentu. Kawasan pesisir
akan lebih mungkin cepat tumbuh dibanding kawasan pedalaman (hinterland). Hal
ini dikarenakan kawasan pesisir lebih memudahkan terjadi proses pertambahan
nilai seperti industri dan perdagangan. Jeffrey D Sach dalam bukunya, The End of Poverty - hal 57 (2005), juga
mendiagnosa bahwa posisi geografis dapat menjadi penentu kemiskinan. Beberapa
negara termiskin merupakan negara yang terkunci secara spasial (landlocked); berada di kawasan
pegunungan, dan/atau tidak mempunyai akses transportasi seperti sungai dan
laut. Hal ini menjadi kontekstual dengan kasus Aceh dengan membandingkan Kota Banda
Aceh dan Kabupaten Gayo Lues terhadap angka indeks pembangunan manusia yang
berada pada range paling atas (76,74) dan paling bawah (67,17) di tingkat
Provinsi Aceh (BPS, 2008). Sebagaimana dimaklumi dimana kabupaten Gayo Lues
mempunyai tipe kawasan landlocked. Namun Laporan dan Sach tetap berpendapat pembangunan masih bisa
inklusif. Diantara resep yang
diberikan adalah infrastruktur yang menghubungkan antara
kedua daerah/entitas geografis yang berlainan misalnya pesisir dan pedalaman.
Untuk menyelesaikan permasalahan distribusi kemiskinan di Aceh yang
mempunyai pola dimensi geografis perkotaan vs perdesaan atau pesisir vs
pedalaman, maka sudah seharusnya Pemerintah Aceh mengambil perhatian lebih
serius dalam pembangunan infrastruktur. Tentunya pembangunan infrastruktur ini
harus memakai sebuah framework atau kerangka kerja pembangunan yang bertujuan
mengentaskan kemiskinan sehingga prioritas pembangunan dapat lebih jelas
terpetakan. Hanya infrastruktur yang punya leverage
atau daya ungkit produktifitas lebih baik yang menjadi prioritas. Hal ini
dikarenakan oleh keterbatasa dana pembangunan yang tersedia.
Terkait dengan adanya selisih kebutuhan
fiskal dan kemampuan fiskal dalam pembangunan infrastruktur, keterlibatan
swasta dalam pembiayaan pembangunan menjadi sesuatu yang realistis dan
dibutuhkan. Subsektor
kelistrikan dan telekomunikasi kiranya menjadi lahan yang bagus bagi swasta untuk
berpartisipasi. Selain itu manajemen infrastruktur yang baik harus diterapkan
secara prima mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Ini
bertujuan untuk menjamin kualitas dan kemampuan infrastruktur dalam menyediakan
pelayanan kepada rakyat dalam rangka penuntasan permasalah kemiskinan mereka.
Akhirnya, pembangunan infrastruktur di Aceh haruslah bersifat inklusif dan dilakukan
dengan sebuah pemahaman bahwa setiap rakyat Aceh mempunyai hak yang sama untuk
menjadi tidak miskin dan mendapatkan pelayanan infrastruktur sebagaimana samanya hak politik yang
ditunjukkan dengan nilai suara (vote)
yang sama antara seorang yang tinggal di kawasan elit di Kota Banda Aceh dan
seorang warga lainnya di Desa Ramung Musara Kecamatan Putri Betung Kabupaten
Gayo Lues dalam pemilihan gubernur dan presiden. Wallahua’lam bisshawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar