Jumat, 31 Januari 2020

Masjid Oman



https://web.facebook.com/masjidagungalmakmur
Masjid Oman nama aslinya Masjid Al Makmur. Letaknya di Jalan Belanak Lampriet. Cuma beda satu jalan dari Jalan Cumi-Cumi dimana kami pernah tinggal. Masa kecil kami, MIN, Masjid Al Makmur belum selesai dan sering jadi tempat main kami, anak-anak kecil. Satu kejadian masih melekat dalam ingatan ketika bermain di Masjid Al Makmur  yang belum selesai itu dengan anak-anak kampong seberang adalah pengalaman merokok. Karena solider dan tak ingin dianggap “anak mama”, kami hiruplah sepetek, gitu istilah dulu. Itu jadi pengalaman merokok sekali dan terakhir. Ternyata di Masjid pun jika tak ada yang mengingatkan, hal-hal tak pantas pun bisa dilakukan.

Masa itu, Masjid kami masih di Jalan Pari. Masjidnya rendah. Kalau hujan deras,air sering masuk ke dalam masjid sehingga karpet tipis pun basah. Pernah harus kembali pulang karena shalat fardhu tidak jadi dilaksanakan. Masjid Pari kebanjiran.

Imam Masjid kami saat itu namanya, Tgk Ahmad Abdullah. Tinggalnya di Jalan Gabus dekat Jalan Mangga. Kalau pergi ke Masjid, naik Honda. Kami memanggil beliau Pak Imam. Beliau berjenggot putih dan sering pakai celana panjang. Orangnya disiplin dan tegas. Kami pernah ketakutan dan jera ketika dimarahi karena saat shalat kami berteriak “aaaamiinnnn” dengan vokal yang melengking. Meski tidak menunjuk hidung, kami merasa ketakutan hingga gemetar. Sejak saat itu, tidak berani lagi kami bersuara keras ketika “Aamiin”.

Yang unik di Masjid Pari adalah shalat tarawih. Kalau di tempat lain, shalat tarawihnya dua-dua rakaat, Di Masjid Pari kami empat-empat rakaat. Shalat shubuh pun tidak pakai qunut. Dulu katanya, Pak Imam orang Muhammadiyah.

Kami sering pergi ke Masjid Pari dibonceng Pak Nek kami. Beliau Naib Imam. Kalau tidak ada Pak Imam, Pak Nek kami yang jadi pengganti. Beliau orang NU, pernah jadi Rais Syura katanya. Shalat Tarawih juga empat-empat rakaat. Meskipun kalau shalat di rumah ,karena hujan, sembahyang tarawihnya dua-dua rakaat.

Hubungan Pak Nek kami dan Pak Imam harmonis. Setiap lebaran, Pak Nek sering ajak kami dan Nenek bertamu ke rumah Pak Imam. Kami gak berani bicara, cuma dengar pembicaraan mereka. Sebelum pulang, Pak Nek bilang untuk menghabiskan sirup merah yang masih sisa di dalam gelas. Menghormati yang membuat air katanya.

Yang paling ingat dari Masjid Pari adalah kegiatan Remaja Masjidnya aktif. Setiap peringatan hari besar Islam seperti Maulid Nabi dan Nuzulul Quran sering dibuat perlombaan. Ada lomba azan, tilawah, cerdas cermat sampai pidato. Peserta dibagi berdasarkan jalan-jalan di Lampriet. Kelompok yang paling sering juara adalah Kelompok Pari dan Todak, karena jumlah anak-anaknya paling banyak. Kami pun dapat juara. lomba adzan dan tilawah kalau gak salah, itu pun bukan juara satu.

Ketika Masjid di Jalan Pari dipindah ke Jalan Belanak, kami sudah pindah ke Jalan Tenggiri, disamping SMP 2. Lama pembangunan Masjid Al Makmur di Jalan Belanak selesainya. Katanya 14 tahun. Mungkin karena hanya bermodalkan sedekah warga lamprit dan sekitar. Pak Imam masih jadi Imam. Shalat Tarawihnya juga masih empat-empat rakaat. Pak Imam sekarang sudah sering naik mobil ke Masjid. Mungkin karena lebih jauh dan lebih aman. Kami ke Masjid Al Makmur juga masih sering dengan Pak Nek, tapi sekarang gantian kami yang bonceng Pak Nek.

