https://web.facebook.com/masjidagungalmakmur |
Masjid
Oman nama aslinya Masjid Al Makmur. Letaknya di Jalan Belanak Lampriet. Cuma
beda satu jalan dari Jalan Cumi-Cumi dimana kami pernah tinggal. Masa kecil
kami, MIN, Masjid Al Makmur belum selesai dan sering jadi tempat main kami,
anak-anak kecil. Satu kejadian masih melekat dalam ingatan ketika bermain di Masjid
Al Makmur yang belum selesai itu dengan
anak-anak kampong seberang adalah pengalaman merokok. Karena solider dan tak
ingin dianggap “anak mama”, kami hiruplah sepetek, gitu istilah dulu. Itu jadi
pengalaman merokok sekali dan terakhir. Ternyata di Masjid pun jika tak ada
yang mengingatkan, hal-hal tak pantas pun bisa dilakukan.
Masa
itu, Masjid kami masih di Jalan Pari. Masjidnya rendah. Kalau hujan deras,air
sering masuk ke dalam masjid sehingga karpet tipis pun basah. Pernah harus
kembali pulang karena shalat fardhu tidak jadi dilaksanakan. Masjid Pari
kebanjiran.
Imam
Masjid kami saat itu namanya, Tgk Ahmad Abdullah. Tinggalnya di Jalan Gabus
dekat Jalan Mangga. Kalau pergi ke Masjid, naik Honda. Kami memanggil beliau
Pak Imam. Beliau berjenggot putih dan sering pakai celana panjang. Orangnya
disiplin dan tegas. Kami pernah ketakutan dan jera ketika dimarahi karena saat
shalat kami berteriak “aaaamiinnnn” dengan vokal yang melengking. Meski tidak
menunjuk hidung, kami merasa ketakutan hingga gemetar. Sejak saat itu, tidak
berani lagi kami bersuara keras ketika “Aamiin”.
Yang
unik di Masjid Pari adalah shalat tarawih. Kalau di tempat lain, shalat
tarawihnya dua-dua rakaat, Di Masjid Pari kami empat-empat rakaat. Shalat
shubuh pun tidak pakai qunut. Dulu katanya, Pak Imam orang Muhammadiyah.
Kami
sering pergi ke Masjid Pari dibonceng Pak Nek kami. Beliau Naib Imam. Kalau
tidak ada Pak Imam, Pak Nek kami yang jadi pengganti. Beliau orang NU, pernah
jadi Rais Syura katanya. Shalat Tarawih juga empat-empat rakaat. Meskipun kalau
shalat di rumah ,karena hujan, sembahyang tarawihnya dua-dua rakaat.
Hubungan
Pak Nek kami dan Pak Imam harmonis. Setiap lebaran, Pak Nek sering ajak kami
dan Nenek bertamu ke rumah Pak Imam. Kami gak berani bicara, cuma dengar
pembicaraan mereka. Sebelum pulang, Pak Nek bilang untuk menghabiskan sirup
merah yang masih sisa di dalam gelas. Menghormati yang membuat air katanya.
Yang
paling ingat dari Masjid Pari adalah kegiatan Remaja Masjidnya aktif. Setiap peringatan
hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Nuzulul Quran sering dibuat
perlombaan. Ada lomba azan, tilawah, cerdas cermat sampai pidato. Peserta
dibagi berdasarkan jalan-jalan di Lampriet. Kelompok yang paling sering juara
adalah Kelompok Pari dan Todak, karena jumlah anak-anaknya paling banyak. Kami pun
dapat juara. lomba adzan dan tilawah kalau gak salah, itu pun bukan juara satu.
Ketika
Masjid di Jalan Pari dipindah ke Jalan Belanak, kami sudah pindah ke Jalan
Tenggiri, disamping SMP 2. Lama pembangunan Masjid Al Makmur di Jalan Belanak
selesainya. Katanya 14 tahun. Mungkin karena hanya bermodalkan sedekah warga
lamprit dan sekitar. Pak Imam masih jadi Imam. Shalat Tarawihnya juga masih
empat-empat rakaat. Pak Imam sekarang sudah sering naik mobil ke Masjid.
Mungkin karena lebih jauh dan lebih aman. Kami ke Masjid Al Makmur juga masih
sering dengan Pak Nek, tapi sekarang gantian kami yang bonceng Pak Nek.
Masa
di Masjid Al Makmur Belanak, perlombaan saat hari besar agama Islam masih
sering dilakukan. Tapi karena kami sudah lebih besar, kami sering jadi panitia,
bantu bantu kegiatan. Lagi pula kami sudah mulai malu ikut lomba-lomba. Tempat
paling berkesan waktu itu adalah perpustakaan. Letaknya di sebelah kiri depan
Masjid. Kalau sekarang mungkin sekitar tempat wudhu utama laki-laki. Remaja Masjid
sering belajar disitu. Bukan hanya ada buku agama, tapi juga ada buku kumpulan soal
UMPTN. Alumni perpustakaan disitu ada
yang lulus ke ITB, Unsri dan ITS..
