Perlambatan penurunan angka kemiskinan merupakan fenomena yang dapat dimengerti akibat perubahan karakteristik kemiskinan pada sepanjang perjalanan waktu,(....), karakter kemiskinan mulai bergeser dari permasalahan friksional dan struktural menjadi lebih kultural dan bahkan personal.
Badan Pusat Statistik Aceh (Rabu,
15/01/2020) merilis tingkat kemiskinan Aceh pada September 2019 sebesar 15,01
persen. Angka ini turun dari 15,32 persen pada Maret 2019 atau 15,68 persen
pada September 2018. Penurunan ini merupakan penurunan terbesar ke-7 dari 34
provinsi di Indonesia. Meskipun demikian, Aceh masih memiliki angka
kemiskinan paling tinggi di Pulau Sumatera.
Hingga kini, kemiskinan di Aceh
masih menjadi sorotan publik. Banyak pengamat mem-“bully” Pemerintah Aceh
dengan membandingkan tingkat kemiskinan Aceh tinggi dan nominal APBA yang
besar. Seakan kesalahan ingin dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh saja. Publik
malah kurang menilik pada nominal APBK total dari 23 kabupaten/kota di
Aceh yang mempunyai nominal yang lebih
besar. Bukankah kinerja penanggulangan kemiskinan merupakan resultansi dari
kinerja berbagai pihak termasuk berbagai tingkatan pemerintah melalui kegiatan-kegiatan
yang didanai oleh APBN, APBA, APBK dan APBG bahkan dana swasta ?.
Jika memperhatikan data historis,
tingkat kemiskinan Aceh berada pada titik kulminasi pada tahun 2002 seiring dengan berakhirnya
jeda kemanusiaan dan mulai meningkatnya konflik bersenjata yang kemudian diikuti
oleh darurat militer pada tahun 2003. Tahun 2002, tingkat kemiskinan Aceh
mencapai 29,83 persen. Pasca perdamaian
di tahun 2005, tingkat kemiskinan Aceh masih sangat tinggi dibanding dengan
angka nasional, yaitu 28,69 persen berbanding 15,97 persen. Sejak itu tingkat
kemiskinan Aceh dan Indonesia menurun hingga September 2019 masing-masing
mencapai 15,01 persen dan 9,22 persen. Ini berarti laju penurunan Aceh lebih
cepat dua kali lipat dibanding laju penurunan kemiskinan nasional, yaitu 0,98
persen per tahun versus 0,48 persen per tahun.
Capaian ini seharusnya memberikan
kepercayaan diri bahwa Aceh dapat melaju lebih kencang dari rerata provinsi
lainnya di Indonesia. Namun tidak seharusnya Pemerintah Aceh berpuas hati (complacent) terhadap capaian tersebut.
Ada hal penting yang perlu dicermati dalam perjalanan menurunnya tingkat
kemiskinan di Aceh sejak bencana gempa bumi, tsunami dan penanda-tanganan perdamaian.
|
Gambar 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Aceh 2005-2019, (dalam persen) |
Gambar 1 diatas menunjukkan ada
perlambatan penurunan laju penurunan tingkat kemiskinan di Aceh. Jika kita bagi
periode berdasarkan periodisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA)
2005-2025, laju penurunan kemiskinan terjadi pada periode pertama, diikuti oleh
period kedua dan ketiga. Masing-masing periode tersebut mempunyai laju sebesar
1,44 persen/tahun, 0,53 persen/tahun dan 0,45 persen/tahun. Dalam ilmu ekonomi
penurunan laju pengurangan kemiskinan akibat fenomena yang dikenal dengan “dimisnishing return”.
Perlambatan penurunan angka
kemiskinan merupakan fenomena yang dapat dimengerti akibat perubahan karakteristik
kemiskinan pada sepanjang perjalanan waktu. Pada masa konflik dan bencana,
kemiskinan disebabkan oleh masalah-masalah friksional dan struktural.
