Selasa, 24 Juli 2007

Pengelolaan Terpadu Kawasan Pesisir Aceh (Pasca Tsunami)


Pesisir kembali menjadi perhatian dunia. Gempa 17 Juli 2006 di Samudera Hindia lepas pantai selatan Jawa yang kemudian diikuti tsunami merusak kawasan pesisir selatan Jawa. Sebelumnya, Tsunami tanggal 26 Desember 2004 juga meluluhlantakkan pesisir sejumlah negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Pesisir Aceh merupakan kawasan paling parah kerusakannya karena posisinya yang sangat dekat dengan pusat gempa. 

Pesisir merupakan sebuah kawasan yang khas dan sangat penting artinya. Kawasan ini secara natural merupakan daerah transisi, pertemuan antara daratan dan lautan karena itu sangat logis apabila kawasan ini rawan dari bencana-bencana yang berasal dari lautan.Kawasan pesisir juga sering menjadi tempat dimana konsentrasi ekonomi dan demografi bertemu. Badan dunia memperkirakan hampir separuh dari penduduk dunia tinggal di daerah pesisir yang hanya 22% dari luas total daratan dunia. Jumlah ini akan berlipat dua kali pada tahun 2050. Pusat ekonomi dunia banyak terdapat di kawasan ini. Tokyo, Hongkong, Singapura, London dan New York berada di daerah pesisir. Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam juga terletak di kawasan pesisir. Alasannya sederhana, kawasan ini memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan kontinen.

Selain tekanan demografi dan ekonomi, kawasan ini juga sangat rawan akan bencana. Selain tsunami, badai tropis yang disertai limpasan ombak besar juga menjadi hantu menakutkan bagi populasi yang mendiami kawasan pantai. Tragedi badai di Bangladesh pada tahun1991 yang menelan korban hingga 145.000 jiwa atau badai Katrina di pesisir Louisiana, Amerika Serikat adalah sedikit contoh dari betapa rapuh (fragile)  kawasan ini.

Kompleksitas kawasan pesisir tentunya membutuhkan sebuah pengelolaan yang terpadu. Pengelolaan yang menata berbagai kegiatan yang berlangsung di kawasan tepi laut ini.  Isu pembangunan kawasan pesisir secara terpadu mulai mendapat perhatian dunia setelah sebuah konferensi PBB di bidang Pembangunan dan Lingkungan (United Nation Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil menghasilkan sebuah agenda 21 dimana isu perlindungan laut dan pantai tertera dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 17. Manajemen Kawasan Pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management, begitulah disebut sebuah konsep pembangunan  berkelanjutan di kawasan pesisir pantai.

Konsep Dasar
Sebagaimana halnya pengelolaan lingkungan, pengelolaan kawasan pesisir melibatkan dua entitas, yaitu entitas alam dan manusia. Alam atau lingkungan pesisir memberikan jasanya untuk manusia yang mendiami lingkungan pesisir dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Kalau direnungi, diantara kedua entitas tersebut, hanya kegiatan manusia merupakanvariable, artinya kegiatan atau program pembangunan dapat diubah atau disesuaikan. Sedangkan lingkungan mempunyai sebuah logika/aturan tersendiri (sunnatullah) dalam siklus hidupnya. Karena itu, untuk mencapai harmonisasi lingkungan dan pembangunan diperlukan adanya pemahaman yang benar tentang lingkungan pesisir sehingga aktivitas pembangunan tidak sampai mengurangi apalagi merusak kapasitas lingkungan dalam memberikan jasanya kepada manusia.