Masa di Masjid Al Makmur Belanak, perlombaan saat hari besar agama Islam masih sering dilakukan. Tapi karena kami sudah lebih besar, kami sering jadi panitia, bantu bantu kegiatan. Lagi pula kami sudah mulai malu ikut lomba-lomba. Tempat paling berkesan waktu itu adalah perpustakaan. Letaknya di sebelah kiri depan Masjid. Kalau sekarang mungkin sekitar tempat wudhu utama laki-laki. Remaja Masjid sering belajar disitu. Bukan hanya ada buku agama, tapi juga ada buku kumpulan soal UMPTN. Alumni perpustakaan disitu  ada yang lulus ke ITB, Unsri dan ITS..

Masa kuliah kami tidak sering ke Masjid karena kuliah di Surabaya. Kami kembali mulai sering ke Masjid Al Makmur lagi setelah diterima jadi PNS di Pemerintah Aceh tahun 2003 akhir. Pak Imam dan Pak Nek kami sudah kembali ke rahmatullah.

Sesaat setelah gempa besar tahun Desember 2004, kami pergi dari rumah kami ke Masjid Al Makmur untuk melihat kerusakannya. Bersama warga lain membantu menyelamatkan aset dari ruang pengurus Masjid. Yang kami ingat, kami angkat peralatan microphone dan ampli yang sering digunakan oleh takmir untuk mengumumkan sesuatu  bagi jamaah. Di Masjid Al Makmur yang kubah uniknya runtuh itulah kami melihat air laut dari sungai kecil di samping Kantor Gubernur menghantam jembatan Lamprit dengan dahsyatnya. “Astaghfirullah, Tsunami”. Tsunami tidak asing lagi bagi kami karena kami pernah belajar di Teknik Kelautan. Dari situ kami bersama beberapa hadir dan sepupu langsung berlari menuju mobil dan melaju ke Jambo Tape.

Kami mengungsi ke Kampung karena rumah tidak layak lagi dihuni. Perhatian kami ke Masjid Al Makmur berkurang karena kami sedang fokus untuk membersihkan rumah di Jalan Tenggiri, posisinya lebih dekat dengan laut ketimbang Masjid Al Makmur. Selentingan kabar, Masjid Al Makmur dibersihkan oleh Rombongan FPI dari luar Aceh.

Februari 2005, kami pindah ke Jakarta untuk mengikuti pelatihan bahasa karena mendapatkan beasiswa ke Eropa. Dapat kabar bahwa Masjid Al Makmur akan dibantu oleh Sultan Qaboos dari Oman, Alhamdulillah. Selama di Jakarta, pernah menemui pengurus Masjid Al Makmur yang diantaranya Ayah kami. Mereka bertemu dengan Menteri Alwi Shihab dan perwakilan dari Yayasan Hilal Merah, Yayasan yang mencari dana dari Sultan Oman. Kabarnya keberangkatan mereka ke Jakarta merupakan kontribusi salah satu aghniya pengurus Masjid Al Makmur yang hadir juga saat itu.  Kami menginap di Hotel Maxim, hotel melati di bilangan Kwitang, Senen. Tak jauh dari Salemba, tempat kami belajar Bahasa Prancis.

Setelah pulang sekolah, kami kembali mulai berjamaah di Masjid Al Makmur, yang sudah berubah lebih keren menjadi Masjid Oman. Tarawihnya sudah dua-dua rakaat. Katanya, berubahnya dari empat-empat rakaat bukan seketika setelah Pak Imam meninggal, tapi setelah beberapa lama dan berdasarkan kesepakatan para pengurus dan tokoh masyarakat di Lamprit.

Setelah berubah menjadi Masjid Oman dan bentuk fisik yang nyaman. Manajemen Masjid semakin baik dan terdepan. Salah satunya akibat kekompakan pengurus dan keterbukaan terhadap masukan untuk kemashlahatan.