Kemiskinan friksional disebabkan pada masa konflik banyak masyarakat yang
sebenarnya punya aset seperti sawah dan kebun tidak mampu mendayagunakan aset
tersebut karena alasan keamanan atau karena mengungsi sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjadi miskin. Begitu juga dengan bencana yang
turut menghilangkan banyak aset dari korban tsunami sehingga membuat mereka
miskin.
Proses perdamaian, rehabilitasi
dan rekonstruksi serta reintegrasi menghilangkan kendala friksional dan struktural
diatas. Perdamaian telah mengembalikan petani ke sawah dan ladangnya untuk
digarap, menghasilkan pendapatan dan lepas dari kemiskinan. Rehabilitasi dan
rekonstruksi memberikan rumah dan pekerjaan serta mengembalikan fungsi
lingkungan tempat dimana korban tsunami dulunya bergantung mata pencahariannya.
Karena itu, periode rehabilitasi dan rekonstruksi dan reintegrasi (2005-2012)
mengalami penurunan kemiskinan yang paling tajam.
Periode selanjutnya, karakter
kemiskinan mulai bergeser dari permasalahan friksional dan struktural menjadi lebih
kultural dan bahkan personal. Artinya rakyat yang dulunya miskin karena alasan
friksional dan struktural sudah mulai berkurang dan proporsi penduduk miskin
karena alasan kultural dan personal menjadi lebih besar.
Studi Etnografi Kemiskinan yang
dilakukan oleh Bappeda Aceh pada tahun 2014-2015 menampilkan potret kemiskinan
secara lebih obyektif dan mendalam. Metode etnografi bercerita bagaimana
persepsi kemiskinan oleh orang miskin tersebut. Ungkapan seperti “kamo memang dari ureung tuha cit ka gasien”
menunjukkan bahwa mindset kemiskinan dan ketidakberdayaan orang miskin
cenderung menerima kemiskinan sebagai takdir. Ditambah lagi, sistem sosial yang
kerap sekali memarginalkan orang miskin.
Ungkapan “Peng
pih abeh, gaseh pih kureueng, peue lom tatueng kamoe ka hina,” dan “Hina di
donya eleumee tan, hina bak rakan hana hareuta.” (Materi tak ada, kasih sayang kerabat pun menjauh, hingga orang
miskin tidak diakui sebagai kerabat) dan (Kehinaan di dunia karena tak ada
pengetahuan, hina di mata kerabat, karena kemiskinan) menggambarkan bagaimana
kemiskinan dipandang hina. Sistem sosial yang memarginalkan orang miskin
termasuk dalam partisipasi pembangunan di tingkat desa dapat menyuburkan
fenomena elit capture (pembangunan hanya menyentuh kaum elit saja) dan
menyebabkan self-fulfilling prophecy
kemiskinan terus berlanjut.
Karakteristik kemiskinan seperti
diatas lebih menantang untuk diturunkan. Kemiskinan jenis ini membutuhkan
pendekatan yang khas dan customized. No size fits all.
Reorientasi Upaya Penanggulangan Kemiskinan
Penyebab utama dari perlambatan
penurunan angka kemiskinan adalah bauran kebijakan yang belum “klop” dengan
kompleksitas kemiskinan yang terjadi serta kualitas implementasi bauran
kebijakan tersebut yang belum optimal. Ibaratnya, membuat adonan yang kenyal
membutuhkan bauran atau campuran mentega dan tepung yang pas. Memperbanyak
tepung tanpa diikuti penambahan mentega secara proporsional hanya membuat
adonan brue atau tidak lengket dan akan
menghasilkan kue tak enak. Meskipun adonan sudah baik, kue juga belum tentu
enak karena ada faktor kompetensi tukang kue dalam mengoperasikan oven. Berdasarkan
anologi diatas, ada beberapa perubahan orientasi yang perlu dilakukan agar
kebijakan penanggulangan kemiskinan relevan dengan kompleksitas permasalahan
yang dihadapi oleh orang miskin dan berbuah penurunan kemiskinan secara lebih
cepat.