Mungkin menjadi pertanyaan, sampai batas mana sebuah daerah dapat dikatakan sebuah kawasan pesisir? Tidak ada batasan yang baku tentang kawasan pesisir, namun dapat dijelaskan dengan sebuah kriteria bahwa kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Di Aceh, kawasan pesisir menjadi lebih mudah untuk didefinisikan. Daratan yang digenangi air laut pada saat tsunami merupakan kawasan pesisir. Jangkauan pasang surut pasca tsunami yang merambah lebih dalam ke daratan juga dapat menjadi kriteria penentuan batas fisik daerah pesisir. Namun, dalam perencanaannya, batasan spasial ini menjadi elastis. Pembangunan bendungan di hulu sebuah sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau penebangan hutan dapat menjadi isu pembangunan kawasan pesisir apabila bendungan dan penebangan tersebut mempengaruhi berkurang atau bertambahnya suplai sedimen ke perairan pesisir yang berakibat pada instabilitas fisik garis pantai, berkurangnya pasokan senyawa kimia yang dibutuhkan phytoplankton dan matinya terumbu karang akibat kekeruhan perairan di sekitar terumbu karang.  

Idealnya, dalam sebuah proses pengolalaan kawasan pesisir  yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harus melibatkan minimal tiga unsur ,yaitu ilmuwan , pemerintah dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir hanya dapat dipahami oleh ilmuwan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan msyarakat pesisir sebagai pelaku dengan tujuan meningkatkan keadaan sosial ekonomi kawasan.

Nilai Ekologi dan Ekonomi Pesisir
 Pesisir merupakan ruang yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Berbagai kegiatan ekonomi berada di ruang yang sempit ini. Perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan, industri, pariwisata bahkan pemerintahan kerap ditemui di daerah pesisir ini.  Disamping itu, fitur lingkungan khas pesisir yang mendukung kegiatan ekonomi pesisir meliputi estuari, laguna, pantai pasir, terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove) dan hutan pantai lainnya. Terkadang masing-masing kegiatan tersebut bisa saling mempengaruhi. Degradasi lingkungan pesisir akibat industri dapat menurunkan produktivitas perikanan. Konversi mangrove atau hutan bakau menjadi kawasan industri atau pertambakan dapat mengurangi fungsi pesisir sebagai tempat pemijahan (spawning) dan pembesaran (nursery) ikan sehingga mempengaruhi ketersediaan ikan di lautan.  Pentingnya fungsi bakau bagi fish stock terungkap dalam laporan Rodney V. Salm yang mengungkapkan bahwa pada 1975 setidaknya 555.000 ton ikan atau senilai US 194 juta  tergantung langsung dengan keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Mangrove atau bak bangka juga berfungsi sebagai peredam alami dari gempuran gelombang pasang karena struktur akarnya yang saling mengikat. Ditambah lagi, kemampuan mangrove sebagai purifier yang dapat mendegradasi polutan seperti logam berat dan zat beracun yang semakin menambah pentingnya nilai salah satu tipe lahan basah ini.

Terumbu karang, seperti halnya hutan bakau, adalah pemecah gelombang alami yang meredam energi gelombang sebelum mencapai pantai. Nilai ekologis dan ekonomi terumbu karang ini sangat besar. Constanza dkk (1997) memperkirakan nilai ekonomis terumbu karang adalah US$ 600.000 per km², menempati peringkat kedua setelah mangrove US$ 900.000. Ikan karang yang mendiami kawasan terumbu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kerapu, Napoleon dan berbagai ikan hias merupakan sumber penghidupan nelayan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab seperti peledakan dan penggunaan trawl secara serampangan harus dijauhi karena dapat merusak habitat ikan mahal tersebut yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan terumbu karang untuk memberikan jasanya pada nelayan. Selain sumber daya perikanan, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi karena keindahan yang ditawarkannya sehingga dapat membangkitkan sektor pariwisata di sekitar ekosistem ini. Terumbu karang juga merupakan laboratorium farmakologi alam. Menurut Ruggieri, sea fans dan anemones -jenis karang yang hidup dalam ekosistem ini- mempunyai senyawa bioaktif yang dapat digunakan untuk bahan dasar obat anti bakteri, anti leukemia, anti kanker dan anti koalgulasi (pembekuan darah). Selain mangrove dan terumbu karang, ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun atau pasir putih juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi tinggi seperti habitat bagi mamalia laut langka, dugong atau ikan duyung, reproduksi penyu dan pariwisata pantai.