Saat ini kami sudah pindah tempat tinggal. Kami sudah menjadi jamaah Masjid Syuhada. Di Masjid kami yang baru shalat shubuhnya pakai qunut dan ada zikir jahar setelah shalat fardhu. Kami tetap ikut tata cara shalat di Masjid kami. Meskipun kami sering rindu dengan Masjid Oman dengan kebiasaan shalat yang sudah menjadi sebagian kebiasaan masa kecil, terutama ketika Ramadhan.

Kini, ada sedikit huru hara di Masjid Oman. Katanya ada yang mau merubah cara atau tata laksana ibadah di Masjid itu. Janganlah. Biarkan Masjid Oman menjadi Masjid seperti biasanya. Karena jika tata cara ibadah Masjid Oman diserupakan dengan Masjid lainnya. Tempat kami melimpahkan rasa rindu kami akan hilang. Setengah hati kami akan gamang. Hidup pun mungkin akan terasa bosan. Apalagi Masjid Oman akan tetap sering kami singgah, karena Lamprit adalah tempat kami lahir dimana orang tua kami masih tinggal.

Harapan kami, semoga Masjid Oman tetap menjadi Masjid Al Makmur dengan kekhasan cara ibadahnya. Biarkan ia menjadi Masjid yang memberi kenyamanan bagi penduduk tempatan. Karena merekalah yang bersusah payah membangun, menyumbang, bergotong royong dan menjaga Masjid Oman Al Makmur. Lebih penting lagi dengan tata cara yang biasa, Masjid Oman pun termasuk Masjid yang paling makmur, sesuai dengan doa dan harapan yang dipanjatkan para pendirinya ketika memberikan nama “Al Makmur”.    

NB. Jalan Belanak sekarang sudah berubah menjadi Jalan Ayah Hamid

Rabu, 15 Januari 2020

Cenderung Melambat, Penanggulangan Kemiskinan di Aceh Perlu Reorientasi

Perlambatan penurunan angka kemiskinan merupakan fenomena yang dapat dimengerti  akibat perubahan karakteristik kemiskinan pada sepanjang perjalanan waktu,(....), karakter kemiskinan mulai bergeser dari permasalahan friksional dan struktural menjadi lebih kultural dan bahkan personal.


Badan Pusat Statistik Aceh (Rabu, 15/01/2020) merilis tingkat kemiskinan Aceh pada September 2019 sebesar 15,01 persen. Angka ini turun dari 15,32 persen pada Maret 2019 atau 15,68 persen pada September 2018. Penurunan ini merupakan penurunan terbesar ke-7 dari 34 provinsi di Indonesia. Meskipun demikian, Aceh masih memiliki angka kemiskinan paling tinggi di Pulau Sumatera.

Hingga kini, kemiskinan di Aceh masih menjadi sorotan publik. Banyak pengamat mem-“bully” Pemerintah Aceh dengan membandingkan tingkat kemiskinan Aceh tinggi dan nominal APBA yang besar. Seakan kesalahan ingin dilimpahkan kepada Pemerintah Aceh saja. Publik malah kurang menilik pada nominal APBK total dari 23 kabupaten/kota di Aceh  yang mempunyai nominal yang lebih besar. Bukankah kinerja penanggulangan kemiskinan merupakan resultansi dari kinerja berbagai pihak termasuk berbagai tingkatan pemerintah melalui kegiatan-kegiatan yang didanai oleh APBN, APBA, APBK dan APBG bahkan dana swasta ?.

Jika memperhatikan data historis, tingkat kemiskinan Aceh berada pada titik kulminasi  pada tahun 2002 seiring dengan berakhirnya jeda kemanusiaan dan mulai meningkatnya konflik bersenjata yang kemudian diikuti oleh darurat militer pada tahun 2003. Tahun 2002, tingkat kemiskinan Aceh mencapai 29,83 persen.  Pasca perdamaian di tahun 2005, tingkat kemiskinan Aceh masih sangat tinggi dibanding dengan angka nasional, yaitu 28,69 persen berbanding 15,97 persen. Sejak itu tingkat kemiskinan Aceh dan Indonesia menurun hingga September 2019 masing-masing mencapai 15,01 persen dan 9,22 persen. Ini berarti laju penurunan Aceh lebih cepat dua kali lipat dibanding laju penurunan kemiskinan nasional, yaitu 0,98 persen per tahun versus 0,48 persen per tahun.

