Senin, 19 Mei 2014

Aceh (bukan) Miniatur Swedia

Serambi Indonesia (12/5/2014) merilis sebuah opini yang ditulis oleh Safaruddin yang bertajuk “Aceh Miniatur Swedia?”. Dalam tulisan tersebut Safaruddin menanyakan mengapa kinerja pembangunan Aceh tidak sebanding dengan kualitas hasil pembangunan Swedia padahal Aceh saat ini sedang dipimpin oleh mantan tokoh Gerakan Aceh Merdeka yang pernah bermukim di negeri Viking ini. Bahkan pada akhir tulisannya Safaruddin secara tidak elegan menduga hubungan antara diskrepansi kinerja Aceh-Swedia dengan aktivitas tokoh politik GAM selama tinggal di negara Baltik tersebut.

www.comparingandcontrastingtwothings.blogspot.com
Opini yang menyiratkan bahwa keberhasilan sebuah daerah atau negara ditentukan oleh tempat tinggal pemimpinya adalah kesimpulan yang naif. Ini tak ada bedanya dengan mengatakan bahwa Aceh akan maju jika dipimpin oleh pemimpin dari kabupaten tertentu di Aceh. Membandingkan Aceh dan Swedia adalah sesuatu yang tidak valid secara ilmiah. Yang pertama dan paling utama adalah Swedia adalah negara sedangkan Aceh bukan negara. Banyak instrumen negara yang menjadi tulang punggung penyelenggaraan negara atau demokrasi yang efektif berada diluar jangkauan Pemerintah Aceh. It is not apple to apple, begitu ungkapan pakar ketika ingin membandingkan dua hal untuk mencari sebab perbedaan.

Mari kita lihat perbandingan kinerja pembangunan antara Indonesia – sebagai proxy Aceh - dan Swedia. Ada dua titik waktu yang perlu dilihat yaitu ketika Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakil Gubernur Muhammad Nazar (Irna) pada tahun 2007 dilantik menjadi duo tunggal dan tahun 2012 ketika Gubernur Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf (Zikir) resmi menjadi commander in chief. United Nation for Development Programme (UNDP) melalui https://data.undp.org/ mencatat Indeks Pembangunan Manusia Swedia dan Indonesia masing-masing adalah 0,909 dan 0,595 pada tahun 2007; dan 0,916 dan 0,629 di tahun 2012. Jika ingin dilihat Indeks Pembangunan Aceh secara relatif terhadap Swedia perbedaannya akan semakin besar mengingat pencapaian IPM Aceh pada kedua tahun tersebut dibawah angka nasional.

Selanjutnya, Bank Dunia melalui website http://data.worldbank.org/ menyajikan pendapatan per kapita berdasarkan paritas daya beli harga konstan tahun 2011 antara Indonesia dan Swedia masing-masing sebagai berikut US$ 7.102 dan US$ 41.667 pada tahun 2007 dan US$ 8,856 dan US$ 41,849 di tahun 2012. Sebagai salah satu provinsi yang mempunyai presentase penduduk miskin terbesar di Indonesia, perbedaannya akan semakin mencolok. Belum lagi apabila dilihat indeks demokrasi dimana Swedia pada tahun 2007 berada pada ranking pertama sedangkan Indonesia berada pada ranking 65 (www.economist.com).

Membandingkan Aceh dan Swedia dalam hal kinerja pembangunan adalah hal tidak sepatutnya dilakukan. Apalagi jika dijadikan kriteria untuk menentukan keberhasilan pemimpin Aceh yang baru memimpin 2 tahun. Perbandingan atau pengambilan keputusan tersebut dapat dikatakan cacat atau bias seleksi (selection bias). Jika ingin menentukan keberhasilan Aceh dalam pembangunan secara relatif maka bandingkan dengan daerah/provinsi yang juga selesai konflik dan didera bencana pada sekitar tahun 2005 dengan kapasitas fiskal yang seimbang dengan Aceh. Ini lebih fair.            

Bukan Miniatur tapi Belajar dari Swedia

Swedia sudah lama menjadi model negara yang seharusnya dicontoh. Tak kurang dari ekonom sekelas Joseph E Stiglitz, Paul Krugman dan Jeffrey D Sachs merujuk model pengelolaan negara a la Swedia sebagai inspirasi kebijakan negara-negara yang terkena imbas dari krisis keuangan global tahun 2008, tak terkecuali Amerika Serikat. Model Swedia memprioritaskan pada investasi pada manusia dalam bentuk investasi pendidikan, riset dan pengembangan serta perlindungan sosial. Investasi pada manusia menghasilkan produktifitas dan daya saing Swedia yang membuatnya unggul.

Di tengah perang relokasi industri padat karya dari negara maju ke negara berkembang karena alasan upah buruh rendah. Swedia tetap mempunyai tingkat pengangguran yang rendah serta ekonomi tangguh. Ini disebabkan kualitas produk negara ini belum mampu ditandingi oleh negara lain sebagai akibat dari tingginya kualitas pekerja atau sumber daya manusia negara tersebut.

Besley dan Personn (2011) dalam bukunya Pillars of ProsperityThe Political Economics of Development Clusters menyusun indeks pilar kemakmuran dan  menempatkan Swedia pada peringkat pertama. Hasil studi empiris mereka menyatakan bahwa tipologi institusi merupakan faktor mengapa negara-negara maju bertengger di papan atas indeks tersebut. Tipologi institusi berhubungan dengan pengalaman konflik. Institusi daerah bekas konflik akan cenderung lemah dan rentan terhadap perilaku pencarian rente (rent seeking). Bagai lingkaran setan institusi akan terus melemah oleh perilaku pencari rente ini. Siglitz (2012) dalam bukunya The Price of Inequality juga memaparkan bagaimana rente memperburuk ketimpangan dan efeknya kepada krisis keuangan di Amerika Serikat.

Belajar dari Swedia, penguatan institusi merupakan agenda utama pembangunan Aceh. Mencegah pencarian rente menjadi hal sistemik dalam kebijakan mutlak harus dilakukan demi kesejahteraan rakyat. Transparansi dan akuntabilitas adalah hal yang utama.  Terus, kesempatan yang sama bagi seluruh rakyat Aceh perlu terus diciptakan melalui prinsip meritokrasi, tidak lagi balas budi atau kontribusi dalam perang. Reintegrasi seharusnya sudah selesai pada tahun 2012 sebagaimana diamanatkan oleh RPJP Aceh. Jika masih ada yang belum tuntas, beri solusi secara lebih memberdayakan tidak dengan membuat ketergantungan.

Hubungan Pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Civil Society Organisation (CSO) juga merupakan sesuatu yang perlu dipelajari dari Swedia. Hubungan keduanya disana adalah komplementer dan diperkuat dengan adanya common interest (kepentingan bersama). Lazim kita lihat CSO Swedia membantu melaksanakan program pemerintah melalui pendanaan pemerintah. Hubungan harmonis tersebut tampaknya belum terjadi di Aceh. Kecurigaan masih marak akibat perilaku kedua belah pihak. Minimnya transparansi pemerintah membuat CSO galau. Blow-up media oleh CSO yang sering tanpa konfirmasi dan data akurat memperparah hubungan menjadi tidak sehat dan renggang.

Pengelolaan lingkungan juga merupakan hal yang dapat dipelajari. Model Pengelolaan Hutan Swedia atau Swedish Forestry Model adalah salah satunya. Swedia berhasil mengawinkan prinsip ekonomi dengan penambahan stok karbon dengan menunjukkan kepada petani kayu akan insentif ekonomi dalam melakukan penanaman kembali (replanting) melalui inovasi desain institusi dan industri. Saat ini, negara terluas di kawasan Nordic ini mempunyai tegakan pohon lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Tidak perlu malu dan saling menyalahkan jika saat ini kinerja pembangunan Aceh masih berada peringkat bawah. Yang harus dilakukan adalah belajar secara cepat dari kegagalan dan kesuksesan diri dan daerah lain termasuk dari Swedia. Tentunya bukan dengan menjadi replika atau miniatur yang sama persis karena ada aspek masyarakat Swedia yang tidak kompatibel dengan sosial budaya masyarakat Aceh. Semoga Pemerintah Aceh dapat menjadi learning institution yang terus memperbaiki diri dalam rangka fastabiqul khairat meraih cita-cita rakyatnya.

Published in Serambi Indonesia (19/5/2014)