Pengelolaan Kawasan Pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam konteks Aceh, Pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mempunyai tiga fungsi yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan dan perlindungan ekosistem. Keterpaduan dari tiga fungsi ini diharapkan berujung pada sebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan.

Fungsi mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh tidak lepas karena kondisi  geologis provinsi ini. Aceh berada di sekitar zona subduksi atau pertemuan lempeng besar dunia  yaitu lempeng Indo-Australia dan EurasiaTumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan rata-rata 52 mm pertahun menyebabkan rangkaian gempa yang tidak pernah berhenti. Gempa yang kekuatannya di atas 6,5 skala Richter (SR) dan terjadi di laut bisa berpotensi menghasilkan kembali tsunami di pesisir Aceh. Kenaikan muka air laut akibat pasang ataupun pemanasan global juga menjadi ancaman karena beberapa daerah di Aceh sangat landai contohnya Banda Aceh.

Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan beberapa cara. Spatial planning atau tata ruang adalah kebijakan paling mendasar dalam pengelolaan pesisir. Ruang pesisir yang sangat sempit ini harus menampung sedemikian banyak dan kompleksnya kegiatan sosial ekonomi. Tata ruang pesisir yang baik juga dapat memperkecil resiko kerusakan dari bencana yang berasal dari laut seperti tsunami dan badai tropis. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudah seharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir  dengan memberikan ruang khusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupun angin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove, hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata pencaharian masyarakat.   

Konsep tata ruang yang terdapat di dalam blue print  rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sudah memasukkan konsep coastal setback. Tata ruang tersebut sebenarnya adalah tata ruang ideal dan seharusnya dilaksanakan di kawasan pesisir Aceh. Namun tentunya tidak semua yang ideal itu bisa diterapkan. Penetapan buffer zone mempunyai konsekuensi bahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal banyak daerah yang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelum tsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya seperti sediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korban tsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana.  Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunami sebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuah tata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapat menyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa ini mensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat. Terkadang warga harus mengorbankan sebagian tanahnya untuk membuat fasilitas umum seperti jalan dan drainase. Perencanaan desa yang menata sistem drainase, air bersih, penghijauan dan pengolahan sampah/limbah guna peningkatan kualitas hidup dan lingkungan desa mempunyai efek positif bagi kesehatan lingkungan pesisir karena pemukiman –sebagai salah satu sumber pencemaran perairan pesisir- akan lebih sedikit memberikan stress berupa polusi ke perairan pesisir.

Kiranya ke depan perlu dibuat sebuah peraturan daerah tentang tata ruang pesisir yang memasukkan prinsip coastal setback dalam pembangunan baru di wilayah pesisir. Sebagai contoh, Perancis mempunyai sebuah undang-undang pesisir -la loi littoral- yang melarang pembangunan  dalam jarak 100 m dari bibir pantai kecuali bagi bangunan yang sudah ada sebelumnya atau untuk keperluan ilmu pengetahuan, industri pelabuhan dan militer . Pelarangan ini terkait dengan usaha reduksi tekanan terhadap lingkungan pesisir dari kegiatan manusia dan juga melindungi kegiatan manusia dari limpasan gelombang (storm surge) pada saat terjadi badai (tempĂȘte)Coastal setback atau penyangga juga diterapkan di beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Kepulauan Karibia. Disamping itu, penetapan beberapa kawasan konservasi pantai dan laut (Marine and Coastal Protected Areas) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pesisir untuk perlindungan pantai dan mendukung kerberlanjutan perikanan.

Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasi yang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besar dalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warning system) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnya peringatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) warga dengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu  sebelum tsunami mencapai pantai. 