Capaian ini seharusnya memberikan kepercayaan diri bahwa Aceh dapat melaju lebih kencang dari rerata provinsi lainnya di Indonesia. Namun tidak seharusnya Pemerintah Aceh berpuas hati (complacent) terhadap capaian tersebut. Ada hal penting yang perlu dicermati dalam perjalanan menurunnya tingkat kemiskinan di Aceh sejak bencana gempa bumi, tsunami dan penanda-tanganan perdamaian.

Gambar 1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan Aceh 2005-2019, (dalam persen)

Gambar 1 diatas menunjukkan ada perlambatan penurunan laju penurunan tingkat kemiskinan di Aceh. Jika kita bagi periode berdasarkan periodisasi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Aceh (RPJPA) 2005-2025, laju penurunan kemiskinan terjadi pada periode pertama, diikuti oleh period kedua dan ketiga. Masing-masing periode tersebut mempunyai laju sebesar 1,44 persen/tahun, 0,53 persen/tahun dan 0,45 persen/tahun. Dalam ilmu ekonomi penurunan laju pengurangan kemiskinan akibat fenomena yang dikenal dengan “dimisnishing return”.

Perlambatan penurunan angka kemiskinan merupakan fenomena yang dapat dimengerti  akibat perubahan karakteristik kemiskinan pada sepanjang perjalanan waktu. Pada masa konflik dan bencana, kemiskinan disebabkan oleh masalah-masalah friksional dan struktural. Kemiskinan friksional disebabkan pada masa konflik banyak masyarakat yang sebenarnya punya aset seperti sawah dan kebun tidak mampu mendayagunakan aset tersebut karena alasan keamanan atau karena mengungsi sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan menjadi miskin. Begitu juga dengan bencana yang turut menghilangkan banyak aset dari korban tsunami sehingga membuat mereka miskin.

Proses perdamaian, rehabilitasi dan rekonstruksi serta reintegrasi menghilangkan kendala friksional dan struktural diatas. Perdamaian telah mengembalikan petani ke sawah dan ladangnya untuk digarap, menghasilkan pendapatan dan lepas dari kemiskinan. Rehabilitasi dan rekonstruksi memberikan rumah dan pekerjaan serta mengembalikan fungsi lingkungan tempat dimana korban tsunami dulunya bergantung mata pencahariannya. Karena itu, periode rehabilitasi dan rekonstruksi dan reintegrasi (2005-2012) mengalami penurunan kemiskinan yang paling tajam.

Periode selanjutnya, karakter kemiskinan mulai bergeser dari permasalahan friksional dan struktural menjadi lebih kultural dan bahkan personal. Artinya rakyat yang dulunya miskin karena alasan friksional dan struktural sudah mulai berkurang dan proporsi penduduk miskin karena alasan kultural dan personal menjadi lebih besar.

Studi Etnografi Kemiskinan yang dilakukan oleh Bappeda Aceh pada tahun 2014-2015 menampilkan potret kemiskinan secara lebih obyektif dan mendalam. Metode etnografi bercerita bagaimana persepsi kemiskinan oleh orang miskin tersebut. Ungkapan seperti “kamo memang dari ureung tuha cit ka gasien” menunjukkan bahwa mindset kemiskinan dan ketidakberdayaan orang miskin cenderung menerima kemiskinan sebagai takdir. Ditambah lagi, sistem sosial yang kerap sekali memarginalkan orang miskin.  Ungkapan “Peng pih abeh, gaseh pih kureueng, peue lom tatueng kamoe ka hina,” dan “Hina di donya eleumee tan, hina bak rakan hana hareuta.” (Materi tak ada, kasih sayang kerabat pun menjauh, hingga orang miskin tidak diakui sebagai kerabat) dan (Kehinaan di dunia karena tak ada pengetahuan, hina di mata kerabat, karena kemiskinan) menggambarkan bagaimana kemiskinan dipandang hina. Sistem sosial yang memarginalkan orang miskin termasuk dalam partisipasi pembangunan di tingkat desa dapat menyuburkan fenomena elit capture (pembangunan hanya menyentuh kaum elit saja) dan menyebabkan self-fulfilling prophecy kemiskinan terus berlanjut.

