Rabu, 02 Oktober 2019

Investasi dan Hilirisasi Ekonomi Aceh


Hasil gambar untuk invest in aceh

Investasi pada rantai nilai yang belum ada akan meningkatkan nilai tambah komoditas, menarik sektor belakang (backward linkages) dan mendorong sektor depan (forward linkages) dalam sebuah rantai nilai sempurna dimana keseluruhan atau sebagian besar dilaksanakan di Aceh. Alhasil, perekonomian Aceh akan tumbuh signifikan

Kemajuan sebuah daerah  diukur oleh sebuah indikator yang disebut dengan produk domestik bruto (PDB). Indikator ini merupakan ukuran dari total seluruh nilai tambah yang terjadi dalam sebuah daerah. Perkembangan PDB dari tahun ke tahun disebut sebagai pertumbuhan ekonomi. Secara ideal, semakin tinggi pertumbuhan PDB atau pertumbuhan ekonomi, maka indikator kesejahteraan lainnya seperti tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan seharusnya juga membaik. Karena, semakin banyak orang bekerja dan menghasilkan nilai tambah, semakin tinggi pendapatannya dan berujung pada berkurangnya pengangguran dan penduduk miskin serta menambah total nilai tambah atau ekonomi daerah tersebut.

Investasi merupakan faktor pembentuk dari PDB atau PDRB, jika daerah tersebut setingkat provinsi atau kabupaten/kota. Bersama dengan nilai total konsumsi masyarakat, konsumsi pemerintah dan total ekspor dikurangi import, nilai investasi berakumulasi menjadi total ekonomi sebuah daerah. Artinya, semakin tinggi investasi, maka semakin tinggi ekonomi atau PDRB daerah. Investasi juga dapat menyediakan lapangan pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan menjadi sebab jumlah masyarakat miskin berkurang. Ibarat mendayung, sekali mendayung investasi seharusnya tiga pulau indikator terlampaui.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), investasi dalam perekonomian Aceh mempunyai peran yang lebih tinggi dibanding dari nasional. Pada tahun 2018, investasi atau lebih dikenal sebagai Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) dalam nomenklatur BPS di Aceh merepresentasikan 36,70 persen dari total ekonomi Aceh. Angka ini lebih tinggi dari capaian proporsi investasi di nasional yaitu  32,29 persen.  Meskipun proporsi investasi dalam PDRB tinggi, namun perbaikan indikator makro ekonomi Aceh seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan lebih lambat dibandingkan perbaikan di tingkat nasional. Fakta ini menyiratkan ada permasalahan yang perlu dicarikan solusinya agar investasi dapat mendongkrak kinerja daerah secara lebih cepat.

Incremental Capital-Ouput Ratio, disingkat dengan ICOR, adalah indikator untuk mengukur efesiensi atau efektifitas sebuah investasi dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan. Meskipun ICOR lebih banyak digunakan untuk melihat efisiensi investasi terhadap pertumbuhan ekonomi, secara prinsip ICOR juga dapat digunakan untuk indikator pembangunan lainnya. Untuk Aceh, tingkat efisiensi investasi masih lebih rendah dari investasi rata-rata secara nasional. 

Satu fakta lain yang menarik untuk dicermati dalam perekonomian Aceh adalah tingginya nilai defisit perdagangan Aceh  yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Apabila kita sandingkan dengan nilai PMTB yang juga terus meningkat, dapat diindikasikan bahwa investasi saat ini tidak mendorong terjadinya hilirisasi. Hilirisasi yang ditandai oleh berkembang sektor industri pengolahan akan menyediakan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat baik di Aceh maupun di luar Aceh sehingga akan meningkatkan net-ekspor Aceh, melalui penurunan nilai dan volume impor sekaligus peningkatan nilai dan volume ekspor

Salah satu pilihan kebijakan strategis dalam pembangunan ekonomi Aceh adalah bagaimana menarik investasi yang produktif dan efisien di Aceh yang menyebabkan elastisitas indikator kesejahteraan masyarakat Aceh lebih positif dan tinggi melalui hilirisasi?

