Rabu, 25 April 2012

Zaini Abdullah: Dokter Pembangunan Aceh ?


Komite Independen Pemilihan (KIP) telah mengumumkan Gubernur dan Wakil Gubernur  Aceh terpilih untuk periode 2012-2017. Pasangan dr. Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf berhasil mendapatkan surat kepercayaan dari lebih separuh pemilih Aceh. Secara popularitas, kedua tokoh ini tidak diragukan lagi. dr Zaini Abdullah terkenal sebagai mantan menteri luar negeri Gerakan Aceh Merdeka dan tokoh sentral dalam perdamaian Aceh. Muzakir Manaf merupakan mantan panglima perang yang mempunyai kharisma instruksional di lapangan. Namun tidak sedikit suara ragu akan kepiawaian pasangan ini dalam menjalankan roda organisasi pemerintahan Aceh dengan segenap permasalahannya, terutama jika dilihat dari pengalaman pemerintahan yang minim.
Keraguan tersebut merupakan hal yang wajar namun sekaligus berlebihan. Dalam era demokrasi, setiap warga negara berhak untuk mendapat kepercayaan dan dipilih menjadi pemimpin pemerintahan meskipun tanpa pengalaman sedikitpun. Tentunya  pasangan pemimpin Aceh baru ini punya kelebihan yang dapat menjadi modal keberhasilan dalam menjalankan tugasnya. Yang menarik untuk dibahas dalam tulisan ini adalah pengalaman Zaini Abdullah sebagai dokter. Mungkin kita ingat bahwa pemimpin yang membawa Malaysia meninggalkan Indonesia dan menjadi lebih maju adalah Mahathir Muhammad. Ia seorang dokter. Kemudian tampuk tertinggi pada Bank Dunia yang mempunyai mandat pengentasan kemiskinan dan membantu pembangunan negara berkembang saat ini diduduki oleh seorang dokter, Jim Yong Kim. Kenyataan ini seakan membuka harapan bahwa pasangan Zikir mampu mengantarkan pembangunan Aceh yang lebih baik.
Pendekatan Klinis dalam  Pembangunan
Adalah Jeffrey Sachs yang mempopulerkan  istilah pendekatan klinis  dalam pembangunan ekonomi (clinical economics).  Ekonom yang mendunia karena berhasil mengatasi permasalahan hiper-inflasi di Bolivia saat ini menjadi special adviser Sekjen PBB Ban Ki Moon untuk pencapaian tujuan pembangunan millennium (MDGS). Dalam bukunya, The End of Poverty, Jeffrey mengibaratkan bahwa  proses pembangunan  seperti seorang dokter mengobati pasien. Dokter yang jitu harus mengerti benar prinsip-prinsip fisiologi, cara mengontrol penyakit dan keadaan spesifik si pasien seperti riwayat kesehatan pasien dan keluarga hingga lingkungan ia tinggal. Kesemua penguasaan ini diperlukan agar diagnosa yang dihasilkan benar dan intervensi yang diberikan tepat.
Presiden Bank Dunia yang baru Dr. Jim Yong Kim sangat percaya diri membantah keraguan banyak pihak dalam memimpin lembaga ekonomi internasional terbesar dengan mengatakan bahwa ia adalah dokter. Katanya ia terbiasa dengan bekerja berdasarkan fakta di lapangan (evidence) daripada hanya dari satu ideologi politik tertentu (BBC, 17 April 2012). Kim diapresiasi dunia karena peran inisiatif nya dalam pencegahan penyebaran AIDS/HIV dan Tuberculosis di negara berkembang. Kedua argumentasi diatas menunjukkan prinsip klinis layak dicoba dalam menyelesaikan permasalah pembangunan.