Karakteristik kemiskinan seperti diatas lebih menantang untuk diturunkan. Kemiskinan jenis ini membutuhkan pendekatan yang khas dan customized. No size fits all.

Reorientasi Upaya Penanggulangan Kemiskinan

Penyebab utama dari perlambatan penurunan angka kemiskinan adalah bauran kebijakan yang belum “klop” dengan kompleksitas kemiskinan yang terjadi serta kualitas implementasi bauran kebijakan tersebut yang belum optimal. Ibaratnya, membuat adonan yang kenyal membutuhkan bauran atau campuran mentega dan tepung yang pas. Memperbanyak tepung tanpa diikuti penambahan mentega secara proporsional hanya membuat adonan brue atau tidak lengket dan akan menghasilkan kue tak enak. Meskipun adonan sudah baik, kue juga belum tentu enak karena ada faktor kompetensi tukang kue dalam mengoperasikan oven. Berdasarkan anologi diatas, ada beberapa perubahan orientasi yang perlu dilakukan agar kebijakan penanggulangan kemiskinan relevan dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh orang miskin dan berbuah penurunan kemiskinan secara lebih cepat.

1.  Pemberdayaan Orang Miskin.

Faktor utama keberhasilan pengentasan kemiskinan sejatinya berasal dari orang miskin itu sendiri. Apabila orang miskin itu berdaya, mempunyai mindset dan optimisme serta mempunyai keahlian untuk bekerja sesuai kebutuhan pasar, maka ia akan segera keluar dari kemiskinan. Namun itu tidak selalu terjadi, orang miskin sering memiliki mindset miskin atau menganggap kemiskinan sebagai nasib atau takdir. Orang miskin sering termarginalkan dalam hal partisipasi pembangunan sehingga hak mereka pun sering tidak diterima secara utuh atau tidak sama sekali. Kemudian orang miskin sering membuat keputusan yang sifat jangka pendek atau tidak bijaksana karena himpitan/kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.

Untuk mengatasi masalah diatas, diperlukan proses pendampingan orang miskin secara intens.  Dalam konteks Aceh, peran pendamping ini dapat dijalankan oleh Tim Kesejahteraan Sosial Kecamatan (TKSK), tentunya dengan penguatan atau penambahan kapasitas baik secara kuantitas maupun kualitas dalam keahlian dalam mengorganisir masyarakat miskin keluar dari lembah kemiskinan. Pendekatannya perlu personal karena berhubungan dengan perubahan mindset.

Presiden Amerika Serikat ke-44, Barrack Obama, pernah menjadi pendamping keluarga miskin (community organizer) di salah satu kawasan kumuh di Chicago selepas menyelesaikan pendidikan di Columbia University. Menurut Obama, pengalaman menjadi pendamping keluarga miskin memberikan pelajaran bagi kemajuan karirnya jauh lebih banyak dibandingkan ilmu yang diperoleh selama kuliah di Harvard Law School, sebagaimana dikatakannya dalam buku biografinya yang berjudul, “Dreams From My Father”. (New York Times, 7 Juli 2008)

2.      Kemiskinan, Petani dan Pasar.
Adalah fakta bahwa penduduk miskin itu dominan berada di perdesaan dan sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Logika sederhananya, strategi pemerintah dalam pengentasan kemiskinan adalah meningkatkan produksi dan produktivitas melalui pemberian bantuan agroinput seperti bibit, pupuk, pestisida  kepada petani berdasarkan luasan lahan. Namun apabila kita teliti lebih dalam, petani miskin sebagian besar adalah petani tanpa tanah (landless farmer) ataupun jika memiliki tanah, luasannya  kecil. Karena itu pemberian bantuan berbasis lahan atau lebih dikenal dengan calon petani calon lahan (CPCL) tidak mengungkit kesejahteraan penduduk miskin, bahkan dapat meningkatkan kesenjangan karena pemilik tanah yang tidak miskin lebih diuntungkan dari program pemerintah tersebut.