Kebijakan Investasi mendorong Hilirisasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengamanatkan, dalam pasal 155, bahwa arah perekonomian Aceh adalah meningkatkan produktifitas dan daya saing melalui proses penciptaan nilai tambah yang sebesar-besarnya. Ini artinya secara regulasi, pembangunan ekonomi Aceh diarahkan kepada hilirisasi. Seiring dengan hal tersebut, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Aceh juga menetapkan periode 2017-2022 sebagai periode manufaktur sebagai penopang ekonomi Aceh. Kemudian melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh, Salah satu Program Unggulan di bidang ekonomi adalah Aceh Kreatif yang bertujuan untuk meningkatkan produksi industri di Aceh. Begitu juga dengan Rencana Kerja Pemerintah Aceh (RKPA) 2020, hiilirisasi menjadi prioritas pemerintah Aceh yang pertama.

Hilirisasi menjadi pilihan tepat bagi kebijakan pembangunan. Hilirisasi mempunyai arti bahwa proses pertambahan nilai harus dilakukan di Aceh sebanyak mungkin. Karena itu, investasi juga seharusnya untuk mendukung proses pertambahan nilai yang dilakukan oleh pihak swasta baik dalam negeri maupun mancanegara. Langkah penting untuk memulai adalah memetakan rantai nilai atau peta hilirisasi. Pemetaan rantai nilai akan mendapatkan informasi tentang proses apa saja yang perlu ada untuk menghasilkan produk jadi (end product) dan siapa saja yang melakukannya.

Struktur ekonomi Aceh mengindikasikan adanya missing link dalan rantai nilai komoditas unggulan Aceh. Struktur ekonomi Aceh yang kosong di tengah (sektor sekunder) dan padat di sektor primer dan tersier menyiratkan komoditas unggulan yang bernilai tinggi di Aceh dijual tanpa mengalami proses nilai tambah.

Tidak terjadinya pertambahan nilai di Aceh utamanya karena belum adanya usaha atau perusahaan yang melaksanakan proses pertambahan nilai tersebut di sepanjang rantai nilai. Missing chain ini harus diarahkan agar menjadi potensi dan peluang yang ditawarkan kepada investor. Investasi pada rantai nilai yang belum ada akan meningkatkan nilai tambah dan menarik sektor belakang (backward linkages) dan mendorong sektor depan (forward linkages) dalam sebuah rantai nilai sempurna dimana keseluruhan atau sebagian besar dilaksanakan di Aceh. Alhasil, perekonomian Aceh akan tumbuh signifikan.

Pemetaan rantai nilai tidak harus hanya untuk komoditas lokal yang diproduksi Aceh. Pemerintah Aceh juga perlu melakukan pemetaan rantai nilai global (global value chain) karena letak  yang sangat strategis dan di sepanjang jalur perdagangan global. Dalam hal ini, Aceh dapat menawarkan keuntungan komparatif berupa ketersediaan komponen rantai nilai produk, lokasi yang berupa kawasan industri dan infrastruktur serta SDM yang berkualitas. Apabila hal ini dapat dilakukan maka Aceh terhubung dengan ekonomi global melalui jaringan produksi mondial (global production network).

Potensi dan strategisnya investasi pada rantai nilai bagi perekonomian Aceh sulit terealisasi jika kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) di Aceh masih tidak diperoleh oleh para pengusaha atau penanam modal. Deregulasi dan Perizinan yang mudah, jelas, cepat dan pasti akan mendorong minat investasi di Aceh. Pelayanan investasi dan proses debottlenecking sumbatan investasi akan mempercepat perubahan status minat investasi menjadi realisasi investasi, yang berarti kesempatan kerja di lapangan dan nilai tambah produk di pasar.

Kecermatan dan kejelian perencanaan investasi dalam menentukan sektor usaha strategis dalam rantai nilai, ketepatan metode promosi investasi dan perizinan serta pelayanan investasi yang baik akan menempatkan Aceh sebagai destinasi investasi pilihan dan pada gilirannya akan menggerakkan siklus kebaikan (virtuous circle)  pembangunan. Investasi menyediakan kesempatan kerja dan mengurangi angka pengangguran dan kemiskinan, meningkatkan pendapatan masyarakat dan daerah, memperbaiki kualitas sumber daya manusia dan  infrastruktur dan akhirnya kembali men-generate investasi yang lebih besar lagi untuk kemakmuran yang lebih baik. Semoga
  
(Tabloid Investasi - Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, 1 Oktober 2019)