1. Pemberdayaan Orang Miskin.
Faktor utama keberhasilan pengentasan kemiskinan sejatinya
berasal dari orang miskin itu sendiri. Apabila orang miskin itu berdaya,
mempunyai mindset dan optimisme serta mempunyai keahlian untuk bekerja sesuai
kebutuhan pasar, maka ia akan segera keluar dari kemiskinan. Namun itu tidak
selalu terjadi, orang miskin sering memiliki mindset miskin atau menganggap
kemiskinan sebagai nasib atau takdir. Orang miskin sering termarginalkan dalam
hal partisipasi pembangunan sehingga hak mereka pun sering tidak diterima
secara utuh atau tidak sama sekali. Kemudian orang miskin sering membuat
keputusan yang sifat jangka pendek atau tidak bijaksana karena
himpitan/kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.
Untuk mengatasi masalah diatas, diperlukan proses
pendampingan orang miskin secara intens.
Dalam konteks Aceh, peran pendamping ini dapat dijalankan oleh Tim
Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), tentunya dengan penguatan atau
penambahan kapasitas baik secara kuantitas maupun kualitas dalam keahlian dalam
mengorganisir masyarakat miskin keluar dari lembah kemiskinan. Pendekatannya
perlu personal karena berhubungan dengan perubahan mindset.
Presiden Amerika Serikat ke-44, Barrack Obama, pernah
menjadi pendamping keluarga miskin (community organizer) di salah satu kawasan
kumuh di Chicago selepas menyelesaikan pendidikan di Columbia University.
Menurut Obama, pengalaman menjadi pendamping keluarga miskin memberikan
pelajaran bagi kemajuan karirnya jauh lebih banyak dibandingkan ilmu yang
diperoleh selama kuliah di Harvard Law School, sebagaimana dikatakannya dalam
buku biografinya yang berjudul, “Dreams
From My Father”. (New York Times, 7 Juli 2008)
2. Kemiskinan, Petani dan Pasar.
Adalah fakta bahwa penduduk miskin itu dominan berada di
perdesaan dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Logika
sederhananya, strategi pemerintah dalam pengentasan kemiskinan adalah
meningkatkan produksi dan produktivitas melalui pemberian bantuan agroinput
seperti bibit, pupuk, pestisida kepada
petani berdasarkan luasan lahan. Namun apabila kita teliti lebih dalam, petani
miskin sebagian besar adalah petani tanpa tanah (landless farmer) ataupun jika memiliki tanah, luasannya kecil. Karena itu pemberian bantuan berbasis lahan
atau lebih dikenal dengan calon petani calon lahan (CPCL) tidak mengungkit kesejahteraan
penduduk miskin, bahkan dapat meningkatkan kesenjangan karena pemilik tanah
yang tidak miskin lebih diuntungkan dari program pemerintah tersebut.
Program
mekanisasi pertanian juga menambah kompleksitas permasalahan. Di satu sisi
meningkatkan produktivitas pertanian, namun sisi lain dapat menambah angka
kemiskinan. Sebagian besar petani miskin
adalah buruh tani. Introdusir mekanisasi pertanian seperti transplanter dan harvester
dapat mengurangi pendapatan petani miskin karena pekerjaan mereka menanam bibit dan memanen telah tergantikan
oleh teknologi.
Kondisi ini seharusnya mengubah paradigma bahwa
kemiskinan di sektor pertanian tidak selalu diselesaikan dengan pendekatan
pembangunan pertanian an sich. Petani
miskin yang memiliki lahan sempit perlu didampingi untuk memproduksi komoditas
yang mempunyai nilai lebih tinggi.