Program mekanisasi pertanian juga menambah kompleksitas permasalahan. Di satu sisi meningkatkan produktivitas pertanian, namun sisi lain dapat menambah angka kemiskinan. Sebagian besar petani  miskin adalah buruh tani. Introdusir mekanisasi pertanian seperti transplanter dan harvester dapat mengurangi pendapatan petani miskin karena pekerjaan mereka  menanam bibit dan memanen telah tergantikan oleh teknologi.

Kondisi ini seharusnya mengubah paradigma bahwa kemiskinan di sektor pertanian tidak selalu diselesaikan dengan pendekatan pembangunan pertanian an sich. Petani miskin yang memiliki lahan sempit perlu didampingi untuk memproduksi komoditas yang mempunyai nilai lebih tinggi.  Selain itu, indeks bayar petani juga harus dijaga tetap lebih rendah dari indeks terima petani.  Rendah nilai tukar petani (NTP) Aceh disebabkan karena kenaikan harga kebutuhan petani lebih tinggi dari harga komoditas yang diterima. Efisiensi logistik atau rantai pasok/nilai baik untuk barang kebutuhan ataupun produk menjadi pilihan prioritas. Peningkatan rantai pasok/nilai tersebut membuka kesempatan kerja baru di bidang teknis industri, transportasi, inventory, akuntansi, teknologi informasi, pemasaran dan fungsi manajemen usaha lainnya. 

Kesempatan kerja ini dapat dimanfaatkan oleh petani gurem tanpa tanah (landless farmers) yang tergeser oleh mekanisasi pertanian. Namun kesempatan kerja itu tidak serta merta termanfaatkan karena diperlukan proses transisi dan transformasi kompetensi. Keseluruhan proses diatas sering disebut dengan hilirisasi atau migrasi dari sektor ekonomi primer ke sektor ekonomi sekunder dan tersier yang lebih produktif.   

Pendekatan market for the poor atau pasar untuk pengentasan kemiskinan adalah salah satu reorientasi penanggulangan kemiskinan sektor pertanian. Fungsi pemerintah dalam pendekatan ini adalah penumbuhan supply vs demand melalui penguatan ekosistem pasar di setiap rantai nilai.  Salah satu contoh dari penerapan pendekatan ini adalah pertanian jagung di Kabupaten Pamekasan, Madura, Jawa Timur. Madura merupakan salah satu kawasan tertinggal di Jawa Timur. Jagung merupakan tanaman yang ditanam secara massal karena jagung menjadi salah satu sumber makanan pokok selain beras di pulau penghasil garam tersebut. Penduduk setempat menanam varietas lokal yang produktifitasnya hanya sekitar 2-3 ton per hektar. Pemerintah setempat ingin meningkatkan produktifitas petani jagung melalui penggunaan benih unggul. Awalnya terjadi penentangan dari masyarakat. Menurut mereka, jagung lokal mempunyai rasa yang lebih enak, dibanding varietas unggul.

Pemerintah Kabupaten Pamekasan melalui Program Promoting Rural Income throughSupport Market in Agriculture (PRISMA) yang didukung oleh Pemerintah Australia (DFAT) berusaha menumbuhkan pasar dalam rantai nilai jagung. Untuk penyediaan benih unggul, Pemerintah mengandeng perusahaan benih dalam hal penyuluhan dan demplot sebagai bukti sekaligus promosi peningkatan produktifitas. Selain itu, Pemerintah juga mempertemukan petani dengan perusahaan pakan sebagai offtaker dari jagung yang diproduksi. Pendekatan ini membuka mata petani jagung yang semula menolak menanam benih unggul karena menyaksikan sendiri bukti peningkatan produksi jagung dan penyerapan jagung oleh pasar dengan harga yang memadai. Alhasil, pelibatan pasar ini meningkatkan produktifitas (pendapatan) petani sebesar 3 kali lipat tanpa mengeluarkan anggaran pemerintah dalam hal penyediaan bibit, pupuk dan saprodi lainnya. Petani sendiri yang berinvestasi untuk membeli input pertanian jagung sendiri karena yakin bahwa hasil yang diperoleh akan dapat menutupi modal dan mendapat keuntungan lebih besar.  