Pengembangan ekonomi di kawasan pesisir tidak dapat dilepaskan dari pemulihan lingkungan. Sejak dulu lingkungan pesisir telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat seperti nelayan dan petambak. Lingkungan pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami harus dipulihkan. Selain kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, kegiatan-kegiatan yang memberikan tekanan (stress) bagi kedua ekosistem tersebut harus dihentikan sehingga laju pemulihannya lebih cepat. Pembangunan infrastruktur yang menghambat suplai air tawar ke kawasan penanaman kembali mangrove atau penebangan hutan yang meningkatkan sedimentasi di perairan pesisir harus dihentikan.

Perlu dicamkan bahwa pemulihan lingkungan atau terciptanya lingkungan pesisir yang sehat bukanlah tujuan akhir dari sebuah pengelolaan kawasan pesisir. Lingkungan merupakan sarana menuju tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir. Seringkali kemiskinan dan ketidaktahuan menjadi penyebab utama dari degradasi lingkungan. Diseminasi pengetahuan tentang nilai lingkungan dan dukungan finansial, manajemen serta pemasaran berbentuk koperasi usaha masyarakat yang bergerak di bidang penangkapan ikan karang hidup bernilai ekonomi tinggi atau peternakan lebah madu dan budidaya kepiting bakau tampaknya lebih menarik bagi masyarakat pesisir ketimbang meledakkan terumbu karang di Pulau Banyak dan menebang hutan bakau di Aceh Tamiang.  

Pengembangan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan pesisir akan menyebabkan rapuhnya keberlanjutan kesejahteraan (sustainable livelihood) masyarakat pesisir. Pemberian bantuan boat nelayan yang berlebihan dapat membahayakan keberlangsungan profesi nelayan itu sendiri. Daya dukung mangrove di Aceh mencapai titik nadir akan menurunkan ketersediaan ikan di perairan pantai, terutama ketersediaan ikan yang bergantung langsung dengan mangrove. Untuk menghindari hal yang tersebut, perlu adanya pengurangan tekanan yang bersifat eksploitatif. Misalnya pembangunan armada boat kecil dikurangi dan lebih berfokus pada pembangunan boat besar untuk menangkap ikan migrasi besar di laut lepas yang tidak terlalu tergantung terhadap ekosistem mangrove, tuna misalnya. Di sisi angkatan kerja, konversi pekerjaan juga dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan tersebut. Industri perikanan dapat menampung tenaga kerja yang dulunya berprofesi sebagai nelayan sehingga tekanan terhadap ketersediaan ikan berkurang. Industri perikanan juga memberikan nilai tambah pada produk perikanan dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.

Saat ini, pembangunan kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kegiatan utama rehabilitasi dan rekonstruksi. Berbagai aktor turut serta dalam proses ini. Dalam pengelolaan pembangunan ini, mutlak diperlukan komunikasi intensif antara stakeholder pesisir Aceh. Pelibatan masyarakat dan ilmuwan sangat penting guna mewujudkan pembangunan pesisir berkelanjutan, berbasis pada daya dukung lingkungan. Pemda, BRR dan NGO sebagai aktor utama pembangunan kembali pesisir harus mempunyai koordinasi padu sehingga tercipta visi yang sama tentang kemana  arah pembangunan pesisir Aceh. Ketika visi tersebut diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan tidak akan terjadi tumpang tindih melainkan program dan kegiatan tersebut berjalan seiring dan saling melengkapi.  Kita mempunyai potensi untuk membangun pesisir Aceh lebih baik. Komitmen pemerintah dan dunia internasional berupa dana  rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh melebihi dari kerugian yang diderita. Namun dana besar saja belum cukup. Diperlukan keseriusan, kejujuran dan profesionalisme dalam mengangkat potensi diatas menjadi realitas. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi.Wallahu a’lam bisshawab.    
http://kaifamart.multiply.com/journal/item/7/Pengelolaan-Pesisir-Pasca-Tsunami-2472006

Senin, 30 April 2007

Pemberdayaan Kecamatan : Sebuah Solusi Pemekaran Kabupaten


Isu pemekaran kembali merekah. Yang terbaru adalah usulan pembelahan Kabupaten Aceh Besar. Bakal calon kabupaten baru diusulkan mempunyai nama kabupaten Aceh Raya. Balon kabupaten ini merupakan gabungan dari tujuh kecamatan (Serambi Indonesia, 03/03/2007). Secara geografis, kabupaten usulan akan  terletak di sebelah tenggara kota Banda Aceh dimana rencana pusat pemerintahan akan berada di Lhoknga. 