Menyembuhkan Penyakit Pembangunan di Aceh
Sebagaimana diketahui bahwa derajat kesehatan pembangunan Aceh masih berada dibawah rata-rata nasional. Kemiskinan, pengangguran, angka kematian balita dan masih banyak indikator negatif lainnya mempunyai angka diatas rata-rata provinsi lain. Beberapa tahun kebelakang, Aceh memang hidup dalam lingkungan yang tidak sehat. Dera konflik dan hantaman tsunami membuat Aceh ringkih dan kurang berprestasi di skala nasional. Namun sekarang lingkungan buruk tersebut telah berganti dan sudah saatnya sekarang untuk kembali memulihkan kesehatan menjadi fit sehingga dapat berlari mengejar ketertinggalan.
Laksana seorang dokter, gubernur yang diserahi bertanggungjawab untuk memimpin penyehatan Aceh ini perlu melakukan anamnesa dan uji laboratorium untuk mengetahui riwayat penyakit yang pernah diderita, keadaan psikis  dan penyakit  yang mungkin belum terdeteksi. Sudah mahfum bahwa tensi sosial warisan konflik masih menyisakan permasalahan dan berpotensi untuk menggagalkan atau minimal mengurangi keberhasilan intervensi pembangunan. Seumpama tindakan bedah, maka tensi atau tekanan darah harus dijaga normal sehingga operasi yang ditujukan untuk menyembuhkan pasien tidak berubah fatal. Stabilisasi merupakan langkah penting yang perlu diambil. Dalam konteks pembangunan Aceh, kebijakan sensitif konflik tampaknya masih layak menjadi mainstream atau arus utama dalam penyusunan program-program pembangunan.
Seorang dokter pembangunan tidak mudah terpedaya oleh gejala-gejala yang timbul dan melupakan penyebab utama dari permasalahan. Misalnya, daripada memberikan bantuan langsung uang tunai untuk mengentaskan kemiskinan, lebih baik menyelesaikan hambatan-hambatan rakyat berkerja dan memudahkan mereka mengembangkan potensinya. Seringkali kemiskinan bukan karena permasalahan kultural tetapi terdapat sumbatan-sumbatan struktural seperti informasi, ilmu pengetahuan, akses finansial ataupun infrastruktur pendukung. Ibarat diare ataupun diabetes, cara paling murah untuk menghindarinya adalah pengetahuan akan hidup dan pola makan bersih dan sehat daripada harus menanggung biaya besar ketika terjadi wabah atau harus menyediakan cuci darah secara terus menerus. Pengetahuan akan penyebab utama dari permasalahan di Aceh menjadi sangat krusial agar program pembangunan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Karenanya, kegiatan riset kebijakan menjadi keharusan, se-penting uji laboratorium sebelum dokter melakukan diagnosa dan meresepkan pengobatannya.
Terkadang dalam proses pengambilan keputusan akan kegiatan/proyek pembangunan, terdapat pihak-pihak luar yang mencoba mempengaruhi demi kepentingan diri atau kelompok. Sering kali dokter dibisik oleh perusahaan obat tertentu untuk mengunakan produk buatannya dengan imbalan tertentu maupun melalui show-off  jasa-jasanya di masa lalu. Tentunya sebagai dokter yang baik, ketepatan dosis dan kesembuhan serta kepentingan pasien lah yang menjadi rujukan. Integritas, kompetensi dan independensi harus menjadi panglima bagi pemimpin dalam pengambilan keputusan. Penyediaan barang jasa harus dilaksanakan berdasarkan prinsip meritokrasi. Apalagi Jika seorang dokter mengikuti godaan perusahaan obat secara membabi buta dan menyebabkan pasien harus membeli obat lebih mahal dan juga belum tentu sembuh, maka bukan tidak mungkin si pasien tidak akan kembali memilih si dokter pada masa yang akan datang.
Setelah anamnesa, diagnosa dan pemberian resep atau tindakan, sang dokter membutuhkan observasi untuk melihat apakah reaksi dari keputusannya berjalan semestinya atau tidak. Jika pasien menunjukkan perkembangan positif maka tindakan tersebut dilanjutkan. Jika keadaan tidak berubah atau sebaliknya, maka perlu dihentikan dan diberikan tindakan alternatif. Kegiatan monitoring dan evaluasi menjadi analogi observasi pembangunan. Sering sekali uang pembangunan terbuang percuma karena proses monitoring dan evaluasi yang lemah. Beruntung Pemerintah Aceh sudah mempunyai sistem monev yang relatif inovatif dan baik. Tentunya kedepan sistem observasi yang sudah ada perlu ditingkatkan sehingga deteksi dini bisa lebih tepat dan cepat.           
Dari beberapa ilustrasi diatas, penulis yakin bahwa Gubernur Zaini Abdullah sangat faham akan prinsip pendekatan klinis ini. Pengalaman panjang sebagai dokter di Swedia dengan peraturan kesehatan yang lebih ketat dan bertanggungjawab membuat integritas dan komitmen terhadap profesionalisme beliau lebih tinggi. Rakyat Aceh berdoa dan berharap pasangan “Zikir” ini dapat melaksanakan prinsip tersebut dalam memimpin pembangunan Aceh lima tahun kedepan sehingga predikat dokter pembangunan Aceh layak disematkan kepada pemimpin baru ini. Insya Allah.

1 komentar:

  1. Bappeda Aceh pasti sudah biasa dengan Dokter Pembangunan :-). Orang nomer 2, sudah. Jadi bisa kolaborasi :-)

    BalasHapus