3.      Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) sebagai agent of rural economic transformation  
Mekanisasi pertanian menyebabkan Petani tanpa tanah kehilangan pekerjaan. Petani harus dialihkan ke sektor lain agar tidak menjadi pengangguran dan menjadi miskin absolut. Migrasi tenaga kerja menjadi keharusan melalui penciptaan sektor-sektor lebih produktif seperti industri pengolahan dan jasa serta sektor pendukung lainnya. Keberadaan aktivitas ekonomi di sepanjang rantai nilai yang utuh akan memberikan nilai tambah yang maksimal dalam satu wilayah. Perpindahan basis ekonomi dari agraris ke industrialis menuntut persiapan yang matang. Berbeda dengan sektor pertanian, sektor industri dan jasa mempunyai ekosistem yang lebih kompleks. Agar dapat berkelanjutan,  kedua sektor ini harus  memiliki skala ekonomi, baik dari sisi supply (bahan baku dan hasil produk) dan juga sisi permintaan (ketersediaan pasar).

Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) perlu memainkan peran sebagai agen transformasi ekonomi perdesaan. BUMG yang memiliki dukungan modal/finansial yang stabil dari dana desa dapat mengisi kekosongan rantai nilai. Misalnya BUMG dapat menjadi penyalur input (benih, pupuk, obat-obat) yang dibutuhkan oleh kegiatan pertanian. BUMG dapat mendirikan usaha jasa reparasi bagi alat dan permesinan pertanian (alsintan). Begitu juga, BUMG dapat menjadi pengumpul produk sekaligus pemasar produk OVOP berbasis industri rumah tangga  atau industri kecil dan menengah. Bisnis baru yang dilakukan oleh BUMG dalam rangka pemenuhan rantai nilai akan membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang pekerjaannya hilang akibat mekanisasi pertanian, misalnya.

 Selain itu, perkembangan teknologi digital dapat membantu pemasaran dari produk dari penduduk miskin. Program Taobao Village  yang merupakan program binaan dari Alibaba untuk menjadikan desa mempunyai ekonomi digital berhasil menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.  Program ini dapat direplikasi di Aceh sehingga industri dan jasa (pariwisata) dapat mempunyai pasar yang berkelanjutan.

Hal yang perlu dipastikan adalah pengelolaan BUMG yang profesional. Karena itu, pemilihan pengelola BUMG harus dijamin independensinya dari perpolitikan tingkat desa atau sering disebut sebagai elit capture. Pemerintah dapat menerbitkan aturan yang menjamin sistem meritokrasi dan sistem pengendalian yang ketat agar BUMG dapat dikelola dengan prinsip good corporate governance.

4.      Kesehatan dan Pendidikan.
Modal manusia (human capital) orang miskin yang rendah sering menjadi perangkap bagi kemiskinan. Tingkat kesehatan dan pendidikan yang rendah menyebabkan produktifitas rendah dan pendapatan minim. Bahkan sering terjadi,  Sakit menyebabkan orang miskin makin fakir, terkuras harta bahkan terjerat hutang. Kesehatan dan pendidikan mempunyai efek jangka pendek dan jangka panjang. Karena itu, peningkatan kualitas di dua aspek ini menjadi prioritas.

Penguatan kesehatan masyarakat memerlukan reorientasi pelayanan puskesmas dari pengobatan menjadi promosi kesehatan atau pencegahan. Tenaga medis perlu proaktif untuk memonitor kondisi kesehatan masyarakat rentan, terutama masyarakat miskin. Mirip dengan tugas community organizer, layanan kesehatan masyarakat harus mampu merubah perilaku hidup bersih dan sehat dari masyarakat miskin sehingga frekuensi sakit lebih jarang bahkan nihil dan seluruh waktunya dapat didedikasikan untuk kegiatan-kegiatan produktif.