Pemekaran di Aceh bukanlah hal baru. Baru-baru ini Kabupaten Pidie Raya dan Kota Subulussalam disapih dari kabupaten/kota induk yaitu Kabupaten Pidie dan Aceh Singkil. Bahkan pemekaran bukan saja monopoli kabupaten, namun juga Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sempat  diusulkan untuk dibagi menjadi setidaknya empat provinsi NAD, ALA (Aceh Leuseur Antara), ABAS (Aceh Barat Selatan) dan PSP (Samudera Pasai).

Berbagai  pro dan kontra mengemuka di sekitar permasalahan pemekaran ini. Para pendukung pro-pemekaran umumnya adalah masyarakat yang mendiami daerah yang akan dimekarkan. Namun tak jarang kelompok pro pemekaran ini juga didukung oleh beberapa elit politik dan ekonomi daerah tersebut. Diantara alasan utama yang diusung  adalah sebaran geografis dan ketimpangan pelayanan, infrastruktur dan ekonomi. Sedangkan pihak yang tidak setuju dengan pemekaran lebih berpendapat bahwa pendirian daerah administrasi baru hanya akan membuang uang tanpa ada jaminan pembangunan akan berhasil. Diantara pihak yang kurang setuju dengan pemekaran ini adalah Gubernur Irwandi Yusuf (Serambi Indonesia/02/03/2007).

Dalam nuansa demokrasi yang tengah marak di provinsi paling barat ini sah-sah saja ada usulan untuk memekarkan kabupaten. Apalagi jika itu dilandasi dari keinginan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan lebih baik dan perbaikan penghidupan. Harus disadari bahwa sebaran geografis dan ketimpangan ekonomi adalah sebuah realita yang tidak boleh ditutupi. Dari sudut pandang masyarakat pengusung, solusi yang paling mudah bagi mereka adalah mendekatkan pusat pembangunan di daerah mereka dengan harapan pelayanan pemerintahan akan berlangsung lebih cepat. Namun solusi ini bukan berarti tidak beresiko. Analisis pengeluaran publik Aceh yang dilakukan oleh Bank Dunia tahun 2006 menyatakan bahwa kapasitas pemerintah hasil pemekaran adalah lebih rendah dari pemerintah induknya. Disamping pemekaran mempunyai efek pemborosan anggaran akibat bertambahnya anggaran yang tidak berhubungan langsung dengan pembangunan seperti anggaran administrasi dan anggaran untuk membayar gaji pegawai (World Bank, 2006, hal 93). Jika ini benar, pemekaran malah menjadi suatu hal yang kontra-produktif dengan harapan masyarakat.  

Sejatinya,  usulan pemekaran kabupaten adalah wujud dari tidak optimalnya  –kalo tidak bisa dikatakan ketidakmampuan- pemerintah daerah induk dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu pelayanan masyarakat. Karena itu,dalam menganalisa permasalahan ini, kita sebaiknya tidak  terjebak dalam hal yang bersifat gejala atau sympton. Dalam hal pemekaran ini, gejolak yang beredar dalam masyarakat hanya merupakan sebuah gejala. Sementara inti dari masalah adalah belum terpenuhinya pelayanan kepada masyarakat oleh pemerintah induk.

