Jumat, 02 Oktober 2009

ADB Series - Infrastruktur : Kemiskinan dan Paradigma Pembangunan Berbasis Hak

Aceh Development Board, Edisi Oktober 2009
Kemiskinan merupakan permasalahan yang nyata di Provinsi Aceh. Sesungguhnya fenomena ini adalah sebuah ironi karena secara pengeluaran pemerintah per kapita Aceh merupakan salah satu yang tertinggi di tingkat nasional. Walaupun demikian berbagai kegiatan dan program sebenarnya telah dilaksanakan untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan ini dan sudah mulai menampakkan hasil pengurangan tingkat kemiskinan di provinsi paling barat ini.

Apabila  kita melihat struktur ekonomi Aceh non-migas, sektor pertanian menempati urutan pertama sebagai kontributor produk regional bruto provinsi. Kemudian juga dari sisi tenaga hampir setengah dari angkatan kerja di Aceh bekerja pada sektor ini sehingga adalah  sangat relevan apabila sektor pertanian menjadi pilihan pertama yang harus dintervensi jika kemiskinan akan diatasi di Aceh.

Sebagaimana di negara dan provinsi lainnya, kemiskinan di Aceh merupakan fenonema perdesaan yang berarti kantung-kantung kemiskinan berada di pedesaan. Salah satu fitur dari kawasan perdesaan yaitu minimnya infrastruktur yang melayani penduduk setempat. Infrastruktur tersebut berupa jalan, irigasi, air bersih dan sanitasi, telekomunikasi dan kelistrikan. Pengalaman sukses China dalam meningkatkan kinerja usaha kecil menengah di pedesaan adalah penyediaan infrastruktur transportasi, telekomunikasi dan kelistrikan di pedesaan sesuai dengan standar pelayanan minimal. UKM di China pada tahun 1994 telah mempekerjakan lebih dari 100 juta penduduk atau setara dengan 18 % dari total angkatan kerja China. 

Laporan Pembangunan Dunia (World Development Report) tahun 1994 dengan judul Infrastructure for Development mengatakan bahwa hubungan antara kapasitas infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi berbanding lurus. Artinya setiap satu persen peningkatan investasi infrastruktur akan meningkatkan produk domestik bruto (PDB) sebesar 1 persen pula. Laporan ini konsisten dengan premise Rostow yang mengatakan jika infrastruktur merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi.  Secara konklusif dapat dikatakan bahwa peran infrastruktur sangat instrumental bagi pertumbuhan ekonomi dan tentunya juga pengurangan kemiskinan.

Studi tentang Aceh Growth Diagnostic (2009) menyebutkan bahwa untuk merevitalisi sektor pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas petani.hendaknya lebih diprioritaskan pada penyediaan pelayanan infrastruktur seperti pembangunan jalan yang memudahkan akses ke lahan pertanian dan juga ke pasar. Pembukaan akses ini juga akan memperkuat urban-rural linkage yang bukan hanya bermanfaat bagi perekonomian pedesaan namun juga akan memudahkan distribusi manfaat sosial lainnya. Kemudian irigasi juga menjadi sebab dari naik turunnya produktivitas petani karena itu keadaan irigasi yang prima harus dipertahan dan ditingkatkan. Selain itu pasokan listrik yang cukup dan kontinu akan mendukung tumbuhnya sektor sekunder di sektor ini dengan hidupnya proses pengolahan hasil-hasil pertanian yang bisa memberikan nilai tambah produk pertanian. Akses telekomunikasi juga memainkan peran yang penting dalam peningkatan produktifitas petani atau nelayan. Sebuah contoh, nelayan India  menggunakan handphone untuk mendapatkan informasi pasar dan menentukan dimana mereka akan mendaratkan hasil tangkapan ikan mereka agar terjual dengan harga yang lebih tinggi (”To do with the price of fish” - The Economist, 10 May 2007). Karenanya pembangunan infrastruktur akan lebih efektif dalam peningkatan produktifitas petani dan pengurangan kemiskinan pedesaan ketimbang melakukan subsidi pupuk dan pestisida yang rawan akan penyalahgunaan sehingga bisa mengganggu pasar dan juga lingkungan. Tentunya hal ini berlaku apabila petani/nelayan sudah terintegrasi dengan sistem pasar yang efisien dan sehat.  