Penggunaan teknologi digital juga membantu efektifitas dari intervensi kesehatan dan pendidikan.  Sistem informasi kesehatan yang dibangun untuk menghubungkan antara pusat layanan primer hingga pusat layanan paling tinggi dan oioritas kebijakan kesehatan (Dinas Kesehatan) dapat digunakan untuk memonitor kondisi kesehatan orang miskin. Begitu juga dengan sistem informasi pendidikan yang menghubungkan antar layanan pendidikan dari PAUD hingga Universitas dan Dinas Pendidikan dapat dikembangkan. Integrasi sistem informasi tersebut dengan sistem informasi program spesifik lainnya seperti PKH dan BPNT atau rumah dhuafa memungkinan seorang kepala daerah dapat memonitor kondisi kemiskinan penduduk yang disasar secara reall time. Hal ini akan memungkinkan kebijakan atau intervensi yang presisi dapat diberikan untuk mempercepat pencapaian program sekaligus memudahkan evaluasi kebijakan. Ini mungkin yang disebut dengan Penanggulangan Kemiskinan 4.0 atau smart poverty reduction.

5.      Institusi
Yang terakhir adalah kualitas institusi pengentasan kemiskinan perlu terus ditingkatkan. Kompleksitas dan dinamisasi permasalahan kemiskinan mensyaratkan institusi yang luwes. Sebagaimana disebutkan diawal bahwa penyebab utama perlambatan penurunan kemiskinan adalah irrelevansi antara kebijakan dan determinan kemiskinan. Faktor kemiskinan sering berbeda seiringi waktu, lokasi dan konteks. Kebijakan yang itu-itu saja atau copy paste mempunyai efek kecil atau tidak sama sekali dalam menurunkan kemiskinan. Karena itu, diperlukan  instrumen yang tepat dan cepat untuk mendeteksi efek dari satu kebijakan sehingga diperoleh evidence atau bukti bahwa kebijakan yang diambil efektif menurunkan kemiskinan atau tidak. Evidence tersebut memberikan feedback untuk penyusunan kebijakan selanjutnya dengan tingkat efektifitas makin baik. Alhasil, penurunan kemiskinan bisa terus terjadi. Pentingnya evidence/bukti yang berupa data dan informasi menunjukkan pentingnya pengelolaan database. Data dan informasi seharusnya dapat diakses secara mudah, real time  dan bertanggung jawab oleh seluruh pihak yang terlibat dalam pengurangan angka kemiskinan.

Kebijakan yang baik belum tentu menyebabkan hasil yang menggembirakan. Penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai target merupakan resultansi antara kebijakan yang baik dan diikuti dengan implementasi yang sesuai. Permasalahan kemiskinan yang kompleks tentu membutuhkan intervensi lintas sektor. Disini kemungkinan timbul masalah koordinasi, ditambah dengan perbedaan ritme kerja dan sense of ownership dapat mengurangi efektifitas implementasi upaya eradikasi kemiskinan.

Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa sebagai pengganti Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 memperkenalkan cara swakelola baru yang disebut Swakelola Tipe III. Swakelola tipe ini memungkinan kegiatan pengadaan barang dan jasa dilakukan oleh organisasi masyarakat. Metodelogi pengadaaan barang dan jasa  ini memberikan solusi bagi kegiatan penanggulangan kemiskinan yang membutuhkan pendekatan yang lebih intens dan terintegrasi seperti pendampingan terhadap masyarakat miskin untuk perubahan mindset sekaligus memberikan keterampilan. Karena dilakukan oleh organisasi masyarakat yang telah terbiasa dan membumi sehingga lebih mudah mendapatkan trust atau kepercayaan dibandingkan oleh aparatur pemerintah.

Reorientasi atau inovasi program penanggulangan kemiskinan diatas tentunya belum sepenuhnya mewakili kebutuhan dari penanggulangan kemiskinan yang efektif mengingat kompleksitas dan khasnya faktor penyebab kemiskinan yang mungkin berbeda seiring waktu dan lokasi. Para pihak yang mempunyai peran untuk menanggulangi kemiskinan hendaknya terus menambah kapasitas dan kreatifitas dalam menganalisa kebutuhan kebijakan dan implementasi kebijakan tersebut sambil terus bersikap kritis dan bertanya apakah implementasi kebijakan tersebut memberikan dampak. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan di Aceh dapat terwujud secara konstan 1 persen per tahun sebagaimana ditargetkan atau bahkan lebih cepat. Wallahu a’lam bishawab.