Masa
kuliah kami tidak sering ke Masjid karena kuliah di Surabaya. Kami kembali
mulai sering ke Masjid Al Makmur lagi setelah diterima jadi PNS di Pemerintah
Aceh tahun 2003 akhir. Pak Imam dan Pak Nek kami sudah kembali ke rahmatullah.
Sesaat
setelah gempa besar tahun Desember 2004, kami pergi dari rumah kami ke Masjid
Al Makmur untuk melihat kerusakannya. Bersama warga lain membantu menyelamatkan
aset dari ruang pengurus Masjid. Yang kami ingat, kami angkat peralatan microphone
dan ampli yang sering digunakan oleh takmir untuk mengumumkan sesuatu bagi jamaah. Di Masjid Al Makmur yang kubah
uniknya runtuh itulah kami melihat air laut dari sungai kecil di samping Kantor
Gubernur menghantam jembatan Lamprit dengan dahsyatnya. “Astaghfirullah,
Tsunami”. Tsunami tidak asing lagi bagi kami karena kami pernah belajar di
Teknik Kelautan. Dari situ kami bersama beberapa hadir dan sepupu langsung
berlari menuju mobil dan melaju ke Jambo Tape.
Kami
mengungsi ke Kampung karena rumah tidak layak lagi dihuni. Perhatian kami ke
Masjid Al Makmur berkurang karena kami sedang fokus untuk membersihkan rumah di
Jalan Tenggiri, posisinya lebih dekat dengan laut ketimbang Masjid Al Makmur.
Selentingan kabar, Masjid Al Makmur dibersihkan oleh Rombongan FPI dari luar
Aceh.
Februari
2005, kami pindah ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan bahasa karena
mendapatkan beasiswa ke Eropa. Dapat kabar bahwa Masjid Al Makmur akan dibantu
oleh Sultan Qaboos dari Oman, Alhamdulillah. Selama di Jakarta, pernah menemui pengurus
Masjid Al Makmur yang diantaranya Ayah kami. Mereka bertemu dengan Menteri Alwi
Shihab dan perwakilan dari Yayasan Hilal Merah, Yayasan yang mencari dana dari
Sultan Oman. Kabarnya keberangkatan mereka ke Jakarta merupakan kontribusi salah
satu aghniya pengurus Masjid Al Makmur yang hadir juga saat itu. Kami menginap di Hotel Maxim, hotel melati di
bilangan Kwitang, Senen. Tak jauh dari Salemba, tempat kami belajar Bahasa Prancis.
Setelah
pulang sekolah, kami kembali mulai berjamaah di Masjid Al Makmur, yang sudah
berubah lebih keren menjadi Masjid Oman. Tarawihnya sudah dua-dua rakaat. Katanya,
berubahnya dari empat-empat rakaat bukan seketika setelah Pak Imam meninggal,
tapi setelah beberapa lama dan berdasarkan kesepakatan para pengurus dan tokoh
masyarakat di Lamprit.
Setelah
berubah menjadi Masjid Oman dan bentuk fisik yang nyaman. Manajemen Masjid
semakin baik dan terdepan. Salah satunya akibat kekompakan pengurus dan
keterbukaan terhadap masukan untuk kemashlahatan.
Saat
ini kami sudah pindah tempat tinggal. Kami sudah menjadi jamaah Masjid Syuhada.
Di Masjid kami yang baru shalat shubuhnya pakai qunut dan ada zikir jahar
setelah shalat fardhu. Kami tetap ikut tata cara shalat di Masjid kami.
Meskipun kami sering rindu dengan Masjid Oman dengan kebiasaan shalat yang
sudah menjadi sebagian kebiasaan masa kecil, terutama ketika Ramadhan.
Kini,
ada sedikit huru hara di Masjid Oman. Katanya ada yang mau merubah cara atau
tata laksana ibadah di Masjid itu. Janganlah. Biarkan Masjid Oman menjadi
Masjid seperti biasanya. Karena jika tata cara ibadah Masjid Oman diserupakan
dengan Masjid lainnya. Tempat kami melimpahkan rasa rindu kami akan hilang.
Setengah hati kami akan gamang. Hidup pun mungkin akan terasa bosan. Apalagi
Masjid Oman akan tetap sering kami singgah, karena Lamprit adalah tempat kami
lahir dimana orang tua kami masih tinggal.
Harapan
kami, semoga Masjid Oman tetap menjadi Masjid Al Makmur dengan kekhasan cara
ibadahnya. Biarkan ia menjadi Masjid yang memberi kenyamanan bagi penduduk
tempatan. Karena merekalah yang bersusah payah membangun, menyumbang, bergotong
royong dan menjaga Masjid Oman Al Makmur. Lebih penting lagi dengan tata cara
yang biasa, Masjid Oman pun termasuk Masjid yang paling makmur, sesuai dengan doa
dan harapan yang dipanjatkan para pendirinya ketika memberikan nama “Al Makmur”.
NB.
Jalan Belanak sekarang sudah berubah menjadi Jalan Ayah Hamid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar