Kamis, 02 Juli 2009

ADB Series - Perspektif Sosial dalam Isu Kerusakan Lingkungan

Aceh Development Board. Edisi Juli 2009
Kerusakan lingkungan atau degradasi lingkungan merupakan sebuah isu panas dalam pembangunan. Berbagai disrupsi dalam usaha penyejahteraan masyarakat bersumber pada menurunnya kualitas lingkungan dalam menyediakan jasanya terhadap manusia. Karena itu isu lingkungan ini sudah menjadi prioritas penanganan agar pembangunan berlangsung secara efektif.

Pengarus-utamaan (mainstreaming) isu lingkungan dalam pembangunan dimulai oleh apa yang disebut Komisi Bruntland (1983). Komisi ini memperkenalkan sebuah istilah pembangunan berkelanjutan, sustainable development, yang menjadi salah satu konsep yang paling banyak disebut oleh praktisi pembangunan sejak saat itu. Konsep dasar dari pembangunan berkelanjutan adalah  pembangunan masa sekarang seharusnya tidak menyebabkan hilang/rusaknya sumber daya   yang diperlukan oleh generasi masa datang. Dari konsep ini lahir sebuah adagium bahwa dunia ini bukanlah warisan nenek moyang melainkan titipan untuk anak cucu.

Sejalan dengan hal diatas, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadvokasi pembangunan berkelanjutan dengan melahirkan agenda 21 melalui sebuah konferensi bumi (UNCED – United Nation Conference on Environment and Earth)  di Rio de Janeiro, Brazil pada tanggal 14 Juni 1992. Kemudian satu dekade setelahnya, Konferensi Bumi kedua dilaksanakan di Johannesburg, Afrika Selatan, 27 Agustus 2002. Konferensi Bumi kedua ini atau lebih dikenal dengan World Summit on Sustainable Development (WSSD) mempertegas komitmen PBB untuk melaksanakan agenda 21 maupun mendukung pencapaian tujuan pembangunan milenium (MDGs) dimana salah satu tujuan adalah memastikan kelestarian lingkungan hidup (tujuan ke-tujuh). Tak ingin ketinggalan, Pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Gubernur Irwandy Yusuf telah mengadopsi sebuah visi baru, green vision, dimana konsep pembangunan berkelanjutan menjadi isu sentral dari visi pemerintah pasca MOU Helsinki dan perdamaian. 

Namun demikian, kerusakan lingkungan masih terus berlangsung. Benua es kutub utara dan selatan mengalami penyusutan yang ditandai dengan mencairnya dinding/tebing es akibat peningkatan suhu global. Di Indonesia, laju penurunan luas hutan akibat penebangan mencapai 2 juta ha per tahun atau sekitar 1 lapangan bola per detik. Di Aceh, beberapa fenonema alam juga telah menunjukkan keparahan kerusakan lingkungan. Sebut saja, banjir bandang di Aceh Tamiang pada akhir 2006, banjir dan tanah longsor yang terjadi hampir merata hingga kasus ie mirah (eutrofikasi) yang pernah terjadi di pesisir Lhokseumawe di tahun 2007. 

Aspek Sosial dari Kerusakan Lingkungan.
Terhadap kerusakan di dunia, Al Quran menyebutkan bahwa “ Telah nyata kerusakan di darat maupun di laut akibat tangan-tangan manusia. Supaya Allah merasakan kepada manusia akibat dari perbuatan dengan tujuan agar manusia dapat kembali ke jalan yang benar”. Dari ayat diatas dapat diambil kesimpulan bahwa bahwa kerusakan lingkungan merupakan akibat dari proses sosial atau kegiatan manusia dalam perjalanan hidupnya. Seorang ahli lingkungan Perancis Jacques Weber membenarkan kontribusi proses sosial yang signifikan terhadap penurunan kualitas lingkungan. Weber membuat premise” La gestion environnementale n'est pas une question de rapport des hommes avec la nature mais une question de rapport entre les hommes à propos de la nature”, yang mempunyai arti bahwa sebenarnya mengelola lingkungan lebih pada bagaimana mengelola hubungan antar manusia (proses sosial) dalam memandang atau memanfaatkan lingkungan.