Sebuah mainstream pendekatan yang baru dalam pembangunan adalah apa yang disebut dengan right based approach atau pendekatan pembangunan berbasis hak. Pendekatan ini menyatakan bahwa setiap rakyat berhak menikmati standar pelayanan minimal yang sama walaupun berada pada kondisi geografis, status sosial serta tingkat ekonomi berbeda. Sebuah laporan pembangunan dunia tahun 2009 yang bertajuk ”Reshaping Economic Geography”  mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak merata, artinya pertumbuhan ekonomi cenderung berpusat pada titik-titik geografis tertentu. Kawasan pesisir akan lebih mungkin cepat tumbuh dibanding kawasan pedalaman (hinterland). Hal ini dikarenakan kawasan pesisir lebih memudahkan terjadi proses pertambahan nilai seperti industri dan perdagangan. Jeffrey D Sach dalam bukunya, The End of Poverty - hal 57 (2005), juga mendiagnosa bahwa posisi geografis dapat menjadi penentu kemiskinan. Beberapa negara termiskin merupakan negara yang terkunci secara spasial (landlocked); berada di kawasan pegunungan, dan/atau tidak mempunyai akses transportasi seperti sungai dan laut. Hal ini menjadi kontekstual dengan kasus Aceh dengan membandingkan Kota Banda Aceh dan Kabupaten Gayo Lues terhadap angka indeks pembangunan manusia yang berada pada range paling atas (76,74) dan paling bawah (67,17) di tingkat Provinsi Aceh (BPS, 2008). Sebagaimana dimaklumi dimana kabupaten Gayo Lues mempunyai tipe kawasan landlocked.  Namun Laporan dan  Sach tetap berpendapat pembangunan masih bisa inklusif. Diantara  resep yang diberikan   adalah infrastruktur yang menghubungkan antara kedua daerah/entitas geografis yang berlainan misalnya pesisir dan pedalaman.

Untuk menyelesaikan permasalahan distribusi kemiskinan di Aceh yang mempunyai pola dimensi geografis perkotaan vs perdesaan atau pesisir vs pedalaman, maka sudah seharusnya Pemerintah Aceh mengambil perhatian lebih serius dalam pembangunan infrastruktur. Tentunya pembangunan infrastruktur ini harus memakai sebuah framework atau kerangka kerja pembangunan yang bertujuan mengentaskan kemiskinan sehingga prioritas pembangunan dapat lebih jelas terpetakan. Hanya infrastruktur yang punya leverage atau daya ungkit produktifitas lebih baik yang menjadi prioritas. Hal ini dikarenakan oleh keterbatasa dana pembangunan yang tersedia.

Terkait dengan adanya selisih  kebutuhan fiskal dan kemampuan fiskal dalam pembangunan infrastruktur, keterlibatan swasta dalam pembiayaan pembangunan menjadi sesuatu yang realistis dan dibutuhkan. Subsektor kelistrikan dan telekomunikasi kiranya menjadi lahan yang bagus bagi swasta untuk berpartisipasi. Selain itu manajemen infrastruktur yang baik harus diterapkan secara prima mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan. Ini bertujuan untuk menjamin kualitas dan kemampuan infrastruktur dalam menyediakan pelayanan kepada rakyat dalam rangka penuntasan permasalah kemiskinan mereka.

Akhirnya, pembangunan infrastruktur di Aceh haruslah bersifat inklusif dan dilakukan dengan sebuah pemahaman bahwa setiap rakyat Aceh mempunyai hak yang sama untuk menjadi tidak miskin dan mendapatkan pelayanan infrastruktur  sebagaimana samanya hak politik yang ditunjukkan dengan nilai suara (vote) yang sama antara seorang yang tinggal di kawasan elit di Kota Banda Aceh dan seorang warga lainnya di Desa Ramung Musara Kecamatan Putri Betung Kabupaten Gayo Lues dalam pemilihan gubernur dan presiden. Wallahua’lam bisshawab.