Menurut hemat penulis, pemekaran memang dapat menjadi sebuah solusi. Namun belumlah menjadi solusi yang mendesak dan tepat. Masih ada solusi lain yang mempunyai resiko pemborosan lebih kecil, yaitu pemberdayaan kecamatan. Solusi ini berarti merevitalisasi jaringan-jaringan pelayanan masyarakat yang sudah ada. Tentunya beberapa perubahan harus juga dilakukan dalam rangka pemberdayaan kecamatan ini. Qanun yang sedang dirancang DPRD Aceh Besar tentang pelimpahan wewenang kepada kecamatan adalah hal yang sangat positif (Serambi Indonesia, 24/02/2007). Namun alangkah lebih baik apabila wewenang yang diperluas tersebut tidak melulu urusan administratif.

Sebagai diketahui, kecamatan merupakan instansi pemerintah yang berada diantara kabupaten dan desa. Ia bersifat murni administratif. Kecamatan tidak mempunyai fungsi manajemen pembangunan seperti perencanaan, implementasi dan pengawasan. Fungsi manajemen pembangunan selama ini dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Faktor jarak dapat –malah sering- menyebabkan ibu kota kabupaten kurang ngeh atau mengenali permasalahan yang ada di daerah yang berada jauh. Hal ini mengakibatkan pembangunan cenderung berada di sekitar lingkaran ibukota saja. Pemberdayaan kecamatan seharusnya berarti pelimpahan wewenang untuk aktif ikut serta pembangunan di daerah administrasinya. Artinya dalam identifikasi permasalahan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan  perlu dilibatkan para pelayan masyarakat di kecamatan. Diharapkan program pembangunan yang dihasilkan nantinya akan mampu menjawab permasalahan yang ada di tingkat masyarakat pedesaan yang selama ini menjadi kantung kemiskinan. Peran pemerintah kabupaten lebih pada budgeting dan penjaga harmoni program dalam rangka mencapai tujuan pembangunan yang ditetapkan pemerintah kabupaten itu sendiri.

Peningkatan tanggung jawab kecamatan ini secara otomatis akan  menyebabkan kebutuhan akan kapasitas pegawai kecamatan yang lebih baik, baik  secara kuantitas atau kualitas. Kebutuhan kuantitas tidak selalu berarti menambah pegawai namun mendistribusikan pegawai dari kabupaten ke kecamatan secara merata dan proporsional sesuai potensi dan permasalahan lokal. Secara  kualitas, pegawai kabupaten relatif mempunyai tingkat pendidikan lebih tinggi. Oleh karenanya, pendistribusian pegawai kabupaten ke kecamatan berpotensi besar memberikan dampak positif pada pelayanan atau pembangunan di masyarakat kecamatan dan pedesaan.

Dari sisi praktis, distribusi ini mungkin juga meningkatkan motivasi pegawai dalam menjalankan tugasnya. Sebagaimana dimaklumi, cukup banyak pegawai Kabupaten Aceh Besar yang berdomisili di Banda Aceh dimana setiap pagi mereka harus menghadiri apel di Jantho. Jauhnya jarak tinggal membuat tingkat kehadiran pegawai Aceh Besar rendah. Nah,  apabila pegawai yang tinggal di Banda Aceh ditugaskan di kantor kecamatan tetangga kota, Peukan Bada atau Baitussalam misalnya, maka halangan jarak bukan menjadi masalah lagi sehingga kinerja pegawai juga lebih baik, setidaknya kehadiran mereka di kantor akan lebih termudahkan.

Kondisi geografis yang menyebar selama ini memang menjadi kendala pembangunan terutama koordinasi, monitoring dan evaluasi. Namun hal ini dapat dijembatani dengan perkembangan komunikasi dan teknologi informasi yang semakin murah. Bahkan teknologi komunikasi populer Yahoo Messenger atauSkype pun sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai sarana yang menguntungkan bagi pembangunan yang bertanggung jawab. Karena itu pemerintah perlu melakukan investasi infrastruktur informasi disetiap lini layanannya. Selain itu, hubungan emosional anggota dewan dan masyarakat kecamatan sebagai konstituennya dapat dimainkan lebih indah dan efektif lagi sehingga pembangunan pedesaan bisa menjadi perhatian dan hasilnya  rakyat yang terpuaskan.

Last but not least, kualitas pegawai merupakan sebuah keniscayaan apabila kepuasan masyarakat ingin dicapai. Laksana perusahaan, produk yang ditawar pemerintah kepada pelanggannya -masyarakat- adalah kebijakan.  Sebuah perasan pemikiran yang lahir dari buah hasil eksporasi mendalam dan analisa berdasar. Tepat tidaknya kebijakan tersebut berhubungan lurus dengan kapasitas pegawai pemerintah. Peningkatan kapasitas  abdi masyarakat secara kontinu adalah wajib hukumnya karena permasalahan yang dihadapi masyarakat tidak akan pernah berhenti sebagai wujud dari hukum dialektika alam?. Wallahu a’lam bisshawab
Publised in www.acehinstitute.org, 29 March 2007

Selasa, 30 Januari 2007

Penanggulangan Kemiskinan Untuk Aceh


Kemiskinan di Aceh memang sebuah ironi. Apalagi jika dibandingkan dengan penerimaan dana pembangunan Aceh sedemikian besarnya. Ekonom Unsyiah Dr. Zulkifli Husin menyatakan tingkat kemiskinan di daerah modal ini hampir tiga kali lipat dari rata-rata nasional padahal dana pembangunan pada tahun 2005 dan 2006 mencapai Rp. 28,4 trilyun (Serambi Indonesia, 26/12/2006).

Menyikapi besarnya tingkat kemiskinan di Aceh, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diwakili Kepala Bappeda, Dr. A.Rahman Lubis, menyatakan target penurunan prosentase orang miskin hingga 30 persen melalui RAPBD 2007 yang akan dibahas bulan febuari ini (Serambi Indonesia, 29/1/2007). Target kuantitatif ini sangat mulia sehingga perlu didukung oleh semua pihak. Namun target hanyalah akan menjadi tulisan indah di atas kertas jika tidak diikuti dengan tindakan pembangunan nyata dan efektif di lapangan. Dalam konteks inilah, penulis mencoba berbagi opini tentang strategi pengentasan kemiskinan di nanggroe yang kita cintai bersama.

Berbicara tentang kemiskinan di Aceh tidak bisa lepas dengan pemahaman kontekstual apa yang dialami oleh masyarakat. Rakyat Aceh mengalami sebuah pengalaman yang tidak berpihak terhadap peningkatan kesejahteraan mereka. Masih basah di ingatan kita bagaimana lumpuhnya perekonomian pedesaan dan perkotaan saat konflik dan tsunami. Akumulasi dari kelumpuhan inilah yang berwujud pada tingkat kemiskinan 41,5 persen.

Saat ini, kegiatan pembangunan di Aceh masih berada dalam tema rehabilitasi dan rekonstruksi. Pomeroy et al (2006) menyarankan prioritas rehabilitasi seharusnya diberikan pada  bagaimana masyarakat membangun penghidupannya secara berkelanjutan. Karena itu perlu sebuah kerangka untuk memahami berbagai strategi masyarakat dalam mencari nafkah. Kerangka ini juga bertujuan untuk mengenali sumber-sumber kerentanan yang dapat membawa konteks kemiskinan itu kembali seperti bencana alam, hama, wabah penyakit dan konflik.

Diantara banyak kerangka tersebut, ada sebuah konsep yang menarik. Konsep ini bernamasustainable livelihood. Ia merupakan hasil kajian Departement Pembangunan Luar Negeri Inggris (DFID) dalam usaha penanggulangan kemiskinan. Kata ”livelihood” bukanlah hal yang aneh di Aceh sekarang. Hampir semua pihak yang terlibat  dalam proses rekonstruksi menggunakan istilah ini. Mungkin, livelihood bisa didefinisikan sebagai  segala keahlian, aset dan kegiatan yang dimiliki masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Konsep ini melihat, dalam mencari penghidupan, masyarakat dipengaruhi oleh lingkungan yang didiaminya (pengunungan, pesisir, pedesaan atau perkotaan). Lingkungan ini juga menentukan strategi mata pencaharian, apakah bertani, melaut atau berdagang. Setiap tempat tersebut mempunyai kerentanan tersendiri terhadap kemiskinan seperti musim paceklik atau banjir bagi petani, musim gelombang besar bagi nelayan atau fluktuasi harga bagi pedagang. Namun, masyarakat mempunyai beberapa aset yang bisa digunakan untuk mencari penghidupannya sekaligus menghindari menjadi miskin. Aset tersebut berupa sumber daya manusia, sumber daya alam, sosial , fisik dan finansial.

Livelihood  dikatakan berkelanjutan apabila ia dapat bertahan dalam keadaan sulit sekalipun. Dengan kata lain, kebutuhan hidup masih dapat dipenuhi masyarakat walaupun dalam kondisi paceklik. Misalnya, dalam musim gelombang besar, nelayan praktis tidak dapat melaut. Salah satu opsi strategi untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah dengan mengkonversikan salah satu aset yang dimiliki (aset fisik) menjadi aset yang lebih likuid (aset finansial). Seperti menggadaikan sepeda motor atau mengajukan kredit dengan sepetak tanah menjadi jaminan. Namun hal ini tidak bisa berjalan apabila tidak ada  institusi pengadaian/keuangan ataupun tanah yang dijaminkan tidak punya kesahihan legal. Solusinya adalah dengan kebijakan pemerintah untuk menyediakan atau setidaknya mendorong berdirinya institusi keuangan dan kebijakan sertifikasi kepemilikan.

Pengambil keputusan tidak perlu mendikte apa yang harus dilakukan masyarakat. Setiap manusia mempunyai insting dan kecenderungan tersediri untuk mencari penghidupannya. Pemerintah hanya bermain dalam konteks pemberdayaan, melengkapi apa yang kurang, sehingga apa yang diharapkan oleh masyarakat dapat tercapai.

Untuk dapat mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat,  perlu pengamatan dan penelitian yang mendalam. Karenanya, pengambil keputusan sebaiknya ikut turun ke masyarakat untuk mengenali lebih dekat dinamika ekonomi keseharian masyarakat miskin dengan melibatkan mereka sebagai mitra sekaligus objek pembangunan. Dengan demikian, pemahaman akurat terhadap kemiskinan dalam masyarakat dapat membuahkan kebijakan pro-rakyak miskin yang terarah, sistemik dan efektif. Banyaknya NGO baik domestik maupun asing yang bermain dalam ranah livelihood ini dapat memberikan keuntungan. Tukar pikiran dan metode seharusnya lebih sering dilakukan guna menemukan strategi paling tepat.

Namun, strategi pengentasan kemiskinan pada suatu masyarakat bukan sebuah panacea atau ie rajah bagi semua permasalahan kemiskinan. Strategi ini akan berbeda sebagaimana berbedanya lingkungan, tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu, pemberdayaan para agen pemberantas kemiskinan -kalau perlu hingga tingkat kecamatan dan desa- merupakan  keniscayaan apabila pengurangan kemiskinan ingin dicapai. Pemberdayaan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasi secara akurat fenomena kemiskinan dan permasalahan ikutannya yang berada di daerah administrasinya.

Akhirnya,  rasanya kita perlu mencontoh apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf A.S. Beliau menggunakan sebaik-baiknya masa subur guna memberdayakan masyarakatnya untuk melalui masa paceklik yang datang setelah kemakmuran. Anologi ini mungkin tidak terlalu jauh dengan kondisi Aceh saat ini, dimana dana pembangunan berlimpah ruah namun kedepan makin berkurang seiring dengan meredupnya kejayaan sumber daya alam nanggroe. Kepada panitia anggaran eksekutif maupun legislatif, selamat bekerja. Semoga APBD 2007 menjadi APBD pro-rakyat miskin dan cita-cita makmu beusare tercapai adanya. Wallahua’lam bishhawab.   
Brest, 30 Janvier 2007