Selain itu, indeks bayar petani juga harus dijaga tetap lebih rendah
dari indeks terima petani. Rendah nilai
tukar petani (NTP) Aceh disebabkan karena kenaikan harga kebutuhan petani lebih
tinggi dari harga komoditas yang diterima. Efisiensi logistik atau rantai
pasok/nilai baik untuk barang kebutuhan ataupun produk menjadi pilihan
prioritas. Peningkatan rantai pasok/nilai tersebut membuka kesempatan kerja
baru di bidang teknis industri, transportasi, inventory, akuntansi, teknologi
informasi, pemasaran dan fungsi manajemen usaha lainnya.
Kesempatan kerja ini dapat dimanfaatkan oleh petani
gurem tanpa tanah (landless farmers)
yang tergeser oleh mekanisasi pertanian. Namun kesempatan kerja itu tidak serta
merta termanfaatkan karena diperlukan proses transisi dan transformasi
kompetensi. Keseluruhan proses diatas sering disebut dengan hilirisasi atau
migrasi dari sektor ekonomi primer ke sektor ekonomi sekunder dan tersier yang
lebih produktif.
Pendekatan market
for the poor atau pasar untuk pengentasan kemiskinan adalah salah satu
reorientasi penanggulangan kemiskinan sektor pertanian. Fungsi pemerintah dalam
pendekatan ini adalah penumbuhan supply
vs demand melalui penguatan ekosistem pasar di setiap rantai nilai. Salah satu contoh dari penerapan pendekatan
ini adalah pertanian jagung di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Madura
merupakan salah satu kawasan tertinggal di Jawa Timur. Jagung merupakan tanaman
yang ditanam secara massal karena jagung menjadi salah satu sumber makanan
pokok selain beras di pulau penghasil garam tersebut. Penduduk setempat menanam
varietas lokal yang produktifitasnya hanya sekitar 2-3 ton per hektar.
Pemerintah setempat ingin meningkatkan produktifitas petani jagung melalui
penggunaan benih unggul. Awalnya terjadi penentangan dari masyarakat. Menurut mereka,
jagung lokal mempunyai rasa yang lebih enak, dibanding varietas unggul.
Pemerintah Kabupaten Pamekasan melalui Program Promoting Rural Income throughSupport Market in Agriculture (PRISMA) yang didukung oleh Pemerintah
Australia (DFAT) berusaha menumbuhkan pasar dalam rantai nilai jagung. Untuk
penyediaan benih unggul, Pemerintah mengandeng perusahaan benih dalam hal
penyuluhan dan demplot sebagai bukti sekaligus promosi peningkatan
produktifitas. Selain itu, Pemerintah juga mempertemukan petani dengan
perusahaan pakan sebagai offtaker
dari jagung yang diproduksi. Pendekatan ini membuka mata petani jagung yang
semula menolak menanam benih unggul karena menyaksikan sendiri bukti
peningkatan produksi jagung dan penyerapan jagung oleh pasar dengan harga yang
memadai. Alhasil, pelibatan pasar ini meningkatkan produktifitas (pendapatan)
petani sebesar 3 kali lipat tanpa mengeluarkan anggaran pemerintah dalam hal
penyediaan bibit, pupuk dan saprodi lainnya. Petani sendiri yang berinvestasi
untuk membeli input pertanian jagung sendiri karena yakin bahwa hasil yang
diperoleh akan dapat menutupi modal dan mendapat keuntungan lebih besar.
3. Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) sebagai agent of rural economic transformation
Mekanisasi pertanian menyebabkan Petani tanpa tanah
kehilangan pekerjaan. Petani harus dialihkan ke sektor lain agar tidak menjadi
pengangguran dan menjadi miskin absolut. Migrasi tenaga kerja menjadi keharusan
melalui penciptaan sektor-sektor lebih produktif seperti industri pengolahan
dan jasa serta sektor pendukung lainnya. Keberadaan aktivitas ekonomi di
sepanjang rantai nilai yang utuh akan memberikan nilai tambah yang maksimal
dalam satu wilayah. Perpindahan basis ekonomi dari agraris ke industrialis
menuntut persiapan yang matang. Berbeda dengan sektor pertanian, sektor industri
dan jasa mempunyai ekosistem yang lebih kompleks. Agar dapat berkelanjutan, kedua sektor ini harus memiliki skala ekonomi, baik dari sisi supply
(bahan baku dan hasil produk) dan juga sisi permintaan (ketersediaan pasar).
Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) perlu memainkan peran
sebagai agen transformasi ekonomi perdesaan. BUMG yang memiliki dukungan
modal/finansial yang stabil dari dana desa dapat mengisi kekosongan rantai
nilai. Misalnya BUMG dapat menjadi penyalur input (benih, pupuk, obat-obat)
yang dibutuhkan oleh kegiatan pertanian. BUMG dapat mendirikan usaha jasa
reparasi bagi alat dan permesinan pertanian (alsintan). Begitu juga, BUMG dapat
menjadi pengumpul produk sekaligus pemasar produk OVOP berbasis industri rumah
tangga atau industri kecil dan menengah.
Bisnis baru yang dilakukan oleh BUMG dalam rangka pemenuhan rantai nilai akan
membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang pekerjaannya hilang akibat
mekanisasi pertanian, misalnya.
Selain itu,
perkembangan teknologi digital dapat membantu pemasaran dari produk dari
penduduk miskin. Program Taobao Village yang merupakan program binaan dari Alibaba
untuk menjadikan desa mempunyai ekonomi digital berhasil menurunkan angka
kemiskinan secara signifikan. Program
ini dapat direplikasi di Aceh sehingga industri dan jasa (pariwisata) dapat
mempunyai pasar yang berkelanjutan.
Hal yang perlu dipastikan adalah pengelolaan BUMG yang
profesional. Karena itu, pemilihan pengelola BUMG harus dijamin independensinya
dari perpolitikan tingkat desa atau sering disebut sebagai elit capture. Pemerintah dapat menerbitkan aturan yang menjamin
sistem meritokrasi dan sistem pengendalian yang ketat agar BUMG dapat dikelola
dengan prinsip good corporate governance.
4. Kesehatan dan Pendidikan.
Modal manusia (human
capital) orang miskin yang rendah sering menjadi perangkap bagi kemiskinan.
Tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menyebabkan produktifitas rendah
dan pendapatan minim. Bahkan sering terjadi,
Sakit menyebabkan orang miskin makin fakir, terkuras harta bahkan
terjerat hutang. Kesehatan dan pendidikan mempunyai efek jangka pendek dan
jangka panjang. Karena itu, peningkatan kualitas di dua aspek ini menjadi
prioritas.
Penguatan kesehatan masyarakat memerlukan reorientasi
pelayanan puskesmas dari pengobatan menjadi promosi kesehatan atau pencegahan.
Tenaga medis perlu proaktif untuk memonitor kondisi kesehatan masyarakat
rentan, terutama masyarakat miskin. Mirip dengan tugas community organizer, layanan kesehatan masyarakat harus mampu
merubah perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat miskin sehingga
frekuensi sakit lebih jarang bahkan nihil dan seluruh waktunya dapat
didedikasikan untuk kegiatan-kegiatan produktif.
Penggunaan teknologi digital juga membantu efektifitas
dari intervensi kesehatan dan pendidikan. Sistem informasi kesehatan yang dibangun untuk
menghubungkan antara pusat layanan primer hingga pusat layanan paling tinggi
dan oioritas kebijakan kesehatan (Dinas Kesehatan) dapat digunakan untuk memonitor
kondisi kesehatan orang miskin. Begitu juga dengan sistem informasi pendidikan
yang menghubungkan antar layanan pendidikan dari PAUD hingga Universitas dan Dinas
Pendidikan dapat dikembangkan. Integrasi sistem informasi tersebut dengan sistem
informasi program spesifik lainnya seperti PKH dan BPNT atau rumah dhuafa
memungkinan seorang kepala daerah dapat memonitor kondisi kemiskinan penduduk
yang disasar secara reall time. Hal ini akan memungkinkan kebijakan atau
intervensi yang presisi dapat diberikan untuk mempercepat pencapaian program
sekaligus memudahkan evaluasi kebijakan. Ini mungkin yang disebut dengan
Penanggulangan Kemiskinan 4.0 atau smart
poverty reduction.
5. Institusi
Yang terakhir adalah kualitas institusi pengentasan
kemiskinan perlu terus ditingkatkan. Kompleksitas dan dinamisasi permasalahan
kemiskinan mensyaratkan institusi yang luwes. Sebagaimana disebutkan diawal
bahwa penyebab utama perlambatan penurunan kemiskinan adalah irrelevansi antara
kebijakan dan determinan kemiskinan. Faktor kemiskinan sering berbeda seiringi
waktu, lokasi dan konteks. Kebijakan yang itu-itu saja atau copy paste
mempunyai efek kecil atau tidak sama sekali dalam menurunkan kemiskinan. Karena
itu, diperlukan instrumen yang tepat dan
cepat untuk mendeteksi efek dari satu kebijakan sehingga diperoleh evidence atau bukti bahwa kebijakan yang
diambil efektif menurunkan kemiskinan atau tidak. Evidence tersebut memberikan feedback untuk penyusunan kebijakan
selanjutnya dengan tingkat efektifitas makin baik. Alhasil, penurunan
kemiskinan bisa terus terjadi. Pentingnya evidence/bukti yang berupa data dan
informasi menunjukkan pentingnya pengelolaan database. Data dan informasi
seharusnya dapat diakses secara mudah, real time dan bertanggung jawab oleh seluruh pihak yang
terlibat dalam pengurangan angka kemiskinan.
Kebijakan yang baik belum tentu menyebabkan hasil yang
menggembirakan. Penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai target merupakan
resultansi antara kebijakan yang baik dan diikuti dengan implementasi yang
sesuai. Permasalahan kemiskinan yang kompleks tentu membutuhkan intervensi
lintas sektor. Disini kemungkinan timbul masalah koordinasi, ditambah dengan
perbedaan ritme kerja dan sense of ownership
dapat mengurangi efektifitas implementasi upaya eradikasi kemiskinan.
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang
Pengadaan Barang/Jasa sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
memperkenalkan cara swakelola baru yang disebut Swakelola Tipe III. Swakelola
tipe ini memungkinan kegiatan pengadaan barang dan jasa dilakukan oleh
organisasi masyarakat. Metodelogi pengadaaan barang dan jasa ini memberikan solusi bagi kegiatan penanggulangan
kemiskinan yang membutuhkan pendekatan yang lebih intens dan terintegrasi seperti
pendampingan terhadap masyarakat miskin untuk perubahan mindset sekaligus
memberikan keterampilan. Karena dilakukan oleh organisasi masyarakat yang telah
terbiasa dan membumi sehingga lebih mudah mendapatkan trust atau kepercayaan
dibandingkan oleh aparatur pemerintah.
Reorientasi atau inovasi program
penanggulangan kemiskinan diatas tentunya belum sepenuhnya mewakili kebutuhan dari
penanggulangan kemiskinan yang efektif mengingat kompleksitas dan khasnya
faktor penyebab kemiskinan yang mungkin berbeda seiring waktu dan lokasi. Para
pihak yang mempunyai peran untuk menanggulangi kemiskinan hendaknya terus menambah
kapasitas dan kreatifitas dalam menganalisa kebutuhan kebijakan dan
implementasi kebijakan tersebut sambil terus bersikap kritis dan bertanya
apakah implementasi kebijakan tersebut memberikan dampak. Dengan demikian,
penurunan angka kemiskinan di Aceh dapat terwujud secara konstan 1 persen per
tahun sebagaimana ditargetkan atau bahkan lebih cepat. Wallahu a’lam bishawab.