Sebut saja permasalahan lingkungan yang sangat aktual, pembangunan infrastruktur atau jalan di kawasan hutan. Para aktivis lingkungan merupakan pihak yang menentang pembangunan tersebut karena khawatir terhadap ekses dari keberadaan  jalan akan memudahkan terjadinya pembalakan liar (illegal logging). Sedangkan pihak yang mendukung beralasan bahwa pembangunan jalan akan membuka isolasi daerah dan mempercepat pertumbuhan ekonomi kawasan. Jika kita tilik lebih dalam, permasalahan tidak terletak pada hutan ataupun jalan sebagai bagian dari entitas lingkungan. Permasalahan yang timbul adalah dikarenakan perilaku sosial (masyarakat) dalam memanfaat potensi ekonomi hutan dan lemahnya institusi sosial (peraturan dan penegakannya) dalam mengatur hubungan antar berbagai pihak yang terkait dengan hutan dan jalan seperti penebang hutan, petani, masyarakat daerah pedalaman, aparat penegak hukum dan lain sebagainya.

Perspektif Sosial terhadap Pencegahan Kerusakan Lingkungan.
Berdasarkan pemahaman bahwa akar permasalahan lingkungan adalah permasalahan sosial, sudah selayaknya tindakan pencegahan dan rehabilitasi direncanakan dengan mempertimbangkan aspek sosial kemasyarakatan. Apabila dilihat dari modal dasar, Provinsi Aceh mempunyai kekuatan sosial atau social capital dalam menangani masalah ini. Secara turun temurun, rakyat Aceh telah melakoni kehidupan yang berkaitan dengan eksploitasi sumber daya alam secara harmonis dan berkelanjutan melalui tatanan sosial  seperti keujruen blang, adat uteunadat seuneubok, hukom adat laot dan lain sebagainya. Institusi-institusi sosial semacam ini perlu direvitalisasi guna pengelolaan lingkungan secara berkelanjutan.

Namun konflik yang berkepanjangan telah memberi kontribusi akan hancurnya ikatan sosial (social bonding). Kemudian diperparah dengan globalisasi yang ditandai dengan terbukanya informasi terhadap potensi ekonomi komoditas tertentu sehingga terjadi eksploitasi secara serampangan tanpa ada pencegahan secara sosial (social control). Tercapainya perdamaian di Aceh memberikan peluang untuk menata kembali konstelasi sosial masyarakat Aceh dengan merevitalisasi atau menghidupkan kembali tatanan sosial sebagaimana disebut diatas.

Untuk itu, pendekatan di sisi penawaran dan permintaan harus dilakukan secara paralel. Di sisi permintaan (demand side approach), program pendidikan dan sosialiasai merupakan strategi yang dianggap jitu guna menumbuhkan kebutuhan akan lingkungan yang sehat dan yang dapat memberikan jasanya untuk kemashlahatan masyarakat. Kemudian di sisi penawaran (supply side approach), pemerintah harus memberikan insentif bagi masyarakat. Ini sesuai dengan salah satu prinsip ekonomi, people respond to incentives” (bahwa manusia melakukan sesuatu karena ada imbalan). Anggaran reguler dan dana BKPG (Bantuan Keuangan Peumakmu Gampong) perlu dialokasikan untuk revitalisasi institusi sosial melalui pemberdayaan masyarakat. Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan memanfaatkan komitmen global seperti mekanisme carbon trade dan clean development mechanism  (CDM) serta corporate social responsibility (CSR) bagi kesejahteraan masyarakat yang menjadikan sumber daya alam sebagai mata pencaharian utama. Pemerintah seharusnya mengadvokasi masyarakat guna mendapatkan insentif dari mekanisme tersebut sehingga kompensasi yang didapat digunakan untuk kemakmuran tanpa memberikan tekanan yang berlebihan kepada lingkungan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Untuk kerusakan lingkungan skala besar yang dilaksanakan secara lebih terorganisir, pengelolaan harus menggunakan institusi sosial yang lebih rumit seperti UU atau Qanun serta penegakan hukum yang tegas. Selain mengatur perilaku pemanfaatan lingkungan, institusi sosial ini  juga harus menjamin ruang bagi masyarkat untuk ikut mengawasi atau mensomasi pelaku kerusakan.

Apabila institusi sosial , di tingkat komunitas dan negara seperti kearifan lokal , reusam, qanun dan peraturan perundangan-undangan lainnya, bisa berjalan dengan efektif. Pembangunan berkelanjutan akan menjadi sebuah kenyataan dan Visi Hijau Pemerintah Aceh bisa membumi di Bumoe Seuramoe Meukah. Insya Allah.  


    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar