Sumber : http://www.bumn.go.id/perumnas/publikasi/berita/program-pemerintah-untuk-rumah-rakyat-di-2012/ |
Harian
Serambi (3 Oktober 2012) memberitakan rencana pemerintah untuk membangun rumah
dhuafa sebanyak 20 ribu unit. Rencana ini akan dimulai pada tahun anggaran
2013. Total anggaran yang diperlukan mencapai Rp. 1 trilyun dengan asumsi biaya
pembangunan per unit rumah adalah Rp. 50 juta.
Kebijakan rumah
dhuafa ini perlu diapresiasi mengingat kebutuhan rumah yang layak huni dan
sehat merupakan sebuah kebutuhan asasi. Banyak rumah kaum fakir miskin di Aceh
yang hanya beralas tanah, lembab, sirkulasi udara tidak baik serta kondisi MCK
yang tidak higienis. Rumah seperti ini akan menyebabkan penghuninya rawan
terhinggap penyakit seperti TBC dan penyakit infeksi lainnya sehingga penghuni menjadi
tidak produktif. Akibatnya perangkap kemiskinan bisa terus berlangsung karena
sebagian besar waktu dan uang dialokasikan tidak untuk bekerja melainkan
istirahat dan membeli obat.
Meskipun
kebijakan rumah dhuafa ini mulia tidak berarti ia bebas masalah. Dari mulai penentuan
individu yang berhak, standar kualitas bangunan hingga keberlanjutan anggaran
membuat kebijakan ini perlu diseriusi. Konflik akibat pendataan yang tidak
transparans dan adil bisa saja meledak. Apalagi rumah dhuafa ini diberikan
tanpa biaya sepeserpun alias gratis dapat membuat banyak pihak merasa
berkepentingan untuk mendapatkan rumah tersebut, berusaha melakukan segala
cara demi kepentingannya dan akhirnya praktek korupsi/nepotisme dapat merebak. Bagaimana seharusnya kebijakan perumahan
rakyat diambil oleh Pemerintah Aceh?
Belajar dari Singapura : Bukan Gratis tapi Terjangkau
Singapura
merupakan salah satu negara yang dianggap berhasil dalam pengelolaan perumahan
rakyat. Pada tahun 1950-an, 75 persen
penduduk Singapura bertempat tinggal di kawasan kumuh yang menggabungkan
antara tempat tinggal dan tempat kerja. Sedangkan 25 persen lainnya tinggal di
perkampungan yang minim fasilitas pemukiman. Awal tahun 2000, sekitar 85 persen
penduduknya tinggal di perumahan yang dibangun pemerintah lengkap dengan fasilitas
penunjang seperti air bersih, listrik, sanitasi, sekolah, taman rekreasi hingga
pusat belanja. Dari total penghuni
perumahan rakyat tersebut, hanya 5 persen berstatus sewa. Selebihnya adalah
pemilik.
Perumahan
rakyat di Singapura berbentuk bangunan tinggi (rumah susun) dan berkelompok. Ini
tak lepas dari keterbasan lahan yang dimiliki negara kota ini. Namun pengelompokan
dan maksimalisasi ruang vertikal ini juga memberikan keuntungan lain. Selain lebih
murah, juga ia menampung lebih banyak penduduk sehingga tercipta skala yang
cukup bagi peluang ekonomi terutama di sektor jasa/perdagangan.
Dalam
perjalanannya, Singapura mengalami evolusi kebijakan perumahan dimana pada
awalnya pemerintah bertindak sebagai penyedia. Kemudian beralih menjadi
fasilitasi hingga perekayasa sosial yang lebih pada menimbulkan kebutuhan
masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas perumahan publik yang layak dan sehat.
Kebijakan perumahan juga menganut prinsip inklusifitas dengan mendorong
terjadinya pembauran etnis yang ditandai dengan kuota khusus etnis dalam
kompleks perumahan sesuai dengan proporsi etnis secara nasional. Perumahan rakyat
tersebut menyediakan kesempatan yang sama antara jenjang ekonomi dimana si
miskin dan si kaya mempunyai akses yang adil terhadap perumahan. Salah satu
kesuksesan rekayasa sosial (social
engineering) dalam kebijakan perumahan rakyat di Negeri Singa adalah kesan yang difahami rakyat ketika
pindah ke perumahan rakyat yang disediakan pemeritah adalah peningkatan
kualitas tempat tinggal yang dirasakan oleh seluruh strata ekonomi.
Meskipun
menyediakan perumahan bagi penduduk miskin, kebijakan perumahan di SIngapura
tidaklah memberikan secara gratis. Fasilitasi finansial berupa merupakan
keharusan bagi pembangunan rumah rakyat. Namun bantuan finansial dilakukan
secara berbeda tergantung dari pendapatan penghuni. Makin kecil pendapatan,
makin besar subsidi perumahan yang diberikan pemerintah.
Pelajaran yang diambil
Perumahan
rakyat miskin di Aceh tentunya akan berbeda dengan Singapura. Ketersediaan
lahan yang lebih luas membuat Aceh mempunyai lebih banyak pilihan untuk
menentukan tipe rumah dhuafa. Tipe rumah susun akan kurang diminati atau
relevan di perdesaan. Sebaliknya di perkotaan seperti Banda Aceh atau
Lhokseumawe tipe rumah susun sudah seharusnya menjadi pilihan.
Namun yang
perlu diambil pelajaran dari kebijakan Singapura dalam hal perumahan rakyat ini
adalah sisi finansial dan rekayasa sosial. Kebijakan pemerintah tentunya diambil
guna membentuk masyarakat yang sehat secara sosial. Konsep terjangkau daripada
gratis mempunyai keuntungan dengan mengkondisikan kaum dhuafa untuk bekerja lebih produktif dan mengurangi
pengeluaran yang tidak perlu seperti rokok agar dapat membayar cicilan.
Besarnya cicilan
ditentukan berdasarkan pendapatan dan kemampuan membayar. Cicilan bisa saja
berjumlah nol rupiah jika sang penghuni memang benar-benar tidak mampu bekerja
dan menghasilkan uang cukup (disposable income). Kemudian, pemerintah dapat mengandeng
perbankan dalam pembiayaanya dimana untuk pembayaran cicilan, perbankan berhubungan
langsung dengan kaum dhuafa sedangkan subsidi kekurangan akan langsung
ditransfer pemerintah ke perbankan. Skema ini selain memberikan kelonggaran
bagi Pemerintah karena tidak perlu menganggarkan keseluruhan biaya pembangunan
rumah dalam satu waktu, juga membuka akses perbankan terhadap rakyat miskin
sehingga mereka lebih melek perbankan dan terlayani (financial literacy/inclusion).
Kebiasaan positif bisa terstimulir seperti menabung dan ini memberikan kemudahan
pemerintah untuk urusan lainnya seperti transfer langsung atau keperluan
pendataan lainnya bagi masyarakat miskin.
Tantangan
lain, untuk tipe perumahaan rakyat yang komunal seperti rumah susun. Sering sekali
masalah perawatan menjadi kendala. Berbeda dengan rumah tunggal dimana pemilik
rumah termotivasi merawat rumahnya, rumah susun perawatan menjadi tanggung
jawab bersama. Tipikal fasilitas publik menyebabkan aksi free-rider lebih rentan. Untuk itu rekatan sosial perlu diperkuat
sehingga kekumuhan akibat saling lempar tanggung jawab penghuni bisa dihindari.
Selanjutnya
kebijakan perumahan rakyat harus diselaraskan dengan kebijakan lain seperti
tata ruang dan transportasi. Lokasi perumahan harus menjamin aksesibilitas dan
mobilitas sehingga memudahkan rakyat miskin untuk melaksanakan aktivitas
ekonomi dan sosial lainnya. Fasilitas pemukiman penunjang seperti akses air
bersih, listrik dan sanitasi juga perlu dilengkapi agar perumahan dapat segera
ditempati.
Akhirnya, kebijakan perumahan dhuafa yang baik dan memberikan insentif yang
tepat bukan saja menyediakan kebutuhan dasar akan tempat tinggal yang layak
huni dan sehat, tetapi juga mengangkat mereka dari lembah kemiskinan ke dataran
yang lebih landai guna menapak ke derajat kesejahteraan yang lebih tinggi.